PERBANDINGAN EFIKASI KOMBINASI ARTESUNAT-KLINDAMISIN DENGAN KININ-KLINDAMISIN PADA PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM TANPA
KOMPLIKASI PADA ANAK
TESIS
ERIKA.S. PANJAITAN 087103038 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBANDINGAN EFIKASI KOMBINASI ARTESUNAT-KLINDAMISIN DENGAN KININ-KLINDAMISIN PADA PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM TANPA
KOMPLIKASI PADA ANAK
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Kesehatan Anak/ M.Ked(Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ERIKA PANJAITAN 087103038/IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Perbandingan Efikasi Kombinasi Artesunat- Klindamisin dengan Kinin-Klindamisin pada pengobatan Malaria Falsiparum tanpa komplikasi pada anak
Nama Mahasiswa : Erika. S. Panjaitan
Nomor Induk Mahasiswa : 087103038
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Kesehatan Anak
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), SpA(K)
Anggota
dr. Muhammad Ali, SpA(K)
Ketua Program Magister Ketua TKP-PPDS
dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) dr. H. Zainuddin Amir, SpP(K)
Telah diuji pada Tanggal:
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua: Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
MSc (CTM), SpA(K) ………
Anggota: 1. dr. Muhammad Ali, SpA(K) ………
2. ………
3. ………
4. ………
UCAPAN TERIMA KASIH
Salam sejahtera
Puji dan syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkat dan kasih-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, Msc (CTM) SpA(K), dan dr. Muhammad Ali, SpA(K), yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini. 2. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesehatan Anak sejak tahun 2011, yang telah banyak memberi waktu, tenaga dan pikiran dalam mewujudkan penelitian sehingga selesai penyusunan tesis ini.
4. dr. H. Ridwan M. Daulay, SPA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan periode 2007-2010 yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan RS. Dr.Pirngadi Medan, terutama dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, Mked(Ped), SpA , dr. Hj. Bugis Mardina Lubis, dr Inke Nadia Lubis Mked(Ped) SpA yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal, dr. Sakdiah Lubis, serta dr. Syarifuddin sebagai Kabid P2P dan PL Dinas Kesehatan Kab. Mandailing Natal pada saat penelitian ini berlangsung, yang telah berbesar hati dan ramah memberi izin, menyediakan sarana dan menyumbangkan bantuan tenaga dalam terwujudnya penelitian ini.
7. drg. Bidasari Lubis sebagai direktur rumah Sakit Umum Penyabungan saat penelitian ini berlangsung serta para perawat yang telah memberi kerja sama yang baik dalam mewujudkan penelitian ini.
8. Kepala Balai Pusat Penanggulangan Malaria pada saat penelitian ini berlangsung, Bapak Arifin Fauzi Lubis, S.Si,Apt,MM dan para kader malaria yang sudah dengan tangan terbuka menerima kami dan bekerjasama dalam kelancaran penelitian ini.
9. Kepala Sekolah beserta guru-guru dimana penelitian ini dilakukan, yang telah baik menerima dan membantu selama penelitian
11. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, dr. Trifaranita, dr. Maharani Lubis, dr. Washli Zakiah, dr. Fadli Syahputra, dr. Nelly simarmata, dr. Kholidah Nasution, dr. Tuty Ahyani, dr. Viviana, dr. Hafaz, dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk ketulusan dan mohon maaf bila ada kesalahan selama masa penelitian selama ini.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Kepada suami tercinta Karel Purba ST,dan kedua buah hatiku athalia dan philotheos, terima kasih atas doa, dukungan dan pengertian yang begitu besar selama penelitian dan penyusunan tesis ini. Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya E.Panjaitan dan Nurselly Simarmata maupun ibu mertua Rochni saragih, kakanda dan adinda yang sangat penulis sayangi, dr. Bintang, Timbul, Jaya, mama olive, karlo, chlara, terima kasih karena selalu mendoakan saya dan memberikan bantuan moril dan materil. Semoga budi baik yang telah diberikan Tuhan yang membalaskanNya.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, September 2012
DAFTAR ISI
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
BAB 4. HASIL 31
BAB.5.PEMBAHASAN 39 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 45
BAB 7. RINGKASAN 47
Daftar Pustaka 50
Lampiran
1. Persetujuan komite etik 2. Personil penelitian 3. Biaya penelitian 4. Jadwal penelitian
5. Penjelasan dan persetujuan kepada orang tua 6. Kuisioner penelitian
7. Tabel pemantauan pasien 8. Master Data
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik dasar partisipan 33
Tabel 4.2 Respon Pengobatan 35
Tabel 4.3 Perbedaan angka kesembuhan 36
Tabel 4.4. Perbedaan angka penurunan parasit 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian 21
Gambar 4.1. Profil penelitian 32
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
ACT : Artemisinin combination therapy
ACPR : Adequate clinical and parasitology response
AK : artesunat-klindamisin KK : kinin-klindamisin
PR : Parasite rate
ETF : Early treatment failure
LTF : Late treatment failure
PCR : Polymerase Chain Reaction
P. falciparum : Plasmodium falciparum
P. vivax : Plasmodium vivax
P. ovale : Plasmodium ovale
WHO : World Health Organization
Zβ : Deviat baku normal untuk β
Abstrak
Latar belakang. Saat ini kombinasi antimalaria termasuk artemisinin sering tidak sesuai secara farmakokinetika sehingga berpotensi untuk resistensi. Untuk itu penilaian terhadap kombinasi artemisinin dengan obat yang mempunyai waktu paruh yang pendek diperlukan dalam pengobatan Malaria Falciparum tanpa komplikasi pada anak.
Tujuan. Untuk membandingkan efikasi kombinasi artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria Falciparum tanpa komplikasi pada anak.
Metode. Penelitian dilakukan dengan metode uji klinis acak terbuka yang dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2010 di Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada anak usia 7 sampai 12 tahun. Kelompok I menerima kombinasi artesunat-klindamisin (artesunat, 2 mg/kg/hari, dan artesunat-klindamisin, 7 mg/kg, perdosis) dan Kelompok II menerima kombinasi kinin-klindamisin (kinin, 15 mg/kgbb/hari, dan klindamisin, 7mg/kgbb/dosis). Kedua kelompok tersebut diberikan obat dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Partisipan dipantau hari 1, 2, 3, 7, 14, dan 28. Hasil yang dinilai berupa adequate clinical and parasitological response (ACPR), waktu bebas parasit, penurunan jumlah parasit dan efek samping. Analisis didasarkan intention to treat analysis.
Kesimpulan. Kombinasi AK memiliki efikasi yang lebih tinggi daripada KK untuk pengobatan Malaria Falsiparum tanpa komplikasi pada anak.
Kata kunci. Artesunat-klindamisin, kinin-klindamisin, Malaria Falsiparum tanpa komplikasi
Bacground. Currently, antimalaria drug combination that include artemisinin are pharmacokinetically unmatched, therefore it could potentially increase resistance. That’s why we need to assess the potential value combination artemisinin based combination therapy with a short elimination half life drug for the treatment of uncomplicated falciparum malaria in children
Objective. To compare the efficacy of artesunate-clindamycin and quinine-clindamycin combination in treatment of uncomplicated falciparum malaria
Methods. An open randomized controlled trial was conducted on October to November 2010 at Mandailing Natal, North Sumatera Province, Indonesia. This study was done at 7 until 12 years old children. Group I received artesunate-clindamycin combination (artesunate, 2 mg/kg, and clindamycin, 7 mg/kg, per dose). Group II received a standart quinine-clindamycin regimen (quinine, 15 mg/kg, and quinine-clindamycin, 7 mg/kg, per dose). Both groups recieved twice daily for 3 consecutive days. Participants were followed-up on day 1, 2, 3,7, 14, and 28. The outcomes were adequate clinical and parasitological response (ACPR), parasite reduction, parasite clearance time, and adverse events. Analysis was based on intention to treat.
Conclusion. Artesunate-clindamycin combination has higher efficacy than quinine-clindamycin combination for the treatment uncomplicated falciparum malaria in children.
Abstrak
Latar belakang. Saat ini kombinasi antimalaria termasuk artemisinin sering tidak sesuai secara farmakokinetika sehingga berpotensi untuk resistensi. Untuk itu penilaian terhadap kombinasi artemisinin dengan obat yang mempunyai waktu paruh yang pendek diperlukan dalam pengobatan Malaria Falciparum tanpa komplikasi pada anak.
Tujuan. Untuk membandingkan efikasi kombinasi artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria Falciparum tanpa komplikasi pada anak.
Metode. Penelitian dilakukan dengan metode uji klinis acak terbuka yang dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2010 di Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada anak usia 7 sampai 12 tahun. Kelompok I menerima kombinasi artesunat-klindamisin (artesunat, 2 mg/kg/hari, dan artesunat-klindamisin, 7 mg/kg, perdosis) dan Kelompok II menerima kombinasi kinin-klindamisin (kinin, 15 mg/kgbb/hari, dan klindamisin, 7mg/kgbb/dosis). Kedua kelompok tersebut diberikan obat dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Partisipan dipantau hari 1, 2, 3, 7, 14, dan 28. Hasil yang dinilai berupa adequate clinical and parasitological response (ACPR), waktu bebas parasit, penurunan jumlah parasit dan efek samping. Analisis didasarkan intention to treat analysis.
Kesimpulan. Kombinasi AK memiliki efikasi yang lebih tinggi daripada KK untuk pengobatan Malaria Falsiparum tanpa komplikasi pada anak.
Kata kunci. Artesunat-klindamisin, kinin-klindamisin, Malaria Falsiparum tanpa komplikasi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malaria merupakan infeksi parasit yang menyebabkan kematian dan kesakitan pada anak dan orang dewasa di negara-negara tropis dan
subtropis.1 Diperkirakan 40% populasi penduduk dunia tinggal di daerah endemis dan terdapat 300 sampai 500 juta kasus yang dilaporkan dengan
1,5 sampai 2,7 juta kematian tiap tahunnya.2 Di Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kasus kematian setiap tahunnya.1 Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah dengan insidens malaria
tertinggi di Sumatera Utara dengan parasite rate (PR) sebesar 10,65%.3
Kematian disebabkan oleh Plasmodium falciparum diperkirakan
46%. Anak dibawah lima tahun, wisatawan non-imun, ibu hamil mudah diserang infeksi berat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan ditemukannya plasmodium pada darah tepi penderita. Upaya
untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis
dini, pengobatan yang cepat dan tepat, surveilens dan pengendalian vektor yang semuanya ditujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria.1,4
Faktor penting penyebab meningkatnya kematian akibat malaria adalah terjadinya resistensi antimalaria yang meluas terutama terhadap
berbagai tempat di Indonesia menunjukkan angka resistensi terhadap
klorokuin yang cukup tinggi di Irian Jaya sekitar 75% sampai 95% dan di daerah Mandailing Natal Sumatera Utara dimana resistensi terhadap klorokuin sekitar 32% dan terhadap sulfadoksin-pirimetamin 29%.3
Departemen Kesehatan Republik Indonesia sejak akhir tahun 2004 merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin dan sulfadoksin
pirimetamin mengikuti program World Health Organization (WHO) menjadi
artemisinin based combination therapy yang disingkat dengan ACT untuk mengatasi kasus resistensi. Regimen ACT yang tersedia di Indonesia saat
ini adalah artesunate-amodiakuin dimana digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk pengobatan Malaria falsiparum tanpa komplikasi.4
Selain gabungan artesunat-amodiakuin, kombinasi lain yang dianjurkan WHO yaitu kombinasi artesunat dengan klindamisin.6
Penggunaan obat secara kombinasi dapat mengurangi cepatnya
perkembangan resistensi serta meningkatkan efek obat secara sinergis.7 Kombinasi artemisinin saat ini adalah terdiri dari derivat artemisinin
dengan waktu paruh cepat dikombinasi dengan antimalaria dengan waktu paruh yang panjang. Walaupun berdasarkan hasil penelitian hasilnya baik di daerah yang endemisitas malarianya rendah tetapi tidak ideal
digunakan untuk daerah yang endemisitas malarianya tinggi dimana berisiko untuk terjadinya resistensi. Kombinasi antimalaria yang ideal pada
adalah sama. Kombinasi artesunat dan klindamisin mempunyai
karakteristik farmakokinetik yang sama yaitu keduanya memiliki waktu paruh yang cepat sehingga dipikirkan dapat menurunkan resistensi obat. 8
Kombinasi lain yang mempunyai profil farmakokinetik yang sama
adalah kombinasi kinin-klindamisin. Kombinasi ini merupakan kombinasi non artemisinin yang dianjurkan WHO sebagai pilihan kedua dalam
mengatasi Malaria falsiparum tanpa komplikasi pada anak di daerah resistensi obat.9 Penelitian di Gabonese menunjukkan kombinasi artesunat-klindamisin baik dan aman diberikan pada anak, waktu
hilangnya parasit dan demam lebih singkat dibandingkan kinin-klindamisin namun jumlah kesembuhan pada hari ke-28 antara
artesunat-klindamisin dengan kinin-artesunat-klindamisin tidak menunjukkan perbedaan bermakna.8
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka
diperlukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan efikasi antara kombinasi artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin sebagai alternatif dalam pengobatan Malaria falsifarum tanpa komplikasi pada
1.3. Hipotesis
Ada perbedaan efikasi gabungan artesunat-klindamisin dibandingkan kinin-klindamisin dalam pengobatan Malaria falsiparum tanpa komplikasi pada anak
1.4. Tujuan Penelitian
Untuk membandingkan efikasi gabungan artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin sebagai pengobatan Malaria falsiparumtanpa komplikasi pada anak
1.5. Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan terapi alternatif lain yang efektif dalam pengobatan Malaria falsiparum tanpa komplikasi pada anak secara tuntas dengan waktu pemakaian yang singkat.
2. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat ilmiah dalam penanganan Malaria falsiparum pada anak terutama di daerah
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Malaria Falsiparum
Malaria terjadi bila eritrosit diinvasi oleh salah satu dari empat spesies parasit protozoa genus plasmodium yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk anoples betina. Spesies plasmodium yang dapat menginfeksi manusia ada empat, yaitu P. malariae, P. vivax, P. falciparum, dan P. ovale dimana P. falciparum merupakan dahulu dikenal dengan ”malaria
subtertiana” atau “ malaria tertiana maligna” yang dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis akut dan jika tidak diobati dapat mematikan.
Penularan bisa langsung melalui gigitan nyamuk, transfusi darah serta dari ibu hamil ke bayinya.10,11
2.2. Siklus Hidup Plasmodium
Siklus hidupnya plasmodium mempunyai 2 hospes yaitu pada manusia dan nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut
skizogoni dan siklus seksual yang membentuk sporozoit dalam nyamuk disebut sporogoni. 10
2.2.1. Siklus aseksual
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk anoples betina dimasukkan ke dalam darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut. Sporozoit itu
dan merozoit keluar dengan bebas. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer
yang berlangsung selama lebih kurang dua minggu. Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi sel darh merah (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin
kecil yang dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin disebut tropozoit. Tropozoit berkembang menjadi skizon muda,
kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah banyak menjadi merozoit, pigmen dan sisa sel keluar memasuki plasma darah. Siklus eritositer ini yang menyebabkan timbulnya gejala malaria. Setelah 2
sampai 3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan
betina).11-12
2.2.2. Siklus seksual
Terjadi dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual
(sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8 sampai 12 hari. Makrogametosit dan mikrogametosit yang ada di lambung nyamuk
berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Di tempat ini ookinet membesar disebut
darah. Siklus tersebut disebut masa tunas ekstrinsik.11,12 Siklus hidup
parasit malaria dapat dilihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1. Siklus hidup parasit malaria 2
2.3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita malaria sangat beragam, dari yang tanpa
gejala sampai dengan berat. Pada awal gejala dilaporkan lebih dari 60% terjadi misdiagnosis. Manifestasi klinis dipengaruhi oleh status kekebalan
Secara klinis gejala malaria dapat berupa serangan demam dengan
interval tertentu (paroksismal), yang diselingi oleh suatu periode laten (periode bebas demam). Sebelum demam biasanya pasien merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual dan muntah. 1
Periode paroksismal biasanya terdiri dari tiga fase yaitu:10
1. Stadium dingin : perasaan dingin, menggigil, berkisar 15 sampai 60
menit
2. Stadium demam : perasaan kulit terbakar, sakit kepala, berkisar 2 sampai 6 jam
3. Stadium berkeringat : keringat berlebihan, penurunan temperatur, kelelahan dan lemah sampai tertidur, berkisar 2 sampai 4 jam
Masa inkubasi bervariasi antara 9 sampai 30 hari tergantung pada spesies parasit. Pada Plasmodium falciparum masa inkubasinya 10 sampai 13 hari.15 Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria,
manifestasi klinis dikelompokkan menjadi :13
a. Malaria ringan atau tanpa komplikasi
Malaria ini umumnya asimtomatik dan ringan yaitu sakit kepala, demam, menggigil, mual, mialgia, muntah tanpa kelainan fungsi organ.Gejalanya dapat menyerupai infeksi virus atau gastroenteritis akut. Biasanya
b. Malaria berat atau dengan komplikasi
Malaria berat adalah Malaria falsiparum yang fatal atau malaria dengan komplikasi dimana kemungkinan penyakit lain sudah dapat disingkirkan. Lebih kurang 10% dari penderita Malaria falsiparum adalah malaria berat
dengan angka kematian 18,8% sampai 40%.13 Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera di bawah ini merupakan malaria
berat, antara lain:16
• Malaria cerebral dengan kesadaran menurun
• Anemia berat, kadar hemoglobin ≤ 5 gr/dl
• Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolik) dan
gangguan elektrolit • Hipoglikemia berat
• Kejang umum yang berulang
• Gagal ginjal
• Edema paru akut
• Kegagalan sirkulasi
• Kecenderungan terjadi perdarahan
• Hiperparasitemia
2.4.Diagnosis malaria
Diagnosis malaria tergantung pada identifikasi parasit dalam darah. Diagnosis malaria dapat diidentifikasi dengan mikroskop dengan pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk mengidentifikasi spesies dan
kepadatan parasit dalam darah. Pada Malaria falsiparum pada awalnya dijumpai hanya parasit muda berbentuk cincin (ring form), eritrosit tidak membesar, dan beberapa cincin mempunyai dua inti (double dots).
Tropozoit dan skizon jarang ditemukan pada darah tepi, bila ditemukan maka menunjukkan malaria berat. Gametosit yang bentuknya seperti
pisang atau bulan sabit bergabung sesudah 10 hari. Pada awalnya parasit harus dicari pada preparat darah tebal.17 Hal ini dapat dilihat pada gambar
2.2
Gambar 2.2. A : Parasit muda berbentuk cincin. B: Skizon yang matang C : Gametosit berbentuk pisang2
Pewarnaan yang paling baik adalah menggunakan larutan Giemsa 3%
Diagnostic Test / RDTs) yang mudah dilakukan dengan menggunakan
asas imunokromatografi yang menggunakan antibodi monoklonal yaitu
HRP-2 (Histidine Rich Protein) untuk Plasmodium falciparum dan pLDH
(parasite Lactate Dehydrogense) untuk mengetahui Plasmodium vivax
sebagai indikator infeksi, tes serologis dan polymerase chain reaction
(PCR) yang mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Adanya
berbagai variasi gejala maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit yang lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis atau hepatitis.11,17
2. 5. Pengobatan Malaria falsiparum tanpa Komplikasi
Berdasarkan pedoman WHO bila ditemukan resistensi terhadap klorokuin
di suatu daerah > 25%, maka tidak dianjurkan lagi untuk menggunakan klorokuin sebagai antimalaria.11 Kabupaten Mandailing Natal di Sumatera Utara pada tahun 1994 telah dinyatakan oleh Departemen Kesehatan
sebagai daerah yang resisten terhadap klorokuin dengan penyebaran yang tidak merata.3
Meningkatnya kasus resistensi terhadap sejumlah obat antimalaria, WHO menganjurkan semua negara yang resisten terhadap klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, amodiakuin menjadi pengobatan berbasis
kombinasi yaitu ACT pada pengobatan malaria tanpa komplikasi.6 Terapi kombinasi merupakan pengobatan dengan menggunakan lebih dari satu
kerja yang berbeda dan target biokimiawi parasit yang berbeda pula.18,19
Pengobatan dengan kombinasi sepuluh kali lipat lebih mahal dari obat standar bila dilihat dari segi biaya. Artemisinin dipilih sebagai basis terapi kombinasi malaria dikarenakan 98% sangat efektif pada daerah yang
resistensi, respon terapi cepat, dapat ditoleransi baik, efek samping minimal, kemampuannya menurunkan parasitemia lebih cepat sepuluh kali
daripada obat antimalaria lainnya.20 Dua juta kasus dilaporkan telah diobati tanpa ada efek toksik, diabsorpsi cepat melalui oral, dapat mengurangi karier gametosit dan belum ada laporan resistensi walaupun
sudah lama digunakan di negara Cina, waktu paruh pendek dan aktivitasnya luas dan sangat kuat.11 Derivat artemisinin adalah artemeter,
artesunat, dihydroartemisinin, artemotil. Uji klinik kombinasi artemisinin dengan sulfadoksin-pirimetamin untuk pengobatan Malaria falsiparum di Papua menunjukkan resiko kegagalan pengobatan dengan kombinasi
jauh lebih kecil (RR=0.3) dibandingkan dengan hanya sulfadoksin- pirimetamin.21
Berdasarkan penelitian di Gabonese kombinasi artesunat dan klindamisin dipilih disebabkan efikasi sangat baik, ideal pada daerah endemisitasnya tinggi, dan mempunyai toleransi yang baik. Kombinasi
artesunat dan klindamisin merupakan pilihan kedua yang direkomendasikan WHO dan merupakan salah satu kombinasi yang
2.5.1. Artesunat
Artesunat merupakan adalah hemisuccinate yang larut dalam air yang
merupakan derivat artemisinin. Artesunat dapat diberikan dalam bentuk oral, rektal dan intravena. Setiap tablet mengandung 50 mg atau 200 mg
sodium artesunat.22
Gambar 2. 3. Rumus bangun artesunat22
Farmakokinetik
Artesunat cepat diabsorpsi dengan waktu paruh lebih kurang 45 menit dan
konsentrasi puncak plasma 1,5 jam bila diberikan oral, 2 jam bila diberikan rektal, dan 30 menit bila diberikan intramuskular. Artesunat peroral cepat dimetabolisir menjadi dihidroartemisinin. Dosis artesunat pada malaria
tanpa komplikasi 4 mg/kgBB/ hari untuk tiga hari.23
Farmakodinamik
Cara kerja artesunat sama dengan derivat artemisinin lainnya yaitu dengan mengikat besi pada pigmen malaria untuk menghasilkan radikal bebas yang akan berinteraksi dan merusak protein parasit mulai dari
kepala, mual, muntah, nyeri perut,diare. Obat ini aman namun penelitian in vitro disebutkan pada dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan
neurotoksik. Rekrudensi dan resistensi dilaporkan sering muncul bila digunakan monoterapi sehingga harus selalu dengan obat skizontosidal
lainnya.23
2.5.2. Klindamisin
Klindamisin merupakan antibiotika linkosamide yang mengandung antiplasmodium yang dapat diberikan pada anak. Obat ini pada malaria bersifat skizontosida darah untuk Plasmodium falciparum yang resisten
terhadap klorokuin, mempunyai waktu paruh yang cepat, aman dan toleransi yang baik sebagai antimalaria. Selain itu, klindamisin juga
mempunyai efek bakteriostatik dan digunakan sebagai terapi bakteri gram positif.22,24
Farmakokinetik
Absorpsi klindamisin 90% diserap baik dengan pemberian oral dan adanya makanan tidak mempengaruhi absorpsi tersebut. Klindamisin fosfat dan palmitat dihidrolisis dengan cepat menjadi bentuk bebas
dengan konsentrasi puncak plasma 45 menit. Waktu paruh klindamisin adalah dua jam namun dapat lebih lama pada neonatus dan dengan
adanya gangguan fungsi ginjal. Klindamisin didistribusi dengan baik ke jaringan dan tulang, kecuali ke cairan serebrospinal. Hanya sekitar 10% klindamisin dieksresikan dalam bentuk asal melalui urin, sejumlah kecil
melalui feses. Diare dilaporkan terjadi pada 2% sampai 20% penderita yang mendapat obat ini. Pada sebagian kasus dapat terjadi kolitis yang
dapat berakibat fatal.22,24
Farmakodinamik
Klindamisin bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis protein
yang kaya akan histidin di mitokondria pada Plasmodium falciparum dan menghambat pembentukan merozoit di eritrosit. Invitro, klindamisin dan ketiga metabolitnya memiliki efek inhibisi yang kuat terhadap P.falciparum.
Dosis klindamisin 7 mg/kgbb/dosis. 24
2.5.3. Kinin
kuinidin, kinkonin, dan kinkinidin. Kinin merupakan bentuk L—
stereoisomer dari kuinidin. 22
Gambar 2.5. rumus bangun kinin22
Pemberian kinin secara oral untuk mempertahankan konsentrasi terapeutik diberikan 5 sampai 7 hari. Kinin adalah obat yang mempunyai
efektivitas yang tinggi namun obat ini ditoleransi dengan buruk jika pemakaiannya terlalu lama. Kombinasi kinin dengan beberapa antibiotika seperti klindamisin, doksisiklin, tetrasiklin akan meningkatkan efikasi kinin
dibandingkan hanya dengan kinin terutama di daerah resistensi antimalaria. Kombinasi kinin dengan klindamisin diberikan selama tiga hari
dan kombinasi ini dapat diberikan pada anak dan ibu hamil.9
Farmakokinetik
Kinin diserap baik terutama melalui usus halus bagian atas. Kadar
puncaknya dalam plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah suatu dosis tunggal. Kira-kira 70% dari kinin dalam plasma terikat pada protein, dan ini menjelaskan rendahnya kadar kina dalam cerebrospinal fluid yaitu
sampai 12 jam. Distribusinya luas, terutama ke hati, tetapi kurang ke paru,
ginjal dan limpa. Alkaloid kinkona diekskresikan terutama melalui urin dan sebagian kecil melalui tinja, getah lambung, empedu, dan liur. Ekskresi lengkap dalam 24 jam. Pemakaian kina dengan dosis harian 600 sampai
1500 mg menimbulkan efek samping yang disebut chinconisme dengan gejala pusing, nyeri kepala, gangguan pendengaran, tinnitus, mual,
tremor, depresi dan penglihatan kabur.22
Farmakodinamik
Kinin bekerja dengan menghambat detoksifikasi haem parasit dalam
vakuola makanan, namun mekanismenya tidak jelas diketahui. Kinin juga secara aktif melawan parasit malaria bentuk eritrositik aseksual namun tidak membunuh bentuk gametosit dewasa Plasmodium falciparum. Kinin
juga membunuh bentuk seksual P.vivax, P.malariae, dan P.ovale. Kinin juga tidak membunuh parasit malaria bentuk preeritrositik.22
2.5.4. Efektivitas kombinasi artesunat–klindamisin
Karakteristik obat merupakan unsur penting dalam menentukan resistensi.
Kombinasi antimalaria yang ideal pada daerah malaria transmisi tinggi adalah apabila profil farmakokinetik kedua obat adalah sama.18 Kombinasi artesunat dan klindamisin mempunyai karekteristik farmokinetik yang
WHO menganjurkan kombinasi artesunat dan klindamisin menjadi
alternatif dengan waktu pemberian tujuh hari.7 Namun penelitian di Gabonese membuktikan bila artesunat dikombinasi dengan klindamisin dengan pemberian dua kali sehari selama tiga hari, efikasi
kesembuhannya 100% pada hari ke 14, tidak dijumpai efek samping yang berat dan ditoleransi baik.8 Klindamisin dipilih oleh karena aman pada
anak dan mempunyai toleransi yang baik sebagai anti malaria. Berdasarkan uji klinis dan sistematic review dari tahun 1970 sampai 1990, klindamisin mempunyai efikasi yang baik, aman, dan mudah tersedia.
Klindamisin yang digunakan sebagai monoterapi, menunjukkan respon kesembuhannya rendah oleh karena klindamisin bekerja lambat, namun
bila klindamisin dikombinasi dengan obat dengan waktu paruh yang cepat maka potensiasinya sebagai anti malaria meningkat.24
Selain artesunat-klindamisin kombinasi alternatif lain yang
mempunyai profil farmokinetik yang sama adalah kinin-klindamisin.8 Kinin-klindamisin merupakan kombinasi non-ACT yang direkomendasikan
WHO. Pada penelitian metaanalisis dilaporkan waktu hilangnya parasit pada kombinasi artesunat-klindamisin lebih cepat dibandingkan kinin-klindamisin.9 Pada penelitian di Gabonese dilaporkan jumlah kesembuhan
antara kombinasi artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin secara statistik tidak berbeda bermakna namun waktu hilangnya demam dan
Penelitian in vitro kombinasi artesunat-klindamisin ini dianggap
menjanjikan karena interaksi kerjanya bersifat sinergis dan adiktif dan tidak ditemukan efek antagonisme. Kombinasi ini memenuhi kriteria kombinasi rasional dimana kedua obat ini sudah sejak lama dikenal
sebagai antimalaria, waktu pemberian singkat yaitu tiga hari, mempunyai efikasi yang sangat tinggi, dapat ditoleransi baik, cukup tersedia di banyak
2.6. KERANGKA KONSEP
Mosquito bite rate Genangan air Musim
Iklim
Kelembaban
Host Vektor Lingkungan
Penularan alamiah Penularan tidak alamiah Secara Oral
Kongenital
Secara mekanik
Infeksi Malaria falsiparum
Absorpsi Distribusi Metabolisme Ekskresi Skizontosidal darah
Skizontosidal darah
Gametosidal Vakuola makanan parasit
Ikatan endoperoksida
Artesunat Klindamisin Kinin
Menghambat merozoit di eritrosit
Efikasi : - Kesembuhan
- Penurunan jumlah parasit
Resistensi Reinfeksi
Tidak patuh makan obat
Sering ke luar pada malamhari
Obat yang diteliti
Kontrol
BAB.3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain
Penelitian ini merupakan uji klinis acak terbuka yang membandingkan
kombinasi artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin sebagai pilihan lain dalam pengobatan Malaria falsiparum tanpa komplikasi.
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara pada bulan Oktober sampai
November 2010.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak sekolah dasar yang berusia 7 sampai 12 tahun yang menderita malaria. Populasi terjangkau adalah anak Sekolah Dasar yang menderita Malaria falsiparum di Penyabungan. Sampel
adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi independen, yaitu :26
n1 =n2 = (Zα √2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2 )2
n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok I
n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok II α = kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95%
Zα = nilai baku normal = 1,96
β = kesalahan tipe II = 0,2 → Power (kekuatan penelitian) 80%
Zβ = 0,842
P1 = proporsi sembuh untuk kelompok I (yang diteliti) = 0,99
P2 = proporsi sembuh untuk kelompok II ( kontrol) = 0,90 9 P = P1+P2
2 Q = 1 – P
Perbedaan sembuh yang diharapkan adalah( 0,99-0,90) = 0,09→
9% maka :
P1 = 0,99 dan P2 = 0,90 P = ½ (0,99 + 0,90 )= 0,94
Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 100 orang.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi
1. Penderita dengan gejala malaria tanpa komplikasi berusia 7 sampai 12 tahun yang bersedia mengikuti penelitian, dibuktikan dengan mengisi
2. Dijumpai Plasmodium falcifarum pada pemeriksaan darah tepi
3. Mampu minum obat oral secara teratur
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Penderita Malaria falsiparum berat seperti gangguan kesadaran , distress pernafasan dan kejang.
2. Terdapat riwayat hipersensitif terhadap obat yang diteliti
3. Mengkonsumsi obat anti malaria selain obat yang diteliti selama masa penelitian
4. Adanya penyakit berat yang lain 5. Malaria campuran (mixed infection)
3.6. Persetujuan / Informed Consent
Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah
dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang dialami, pengobatan yang diberikan dan efek samping pengobatan.
3.7. Etika Penelitian
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian
1. Peneliti melakukan pemeriksaan fisik dan memperoleh riwayat penyakit. Pasien ditimbang dan dinilai berat badan dan tinggi badan 2. Setiap sampel yang memenuhi kriteria diberikan lembar Persetujuan
Setelah Penjelasan dengan memberikan penjelasan terlebih dahulu dan dikumpulkan keesokan harinya setelah lebih dahulu disetujui
oleh orang tua/wali.
3. Pemeriksaan apusan darah tepi tipis dan tebal dilakukan pada anak usia 7 sampai 12 tahun yang diduga menderita malaria pada hari
ke 0, 1, 2, 3, 7, 14 dan 28 dan dilakukan pewarnaan dengan Giemsa sesuai prosedur dan dibaca oleh analis yang terlatih. Bila ditemukan Plasmodium falcifarum pada pemeriksaan apusan darah
tepi maka anak tersebut diambil sebagai sampel penelitian kemudian dihitung jumlah parasitnya. Parasit aseksual dan seksual
dihitung dalam 200 sel darah putih. Dianggap negatif jika tidak dijumpai parasit pada 100 lapangan pandang
4. Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi secara acak sederhana dengan menggunakan amplop tertutup dimasukkan ke dalam satu dari dua kelompok perlakuan yaitu kelompok ganjil
sebagai kelompok I (artesunat-klindamisin) dan kelompok genap sebagai kelompok II (kinin-klindamisin). Kedua kelompok sampel
peneliti dan dibantu oleh tenaga analis apoteker Rumah Sakit. Obat
anti malaria diminum di depan peneliti dan jika anak muntah dalam 15 menit setelah pemberian obat, dosis yang sama diberikan kembali
Tabel 3.1. Dosis obat pada kedua kelompok sampel penelitian8
Kelompok Jenis Obat Hari Cara pemberian
Dua kali sehari setelah makan
selama 3 hari I. AK Artesunat 2 mg/kgbb/hari
Klindamisin 7 mg/kgbb perdosis
II.KK Kinin 15 mg/kgbb/hari Klindamisin 7 mg/kgbb/perdosis
5. Tim peneliti akan mengunjungi ke rumah apabila partisipan tidak hadir ke sekolah pada saat pemantauan. Apabila partisipan tersebut tidak
datang kembali pada hari ke dua dan ke tiga jadwal minum obat maka sampel tersebut dikeluarkan dari penelitian.
6. Dilakukan pemeriksaan rutin terhadap tanda dan gejala malaria, riwayat obat-obatan yang pernah dikonsumsi dan efek samping pengobatan. Pemeriksaan fisik dan apusan darah tipis dilakukan pada hari ke- 1, 2,
7. Status nutrisi dinilai berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan
.kurva CDC 2000. Pengukuran berat badan ditentukan dengan menggunakan timbangan Camry yang telah ditera sebelumnya dengan kapasitas 125 kg dengan ketepatan 0.1 kg. Pengukuran tinggi badan
diukur dengan menggunakan alat Microtoa dengan ketepatan 0.1 cm
Alur Penelitian
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
Randomisasi
Kelompok I: Artesunat-klindamisin
Selama 3 hari 2 kali sehari
Kelompok II :Kinin-Klindamisin
Selama 3 hari 2 kali sehari
Pemeriksaan darah tepi tipis dan tebal ulangan pada hari 1,2,3,7,14, dan 28
Efikasi : - Sembuh (ETF,LTF,ACPR)
- Penurunan jumlah parasit
3.9. Indentifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Jenis obat Nominal dikotom
Variabel tergantung Skala
Kesembuhan Nominal dikotom
Penurunan jumlah parasit Numerik Waktu bebas parasit Numerik
3.10. Definisi Operasional
1. Infeksi Malaria falsiparum ditetapkan apabila di dalam pemeriksaan apusan darah tepi dijumpai Plasmodium falciparum
2. Parasitemia dinilai dengan jumlah parasit per mikroliter darah dengan menggunakan rumus parasit x 8.000/200.
3. Malaria falsiparum tanpa komplikasi adalah malaria yang tidak
disertai komplikasi apapun, seperti malaria serebral dengan
kesadaran menurun, anemia berat (hemoglobin ≤ 5 g/dl), dehidrasi,
gangguan asam basa( asidosis metabolik) dan gangguan elektrolit,
hipoglikemia berat, gagal ginjal, terjadinya perdarahan, hiperpireksia, hemoglobinuria, ikterus dan hiperparasitemia.
5. Kesembuhan dinilai dari Adequate Clinical Parasitological Response
(ACPR) yaitu tidak ditemukan parasit pada hari ke-28 dan tidak dijumpai Early Treatment Failure (ETF), dan Late Treatment Failure
(LTF) sebelumnya.
6. Hipersensitif terhadap obat adalah timbulnya reaksi alergi setelah meminum obat antimalaria tersebut.
7. Penyakit berat adalah penyakit lain yang menyertai malaria seperti gizi buruk, TBC, hepatitis, penyakit jantung, dan penyakit berat lainnya.
8. Hari ke 0 adalah hari dimana anak mendapat dosis pertama obat antimalaria.
9. Hari ke 1, 2, 3, 7, 14, dan 28 adalah hari pemantauan setelah anak mendapat dosis pertama antimalaria.
10. Waktu bebas parasit adalah lamanya parasit tidak dijumpai lagi
pada pemeriksaan darah tepi yang dihitung setelah pemberian obat antimalaria dosis pertama.
11. Penurunan jumlah parasit dinilai dari parasitemia sebelum pemberian obat dengan parasitemia pada hari ke 3.
12. Efek samping adalah tanda, gejala, penyakit yang muncul setelah
hari ke 0 yang diduga akibat obat yang diberikan.
13.Gejala klinis malaria dapat berupa demam, riwayat demam 48 jam
15. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu kriteria berikut early treatment failure dan late treatment failure
16. Early treatment failure jika antara hari 1 dan 3 dijumpai malaria berat atau parasitemia hari ke 2 lebih tinggi dari hari ke 0, ataupun
parasitemia hari ke 3 lebih dari 25 % hari ke 0 dan jika hari 3 dijumpai demam dan parasitemia
17. Late treatment failure jika ditemukan tanda bahaya atau malaria
berat setelah hari ke 3 disertai dengan parasitemia atau pasien dengan parasitemia dan demam antara hari ke 3 hingga 28 dan
secara parasitologis masih ditemukan parasitemia hari 7,14, dan 28
3.11. Pengolahan dan Analisis data
Data yang terkumpul diolah, dianalisis, dan disajikan dengan SPSS for WINDOWS 15 (SPSS Inc. Chicago). Batas kemaknaan P < 0.05.
Analisis data untuk menilai variabel kategorikal digunakan uji kai kuadrat sedangkan untuk mengetahui penurunan jumlah parasit dipakai uji t independent. Penelitian ini berbasis intention to treat
BAB.4. HASIL
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di 10 Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Siabu, 2 Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Sihepeng, Poliklinik Anak RSUD
Penyabungan dan Klinik Pusat Penanggulangan Malaria Penyabungan, Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara.
Enam ratus duapuluh tiga anak yang diberi informasi tentang
penelitian dan dilakukan penapisan. Duaratus orang anak ditemukan
Plasmodium falciparum monoinfeksi pada pemeriksaan darah tepi dan
direncanakan untuk mendapat terapi. Kemudian dirandomisasi dengan menggunakan amplop tertutup menjadi 2 kelompok dimana 100 anak untuk kelompok artesunat-klindamisin dan 100 anak untuk kelompok
kinin-klindamisin.
Selama pemantauan obat dijumpai pasien yang hilang pantau
sebanyak 11 anak, yaitu 3 anak pada kelompok artesunat-klindamisin oleh karena sakit muntah-muntah, demam, mencret sedangkan kelompok kinin-klindamisin sebanyak 8 anak yang disebabkan 5 anak tidak bersedia
Gambar 4.1. Profil penelitian
Anak yang positif menderita Malaria falsiparum
(N=200 )
Randomisasi
Grup I: Artesunat-Klindamisin (n=100)
Grup II: Kinin- klindamisin (n=100)
Hilang pantau n=8 Hilang pantau n=3
100 anak menyelesaikan penelitian dan
dianalisis
100 anak menyelesaikan penelitian dan dianalisis
Anak yang diskrining Malaria falsiparum
Dari tabel 4.1. terlihat bahwa rerata umur kedua kelompok responden
adalah kelompok artesunat-klindamisin 10.5 tahun dan kinin-klindamisin 9.5 tahun. Status nutrisi pada mayoritas kedua kelompok adalah normal. Gejala klinis paling banyak adalah demam, pucat dan lemah. Sebelum
diberi pengobatan rerata parasitemia pada kelompok anak yang menerima terapi artesunat-klindamisin dan kinin-klindamisin masing-masing
sebanyak 1157.1 parasit dan 1173.7 parasit.
Respon terapi dinilai dengan menilai kegagalan pengobatan dinilai pada hari ke-3 sampai hari ke-28. Kegagalan pengobatan pada hari ke-3
disebut early treatment failure (ETF), sedangkan kegagalan pengobatan setelah hari ke-3 sampai ke-28 disebut late treatment failure (LTF).
Kesembuhan pasien dengan menilai keefektifan obat diberikan yang disebut adequate clinical parasitology response (ACPR).
Tabel 4.2 Perbedaan respon terapi kelompok pengobatan
Respon terapi
Tabel 4.2. menunjukkan kelompok anak yang menerima artesunat-klindamisin tampak lebih awal terbebas dari parasit malaria. Dari tabel 4.2, diketahui bahwa rerata waktu terbebas malaria pada kelompok
artesunat-klindamisin adalah 7 hari sedangkan pada kelompok kinin dan artesunat-klindamisin membutuhkan waktu hingga 8.5 hari dengan nilai P= 0.0001.
Respon terapi ditunjukkan lebih baik oleh anak yang menerima terapi artesunat-klindamisin. Jumlah anak-anak yang sembuh pada kelompok ini jauh melebihi kesembuhan dari kelompok
kinin-klinidadamisin, yaitu masing-masing sebanyak 95 orang (95%) dan 61 orang (61 %). ETF pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna namun
LTF secara signifikan lebih tinggi dijumpai pada kelompok kinin-klindamisin
Tabel 4.3. Perbedaan angka kesembuhan pada kelompok pengobatan
Tabel 4.3. menunjukkan angka kesembuhan berbeda signifikan hanya
pada hari ketiga dan ketujuh setelah pemberian terapi. Angka kesembuhan pada kelompok artesunat- klindamisin tampak lebih baik bila dibandingkan dengan angka kesembuhan yang dicapai oleh kelompok
kinin - klindamisin, dari pengamatan hari ketiga sampai hari ke-28.
Angka kesembuhan tertinggi pada kelompok terapi
artesunat-klindamisin dicapai pada hari ketiga dan ke-14 yaitu sebesar 97%. Sedangkan pada kelompok terapi kinin-klindamisin, angka kesembuhan yang paling baik adalah pada hari ke-14 dan ke-28 setelah pemberian
terapi, dengan tingkat kesembuhan mencapai 92%.
Tabel 4.4. Perbedaan angka penurunan parasit
Dari tabel 4.4. menunjukkan penurunan persentase parasit pada
kelompok anak yang mendapat artesunat-klindamisin lebih besar dibandingkan kelompok anak yang memperoleh terapi kinin-klindamisin. Pada hari ketiga dan ketujuh setelah pemberian kedua terapi, terdapat
perbedaan yang signifikan dimana pada kelompok dengan terapi artesunat-klindamisin penurunan parasit mencapai 81.16% dan 96.5%
sedangkan pada kelompok terapi yang lain hanya 76.16% dan 89.22%. Pada pengamatan hari ke-14 dan ke-28 persentase penurunan parasit pada responden yang memperoleh kinin-klindamisin sudah mencapai
92%, tidak berbeda bermakna dengan penurunan parasit pada anak yang memperoleh terapi artesunat-klindamisin yaitu sebesar 97% dan 96% (P>0.05)
Tabel 4.5. Efek Samping yang dialami anak selama 28 hari pengamatan
Tabel 4.5. menunjukkan beberapa efek samping dapat timbul pada
pemberian obat. Efek samping yang timbul adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Efek samping ini terjadi pada hari pertama pemberian obat, baik pada kelompok artesunat-klindamisin maupun pada kelompok
kinin-klindamisin. Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan kejadian efek samping antara kedua kelompok .
BAB 5. PEMBAHASAN
Masalah utama pada pengobatan malaria adalah terjadinya kegagalan
pengobatan yang disebabkan oleh regimen yang tidak tepat dan makin
meningkatnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat antimalaria.11
Kecepatan penyebaran resistensi obat antimalaria tidak sama pada
masing-masing daerah atau negara. Beberapa faktor yang menyebabkan
berkembangnya resistensi yaitu kemampuan parasit untuk melakukan mutasi
genetik, penggunaan obat yang tidak tepat, karakteristik obat, dan perpindahan
penduduk endemis ke daerah endemis lainnya dengan membawa parasit
resisten.27,28 Resistensi obat mengakibatkan meningkatnya kasus malaria 21
Salah satu upaya untuk memperlambat perkembangan resistensi adalah dengan
pengobatan kombinasi yang berbasis artemisinin dengan tujuan untuk
meningkatkan efikasi tanpa meningkatkan toksisitas.28
Penelitian in vivo tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi
Sumatera Utara tercatat kasus resistensi terhadap klorokuin sebesar 47.5% dan
sulfadoksin-pirimetamin 50%.7 Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal
pada tahun 1994 telah dinyatakan Departemen Kesehatan RI sebagai daerah
yang resisten klorokuin dengan penyebaran tidak merata.11 Tingginya angka
resistensi pada kabupaten ini menjadi salah satu alasan kami untuk melakukan
penelitian di daerah ini dengan memberikan terapi kombinasi berbasis
artemisinin. Pada penelitian kami dari 623 anak yang dilakukan pemeriksaan
darah tepi didapatkan 200 anak yang positif malaria falsiparum dengan
Gambar 5.1. Peta kabupaten Mandailing Natal30
Subyek penelitian kami adalah anak sekolah dasar dengan rerata usia 10
tahun dengan jumlah anak laki-laki dan perempuan hampir sama pada kedua
kelompok. Malaria masih merupakan penyebab penyakit yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas tingggi khususnya anak di daerah tropis. Kelompok
risiko terserang malaria adalah anak dan wanita hamil terutama kelompok sosial
ekonomi rendah 29 Penelitian yang dilakukan di beberapa sekolah di Nigeria
menunjukkan bahwa PR sangat tinggi pada anak usia sekolah 8 sampai 10 tahun
dengan insidens 26 per 100 anak sekolah per tahun.31 Morbiditas anak sekolah
dasar biasanya 30% lebih rendah dibandingkan anak usia prasekolah. Penelitian
di Srilangka menunjukkan malaria tanpa komplikasi dapat mengakibatkan
penurunan kemampuan kognitif anak dan ketidakhadiran anak di sekolah dimana
tiap kali serangan rata-rata anak absen 2 sampai 5 hari.32
Pada penelitian ini, status nutrisi anak terbanyak adalah normal bila dilihat
berdasarkan tinggi badan terhadap umur dan berat badan terhadap tinggi badan
bahkan ada status nutrisinya obes. Namun perlu penelitian lebih lanjut tentang
hubungan antar status nutrisi dengan kepadatan parasit. Malaria falsiparum dan
malnultrisi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak
walaupun hubungan antara keduanya masih belum jelas diketahui. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa infeksi Plasmodium falciparum dapat
menyebabkan kehilangan berat badan akut. Lima penelitian yang dilakukan di
Madagaskar, Nigeria, Chad, Gambia, dan Senegal menunjukkan pasien gizi
buruk 1,3 sampai 3,5 kali lebih banyak yang meninggal dibandingkan gizi
baik.33,34 Anak yang kurang gizi akan meningkatkan kecenderungan menderita
malaria yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti penurunan limfosit T,
gangguan formasi antibodi, penurunan formasi komplemen, atrofi timus serta
jaringan limfoid lain yang tidak mempunyai kekebalan yang adekuat terhadap
parasit malaria.35
Penelitian kami mendapatkan keluhan paling banyak adalah demam,
pucat dan lemah. Beberapa subjek penelitian didapati hepatomegali dan
splenomegali. Namun splenomegali lebih banyak ditemukan. Splenomegali
berhubungan dengan densitas parasit yang lebih tinggi daripada densitas parasit
pada anak tanpa splenomegali, namun tidak kami nilai pada penelitian ini. Kami
juga tidak dapat menyimpulkan adanya tropical splenomegaly syndrom pada
subjek penelitian ini karena tidak dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG.
Salah satu cara untuk penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat
sering dilaporkan adalah demam, sakit kepala, nyeri sendi, muntah, nafsu makan
menurun, kelemahan umum, gangguan pencernaan, pucat dan pada
pemeriksaan fisik terdapat splenomegali.1 Demam sebagai salah satu gejala
klasik malaria, tidak selalu harus ditemukan pada penderita malaria, terutama di
daerah endemis malaria.36,37 Di daerah tropis dan endemis malaria dapat
dijumpai tropical splenomegaly syndrome yaitu splenomegali yang menetap
setelah pengobatan antimalaria hati disertai peningkatan kadar IgM dan IgG.10,38
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi kombinasi
artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria
Falciparum tanpa komplikasi pada anak. Penelitian kami dilakukan dengan uji
klinis acak terbuka dengan 200 subjek penelitian didapatkan angka kesembuhan
artesunat-klindamisin mencapai 94% dibandingkan dengan kinin-klindamisin
mencapai 62% pada hari ke-28. Waktu hilangnya parasit pada kelompok
artesunat-klindamisin lebih cepat dibandingkan kinin-klindamisin. Tidak dijumpai
perbedaan bermakna pada ETF di kedua kelompok namun LTF lebih tinggi
secara bermakna dijumpai pada kelompok kinin-klindamisin. Penelitian ini
berdasarkan intention to treat analysis sehingga subyek penelitian yang hilang
pantau tetap ikut dianalisis.
Pengobatan kombinasi berbasis artemisinin/ ACT merupakan terapi
terbaik yang digunakan saat ini untuk mengatasi resistensi obat di Afrika,
Amerika dan Asia.39 Penelitian metaanalisis di Uganda mendapatkan kombinasi
berbasis artemisinin mempunyai efikasi yang lebih baik daripada kombinasi
dengan non artemisinin.40 Penelitian di Vietnam mendapatkan monoterapi
artemisinin dapat menurunkan gejala klinis dan membersihkan parasit dengan
yaitu 5 sampai 7 hari.41 Tujuan pengobatan kombinasi adalah untuk
meningkatkan efikasi, mempersingkat pengobatan, meningkatkan kepatuhan dan
menurunkan resistensi dengan menggunakan dua jenis obat skizontosidal atau
lebih yang memiliki kerja yang berbeda dengan target biokimiawi parasit yang
berbeda pula.18
Penelitian di Gabonese menunjukkan perbandingan artesunat dan
klindamisin dengan kinin-klindamisin dengan pemberian dua kali perhari selama
tiga hari berturut-turut didapatkan angka kesembuhan tidak berbeda secara
bermakna pada hari ke 28 (87% dan 94%) namun waktu hilangnya parasit lebih
cepat pada kelompok artesunat-klindamisin.8
Penelitian kami mendapatkan angka kesembuhan tertinggi pada
kelompok artesunat-klindamisin telah dicapai pada hari ketiga dan ketujuh yaitu
97% (P=0.001) sementara pada kelompok kinin-klindamisin kesembuhan
tertinggi dicapai pada hari ke-14 dan 28 yaitu 92% (P=0.236). Penurunan jumlah
parasit pada hari ke-3 dan ke-7 lebih cepat pada kelompok artesunat-klindamisin
dibandingkan kelompok kinin-klindamisin sementara pada penurunan jumlah
parasit hari ke-14 dan ke-28 tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada
kedua kelompok pengobatan.
Efikasi sangat ditentukan oleh pasangan kombinasi derivat artemisinin
tersebut. Kombinasi artemisinin dengan klindamisin mempunyai efek yang
sinergis dan tidak dijumpai efek yang berlawanan pada kedua obat.39 Klindamisin
sering dikombinasi dengan obat lama yaitu kinin dimana telah digunakan secara
luas di Amerika Selatan dan telah terbukti efektif pada dewasa dan anak
kasus Plasmodiumfalciparum resisten terhadap kinin sudah dilaporkan walaupun
dampaknya belum meluas dan berat, dan juga sering tidak disukai oleh karena
menyebabkan tinnitus pada anak maka kombinasi artesunat dan klindamisin
dapat menjadi pilihan.8,42
Penelitian ini dilakukan pemberian obat selama tiga hari dengan cara
pemberian dua kali sehari sehingga sering menyebabkan ketidaknyamanan
terhadap subjek. Obat kombinasi artemisinin umumnya merupakan regimen tiga
hari. Artesunat yang merupakan salah satu derivat artemisinin bekerja lebih
cepat daripada kinin. Kombinasi berbasis ACT hanya diberikan bila pada
pemeriksaan darah tepi maupun pemeriksaan RDT dijumpai parasit malaria.43
Kombinasi klindamisin dengan obat yang bekerja cepat sangatlah
dibutuhkan dan menguntungkan dalam pengobatan malaria.Klindamisin adalah
antibiotik linkosamid yang menpunyai efek antiplasmodium yang dapat diberikan
pada anak.42 Monoterapi klindamsin untuk pengobatan malaria falsiparum tidak
direkomendasikan karena bekerja lambat sehingga dapat meningkatkan
resistensi dan memperlama kesembuhan .24 Klindamisin merupakan obat yang
efektif dan aman digunakan secara kombinasi dalam pengobatan malaria
falsiparum yang resisten.44
Pada penelitian ini, tidak dijumpai efek samping diare namun dijumpai
mual, muntah, dan sakit kepala. Efek samping ini terjadi pada hari pertama
pemberian obat, baik pada kelompok artesunat-klindamisin maupun pada
kelompok kinin-klindamisin. Tidak dijumpai perbedaan bermakna kejadian efek
dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada efek samping pada
kedua grup.
Pemberian dosis yang tidak sesuai dapat meningkatkan efek samping
sehingga perlu dilakukan pemantauan efek samping selama masa pengobatan.
Efek samping artemisinin kurang toksik dibandingkan dengan antimalaria
golongan kuinolon. Penelitian di Nigeria menunjukkan efek samping ACT lebih
ringan dan dapat ditoleransi baik.45 Efek samping lebih sering muncul pada
kombinasi kinin-klindamisin adalah kinkonisme berupa telinga berdenging dan
pusing.42 Klindamisin dilaporkan dapat menyebabkan diare pada 2 sampai 20%
sehingga harus diberikan hati-hati pada pasien dengan penyakit gastrointestinal
terutama yang mempunyai riwayat kolitis. Efek yang lain dari klindamisin adalah
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Kombinasi artesunat- klindamisin memiliki efikasi yang lebih tinggi daripada
kombinasi kinin-klindamisin untuk pengobatan anak dengan Malaria Falsiparum
tanpa komplikasi. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kedua gabungan obat
ini aman digunakan pada anak.
6.2. SARAN
Bagi pemerintah Kabupaten Mandailing Natal khususnya Dinas Kesehatan
setempat, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan sebagai obat
alternatif jika terdapat kendala dalam penggunaan terapi standar pada anak
penderita Malaria Falsiparum tanpa komplikasi. Dan perlu dilakukan sosialisasi
kepada petugas-petugas kesehatan di kecamatan mengenai resistensi
pengobatan yang dapat terjadi bila membeli obat secara bebas dan penggunaan
obat yang tidak benar.
Perlunya dilakukan pemeriksaan malaria secara berkala disertai
pengobatan ke sekolah-sekolah agar proses pendidikan dapat berjalan dengan
baik dan diharapkan kerjasama yang baik dari pihak sekolah, masyarakat, dan
RINGKASAN
Malaria merupakan infeksi parasit yang menyebabkan kematian dan
kesakitan pada anak dan orang dewasa di negara-negara tropis dan subtropis. Di
Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kasus kematian setiap
tahunnya. Kematian disebabkan oleh Plasmodium falciparum diperkirakan 46%.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia sejak akhir tahun 2004
merekomendasikan artemisinin based combination therapy yang disingkat
dengan ACT untuk mengatasi kasus resistensi. Selain gabungan
artesunate-amodiakuin, kombinasi lain yang dianjurkan WHO yaitu kombinasi artesunate
dengan klindamisin.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi kombinasi
artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria
Falciparum tanpa komplikasi pada anak.
Uji klinis acak terbuka yang dilaksanakan pada bulan Oktober sampai
November 2010 di Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini
dilakukan pada anak usia 7 sampai 12 tahun. Kelompok I menerima kombinasi
artesunat-klindamisin (artesunat, 2mg/kg, dan klindamisin, 7mg/kg, perdosis).
Kelompok II menerima kombinasi kinin-klindamisin (kinin, 15 mg/kg, dan
klindamisin, 7mg/kg, per dosis). Kedua kelompok tersebut diberikan obat dua kali
sehari selama tiga hari berturut-turut. Hasil yang dinilai berupa ACPR, waktu
bebas parasit, penurunan jumlah parasit dan efek samping. Analisis didasarkan
intention to treat analysis.
kelompok tidak berbeda bermakna namun LTF secara signifikan lebih tinggi
dijumpai pada kelompok kinin-klindamisin. Kesembuhan artesunat-klindamisin
dicapai hari ke-3 dan ke-14 97% (P=0.001). Kesembuhan kinin-klindamisin
dicapai pada hari ke-14 dan ke-28 92% (P= 0.236). Pada pengamatan tidak
dijumpai efek samping yang bermakna.
Sebagai kesimpulan kombinasi artesunat-klindamisin memiliki efikasi
lebih tinggi daripada kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria Falsiparum
SUMMARY
Malaria is still a major health problems in tropical and sub tropical areas in the
world. In Indonesia, 15 thousands malarial cases with annual death 38.000 every
year, 46% were caused by Plasmodium falciparum infection. Since the end of
2004, Health Department of Indonesia Republic changed the protocol therapy of
malaria falciparum to artemisinin based combination therapy. The first choice is
artesunate-amodiakuine. Another combination was recommended by WHO is
artesunate-clindamycin.
The aim of this study is to compare of the efficacy of
artesunate-clindamycin and quinine-artesunate-clindamycin for treating uncomplicated falciparum
malaria in children.
A randomized, open label controlled trial was conducted on October to
November 2010 at Mandailing Natal, North Sumatera Province. This study was
done at 7 until 12 years old children. Group I received artesunate-clindamycin
combination (artesunate, 2 mg/kg, and clindamycin, 7 mg/kg, per dose). Group II
received a standart quinine-clindamycin regimen (quinine, 15 mg/kg, and
clindamycin, 7 mg/kg, perdose). Both groups recieved twice daily for 3
consecutive days. The outcomes were ACPR, parasite reduction, parasite
clearance time, and adverse events. Analysis was based on intention to treat.
In this study, two hundred children enrolled to study. ACPR on day 28 of
artesunate-clindamycin was comparable to quinine clindamycin 94% and 62%
respectively (P= 0.0001). Highest cure rates on artesunate clindamycin group
significant difference but LTF was higher significant in quinine-clindamycin.
Highest cure rates on quinine-clindamycin in was achieved at the 14tn and 28 th
92 %. No serious adverse events were obtained.
As conclusion, artesunate-clindamycin combination has higher efficacy
than quinine-clindamycin combination for the treatment uncomplicated
DAFTAR PUSTAKA
1. Tatura SN. Manifestasi klinis malaria. Dalam: L.Bidasari, Ali M, Yanni GN, penyunting. Kumpulan naskah lengkap PIT I. Medan: USU press, 2010. h.258-62
2. Suh KN, Kain KC, Keystone JS. Malaria. CMAJ. 2004 ;170:1693-2 3. Azlin E, Batubara I, Dalimunthe W, Siregar C, Lubis M, Pasaribu P.
The effectiveness of chloroquine compared to fansidar in treating falciparum malaria. Paediatr Indones. 2004; 44:17-20
4. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan departemen kesehatan RI. Pedoman tata laksana kasus malaria di Indonesia : Gebrak Malaria Jakarta: Bakti Husada; 2005. h.1-38
5. Tjitra E. Obat-obat baru antimalaria. Majalah Kedokteran Indonesia. 1996; 46:24-32
6. WHO. An overview of WHO guidelines on the management of malaria.
Diunduh dari
7. Siahaan L. Kombinasi kina-klindamisin 3 hari pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi. MKN. 2008; 41:88-92
8. Ramharter M, Oyakhirome S, Klouwenberg, Adegnibuka AA, Agnandji ST, Missinou MA, et al. Artesunate-clindamycin versus kinin-clindamycin in the treatment of Plasmodium Falciparum Malaria: A randomized controlled trial. Clin Inf Dis. 2005; 40:1777-84
9. Obonyo CO, Juma EA. Clindamycin plus quinine for treating uncomplicated falciparum malaria: a systematic review and meta-analysis. Malar J. 2012: 11:2-11
10. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Malaria. Dalam: Buku ajar infeksi dan pediatrik tropis. Edisi ke-2. Jakarta : IDAI; 2008. h.408-37
11. Zein U. Penanganan terkini malaria falciparum. Divisi penyakit tropik dan infeksi bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU; 2005. h.1-13
12. Krogstad DJ. Plasmodium species (malaria). Dalam : Mandell GL, Bennet JE, Dolin R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi ke-5. Vol II. USA: Churchill Livingstone; 2000. h.2817-31
13. Tjitra E. Manifestasi klinis dan pengobatan malaria. Cermin Dunia Kedokteran. 1994; 94:7-13
14. Stauffer W, Fischer PR. Diagnosis and treatment of malaria in children. Clin Inf Dis. 2003; 37:1340-8
15. Krause PJ. Malaria (plasmodium). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Saunders; 2004.h.1139-43.
17. Jerrard DA, Broder JS, Hanna JR, James E, Grundmann A, Geroff A, et al. Malaria: a rising incidence in the united states. The Journal of Emergency Medicine. 2002; 1:23-33
18. Kremsner PG, Krishna S. Antimalarial combinations. Lancet. 2004; 364:285-94
19. Kundu R. Management of malaria in children: update 2008. Infectious Diseases Chapter, Indian Academy of Pediatrics. 2008; 45:731
20. Baird JK. Effectiveness of antimalarial drugs. N Engl J Med.2005; 352:1565-77
21. Tjitra E. Pengobatan malaria dengan kombinansi artemisinin. Puslitbang Pemberantasan Penyakit Menular. Diunduh dari
22. World Health Organization. Guidelines for the treatment of malaria. Switzerland: WHO; 2006
23. Geyer M. Antimalarial drug combination therapy: Report of a WHO Technical Consultation. Geneva: WHO; 2001
24. Betrand L, Kremsner PG. Clindamycin as an antimalarial drug: Review of clinical trials. J Antimicrob Chemother. 2002; 46:2315-20
25. Ramharter M, Noedl. H, Winkler, Graninger W, Wernsdorfer WH, Kremsner PG, et al. In vitro activity and interaction of clindamycin combined with dihydroartemisinin against plasmodium falciparum. Antimicrob Agents and Chemother. 2003; 47:3494-99
26. Madiyono B, Moechlisan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismail S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto; 288.h.302-30
27. Wongsrichanalai C, Pickard AL, Wernsdorfer WH, Meschnick SR. Epidemiology of drug-resistant malaria. Lancet. 2002; 2:209-16
28. Olliaro PL, Taylor WRJ. Developing artemisinin based drug combinations for the treatment of drug resistant falciparum malaria: a review. J Postgrad Med. 2004; 50:40-44
29. Mexitalia M, Oka IGK, Saptanto A, Tamam M, Hartantyo I. Status gizi, eosinofilia dan kepadatan parasit malaria anak sekolah dasar di daerah endemis malaria anak sekolah dasar di daerah endemis malaria. Sari Pediatri. 2007; 4:274-280
30. Christiana O. Endemicity of malaria among primaray school in ebony state nigeria. Animal Research International. 2004; 3:155-159
31. Fernando S, Gunawardena M, Bandara S, Silva D, Mendis N. The impact of repeated malaria attacks on school performance of children. Am J Trop Med Hyg. 2003; 69:582-588
32. Nyakeriga AM, Blomberg MT, Chemtai AK, Marsh K, Williams TN. Malaria and nutritional status in children living on the coast of kenya. Am J Clin Nutr. 2004; 80:1604-10
33. Males S, Geye Q. Garcia A. Long term asymtomatic carriage of