• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN PAJAK INTAC

D. Frase “tidak dapat” dalam kalimat “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara

I. HASIL PENELITIAN PAJAK INTAC

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sistem pajak Indonesia yang dibangun selama ini sangat rapuh dan rentan terhadap berbagai macam masalah. Terdapat dua faktor yang menjadi indikasi sekaligus penyebab rapuhnya

sistem pajak Indonesia, yaitu : terabaikannya prinsip-prinsip pemungutan self

assesment system dan pembangunan pajak tidak mengarah pada cita-cita pajak Indonesia.

Tidak adanya arah yang jelas menjadikan secara pragmatis pajak diartikan

terbatas hanya pada target penerimaan. Pada akhirnya berbagai kepentingan masuk memanfaatkan lemahnya sistem yang terbangun selama ini, untuk kepentingan pribadi. Kepentingan tersebut saling tumpang tindih antara kepentingan negara, lembaga dan kepentingan pribadi. Oknum yang memanfaatkan kepentingan tersebut juga beragam, bisa dalam bentuk individu, kelompok bahkan yang mengatasnamakan lembaga.

Korupsi pajak merupakan salah satu bentuk kepentingan pribadi yang

pencapian prestasi target penerimaan pajak, menjadi dua hal yang saling melengkapi, untuk menutupi berbagai kecurangan yang terjadi di lingkungan pajak.

Hal inilah yang seringkali menjadikan penyimpangan di lingkungan pajak sulit untuk dihapuskan. Korupsi pajak tidak pernah benar-benar hilang dan hanya berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya, menyesuaikan dengan kondisi dan arah kebijakan pemerintah.

Kondisi ini memungkinkan terjadi karena praktek kecurangan oknum fiskus akan melakukan berbagai upaya dalam pencapaian target penerimaan. Fiskus cenderung akan menekan dan mencari-cari kesalahan wajib pajak agar dapat mengenakan pajak yang besar. Tidak jarang mereka mengatasnamakan negara serta hukum yang berlaku. Tapi disaat para wajib pajak tidak berdaya, mereka tidak segan-segan untuk melakukan “perdamain” dengan mengecilkan temuan pajak, yang semula digunakan untuk menekan wajib pajak. Bila tidak ada titik temu, mereka akan menetapkan pajak hasil temuan tersebut dan ini sebagai prestasi kerja. Karena semakin tinggi pajak yang dikenakan, akan memberikan pemasukan bagi negara sebagai pencapaian target penerimaan. Inilah modus yang seringkali digunakan dalam negosiasi di pajak. Pada akhirnya hal ini yang memunculkan berbagai masalah dalam sistem pajak Indonesia yang semakin rumit dalam perkembangannya.

Begitu pula perumusan kebijakan pajak, seringkali tidak memiliki perencanaan yang matang serta tidak dibangun secara terintegrasi. Tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar dalam merancang kebijakan pajak. Kebijakan hanya bertumpu pada target penerimaan yang pada akhirnya kebijakan yang dibuat seringkali tidak terencana, sporadis pada akhirnya bersifat “trial and error”. Kondisi inilah yang menjadikan sistem pajak Indonesia menjadi semakin rapuh dan rentan terhadap berbagai macam masalah.

A. Terabaikannya prinsip-prinsip self assesment system.

1. Lemahnya fungsi pembinaan wajib pajak.

Dengan prinsip self assessment system, wajib pajak memiliki peran penting dalam mensukseskan pelaksanaan pemungutan pajak. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata cara perpajakan yang berbunyi “wajib pajak merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi

kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan”. Jadi fungsi pembinaan adalah membangun kesadaran wajib pajak agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya.

Selama ini fungsi pembinaan pajak tidak dilakukan secara terencana, bersinambungan dan terintegrasi. Pembinaan masih terbatas pada kegiatan mengkampanyekan pajak. Seharusnya diperlukan bimbingan dan pendampingan yang terus menerus karena pajak merupakan masalah yang rumit. Hal ini penting mengingat, masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga perlu arah dan strategi tepat. Begitu pula generasi terus berganti, yang tua suatu saat akan digantikan generasi berikutnya. Yang tadinya anak-anak satu saat menjadi wajib pajak berpotensi untuk menjadi pembayar pajak. Dari pembinaan yang terencana, berkensinambungan dan terintegrasi akan dapat dipetakan tingkat kepatuhan masyarakat pajak Indonesia. Hal ini akan memudahkan aparatur dalam mengawasi wajib pajak.

2. Pembentukan Account Representative

Setelah reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak menyediakan Account Representative (AR), untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. AR berperan sebagai konsultan yang akan memberikan arahan bagi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban pajaknya.

Namun keberadaan AR kurang mendapat tanggapan secara positif dari masyarakat. Dalam perkembangannya, ternyata peran AR seringkali tidak jelas dilapangan, batas wewenang dan tanggung jawabnya. Mereka bukan lagi sebagai penyuluh tapi lebih sebagai petugas pengawas pajak, agar wajib pajak dapat dikenakan pajak. Tentu saja peran AR tersebut menyalahi prinsip self assessment system. Peran AR yang harusnya dapat membangun kesadaran wajib pajak, tapi pada kenyataannya lebih sebagai petugas pajak yang mencari-cari kelemahan wajib pajak demi target penerimaan pajak. Hal ini mengakibatkan, sistem pajak Indonesia rentan penyimpangan.

3. Menjauhnya prinsip self assesment system

Sejak tax reform tahun 1984, sistem pajak Indonesia tidak sepenuhnya dibangun dengan prinsip self assessment system. Bahkan semakin lama perkembangannya semakin menjauh dari prinsip-prinsip self assessment system. Seharusnya penyelenggaraan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan prinsip tersebut, termasuk mental yang terbangun dari

pembuat kebijakan, pemeriksa pajak sampai para petugas pajak di lapangan. Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan, sistem self assessment cenderung mengalami stagnasi. Sampai dengan saat ini, wajib pajak belum sepenuhnya melakukan penghitungan, penyetoran maupun pelaporan hutang pajaknya. Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak saat ini mengarah pada sistem quasi self assessment dan

quasi official assessment. Terminologi quasi yang diartikan semu dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang berjalan selama ini tidaklah murni.

Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah, pada tahun 2013 pemerintah menetapkan PP 46 dengan mengenakan sebesar 1% dari omzet dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil menengah.

Begitu pula Sistem quasi official assessment juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan kanvasing atau penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan tingkat kepatuhan perpajakan (tax compliance) yang rendah karena dalam metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

4. Dampak dari tolok ukur target penerimaan.

Dengan target pajak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadikan mental yang terbangun mengarah pada cara mengejar target penerimaan setinggi-tinggina. Untuk memenuhi target, fiskus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Para kepala kantor mengakali penerimaan dan pengeluaran pajak dengan menggunakan modus mempercepat penyelesaiaan kasus pemeriksaan, memaksakan pengenaan pajak yang bersifat grey area, memajukan angsuran PPh 25, menunda pencairan restitusi, menolak keberatan, menolak permohonan pengurangan angsuran dll, demi pencapaian target penerimaan tahun ini. Artinya Penerimaan pajak yang menjadi hak tahun depan dimajukan ke tahun sekarang. Sebaliknya pengeluaran tahun ini di tunda ke tahun berikutnya. Modus ini marak terjadi sebelum reformasi birokrasi.

Target penerimaan yang belum tercapai terkadang juga membuat fiskus bersikap sangat selektif dalam menerima keberatan, terlebih apabila

menyangkut jumlah yang material. Seringkali kasus keberatan di tolak bukan karena tingkat kebenaan kasus tersebut, tapi lebih dikarenakan pertimbangan dampak terhadap target penerimaan.

Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun cara tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip self assessment system. Karena akan menimbulkan efek negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu juga dalam jangka panjang dapat menimbulkan kekacauan misalkan potensi pajak masing-masing KPP sulit terukur, momentum pengenaan pajak menjadi tidak jelas, kesulitan dalam menilai prestasi kerja aparatur pajak, menyuburkan terjadinya korupsi dll.

5. Maksimalisasi target penerimaan pajak.

Dengan prinsip sistem self assessment, target penerimaan seharusnya mengarah pada titik paling optimum yang bisa digali (optimalisasi). Idealnya pemungutan pajak tidak melebihi titik optimum atau bahkan melebihi potensi pajak sesungguhnya. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan penggalian potensi penerimaan melalui profiling dan bencmarking wajib pajak potensial. Profiling dilakukan untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan akan dikelompokan berdasarkan jenis usaha yang sama, sehingga Ditjen Pajak memilliki acuan (benchmark) mengenai kondisi usaha dan laba yang diperoleh wajib pajak disektor tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih di intensifkan sehingga dapat memetakan potensi setiap wajib pajak, berapa tingkat optimum pajak yang mampu mereka bayar.

Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya (maksimalisasi). Hal ini tentunya dapat memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak.

B. Pembangunan sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak