• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian

Dalam dokumen Hubungan IMD dengan Pemberian ASI Eksklu (Halaman 84-140)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum

Puskesmas Mlati II adalah sebuah puskesmas yang berada di dusun Cebongan desa Sumberadi kecamatan Mlati kabupaten Sleman DIY. Puskesmas ini memiliki luas halaman 524,825 m2 dengan luas bangunan sebesar 736 m2, sedangkan luas wilayah kerjanya adalah sebesar 13,19 km2. Puskesmas ini merupakan puskesmas dengan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar (PONED) dan memiliki rawat inap.

Puskesmas Mlati II dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), telah menjadikan IMD sebagai sebuah kebijakan yang dilakukan berdasarkan buku panduan APN yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Inisiasi menyusu dini selalu dilakukan pada bayi baru lahir dengan keadaan yang normal dan bugar dan ibu yang memiliki kondisi fisik dan psikologis yang sehat, dengan pengawasan dan pantauan dari bidan.

Kegiatan yang terkait dengan program ASI eksklusif yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Mlati II adalah dilakukan pada setiap bayi baru lahir dan ibu nifas yang melakukan kunjungan nifas. Setiap ibu diberikan konseling oleh ahli gizi dan bidan mengenai pentingnya

pemberian ASI eksklusif yang dapat berdampak baik untuk kesehatan ibu dan anak. Selain itu, melalui program Posyandu, Puskesmas Mlati II rutin melakukan surveylance terhadap bayi-bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dan yang tidak mendapatkan. Kemudian, secara aktif puskesmas akan memberikan promosi kesehatan berupa penyuluhan dan pelatihan bagi kader kesehatan mengenai hal-hal penting terkait ASI eksklusif.

2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4 Karakteristik Responden

No Karakteristik Responden Frekuensi

(N) Presentase (%) 1 Umur Ibu 20-25 26-30 33-39 8 13 9 26,7 43,3 30 2 Pendidikan SD 1 3,3 SMP 7 23,3 SMA 16 53,3 PT 6 20 2 Pekerjaan IRT 22 73,3 Swasta 7 23,3 Guru 1 3,3 3 Anak Ke 1 16 53,3 2 9 30 ≥ 3 5 16,7 4 Umur Bayi 6 bulan 2 6,7 7-9 bulan 16 53,3 10-12 bulan 12 60 5 Tempat Bersalin

Puskesmas 6 20,0 BPM 7 23,3 Rumah 0 0 6 Penolong Dokter 10 33,3 Bidan 20 66,7 Perawat 0 0 Dukun 0 0 7 Pendamping Keluarga 3 10,0 Suami

Keluarga dan suami

23 4 76,7 13,3 Sendiri 0 0 7 Umur Kehamilan Prematur 0 0 Cukup bulan 30 100 Lewat bulan 0 0 8 BB Lahir <1,5 Kg 0 0 <2,5 kg 2,5 kg >2,5 Kg 4 26 13,3 86,7 >4 Kg 0 0 9 Keadaan Lahir Bibir sumbing 0 0 Cacat bawaan 0 0 Normal 30 100 10 Kelainan BBL Jantung Paru Tidak ada 0 0 30 0 0 100 11 Penyakit Menular

HIV & AIDS 0 0

Hepatitis B 0 0 TBC 0 0 Tidak ada 100 100 11 Penyakit Menurun Hipertensi 0 0 Gagal jantung 0 0 Tidak ada 30 100 12 Gangguan psikologis Kelainan jiwa 0 0 Tidak ada 30 100

Kanker payudara 0 0 Tidak ada 30 100 14 Komplikasi Kehamilan PEB 0 0 Eklamsia 0 0 Tidak ada 30 100

Sumber: data primer 2015

Berdasarkan tabel 4, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir SMA, yakni sebanyak 16 responden (53,3%). Sedangkan berdasarkan jenis pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah seorang ibu rumah tangga (IRT), dengan presentase sebesar 73,3%.

Berdasarkan tabel di atas, sebagian bayi merupakan anak pertama, dengan presentase sebesar 53,3%. Sedangkan usia bayi sebagian besar adalah 7-9 bulan dengan presentase sebesar 53,3%. Karakteristik tempat bersalin responden yang paling banyak adalah rumah sakit yakni dengan presesntase sebesar 56,7%, sedangkan karakteristik penolong persalinan yang paling banyak diisi oleh responden adalah bidan, dengan presentase sebesar 66,7%.

Untuk pendamping persalinan, presentase terbanyak yang dipilih oleh responden adalah suami, dengan presentase sebesar 76,7%.Seluruh responden dalam penelitian ini melahirkan bayinya pada usia kehamilan yang cukup bulan dengan presentase sebesar 100%.Sedangkan jika dilihat dari berat badan lahir bayi, sebagian besar responden memilih>2,5 kg dengan presentase sebesar 86,7%.

Semua bayi yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki keadaanlahir yang normal yakni dengan presentase sebesar 100%, demikian pula dengan kelaianan pada bayi baru lahir, semua responden tidak memiliki kelaian saat baru lahir dengan presentase sebesar 100%. Untuk karakteristik riwayat penyakit, psikologis, dan komplikasi ibu, seluruh responden memilih opsi “tidak ada” pada isian riwayat penyakit menular, riwayat penyakit menurun, riwayat gangguan psikologis, riwayat penyakit menahun, riwayat komplikasi kehamilan. Hal ini menunjukkan bahwa 100% responden tidak memiliki riwayat-riwayat penyakit yang telah disebutkan di atas, maupun gangguan psikologis dan kompliksai selama masa kehamilan.

3. Analisis Univariat

a. Pemberian ASI Eksklusif

Pemberian ASI eksklusif dikategorikan dalam dua kategori, yakni ASI eksklusif (100%) dan tidak ASI eksklusif (<100%).

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif

No

Pemberian ASI Eksklusif Frekuensi

(N)

Presentase (%)

1 ASI Eksklusif 24 80

2 Tidak ASI Eksklusif 6 20

Total 30 100

Sumber: data primer 2015

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa responden yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya adalah sebanyak 24 responden (80%), sedangkan responden yang tidak memberikan ASI

eksklusif kepada bayinya adalah sebanyak 6 responden (20%). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

b. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

IMD dikategorikan menjadi dua kategori yaitu IMD (100%) dan tidak IMD (<100%). Data IMD responden dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 6 Distribusi Frekuensi IMD

No IMD Frekuensi (N) Presentase (%) 1 IMD 23 76,7 2 Tidak IMD 7 23,3 Total 30 100

Sumber: data primer 2015

Berdasarkan tabel 6 di atas, didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden mendapatkan perlakuan IMD yaitu sebanyak 23 responden (76,7%). Sedangkan responden yang tidak mendapatkan perlakuan IMD adalah sebanyak 7 orang responden (23,3%).

4. Analisis Bivariat

Hubungan IMD dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 6- 12 bulan di Puskesmas Mlati II dapat diketahui pada tabel di bawah ini:

Tabel 7 Hubungan IMD dengan Pemberian ASI Eksklusif

Sumber: data primer 2015.

Berdasarkan tabel 7 di atas, maka didapatkan hasil bahwa responden yang mendapatkan perlakuan IMD dan memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 21 responden (91,3%) dan responden yang melakukan IMD namun tidak memberikan ASI eksklusif adalah sebanyal 2 responden (8,7%). Sementara itu, jumlah responden yang tidak melakukan IMD namun memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 3 responden (42,9%), dan jumlah responden yang tidak melakukan IMD serta tidak pula memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 4 responden (57,1%).

Untuk mengetahui hubungan IMD dengan pemberian ASI eksklusif dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan korelasi Chi Square, sedangkan untuk mengetahui keeratan hubungannya dilakukan pengujian dengan koefisien kontingensi. Berdasarkan tabel di atas, didapatkan hasil bahwa nilai p atas uji Chi Square adalah sebesar 0,005 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,456. Hal tersebut membuat H0 ditolak dan peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa Inisiasi

Menyusu Dini (IMD)

Pemberian ASI eksklusif Total P. Value Koef. Korelasi Tidak ASI Eksklsuif ASI Ekslusif N % N % N % Tidak IMD 4 57,1 3 42,9 7 100 IMD 2 8,7 21 91,3 2 3 100 0,005 0,456 Total 6 65,8 7 134,2

hubungan antara IMD dengan pemberian ASI eksklusif adalah dalam kategori sedang.

B. Pembahasan

1. IMD

Inisiasi menyusu dini (early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir (Roesli, 2008). Keberhasilan menyusui bergantung pada inisiasi menyusu dini (IMD). Dua jam setelah melahirkan disebut ‘masa sensitif’, adalah waktu yang optimal untuk dilakukan IMD pada bayi baru lahir. Hal ini dapat memperlihatkan kemampuan reflek bayi seperti reflek rooting, reflek menghisap, reflek menelan, dsb (Mahmood et al. 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan perlakuan IMD segera setelah melahirkan dengan durasi IMD lebih dari satu jam, yakni dengan jumlah responden sebanyak 23 orang (76,7%). Sedangkan jumlah responden yang tidak melakukan IMD dengan durasi kurang dari satu jam adalah sebanyak 7 orang (23,3%).

Sebagian besar responden dalam penelitian ini bersalin di rumah sakit, dengan presentase sebesar 56,7%, sedangkan responden yang bersalin di BPM adalah sebanyak 23,3% dan sisanya melahirkan di puskesmas dengan presentase sebesar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh responden telah bersalin di pelayanan kesehatan yang memungkinkan untuk dilakukannya tindakan IMD secara baik dan

benar.Seluruh pelayanan kesehatan yang terdapat di DIY termasuk di Kabupaten Sleman, telah menjalankan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. IMD dan segala yang berkaitan tentang ASI eksklusif telah diatur dengan jelas dalam kedua peraturan di atas tersebut.

Sebagian besar responden, saat persalinan didampingi oleh suami saja yakni dengan presentase sebesar 76,7%, sedangkan responden yang didampingi oleh keluarga dan suami adalah sebesar 13,3%. Hanya 10% saja didampingi oleh keluarga saja. Saat pelaksanaan IMD, peran suami sangat diperlukan dalam mendukung ibu bersalin untuk mau melakukan IMD segera setelah bayi lahir. Tingginya jumlah responden yang didampingi persalinannya oleh suami, memungkinkan tingginya angka keberhasilan IMD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan yang baik oleh suami terhadap keberhasilan pelaksanaan IMD di Puskesmas Pembantu Dauh Puri dan BPM GA Widiasih Bali (Sriasih, dkk., 2014).

Presentase penolong persalinan terbesar dalam penelitian ini adalah bidan, yakni sebesar 66,7%. Sedangkan 33,3% responden lainnya ditolong oleh dokter. Besarnya presentase bidan sebagai penolong persalinan dan tingginya angka keberhasilan IMD, berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan peran

bidan dengan pelaksanaan IMD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, bahwa hampir semua motivasi ibu dalam melakukan praktik IMD karena adanya dorongan dari bidan (Noer, dkk., 2011).

Sebanyak 53,3% responden adalah berpendidikan terakhir SMA, 23,3% berpendidikan SMP, 20% responden berpendidikan perguruan tinggi, dan hanya 3,3% responden yang berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini telah memiliki pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik berhubungan dengan tingginya angka IMD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di BPS Ellna Pasar Kuto Palembang tahun 2013, yakni terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan IMD (Vasra, 2013).

Menurut teori yang berkembang dinyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan yang dimiliki. Melalui pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan dan informasi yang memadai serta memiliki kualitas hidup yang tinggi (Notoatmodjo, 2010). Allah juga meninggikan derajat orang-orang yang memiliki ilmu dan berpendidikan. Melalui ilmu dan pendidikan, maka seseorang akan dapat hidup dengan sehat dan sejahtera. Hal ini diungkapkan melalui firman Allah melalui potongan surat Al Mujaadalah ayat 11 yang artinya:

“....Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat; dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui.”

Terdapat dua kontraindikasi pada pelaksanaan IMD, yakni kontraindikasi pada ibu dan kontraindikasi pada bayi. Kontraindikasi pada ibu adalah ibu dengan fungsi kardio respiratorik yang tidak baik, eklamsia dan pre-eklamsia berat, penyakit infeksi akut dan aktif (TBC, HIV/AIDS, Hepatitis B), karsinoma payudara, dan ibu dengan gangguan psikologi dan hormon. Sedangkan kontraindikasi pada bayi adalah bayi kejang, bayi dengan penyakit berat, dan cacat bawaan. Tiga puluh atau seluruh responden dalam penelitian ini (100%) menyatakan bahwa ibu dan bayi tidak memiliki satu pun penyakit-penyakit yang menjadi kontraindikasi dilakukannya IMD tersebut di atas.

2. Pemberian ASI Esksklusif

Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja, sejak bayi dilahirkan sampai bayi usia enam bulan tanpa tambahan cairan lainnya seperti susu formula, air jeruk, air teh, madu, air putih, pisang, biskuit, bubur susu dan bubur nasi (Perinasia, 2009).

Allah telah berfirman di dalam surat Luqman ayat 14 yang berbunyi:

Artinya: “Kami Wasiatkan kepada manusia, terhadap ibu bapanya. Ibunya mengandung dengan (menderita) kelemahan diatas kelemahan dan menceraikannya dari susuan dalam dua tahun (yaitu):

berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada ibu bapamu. Kepada-Ku

tempat kembali”.

Kandungan surat Luqman ayat 14 di atas adalah perintah Allah SWT kepada manusia untuk menghormati kedua orang tuanya, terlebih ibunya yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, serta menyusuinya hingga usia dua tahun. Ayat ini menekankan pula akan kewajiban seorang wanita sebagai ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif dan meneruskan pemberian ASI hingga bayi berusia dua tahun.

Jumlah responden yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya adalah sebanyak 24 orang responden (80%), sedangkan yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 6 orang responden (20%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, tanpa cairan maupun makanan tambahan apa pun hingga bayi berusia enam bulan.

Keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada bayi dipengaruih oleh dua faktor, yakni faktor internal (faktor yang terdapat dalam diri individu) dan faktor eksternal (faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan). Faktor internal tersebut adalah pendidikan ibu, pengetahuan, psikologis, fisik ibu, dan kondisi bayi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif adalah peranan suami, riwayat ANC, tempat persalinan, IMD, dan penolong persalinan.

Faktor internal yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah tiga dari lima faktor yang telah disebutkan di atas, yakni pendidikan ibu, psikologis, dan kondisi bayi. Berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh responden, ibu yang berpendidikan SD adalah sebanyak 1 orang (3,3%), SMP sebanyak 7 orang (23,3%), SMA sebanyak 16 (53,3%), perguruan tinggi sebanyak 6 orang (20%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah menempuh wajib belajar sembilan tahun yang menjadikan responden tersebut memiliki pendidikan yang baik.

Teori mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah untuk menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Tingkat pendidikan ibu yang rendah meningkatkan risiko pada ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif (Mardeyanti, 2007). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar responden telah berpendidikan yang baik yakni SMA sebanyak 53,3% dan perguruan tinggi 20%, sedangkan angka pemberian ASI eksklusif dalam penelitian ini adalah sebesar 80%.

Psikologis merupakan faktor internal berikutnya yang akan dibahas. Stres, khawatir, ketidakbahagiaan ibu pada periode menyusui sangat berperan dalam mensukseskan pemberian ASI eksklusif. Peran keluarga dalam meningkatkan kepercayaan diri ibu sangat besar (IDAI, 2008). Peneliti tidak mengukur tingkat stres, khawatir, dan ketidakbahagiaan, namun peneliti menanyakan pertanyaan apakah ibu

pernah memiliki riwayat gangguan psikologis atau tidak. Seorang yang mengalami gangguan psikologis sangat dimungkinkan akan mengalami stres, khawatir, dan ketidakbahagiaan. Sebanyak 30 responden (100%) tidak memiliki riwayat gangguan psikologis yang dapat menghambat keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dengan hasil penelitian.

Beberapa kondisi bayi bisa mempersulit tindakan menyusui, tetapi bukan tidak mungkin untuk mencobanya (dengan dukungan medis yang benar). Termasuk diantaranya adalah kelainan-kelainan seperti tidak tahan terhadap laktosa atau fenilketonuria (PKU), sumbing bibir dan atau langit- langit, dan kelainan bentuk mulut lainnya yang mengganggu penghisapan (Murkoff, 2006). Semua responden dalam penelitian ini (100%) menyatakan melalui kuesioner bahwa mereka memiliki bayi dengan kondisi yang normal, tanpa bibir sumbing dan cacat bawaan lainnya. Hal ini menjadi salah satu faktor tingginya angka pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Mlati II Sleman.

Tempat persalinan, penolong persalinan, dan IMD merupakan beberapa faktor eksternal yang akan dibahas dalam pembahasan ini. Tempat persalinan dapat berpengaruh terhadap pemberian makanan prelakteal dikarenakan masih terdapat kebijakan atau tata laksana rumah sakit atau tempat bersalin yang kurang mendukung keberhasilan menysusui seperti bayi baru lahir tidak segera disusui, memberikan

makanan prelakteal, dan tidak dilakukannya rawat gabung (Raharjo, 2006). Sebagian besar responden dalam penelitian ini melahirkan di rumah sakit (56,7%). Sisanya sebesar 23,3% melahirkan di bidan praktik mandiri (BPM) (20%) dan puskesmas (23,3%).

Penolong persalinan merupakan kunci utama keberhasilan pemberian menyusu dini dan pencegahan terhadap pemberian prelakteal ataupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan pada waktu bayi baru lahir, peran penolong sangat dominan (Raharjo, 2006). Sebanyak 20 responden (66,7%) ditolong persalinannya oleh bidan, sedangkan sisanya yakni sebanyak 10 responden (33,3%) ditolong oleh dokter. Hal ini menunjukkan bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis, kemungkinan besar akan memberikan bayinya ASI eksklusif.

3. Hubungan IMD dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi Usia 6-

12 Bulan di Puskesmas Mlati II Sleman

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara IMD dengan ASI eksklusif pada bayi usia 6-12 bulan di Puskesmas Mlati II dengan tingkat keeratan dalam kategori sedang. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji statistik terhadap hubungan IMD dengan pemberian ASI eksklusif yang menghasilkan nilai p sebesar 0,005 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,456. Penelitian ini didukung oleh banyak penelitian lainnya yang telah dilakukan dengan hasil yang sama, yakni terdapat hubungan antara IMD dengan pemberian ASI eksklusif.

IMD dapat meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif secara signifikan, sama seperti hasil penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian telah menyatakan pengaruh jangka panjang dari IMD terhadap pemberian ASI eksklusif dan lama pemberiannya. Angka pemberian ASI (secara eksklusif dan hampir eksklusif) meningkat secara signifikan pada kelompok bayi yang diberikan perlakuan IMD (85,3%), dibandingkan dengan bayi yang tidak dilakukan IMD (65,7%) (Mahmood et al. 2011).

Sebanyak 23 responden (76,7%) dalam peniltian ini mendapatkan intervensi IMD segera setelah lahir, sedangkan sisanya (7 orang responden atau sebesar 23,3%) tidak melakukan IMD. Dua (8,7%) di antara 23 responden yang mendapatkan intervensi IMD tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sedangkan sisanya sebanyak 21 responden (91,3%) memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Tujuh responden yang tidak melakukan IMD namun memberikan ASI secara eksklusif hanya sebanyak 3 responden (42,9%), sedangkan yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 4 responden (57,1%). Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian sesuai dengan teori dan hasil penelitian yang telah ada sebelumnya.

Berdasarkan telaah terhadap kuesioner, kegagalan responden yang mendapatkan intervensi IMD namun gagal dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, dialami oleh responden nomor 14 dan 17.

Responden nomor 14 gagal memberikan ASI secara eksklusif dikarenakan sebelum berusia enam bulan, bayi pernah diberikan air putih dan bubur susu (pertanyaan nomor Y6 dan Y13), sehingga hal tersebut membuat responden juga memilih “Tidak” pada item pertanyaan nomor Y14 yang berbunyi, “Saya pantang memberikan bubu tim/bubur saring

sebelum bayi berusia 6 bulan,” dan item nomor 15 yang berbunyi, “Saya

hanya memberikan ASI saja pada bayi tanpa makanan tambahan lain apa

pun pada bayi hingga bayi berusia 6 bulan.

Sedangkan responden nomor 17, bayi tidak mendapatkan ASI secara eksklusif dikarenakan responden mendapatkan skor 0 pada item pertanyaan yang berisi tentang pemberian susu formula yakni pada item pertanyaan nomor Y3, Y4, Y10, Y15, Y19, dan responden menjawab “Ya” pada item pertanyaan nomor 6 yang berbunyi, “Saya pernah memberikan air putih sebelum bayi berusia 6 bulan.”

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah terletak pada jumlah sampel yang digunakan hanya sebanyak 30 responden saja (sampel minimum). Pendekatan waktu cross sectional dan alat pengumpulan data yang hanya berupa kuesioner, membuat kemungkinan terjadinya bias dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan IMD dan pemberian ASI eksklusif, tanpa

membahas hal-hal atau faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan IMD dan pemberian ASI eksklusif.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Mlati II Sleman mengenai hubungan IMD dengan pemberian ASI eksklusif, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Sebanyak 23 responden (76,7%) mendapatkan IMD (earlyskin to skin

contact yang dilakukan segera setelah lahir selama lebih dari satu jam).

2. Sebanyak 24 responden (80%) memberikan ASI secara eksklusif (pemberian ASI saja tanpa tambahan makanan maupun minuman apa pun hingga bayi berusia enam bulan) kepada bayinya.

3. Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan nilai p sebesar 0,005 , hal ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara IMD dengan pemberian ASI eksklusif. Sementara itu, nilai koefisien korelasi yang didapatkan dari uji koefisien kontingensi adalah sebesar 0,456, jadi keeratan hubungan antara IMD dengan ASI eksklusif adalah dalam kategori sedang.

B. Saran

1. Bidan di Puskesmas Mlati II

Bidan yang bertugas di Puskesmas Mlati II diharapkan dapat mempertahankan kinerja dalam hal pelaksnaan IMD di kamar bersalin dan menggencarkan promosi pemberian ASI eksklusif kepada masyarakat Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman DIY.

2. Ibu Menyusui

Ibu menyusui diharapkan lebih memilih ASI dibandingkan dengan memberikan bayi susu formula atau makanan tambahan lain sebelum bayi berusia enam bulan. Pemberian air putih yang selama ini dinilai tidak berpengaruh terhadap status ASI eksklusif, harus dihindari dikarenakan air putih juga merupakan minuman yang tidak perlu diberikan pada bayi sebelum bayi berusia enam bulan.

3. Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan mampu untuk mengembangkan penelitian yang bertema serupa, namun memiliki desain penelitian maupun jenis penelitian yang berbeda, sehingga hasil yang didapatkan dapat lebih baik, akurat, dan memiliki kredibilitas yang tinggi untuk dapat dijadikan referensi. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk menggali faktor- faktor yang menjadikan IMD dan pemberian ASI eksklusif menjadi gagal, agar dapat diketahuinya faktor-faktor yang mendukung maupun yang menghambat pelaksanaan IMD maupun pemberian ASI eksklusif.

DAFTAR PUSTAKA

 

Aghdas, K., Talat, K., & Sepideh, B., 2014. Effect of immediate and continuous mother-infant skin-to-skin contact on breastfeeding self-efficacy of primiparous women: A randomised control trial. Women and Birth, 27(1), 37–40.

 

Aprilia, Y. 2010. Hipnostetri: Rileks, Nyaman, dan Aman Sat Hamil dan

Melahirkan. Jakarta: Gagas Media.

 

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta : Rineka Cipta.

Bahiyatun. 2009. Buku Ajar : Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta : EGC. Ballard, O., & Morrow, A. L. 2013. Human Milk Composition. Nutrients and

Bioactive Factors. Pediatric Clinics of North America.

Bramson, L., Lee, J. W., Moore, E., Montgomery, S., Neish, C., Bahjri, K., & Melcher, C. L., 2010. Effect of early skin-to-skin mother--infant contact during the first 3 hours following birth on exclusive breastfeeding during the maternity hospital stay. Journal of Human Lactation : Official Journal of

International Lactation Consultant Association, 26(2), 130–137.

Castellote, C. et al., 2011. Premature delivery influences the immunological composition of colostrum and transitional and mature human milk. The

Dalam dokumen Hubungan IMD dengan Pemberian ASI Eksklu (Halaman 84-140)

Dokumen terkait