• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dalam proses penelitian. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat pokok masalah yang dibahas dalam bab ini, yaitu mengenai aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini diterangkan dari keseluruhan uraian yang telah dipaparkan ke dalam bentuk simpulan dan saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perlawanan

a.Pengertian dan Bentuk-Bentuk Perlawanan

Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar kehadiran tergugat atau biasanya disebut putusan verstek. Dasar hukumnya dalam Pasal 125 Ayat (3) jo. Pasal 129 HIR dan Pasal 149 Ayat (3) jo. Pasal 153 RBg. Pada asasnya perlawanan sebagai media bagi pihak tergugat yang pada umumnya berkedudukan sebagai pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara perdata, karena ketidakhadiran tergugat dalam pemeriksaan di persidangan meskipun telah dipanggil secara patut (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 232). Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 290.K/Sip/1973, tanggal 13 Agustus 1974 menyatakan bahwa perlawanan yang diajukan terlambat harus dinyatakan tidak dapat diterima, bukan ditolak.

Praktik dalam peradilan, ada berbagai macam bentuk verzet. Bentuk verzet yang lain diantaranya (R. Soeparmono, 2000 : 160-161) :

1) Verzet atas Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag), yaitu perlawanan yang diajukan oleh tergugat/debitur terhadap sita atas barang tidak tetap dan barang tetap miliknya;

2) Verzet atas Sita Revindicatoir (Revindicatoir Beslag), yaitu perlawanan yang diajukan oleh tergugat/debitur terhadap sita atas barang tidak tetap milik kreditur yang dikuasai oleh debitur;

Verzet terhadap sita conservatoir dan sita revindicatoir sama sekali tidak diatur dalam HIR. Sita jaminan tidak ditujukan untuk melakukan eksekusi terhadap barang sitaan, hanya sekedar melarang tersita untuk melakukan perbuatan hukum terhadap barang sitaan. Sita jaminan tetap dapat menimbulkan kerugian bagi tersita. Dalam Rv justru diatur tentang ketentuan tentang perlawanan terhadap sita jaminan. Pasal 724 dan Pasal 725 Rv mengatur tentang perlawanan yang diajukan oleh tersita dalam suatu pemeriksaan perkara atas sah dan berharga atau tidaknya sita jaminan yang harus diadakan 8 hari setelah sita ditetapkan.

3) Verzet oleh pihak ketiga atau biasa disebut Derden Verzet, yaitu suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang merasa kepentingan dan hak-haknya dirugikan karena adanya sita dari pengadilan;

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No.

306.K/Sip/1962 tanggal 31 Oktober 1962 menyatakan, bahwa perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, dalam hal sita conservatoir belum disahkan (van waarde verklaard). Verzet terhadap conservatoir beslag bersifat insidentil, apabila perlawanan diterima seharusnya diperiksa secara tersendiri (insidentil) dengan menunda pemeriksaan terhadap pokok perkara. Dasar hukumnya adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1346.K/Sip/1971 tanggal 23 Juli 1973. 4) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir

beslag maupun revindicatoir beslag (tidak diatur dalam HIR, RBg maupun Rv);

Perlawanan pihak ketiga didasarkan pada hak milik. Pelawan harus dapat membuktikan bahwa barang yang disita adalah miliknya, agar dapat dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diangkat. Pelawan yang tidak dapat membuktikan hak miliknya akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan sita akan tetap

dipertahankan. Perlawanan terhadap sita conservatoir tidak akan dapat memenuhi perlawanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 (6) HIR, karena perlawanan bukan berdasarkan atas hak milik. Perlawanan oleh pihak ketiga berdasarkan hak milik atas barang yang disita dapat diterima selama sita belum disahkan (http://hukumpedia.com/index.php?title=Sita_jaminan>[20 Januari 2010 pukul 10.00]).

5) Verzet atas Sita Eksekusi, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak yang dikalahkan (debitur) terhadap eksekusi. Perlawanan terhadap Sita Eksekusi ini diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg;

Perlawanan terhadap sita eksekusi bisa dilakukan selama barang yang disita masih belum dilelang atau masih belum dilaksanakan penyerahannya kepada pihak yang menang. Perlawanan tidak akan berhasil dan akan ditolak bila diajukan terlambat, meskipun pelawan adalah pihak yang benar dan pemilik yang sah atas barang yang disita. Barang yang telah dilelang tetap berada ditangan pembeli dari pelelangan dan terhadap barang yang telah diserahkan kepada pihak pemenang lelang tetap ditangan yang menerima barang. Cara yang dapat ditempuh oleh pelawan adalah mengajukan gugatan kepada tergugat semula untuk mendapatkan ganti rugi (Putusan Mahkamah Agung tertanggal 24 Januari 1980 No. 393/K/Sip/1975). Pada umumnya yang dimohonkam pelawan dalam perlawanannya adalah :

1. Menyatakan bahwa perlawanan tersebut adalah tepat dan

beralasan;

2. Menyatakan bahwa pelawan adalah pelawan yang benar;

3. Meminta agar sita jaminan atau sita eksekutorial yang

bersangkutan diperintahkan untuk di angkat;

4. Meminta agar para terlawan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Apabila pelawan dapat membuktikan bahwa barang yang disita itu miliknya, maka keempat hal yang diminta tersebut diatas akan dikabulkan. Pengadilan akan menyatakan perlawanan tidak beralasan dan pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar, apabila tidak dapat membuktikan. Penyitaan pun tetap dipertahankan dan biaya perkara dibebankan kepada pelawan (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2009 : 176-177).

6) Derden Verzet atas Sita Eksekusi, yaitu perlawanan dari pihak ketiga yang merasa dirugikan kepentingan dan hak-haknya karena adanya sita eksekusi. Dasar hukum perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan Pasal 208 HIR/Pasal 206 dan Pasal 228 RBg;

7) Verzet atas Eksekusi Riil, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh debitur karena kepentingan dan hak-haknya dirugikan oleh tindakan kreditur dalam hal eksekusi riil, seperti penyerahan barang, pengosongan, penjualan lelang dan pembayaran uang;

8) Verzet atas Sita yang lain, seperti Sita Maritaal, Sita Gadai (Pandbeslag), dan lain sebagainya.

b.Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi

Pelaksanaan putusan hakim yang pada dasarnya berupa penyitaan barang-barang milik pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata dapat diajukan perlawanan, baik oleh pihak yang kalah maupun pihak ketiga. Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang menjalankan eksekusi atau dalam wilayah hukumnya terjadi penyitaan itu dan dapat diajukan secara lisan ataupun tertulis. Perlawanan oleh tersita terhadap sita eksekusi atas barang miliknya, dapat mengemukakan alasan-alasan yang dapat diterima (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 241), sebagai berikut :

Apabila pelaksanaan sita telah selesai, namun pihak yang kalah mampu memenuhi isi putusan dengan membayar utangnya. Penyitaan dapat dilawan karena putusan pengadilan sudah selesai dilaksanakan dan penyitaan itu harus diangkat.

2) Syarat penyitaan tidak sesuai atau bertentangan dengan undang-undang;

Contoh : Pelaksanaan putusan dapat dilawan jika tanpa ada pemberitahuan kepada yang bersangkutan atau tidak menurut tenggang waktu yang telah ditetapkan.

3) Penyitaan bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 Ayat (8) HIR/ Pasal 211 RBg, yaitu terhadap hewan dan barang bergerak untuk menjalankan perusahaan/yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh tersita.

Sekarang ini, hanya ada satu alasan yang dianggap paling relevan sebagai dalil atas perlawanan tersita terhadap eksekusi. Alasannya yaitu putusan yang dieksekusi telah dipenuhi seluruhnya atau grosse akta (pengakuan hutang, hak tanggungan, atau jaminan fidusia) telah dilunasi seluruhnya atau sebagian, sedangkan pelunasan sebagian itu tidak dikurangi jumlah utang (M. Yahya Harahap, 2006 : 437).

Perlawanan terhadap penyitaan dapat diajukan oleh pihak ketiga apabila ternyata barang yang disita adalah barang milik pihak ketiga dan dia dapat membuktikan hak miliknya. Perlawanan pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi putusan hakim (pelelangan atas barang sitaan),

kecuali apabila Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan

memerintahkan agar menangguhkan eksekusi sampai dijatuhkan putusan terhadap perlawanan tersebut (Pasal 196 ayat (6), Pasal 207 dan Pasal 208 HIR/Pasal 206 ayat (3), Pasal 225 s.d. 228 RBg). Penundaan eksekusi dapat diterapkan apabila perlawanan tersita didasarkan pada Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg yang disesuaikan dengan asas kasuistik dan asas eksepsional (M. Yahya Harahap, 2006 : 435).

Perlawanan secara faktual apabila diajukan dengan alasan yang sangat mendasar, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menunda eksekusi sampai putusan perlawanan mempunyai kekuatan hukum tetap. Perlawanan diajukan setelah selesai pelaksanaan putusan hakim/ penjualan lelang, maka oleh pengadilan negeri harus ditolak dan tidak dapat dibenarkan. Jalan yang dapat ditempuh oleh pelawan adalah dengan mengajukan gugat baru.

Perlawanan yang diajukan oleh tersita terhadap eksekusi pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan. Tujuan itu meliputi :

a). Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang

hendak dieksekusi tidak mengikat;

b). Mengurangi nilai jumlah yang dieksekusi.

Perlawanan tersita terhadap eksekusi dalam praktiknya tidak semua mempunyai makna seperti pada tujuan tersebut diatas. Perlawanan yang diajukan sebagian besar hanya sebagai kedok untuk menunda proses eksekusi. Tersita berharap mendapat kelonggaran waktu untuk mengusahakan memenuhi putusan, apabila eksekusi ditunda.

2. Tinjauan tentang Sita Eksekusi a.Pengertian Sita Eksekusi

Sita eksekusi adalah sita yang didasarkan pada titel eksekutorial. Titel eksekutorial tercantum dalam putusan hakim. Sita eksekusi dijalankan oleh jurusita dengan dibantu oleh panitera (panitera pengganti) disertai 2 (dua) orang saksi dan menandatangani berita acara sita eksekusi. Barang yang dapat disita secara eksekutorial adalah barang bergerak milik pihak yang dikalahkan dan memang diprioritaskan terlebih dahulu untuk disita (Pasal 197 ayat (1) HIR/Pasal 208 RBg), termasuk yang berada dalam penguasaan orang lain. Sita eksekusi tidak boleh dijalankan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian hidup (Pasal 197 ayat (8)/Pasal 211RBg). Barang

bergerak yang dimaksudkan adalah uang, surat berharga dan barang bergerak yang bertubuh. Dalam Pasal 229 RBg diatur mengenai dimungkinkan untuk menyita piutang dari pihak yang dihukum yang dapat ditagihnya dari pihak ketiga. Ketentuan dalam Pasal 229 RBg tidak diatur dalam HIR (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 257).

Sita eksekusi dapat diletakkan terhadap barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan, selain barang bergerak. Barang tidak bergerak bisa berupa tanah, rumah, gedung dan sebagainya. Penyitaan barang tidak bergerak harus dibuat berita acara penyitaan dengan menyebutkan jam, hari, bulan dan tahun yang kemudian diberitahukan kepada lurah/kepala desa setempat untuk diumumkan (Pasal 198 ayat (1) dan (2)). Selanjutnya oleh panitera didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan dan diregister kepaniteraan pengadilan negeri dalam buku Register Sita Eksekusi. Pihak yang disita barangnya tidak boleh lagi memindahkan, menggadaikan atau menyewakan barang yang disita sejak berita acara penyitaan diumumkan (Pasal 198 ayat (1) dan (2)).

b.Macam-Macam Sita Eksekusi

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam sita

eksekutorial/sita eksekusi (Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata, 2009 : 130-131) :

1) Sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan;

Dalam proses pemeriksaan perkara perdata, sebelumnya telah diadakan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan ini bertujuan agar dapat terjamin pelaksanaan putusan hakim. Setelah putusan hakim menyatakan sita jaminan sah dan berharga, maka secara otomatis sita jaminan menjadi sita eksekutorial.

2) Sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi

(sebelumnya tidak ada sita jaminan).

Sita eksekutorial yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, apabila sebelumnya dalam proses pemeriksaan perkara perdata

belum diadakan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan yang belum dimohonkan, mengakibatkan besarnya kemungkinan termohon eksekusi sudah tidak memiliki harta benda, karena sudah dijual ataupun dialihkan kepada pihak lain pada saat sita eksekusi ditetapkan. Akibatnya sita eksekusi menjadi gagal dan gugatan yang bersangkutan tidak dapat dieksekusi, karena gugatan tidak memiliki jaminan atau gugatan hampa (illusoir).

c.Sita Eksekusi dan Lelang Lanjutan

Semua harta kekayaan tergugat (debitur) dapat dijual lelang untuk memenuhi pelunasan utangnya kepada penggugat (kreditur). Ketua Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan sita eksekusi dan lelang lanjutan atas harta kekayaan debitur yang masih ada sampai terpenuhi lunas pembayaran kepada pihak kreditur, apabila hasil penjualan lelang belum mencukupi untuk melunasi pembayaran utang. Eksekusi merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisah sampai terpenuhi secara sempurna apa yang dihukumkan kepada pihak tereksekusi sesuai amar putusan hakim.

Ketua Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan sita eksekusi dan penjualan lelang lanjutan terhadap harta kekayaan pihak tereksekusi atas dasar permintaan yang diajukan oleh pihak pemohon eksekusi dengan kewajiban menunjukkan harta kekayaan tereksekusi. Pengadilan bersikap menunggu dengan dasar anggapan, selama tidak ada permintaan sita eksekusi dan penjualan lelang lanjutan dari pihak pemohon eksekusi, pemohon dianggap telah menerima sepenuhnya eksekusi yang dijalankan. Konsekuensi hukum perjanjian utang piutang dengan penjaminan adalah sita eksekusi dan penjualan lelang tahap pertama hanya dapat dijalankan terhadap barang jaminan. Sita eksekusi dan penjualan lelang lanjutan, berlaku sepenuhnya Pasal 197 ayat (1) HIR. Sita eksekusi dan penjualan lelang lanjutan harus dinyatakan tidak dapat

dijalankan atas alasan tidak dijumpai harta kekayaan tereksekusi (M. Yahya Harahap, 2006 : 409-411).

3. Tinjauan tentang Eksekusi

a.Pengertian Eksekusi

Suatu perkara perdata yang diajukan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan pihak lain, pasti selalu diakhiri dengan putusan hakim. Kedua pihak yang berperkara apabila dapat menerima putusan atau tidak mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, maka putusan hakim akan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dieksekusi. Putusan hakim pada tingkat peradilan pertama belum mempunyai kekuatan hukum tetap bila salah satu pihak mengajukan upaya hukum Banding maupun Kasasi dan praktis belum bisa dieksekusi, kecuali perkara diputus serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorrad) agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi selalu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, meskipun masih tersedia upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali.

Pelaksanan putusan hakim atau eksekusi ialah “realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut” (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 248). Berdasarkan Pasal 195 HIR/Pasal 206 RBg, pelaksanaan putusan hakim dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap didalamnya terdapat 3 (tiga) jenis kekuatan, salah satunya adalah kekuatan untuk dilaksanakan/eksekutorial. Kekuatan eksekutorial merupakan kekuatan

untuk dilaksanakan tentang apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Kekuatan eksekutorial putusan hakim terletak pada kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Putusan hakim tidak semuanya dapat dilaksanakan secara paksa oleh

pengadilan. Putusan declaratoir dan putusan constitutif tidak

memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakan isi putusan, karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada kesediaan pihak yang kalah dalam perkara. Putusan condemnatoir sangat berbeda, putusan ini dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan dengan bantuan alat kekuasaan negara karena adanya hak atas suatu prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak yang kalah (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247). Upaya paksa oleh pengadilan dalam menjalankan putusan ini dapat ditempuh apabila pihak yang kalah tidak mau memenuhi isi putusan secara sukarela.

Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg mengatur, bahwa hakim diizinkan menjalankan putusan terlebih dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorrad), meskipun ada upaya hukum verzet, banding dan kasasi. Berdasarkan

SEMA RI No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar

Bij Voorrad) dan Provisionil, ketentuan yang harus dipenuhi agar putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat dijalankan terlebih dahulu, yaitu :

a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti;

b. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;

c. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis/

lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik;

d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta

perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;

e. Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan

hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;

f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan

mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;

g. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

b.Peraturan-Peraturan tentang Eksekusi

Beberapa peraturan yang mengatur tentang eksekusi, antara lain : 1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia yang

diperbarui (RIB) atau Reglement Buitengewijsten (RBg). Pasal 195 s.d. 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 258 RBg, yang masih berlaku efektif Pasal 195 s.d. Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 240 dan Pasal 258 RBg;

2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria;

3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;

5) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

6) Undang-Undang No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan

Piutang Negara jo. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara;

7) SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta

(Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Putusan Provisionil jo. Pasal 180 HIR;

8) Peraturan Lelang No. 189/1908 (Staatsblad 1908 Nomor 189);

9) Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;

10)Keputusan Menteri Keuangan RI No. 336/KMK.01/2000 tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara.

c.Syarat-Syarat Eksekusi

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar putusan hakim dapat dieksekusi, antara lain (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247-248) :

1) Putusan hakim bersifat comdemnatoir (menghukum);

Putusan hakim yang bersifat declaratoir (menetapkan) dan

constitutif (menimbulkan/meniadakan hukum baru) tidak memerlukan eksekusi. Amar putusan hakim harus berupa :

a) Menghukum tergugat membayar sejumlah uang;

b) Menghukum tergugat menyerahkan rumah yang ditempati;

c) Menghukum tergugat mengosongkan barang sengketa.

2) Putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);

Beberapa pengecualian dari syarat ini, yaitu putusan serta merta (Uitvoerbar Bij Voorraad), putusan provisionil, putusan akta perdamaian dan eksekusi grosse akta (Pasal 224 HIR).

3) Pihak yang kalah dengan tidak sukarela menjalankan putusan hakim;

4) Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang menang disertai

dengan pembayaran biaya eksekusi;

5) Atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

secara ef officio (Pasal 197 HIR). d.Jenis-Jenis dan Prosedur Eksekusi

Ada dua jenis eksekusi menurut M. Yahya Harahap (2006 : 24), yaitu :

1) Eksekusi Riil, yaitu melakukan tindakan nyata, misalnya menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu; 2) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, yaitu memenuhi isi putusan

hakim dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan lelang.

Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia

Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi

Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai (Pasal 1 angka 4 Permenkeu No.40/PMK.07/2006).

Penjualan lelang (executorial verkoop) adalah kelanjutan sita eksekusi yang ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg, yang memerintahkan penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan kantor lelang. Sumber hukum yang menjadi pedoman pelaksanaannya tidak semata-mata merujuk pada HIR dan RBg. HIR dan RBg tidak mengatur lebih lanjut tata cara penjualan lelang. Lelang eksekusi dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang Stb. 1908 No. 189 (Vendu Reglement) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Stb. 1940 No. 56 yang juga didukung oleh beberapa peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan.

Alasan Yahya Harahap membagi eksekusi menjadi 2 (dua) macam, karena eksekusi perintah melakukan atau tidak melakukan suatu

perbuatan tertentu termasuk dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang. Melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tidak dapat dipaksakan kepada setiap orang.

Sudikno Mertokusumo (2006 : 248) membagi jenis-jenis eksekusi menjadi tiga macam, yaitu :

1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

membayar sejumlah uang;

Prestasi yang diwajibkan untuk memenuhi isi putusan hakim adalah dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 s.d. 200 HIR. Prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagai berikut :

a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;

b). Panggilan aanmaning;

c). Pelaksanaan aanmaning;

d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri. e). Sita eksekusi (jika dalam pemeriksaan perkara perdata belum

diadakan sita jaminan). Apabila sebelumnya sudah diadakan sita jaminan, pada tahap eksekusi sita jaminan dinyatakan sah dan berharga, kemudian menjadi sita eksekutorial;

f). Surat perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk megadakan

penjualan lelang; g). Pelaksanaan lelang.

2) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu;

Eksekusi jenis ini diatur dalam Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg yang memuat ketentuan bahwa orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi suatu prestasi dengan melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Prestasi dapat dinilai dengan sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak yang kalah sebagai pengganti perbuatan

tertentu yang seharusnya dilakukan. Pihak yang menang dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang. Perubahan eksekusi dapat dilakukan dengan cara perubahan secara langsung yang dimohonkan pada petitum gugatan dan dengan cara mengajukan permohonan perubahan dari eksekusi melakukan perbuatan tertentu menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang. Prosedurnya, meliputi :

a). Setelah tahap aanmaning, pihak yang kalah tidak mau

melakukan perbuatan tertentu;

b). Pihak yang menang mengajukan perubahan eksekusi dengan

menyebutkan secara jelas jumlah uang yang dimohonkan;

Dokumen terkait