• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Deskr ipsi Obyek Penelitian 4.1.1.1Keadaan Geogr afis

Indonesia terletak diantara 6o 80o Lintang Utara dan 11o 15o Lintang Selatan dan antara 94o 45o Bujur Timur dan 141o 05o Bujur Timur. Negara kesatuan yang berbentuk Republik ini sejak tahun 2001 dibagi menjadi 30 propinsi dan 4 tambahan propinsi yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, dan Maluku Utara (sejak tahun 1999 Timor Timur tidak lagi merupakan daerah wilayah Indonesia), terdiri dari 468 Kabupaten, 85 Kotamadya, 4.424 Kecamatan, dan 68.819 Desa (Anonim, 2001 : 3).

Indonesia merupakan Negara bahari dengan luas lautnya sekitar 7,9 Jjuta Km2 atau 81 % dari luas keseluruhan. Daratan Indonesia mempunyai luas lebih dari 1,9 Juta Km2, mempunyai puluhan atau mungkin ratusan gunung berapi dan sungai. Sehubungan dengan letak Negara Indonesia yang dikelilingi beberapa samudra, serta banyak gunung berapi yang masih aktif menyebabkan Indonesia sering dilanda gempa. Pada tahun 2000 gempa dengan kekuatan terbesar yaitu 7,3 Skala Richter terjadi di Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Jakarta pada tanggal 2 Juni dengan kedalaman pusat gempa sebesar 33 Km dan pusat gempa terletak pada 4,70 o

Lintang Selatan dan 102 o Bujur Timur. Gempa tersebut melanda daerah Kendari dan Raha dengan kedalaman pusat gempa sebesar 26 Km (Anonim, 2001 : 3).

4.1.2. Keadaan Iklim

Di Indonesia hanya dikenal dua musin, yaitu kemarau dan hujan. Keadaan itu berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup dari bulan Juni sampai September dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musin kemarau. Sebaliknya, pada bulan September sampai Maret angina bertiup dari Daratan Asia dan Samudera Pasifik yang banyak mengandung uap air, sehingga pada bulan ini cenderung hujan. Keadaan ini terjadi setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April sampai dengan Mei dan Oktober sampai dengan November (Anonim, 2001 : 9).

4.1.3. Keadaan Penduduk

Dilihat dari jumlah penduduknya Indonesia termasuk Negara dengan penduduk terbanyak ke empat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Menurut hasil pencacahan lengkap, Sensus Penduduk (SP) tahun 2000 penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap berjumlah 205,8 Juta jiwa dan penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tidak tetap sebesar 42,399 Juta jiwa.

4.1.4. Per kembangan Per bankan Indonesia

Kondisi perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia perbankan juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di luar perbankan seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, sosial, dan hukum.

Lembaga perbankan berfungsi sebagai penghimpun dana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan tersebut dapat berhasil apabila ada lembaga mediator antara pemilik dengan pengguna dana melalui lembaga keuangan bank. Salah satu cara memperkecil jarak tersebut adalah dengan memperluas dan menyebarkan lembaga keuangan tersebut ke segala lapisan masyarakat.

Untuk mempercepat pencapaian sasaran dan harapan terhadap perbankan, maka perlu diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan perbankan dapat melakukan upaya dengan maksimal agar misi yang dibebankan tersebut dapat dipenuhi. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijaksanaan yang mendorong perbankan untuk dengan mudah dapat melakukan perluasan usaha (Anonim, 1996 : 10-14).

Perbankan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut menyebabkan kondisi perbankan Indonesia secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga periode, antara lain :

a. Kondisi perbankan di Indonesia sebelum deregulasi (sebelum serangkaian paket deregulasi di sector riil dan moneter yang diambil sejak tahun 1980). Perbankan pada masa kini sangat kuat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa yang dalam hal ini adalah pemerintah.

b. Kondisi perbankan di Indonesia sudah deregulasi (setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terhasinya krisis ekonomi pada akhit tahun 1990-an). Tingkat inflasi yang tonngi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi secara bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik. Fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut seolah-olah menjadi lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya serta saling mempengaruhi.untuk mengatasinya. Cara yang ditempuh pemerintah adalah melakukan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor riil dan moneter pada tahap awal, deregulasi lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui serangkaian perubahan di dunia perbankan. Pembangunan yang terjadi juga termasuk peningkatan pengaturan pada bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat untuk diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori untuk otoritas moneter untuk meningkatkan kinerja dunia perbankan dan pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.

c. Kondisi perbankan di Indonesia saat krisis ekonomi mulai akhir tahun 1997-an. Deregulasi dan penerapan kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan sektor moneter dan riil telah menyebabkan sektor perbankan lebih mempunyai kemampuan kinerja ekonomi makro di Indonesia. Mobilisasi dana melalui perbankan menjadi lebih besar dan peranan perbankan menjadi lebih besar dalam menunjang kegiatan di sector riil melalui peningkatan produksi barang dan jasa. Perkembangan perbankan yang cukup pesat setelah deregulasi ternyata tidak berlangsung cukup lama untuk dapat meningkatkan Indonesia mempunyai tingkat kesejahteraan yang sama dengan negara-negara yang lain di Asia Tenggara. Dalam waktu yang sangat singkat perkembangan ini menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat adanya krisis ekonomi yang menyebabkan perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia.

4.2. Deskr ipsi Hasil Penelitian

Studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hubungan antara besaran-besaran moneter (uang beredar) dengan sasaran akhir kebijakan moneter makin melemah di Indonesia sehingga timbul keraguan mengenai efektivitas kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir dengan menggunakan besaran moneter sebagai intermediate target. Disamping itu, sejak Agustus 1997, batas intervensi nilai tukar telah dihapus. Maka dirasa perlu untuk mencari nominal anchor baru dari

kebijakan moneter, dan kecenderungan di banyak negara mengarah ke eksplisit sasaran inflasi atau yang lebih dikenal dengan inflation targeting. Dalam inflation targeting, sasaran akhir kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai tingkat inflasi yang relatif rendah dan stabil. Salah satu hal penting dalam inflation targeting adalah adanya penyampaian target inflasi yang akan dicapai oleh bank sentral dalam suatu periode tertentu kepada publik. Penyampaian target inflasi ini mempunyai peranan yang penting didalam regim inflation targeting karena hal tersebut dapat membantu publik untuk menentukan ekspektasi inflasi dan juga dapat dipakai sebagai dasar untuk menilai kinerja dari bank sentral untuk mencapai target akhir dari kebijakan moneternya . Keberhasilan bank sentral dalam mencapai targetinflasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas bank sentral sebagai otoritas moneter. Masalah yang muncul adalah ukuran inflasi yang manakah yang menjadi tolok ukur untuk menilai keberhasilan kebijakan moneter bank sentral karena tidak semua gejolak inflasi dapat diselesaikan oleh kebijakan moneter. Inflasi yang diakibatkan oleh kebijakan kenaikan harga oleh pemerintah, gangguan alam, dan gejolak yang bersifat random lainnya berada diluar kontrol bank sentral, sehingga didalam literatur tanggung jawab bank sentral seringkali terbatas pada inflasi yang dapat dikontrol oleh kebijakan moneter atau seringkali disebut inflasi inti (core atau underlying inflation). Inflasi inti inilah yang merupakan fenomena moneter. Akan tetapi karena ukuran inflasi inti ini kurang populer di masyarakat dibandingkan dengan ukuran inflasi IHK, maka banyak bank sentral menggunakan inflasi IHK

sebagai target akhir kebijakan moneternya5 . Masalah yang muncul adalah seberapa jauh kebijakan moneter dapat efektif untuk mencapai target inflasi IHK?. Hal ini disebabkan banyak items didalam inflasi IHK yang tidak dapat dikontrol oleh kebijakan moneter terutama dalam masa proses pemulihan ekonomi seperti di Indonesia.

Proses pemulihan ekonomi yang masih berlangsung sekarang ini meminta ongkos yang sangat tinggi untuk masyarakat banyak dan hal ini menambah tekanan inflasi, misalnya tekanan dari sektor fiskal untuk menghilangkan subsidi berperan meningkatkan harga; namun kenaikan harga yang disebabkan oleh kebijakan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh kebijakan moneter. Inflation shock yang mungkin banyak timbul selama proses pemulihan ekonomi tersebut harus diperhitungkan dalam penentuan target inflasi dan hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh bank sentral dalam penentuan target akhir kebijakan moneternya. Tantangan lain yang mungkin juga harus

Tabel 1 : Perkembangan Jumlah Uang Beredar dari Tahun 1993 s/d 2011. (juta $US)

Tahun JUB Perkembangan

1993 145202 29310 1994 174512 48126 1995 222638 65994 1996 288632 67011 1997 355643 221738 1998 577381 68824 1999 646205 100823 2000 747028 97025 2001 844053 111639 2002 883908 71784 2003 955692 77835 2004 1033527 169688 2005 1203215 178859 2006 1382074 267588 2007 1649662 246177 2008 1895839 245544 2009 2141383 329822 2010 2471205 -34527 2011 2436678

Sumber : Data Triwulanan Bank Indonesia www.bi.go.id (data diolah)

Dengan didasarkan pada tabel 1, maka secara rinci data yang ada dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pada akhir tahun 1990 hutang luar negeri sebesar 3320.9 Juta $. Pada akhir tahun 1991 mengalami peningkatan sebesar 4440.6 Juta $. Pada akhir tahun 1992

terjadi kenaikan sebesar 15305.9 Juta $. Pada akhir tahun 1993 mengalami penurunan sebesar 13461.4 Juta $. Pada akhir tahun 1994 kembali meningkat menjadi 15231.7 Juta $. Pada akhir tahun 1995 kembali menurun hingga 14988.2 Juta $. Pada akhir tahun 1996 terjadi peningkatan sebesar 17214.2 Juta $. Pada akhir tahun 1997 juga meningkat hingga 21263.5 Juta $. Pada akhir tahun 1998 mengalami kenaikan sebesar 23575.9 Juta $. Pada akhir tahun 1999 mengalami penurunan sebesar 23140.3 Juta $. Pada akhir tahun 2000 mengalami penurunan mencapai 22139.5 Juta $. Pada akhir tahun 2001 terjadi penurunan hingga 20792.8 Juta $.pada akhir tahun 2002 penurunan terjadi hingga 20522.3 Juta $.Tetapi di akhir tahun 2003 mengalami peningkatan kembali sebesar 21156.3 Juta $. Pada akhir tahun 2004 mengalami kenaikan hingga 21410 Juta $. Namun pada akhir tahun 2010 kembali mengalami penurunan sebesar 20414.3 Juta $. Dengan adanya peningkatan dan penurunan hutang luar negeri Indonesia di atas, maka hutang luar negeri tertinggi terjadi pada triwulan keempat tahun 1998 sebesar 23575.9 Juta $ dan yang terendah terjadi pada triwulan pertama tahun 1990 sebesar 3320.9 Juta $.

Sedangkan dilihat dari perkembangannya, maka perkembangan tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun 1991 sebesar 18.53 % dan perkembangan terendah terjadi pada triwulan kedua tahun 2005 sebesar -0.04 %. Perkembangan hutang luar negeri dapata dilihat secara grafik sebagai berikut :

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 22000 24000 26000 28000 30000 32000 34000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 H u ta n g L u a r N e g e ri Sumber : Tabel 1

4.2.2. Per kembangan Investasi Dalam Kur un Waktu 1990 – 2010 Secara Tr iwulanan ( X1 )

Investasi adalah merupakan penanaman modal untuk mendapatkan dan meningkatkan barang-barang modal baru. Investasi lazim juga disebut dengan penerimaan modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi guna menambah kemampuan untuk memproduksi barang-barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian.

Perkembangan investasi banyak mengalami fluktuasi pada beberapa tahun, sehingga terjadi peningkatan dan penuruna yang tidak beraturan. Peningkatan terjadi pada triwulan ketiga tahun 1990, triwulan kedua tahun 1991, triwulan kedua tahun 1992, triwulan pertama tahun 1993. Penurunan terjadi pada triwulan ketiga

tahun 1994, tetapi peningkatan kembali terjadi pada triwulan ketiga tahun 1995, triwulan pertama tahun 1996, namun kembali menurun pasa triwulan ketiga tahun 1997, triwulan pertama tahun 1998, triwulan keempat tahun 1999, triwulan kedua tahun 2000.

Peningkatan kembali terjadi pad triwulan pertama tahun 2001, triwulan kedua tahun 2002, triwulan kedua tahun 2003 mengalami penurunan, triwulan ketiga tahun 2008 dan triwulan pertama tahun 2009 mengalami kenaikan, sedangkan pada triwulan pertama tahun 2010 mengalami penurunan.

Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan perkembangan investasi dari tahun 1993 hingga tahun 2011 .

Tahun inflasi Perkembangan

1993 6.44 0.94 1994 7.38 6.72 1995 14.1 6.72 1996 0.91 -13.19 1997 11.05 10.14 1998 77.53 75.52 1999 2.01 -75.52 2000 9.4 7.39 2001 12.55 3.15 2002 10 -2.55 2003 5.1 -4.9 2004 6.4 1.3 2005 17.1 10.7 2006 6.6 -17.1 2007 6.6 2008 11.05 4.45 2009 6.04 -5.01

2010 2471205 2011 2436678

Dengan didasarkan pada tabel 2, maka secara rinci data yang ada dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pada akhir tahun 1990 investasi sebesar 55954.8. Pada akhir tahun 1991 mengalami penurunan sebesar 50127.6. Pada akhir tahun 1992 terjadi kenaikan sebesar 56932.5. Pada akhir tahun 1993 mengalami penurunan sebesar 1596. Pada akhir tahun 1994 kembali penurunan menjadi 103.3. Pada akhir tahun 1995 kembali meningkat hingga 599.2. Pada akhir tahun 1996 terjadi peningkatan sebesar 734.7. Pada akhir tahun 1997 juga meningkat hingga 1119.9. Pada akhir tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 345.6. Pada akhir tahun 1999 mengalami penurunan sebesar 305.9. Pada akhir tahun 2000 mengalami kenaikan mencapai 330.3. Pada

akhir tahun 2001 terjadi kenaikan hingga 1487.6. Pada akhir tahun 2002 penurunan terjadi hingga 626.1. Di akhir tahun 2003 sebesar 296.5. Pada akhir tahun 2008 mengalami kenaikan hingga 636.3. Namun pada akhir tahun 2010 mengalami peningkatan tajam sebesar 20414.3.

Dengan adanya peningkatan dan penurunan investasi di atas, maka investasi tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun 1992 sebesar 23575.9 123897.7 dan yang terendah terjadi pada triwulan keempat tahun 1994 sebesar 103.3. Sedangkan dilihat dari perkembangannya, maka perkembangan tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun 2005 sebesar 31.99 % dan perkembangan yang terendah terjadi pada triwulan ketiga tahun 1994 sebesar -0.05 %. Perkembangan investasi dapat dilihat secara grafik sebagai berikut :

Gambar 10 : Gr afik Investasi dar i Tahun 1990 – 2010

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 In v e s ta s i

Sumber : Tabel 2

4.2.3. Per kembangan Tabungan Dalam Kur un Waktu 1990 – 2010 Secara Tr iwulanan ( X2 )

Tahun Kurs Perkembangan

1993 2108 72 1994 2180 94 1995 2274 94 1996 2337 63 1997 3385 1048 1998 10750 -2790 1999 7960 770 2000 8730 822 2001 9552 -552 2002 9000 -145 2003 8855 285 2004 9140 116 2005 9256 -127 2006 9129 -370 2007 8759 651 2008 9410 261 2009 9671 82 2010 9753 -515 2011 9238

Tabungan pada dasarnya merupaka sisa pendaptan yang tidak dikonsumsikan yang disimpan pada lembaga keuangan. Tabungan adalah

merupakan bagian dari “pendapatan yang dapat dibelanjakan” (Disposible Income) yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi.

Perkembangan tabungan cenderung mengalami kenaikan dan diikuti dengan beberapa penurunan. Peningkatan terjadi pada triwulan ketiga tahun 1990, triwulan ketiga tahun 1991, triwulan kedua tahun 1992, triwulan keempat tahun 1993. Penuruna terjadi pada triwulan ketiga tahun 1994 dan triwulan keempat tahun 1995 mengalami kenaikan, triwulan ketiga tahun 1996 mengalami penurunan negatif, namun kembali meningkat pasa triwulan pertama tahun 1997, triwulan keempat tahun 1998, triwulan ketiga tahun 1999, triwulan ketiga tahun 2000, triwulan keempat tahun 2001, triwulan keempat tahun 2002, triwulan kedua tahun 2003, triwulan pertama tahun 2004 dan triwulan kedua tahun 2005 ,dan triwulan pertama tahun 2010.

Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan perkembangan tabungan dari tahun 1990 hingga tahun 2010 yang dibuat secara triwulanan.

Gambar 10 : Gr afik Tabungan dar i Tahun 1990 – 2010

Dengan didasarkan pada tabel 3, maka secara rinci data yang ada dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pada akhir tahun 1991 tabungan sebesar Rp. 5346.3 Milliar. Pada akhir tahun 1992 terjadi kenaikan sebesar Rp. 6677.1 Milliar. Pada akhir tahun 1993 sebesar Rp. 9851.5 Milliar. Pada akhir tahun 1994 mengalami penurunan menjadi Rp. 9518.9 Milliar. Pada akhir tahun 1995 kembali meningkat hingga Rp. 17656.8 Milliar. Pada akhir tahun 1997 juga meningkat hingga Rp. 23371.5 Milliar. Pada akhir tahun 1998 mengalami penurunan sebesar Rp. 17450.5 Milliar. Pada akhir tahun 1999 mengalami peningkatan sebesar Rp. 35777 Milliar. Pada akhir tahun 2000 mengalami penurunan mencapai Rp. 24113.7 Milliar. Pada akhir tahun 2001 terjadi kenaikan hingga Rp. 26970.4 Milliar. Pada akhir tahun 2002 meningkat hingga Rp. 30229.2 Milliar. Di akhir tahun 2003 sebesar Rp. 38748.4 Milliar. Pada akhir tahun 2008 mengalami kenaikan hingga Rp. 46350.9 Milliar. Namun pada akhir tahun 2009 mengalami penurunan sebesar Rp. 44022.3 Milliar.

Dengan adanya peningkatan dan penurunan tabungan di atas, maka tabungan tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun

2010 sebesar Rp. 1204220 Milliar dan yang terendah terjadi pada triwulan ketiga

tahun 1996 sebesar Rp. -1923.9 Milliar. Sedangkan dilihat dari perkembangannya, maka perkembangan tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun 2010 sebesar 26.35 % dan

perkembangan yang terendah terjadi pada triwulan ketiga tahun 1996 sebesar -2 %. Perkembangan tabungan dapat dilihat secara grafik sebagai berikut :

Gambar 11 : Grafik Tabungan dar i Tahun 1990 – 2010

-6000 -1000 4000 9000 14000 19000 24000 29000 34000 39000 44000 49000 54000 59000 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 T a b u n g an Sumber : Tabel 3

4.2.4. Per kembangan Tingkat Penganggur an Dalam Kur un Waktu 1991– 2011 ( X3 ) Pengeluaran pemerintah atau “Government Expenditure” adalah merupakan pengeluaran uang sebagai pendanaan untuk melakukan fungsi pemerintah. Perkembangan pengeluaran pemerintah cenderung mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Pada triwulan ketiga tahun 1990, triwulan kedua tahun 1991, triwulan pertama ahun 1992, triwulan keempat tahun 1993, triwulan kedua tahun 1994, triwulan pertama tahun 1995, triwulan pertama tahun 1996, triwulan ketiga tahun 1997, triwulan ketiga tahun 1998, triwulan kedua tahun 1999, triwulan pertama tahun 2000. Tetapi mengalami penurunan pada triwulan pertama tahun 2001, triwulan keempat tahun 2002, dan meningkat pada triwulan pertama tahun 2003 hingga triwulan keempat tahun 2004.

Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan perkembangan pengeluaran pemerintah dari tahun 1990 hingga tahun 2010 yang dibuat secara triwulanan.

Tahun Tingkat Penggangguran Perkembangan 1993 2.76 1.6 1994 4.36 2.88 1995 7.24 -2.35 1996 4.89 -0.21 1997 4.68 0.78 1998 5.46 0.9 1999 6.36 -0.28 2000 6.08 2.02 2001 8.1 1 2002 9.1 0.4 2003 9.5 0.4 2004 9.9 1.34 2005 11.24 6.36 2006 17.6 -2.3 2007 15.3 -6.91 2008 8.39 -0.52 2009 7.87 -0.73 2010 7.14 -0.44 2011 6.7

Dengan didasarkan pada tabel 4, maka secara rinci data yang ada dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pada akhir tahun 1990 pengeluaran pemerintah sebesar Rp. 12572.6 Milliar. Pada akhir tahun 1991 mengalami penurunan sebesar Rp. 11308.6 Milliar. Pada akhir tahun 1992 terjadi kenaikan sebesar Rp. 13358.9 Milliar. Pada akhir tahun 1993 sebesar Rp. 14547.9 Milliar. Pada akhir tahun 1994 mengalami peningkatan menjadi Rp. 16162.9 Milliar. Pada akhir tahun 1995 kembali meningkat hingga Rp. 18133.5 Milliar. Pada akhir tahun 1996 terjadi peningkatan sebesar Rp. 20281.7 Milliar. Pada akhir tahun 1997 juga meningkat hingga Rp. 23834.5 Milliar. Pada akhir tahun 1998 meningkat hingga Rp. 26253.4 Milliar. Pada akhir tahun 1999 mengalami peningkatan sebesar Rp. 81234.5 Milliar. Pada akhir tahun 2000 mengalami penurunan mencapai Rp. 22327.7 Milliar. Pada akhir tahun 2001 dan 2002 meningkat hingga Rp. 53369.3 Milliar. Di akhir tahun 2003 sebesar Rp. 58828.9 Milliar. Pada akhir tahun 2004 mengalami kenaikan hingga Rp. 68188.3 Milliar.

Dengan adanya peningkatan dan penurunan pada pengeluaran pemerintah di atas, maka pengeluaran pemerintah tertinggi terjadi pada triwulan keempat tahun

1999 sebesar Rp. 81234.5 Milliar dan yang terendah terjadi pada triwulan pertama tahun 1990 sebesar Rp. 5714.8 Milliar.

Sedangkan dilihat dari perkembangannya, maka perkembangan tertinggi terjadi pada triwulan pertama tahun 2001 sebesar 2.2 % dan perkembangan terendah terjadi pada beberapa triwulan dalam beberapa tahun sebesar -1 %. Perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dilihat secara grafik sebagai berikut :

Gambar 12 : Gr afik Penganggur an dar i Tahun 1993 – 2011

0 4000 8000 12000 16000 20000 24000 28000 32000 36000 40000 44000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 Pe n g e lu a ra n Pe m e ri in ta h Sumber : Tabel 4

4.3. Analisis dan Pengujian Hipotesis

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, maka metode yang digunakan untuk menganalisa seperti yang telah ditetapkan pada bab tiga yaitu metode regresi

linier berganda dengan data time series menjadi penentu kebijaksanaan dalam variabel-variabel yang telah ditentukan. Maka data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis. Pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan program E-views (Econometrica Views).

4.3.1 Analisis Per ilaku Data 4.3.1.1.Uji Nor malitas

Dengan asumsi ini estimator atau penafsiran akan memenuhi sifat-sifat statistic yang diinginkan seperti unbiased dan memiliki variasi yang minimum. Dari tabel uji normalitas Jarque-Bera test sebesar 1,294991 dengan probability sebesar 0,523355 dapat diketahui bahwa nilai J_B hitung lebih besar nilai X2 tabel (dari probability-nya), artinya bahwa model empiris yang digunakan memiliki residual faktor pengganggu yaitu berdistribusi normal.

4.3.1.2.Uji Akar – akar Unit

Data atau variabel yang diamati akan stasioner jika nilai t-hitung (absolut) lebih besar dari t-tabel (absolut).

Tabel 8

Var iabel Nilai t-hitung Nilai t-tabel

Inflasi -4.477.686 -3,487845

JUB -4.524.279 -3,487845

Kurs -5.175.468 -3,487845

Sumber : Lampiran 3-7

Data tabel di atas dapat diketahui bahwa variabel inflasi stasioner pada nilai t-hitung sebesar -1,219012 dengan nilai t-tabel sebesar -3,487845, variabel JUB stasioner pada nilai thitung sebesar 1,038652 dengan nilai ttabel sebesar -3,487845, variabel Kurs stasioner pada nilai t-hitung sebesar -4,168559 dengan nilai tabel sebesar -3,487845, variabel Tingkat pengangguran stasioner pada nilai t-hitung sebesar -5,325019 dengan nilai t-tabel sebesar -3,487845

4.3.2. Analisis dengan Pengujian Regresi Berganda

Dalam analisis ini menggunakan model koreksi kesalahan atau yang berguna untuk mengetahui terdapat tidaknya pengaruh antar variabel terikat.

Hal ini dilihat dari lolosnya semua variabel dari uji t. Apabila t-hitung lebih besar dari t-tabel, maka variabel bebas di dalamnya mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat. Hasil estimasi dengan menggunakan Regresi Berganda pada variabel terikat Inflasi dapat dilihat pada tabel 9 sebagai berikut :

Tabel 9

LAM PIRAN 1 : HASIL ESTIM ASI

Dependent Variable: INFL M et hod: Least Squares

Date: 10/ 18/ 12 Time: 05:23 Sample: 1993 2011

Included observat ions: 19

Variable Coefficient Std. Error t-St at ist ic Prob.

C 8.683.087 8.006.259 1.084.537 0.2965 JUB -5.47E-06 5.04E-06 -1.084.785 0.2963 KURS 0.003405 0.001151 2.958.282 0.0104 UNEM -2.614.648 1.077.566 -2.426.439 0.0293 DKRIS 2.734.830 7.214.795 3.790.585 0.0020 R-squared 0.684532 M ean dependent var 1.155.053 Adjust ed R-squared 0.594398 S.D. dependent var 1.648.469 S.E. of regression 1.049.859 Akaike info crit erion 7.761.294

Sum squared resid 1.543.086

Schwarz

crit erion 8.009.830 Log likelihood -6.873.229 Hannan-Quinn criter. 7.803.356 F-statist ic 7.594.612 Durbin-Watson st at 2.266.586 Prob(F-st at ist ic) 0.001801

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh persamaan Error Corection Model sebagai berikut :

infl= 8.683.087 - 5.47E-06 J UBt+ 0.003405 kur s - 2.614.648 unem + 2.734.830

Untuk variabel-variabel dalam bentuk perbedaan (difference) menunjukkan adanya signifikansi, pengaruh variabel-variabel bebas tersebut dapat bersifat seketika maupun tidak seketika, tetapi membutuhkan selang waktu sehingga dalam model studi empiris variabel-variabel bebasnya mempengaruhi variabel terikat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam jangka pendek variabel JUB berpengaruh nyata dan negatif terhadap

inflasi sebesar 5.47E-06 artinya setiap kenaikan JUB sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 5.47E-06 milyar .

Koefisien variabel Tingkat Pengangguran (unem) sebesar 2.734.830 berbanding terbalik dengan variabel bebas Inflasi dan signifikan menunjukkan arti bahwa inflasi dan pengangguran bersifat negatif (sesuai denga teori Phillips Curve) adanya trade-off anatara kedua variabel tersebut. Kenaikan sebesar 1% tingkat pengangguran akan mengakibatkan turunnya tingkat inflasi sebesar 2,73%.

Nilai koefisien determinasi ( R2 ) yang bernilai rendah sebesar 0.68453

menunjukkan secara simultan kesemua variabel bebasnya mempengaruhi secara simultan terhadap variabel inflasi.

Besarnya nilai koefisien Dummy Krisis (Dkris) yang terjadi pada tahun 1997 (Krisis Moneter) dan kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang memiliki koefisien

sebesar 2.734.8302 dan sangat signifikan, menunjukkan bahwa krisis ekonomi

dan kenaikan harga kebutuhan pokok khususnya BBM menjadi bukti bahwa kedua kondisi tersebut sangat rentan terhadap melambungnya harga atau inflasi. Bank

Indonesia sebagai otoritas moneter sangat bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan mata uang domestik, sehingga harga harga dalam negeri dapat dikendalikan.

Pemulihan ekonomi global ke depan lebih baik sebagaimana terlihat dari penyesuaian ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh berbagai lembaga internasional. Optimisme global yang membaik ini akan berdampak pada volume perdagangan dunia yang juga meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh positif terhadap permintaan terhadap produk ekspor sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, proses pemulihan ekonomi global ini masih menghadapi risiko ketidakpastian terkait krisis utang yang melanda sejumlah negara di Eropa dan potensi gangguan proses produksi pascagempa di Jepang. Selain itu, kenaikan harga minyak dan komoditi pangan dunia diperkirakan masih berlanjut sehingga memberikan tekanan inflasi di banyak negara maju dan emerging

Dokumen terkait