• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39Pdt.Plw2008PN.Klt.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39Pdt.Plw2008PN.Klt.)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET)

DARI TERSITA

(Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Novrizal Ibnu Murwandono NIM. E0006191

FAKULTAS HUKUM

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET)

DARI TERSITA

(Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.)

Oleh

Novrizal Ibnu Murwandono NIM. E0006191

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juni 2010 Dosen Pembimbing

(3)

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET)

DARI TERSITA

(Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.)

Oleh

Novrizal Ibnu Murwandono NIM. E0006191

Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 6 Juli 2010 DEWAN PENGUJI

1. Th. Kussunaryatun, S.H., M.H. :

... Ketua

2. Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H. :

... Sekretaris

3. Harjono, S.H., M.H. : ...

Anggota

Mengetahui Dekan,

(4)

NIP.196109301986011001

PERNYATAAN

Nama : Novrizal Ibnu Murwandono NIM : E0006191

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 7 Juni 2010 yang membuat pernyataan

(5)

ABSTRAK

Novrizal Ibnu Murwandono, E 0006191. STUDI TENTANG LELANG

EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT

PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai, aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang

mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :

39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.

Penelitan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini, yaitu menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer berupa Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., Burgerlijk Wetboek dan Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Bahan hukum sekunder berupa dokumen, buku-buku, laporan, arsip, makalah, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum tersier berupa data dari internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu dengan cara studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan metode silogisme dan interpretasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. adalah Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg, Pasal 195 ayat (1) HIR, Pasal 196 HIR, Pasal 197 ayat (1) HIR, Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg, Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad : 1941 : 3, Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan SK Menteri Keuangan Nomor : 06/KM.06/UP.11/2007 tertanggal 3 Mei 2007 serta Surat Tugas dari Kepala KPKNL Surakarta Nomor : ST-332/WKN.09/KP.02/2008 tanggal 1 Agustus 2008. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. telah sesuai dengan aturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Gugatan perlawanan ditolak untuk seluruhnya, karena pelawan tidak dapat membuktikan dalil guna menangguhkan lelang eksekusi, meskipun dalam pemeriksaan perkara perdata perlawanan seharusnya diperiksa dan diputus terlebih dahulu sebelum eksekusi dijalankan.

(6)

ABSTRACT

Novrizal Ibnu Murwandono, E 0006191. A STUDY OF EXECUTION AUCTION ON CONFISCATED OBJECT GETTING OPPOSITION (VERZET) FROM THE CONFISCATED (A Case Study on Case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt). Law Faculty of Sebelas Maret University.

This research aims to study and to answer problem about the law ordinances underlying the auction of land execution opposed by the confiscated in the case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. The rationale of judge’s deliberation of Klaten

First Instance Court in deciding the opposition case Number :

39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. viewed from Indonesian Civil Code.

This study belongs to a normative law research that is descriptive in nature. The data type employed was secondary one. The secondary data source employed included primary and secondary law materials. The primary law material included the Decision of Klaten First Instance Court Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., Burgerlijk Wetboek and Herziene Indlandsch Reglement (HIR). The secondary law materials included documents, books, reports, archives, papers, and literatures relevant to the problem studied. The tertiary law material is data from network. Technique of collecting data used was library study, the secondary data collection. Technique of analyzing data used was syllogism and interpretation.

Considering the result of research and discussion, the following conclusions can be drawn. The laws underlying the auction of land execution opposed by the confiscated in the case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt are Articles 207 HIR/225 RBG, 195 clause (1) HIR, 196 HIR, 197 clause (1) HIR, 200 clause (1) HIR/216 clause (1) RBg, Vendu Reglement, Ordonantie February 28, 1908 Staatsblad 1908 : 189 as amended for several times and finally amended with Staatsblad : 1941: 3, RI’s Financial Minister No. 40/PMK. 07/2006 about the Instruction of Auction Organization and Financial Minister’s Decision Number : 06/KM.06/UP.11/2007 dated May 3, 2007 as well as Instruction of Surakarta KPKNL Principal Number : ST-332/WKN.09/KP.02/2008 on August 1, 2008. The rationale of judge’s deliberation of Klaten First Instance Court in deciding the opposition case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. has been consistent with the Indonesian Civil Code. The opposition indictment is rejected as a whole, because the opponent cannot prove the proposition to delay the execution auction, although in civil law of practise opposition should be investigated and decided prior to the execution run.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan baik. Penulisan hukum ini membahas mengenai aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.

Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai bahan yang terkait. Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

3. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing

Akademik dan Dosen Penguji Penulisan Hukum;

4. Bapak Harjono S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing dan Penguji

Penulisan Hukum, yang telah membimbing penulis hingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan dengan baik;

5. Ibu Th. Kussunaryatun, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Penulisan Hukum;

6. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku Ketua Pengelola Penulisan

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

7. Para dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta di semua

(8)

8. Bapak Santun Simamora, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Klaten;

9. Bapak Jaka M. Nur Hasan, S.H., selaku Kepala Kepaniteraan Muda

Bagian Hukum Pengadilan Negeri Klaten;

10.Bapak Murtiman, B.A. dan Ibu Rajinem sebagai orang tua yang selalu memberikan dukungan dan memenuhi kebutuhan baik lahir maupun batin bagi penulis dalam menempuh pendidikan;

11.Temanku Chandra, Amriza, Hendro, Vera, Fafa, Tina, Octavia, Sophie, teman-teman MCC Pers 2010, Yolanda FC dan Cassava FC yang selalu solid dalam menjaga persahabatan. Salam semangat dan sukses selalu untuk kita;

12.Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

angkatan 2006 yang senantiasa menjaga persahabatan dengan baik;

13.Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang telah diberikan.

Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah

membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Surakarta, Juni 2010

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 13

1.Tinjauan tentang Perlawanan ... 13

a. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Perlawanan ... 13

b. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi ... 16

(10)

a. Pengertian Sita Eksekusi... 18

b. Macam-Macam Sita Eksekusi ... 19

c. Sita Eksekusi dan Lelang Lanjutan ... 20

3.Tinjauan tentang Eksekusi ... 21

a. Pengertian Eksekusi ... 21

b. Peraturan-Peraturan tentang Eksekusi ... 23

c. Syarat-Syarat Eksekusi ... 24

d. Jenis-Jenis dan Prosedur Eksekusi ... 24

e. Hambatan Eksekusi ... 29

f. Penundaan atau Penangguhan Eksekusi ... 30

g. Bentuk Penundaan atau Penangguhan Eksekusi ... 31

4.Tinjauan tentang Perjanjian Pinjam-Meminjam ... 32

a. Pengertian Perjanjian Pinjam-Meminjam ... 32

b. Subyek dan Obyek Perjanjian Pinjam-Meminjam ... 33

c. Peminjaman dengan Bunga dalam Perjanjian Pinjam-Meminjam ... 33

5.Tinjauan tentang Penanggungan atau Jaminan Perorangan ... 34

a. Pengertian Penanggungan atau Jaminan Perorangan ... 34

b. Sifat Perjanjian Penanggungan ... 35

c. Hapusnya Perjanjian Penanggungan ... 36

d. Bentuk-Bentuk Penanggungan ... 37

6.Tinjauan tentang Tanah sebagai Benda Jaminan ... 37

B. Kerangka Pemikiran ... 38

(11)

B. Pembahasan ... 53 1.Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah

yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ... 53 2.Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam

memutus perkara perlawanan Nomor :

39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia ... 62

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ... 71 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR BAGAN

Bagan Kerangka Pemikiran ... 39

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi terjalin karena kebutuhan hidup manusia sangat beragam. Hubungan antara manusia satu dengan lainnya tidak hanya menyangkut aspek kemanusiaan, sosial dan budaya serta aspek-aspek yang lain, tetapi menyangkut pula aspek hukum. Naluri mempertahankan hidup membuat manusia berpikir untuk mengatur hubungannya dengan individu yang lain. Interaksi antar sesama manusia, baik individu maupun kelompok kadang disertai dengan perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang didasarkan atas hukum sangatlah penting, karena menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian.

(13)

Contract law is conventionally understood to be uncorcerned with fault. In the influential words of the Restatement : Contract liability is strict liability. It is an accepted maxim that pacta sunt servanda, contracts are to be kept. The obligor is therefore liable in damages for breach of contract even if he is without fault and even if circumstances have made the contract more burdensome or less desirable than he had anticipated (Eric A. Posner, 2009 : 8).

Hukum kontrak biasanya dimengerti untuk tidak mempermasalahkan

kesalahan. Pengaruhnya menimbulkan pendapat lain :

Pertanggungjawaban kontrak adalah pertanggungjawaban mutlak. Itu dapat diterima sebagai asas pacta sunt servanda, kontrak-kontrak tetap dijaga. Pihak yang dibebani kewajiban untuk itu bertanggung jawab atas kerugian-kerugian terhadap pelanggaran kontrak bahkan jika dia tanpa kesalahan dan bahkan jika keadaan telah dibuat kontrak yang lebih berat dan tidak lebih dari yang diinginkannya guna diantisipasi.

Seseorang yang membutuhkan modal usaha dapat meminjam uang kepada orang lain untuk dijadikan sebagai modal usaha dan dilakukan dengan mengadakan perjanjian pinjam-meminjam. Perjanjian pinjam-meminjam dapat disertai dengan keterlibatan pihak ketiga sebagai penjamin atau penanggung utang dari debitur. Peraturan tentang jaminan dalam KUHPerdata menganut sistem tertutup (closed system), maksudnya orang tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan undang-undang (Salim HS, 2004 : 12). Penanggungan dimaksudkan, apabila debitur cidera janji dengan tidak melunasi utangnya pada saat jatuh tempo, maka penanggung berkewajiban melunasinya dengan cara menjual harta kekayaannya. Jaminan yang dapat digunakan dalam penanggungan utang adalah harta kekayaan penanggung, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Adakalanya debitur melalaikan kewajiban untuk membayar utang dan penanggung utang berkewajiban melunasinya. Kreditur dapat mengajukan gugatan ke pengadilan apabila pelunasan utang tidak dipenuhi oleh debitur dan penanggung utang. Gugatan itu bertujuan agar hak kreditur yang dilanggar dapat terpenuhi. Gugatan diajukan ke pengadilan negeri sebagai lembaga peradilan tingkat pertama.

(14)

Hakim dalam menangani perkara perdata, bertugas mencari kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut para pihak dan tidak boleh melebihi dari itu, kebenaran itu disebut dengan kebenaran formil (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 21). Mediasi atau perdamaian adalah langkah awal yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu perkara perdata. Hakim harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara pada saat hari sidang yang telah ditentukan. Perkara akan diperiksa dan diputus oleh majelis hakim bila upaya mediasi yang dilakukan gagal. Pihak yang tidak puas atas putusan hakim, dapat mengajukan upaya hukum Banding. Masih terbuka pula upaya hukum Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan Banding. Perkara yang diputus pada tingkat Kasasi selalu mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dijalankan eksekusi putusan hakim, meskipun masih dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa.

Eksekusi putusan hakim dapat dijalankan atas permohonan pihak yang menang dalam perkara, apabila pihak yang kalah tidak dengan sukarela melaksanakan putusan hakim. Proses eksekusi didahului dengan aanmaning, diikuti dengan penetapan dan pelaksanaan sita eksekusi, diakhiri dengan eksekusi terhadap harta kekayaan pihak yang kalah. Eksekusi dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi putusan hakim terkadang mengalami berbagai hambatan. Hambatan yang terjadi dapat menangguhkan eksekusi untuk sementara waktu. Bentuk hambatan eksekusi salah satunya adalah perlawanan oleh pihak tereksekusi. Perlawanan oleh pihak tereksekusi terhadap eksekusi putusan hakim merupakan salah satu bentuk upaya hukum luar biasa. Perlawanan oleh tereksekusi pada asasnya tidak dapat menangguhkan eksekusi, tetapi dalam praktiknya ada alasan perlawanan yang dianggap relevan untuk menangguhkan eksekusi.

(15)

dengan melibatkan D (atas ijin suaminya DH) sebagai penanggung utang yang menjaminkan sebidang tanah SHM Nomor. 312/Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten seluas ± 2180 M². Utang piutang itu dituangkan dalam akta notaris tertanggal 6 Januari 2004.

WHP harus melunasi utangnya dalam jangka waktu 7 bulan sejak dimulainya peminjaman. D sanggup melunasi utang dengan menjual tanah yang dijadikan jaminan utang, apabila WHP tidak mampu melunasi utangnya. WHP tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu jatuh tempo dan D tidak memenuhi kewajibannya.

YS mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Klaten karena WHP dan D telah ingkar janji. Perkara diperiksa setelah mediasi gagal dan mejelis hakim memutus Tergugat I/WHP telah ingkar janji dan harus melunasi utangnya sebesar Rp. 367.355.201,00 serta mengganti kerugian materiil sebesar Rp. 4.591.940,00. Jumlah utang telah diperhitungkan dengan angsuran sebelumnya. Pemenuhan putusan hakim dilakukan dengan cara menjual lelang sebidang tanah milik Tergugat II/D. Turut Tergugat/DH dihukum untuk mematuhi segala isi putusan.

Para pihak yang kalah mengajukan upaya hukum sampai tingkat Kasasi. Permohonan Kasasi ditolak dan menguatkan putusan sebelumnya. Putusan Kasasi selalu mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dijalankan eksekusi.

(16)

Bertitik tolak dari uraian diatas, menjadi penting penelitian mengenai perlawanan yang diajukan oleh tersita terhadap sita eksekusi sebidang tanah yang menjadi obyek jaminan dalam perjanjian utang piutang. Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan tersita penting untuk diketahui. Putusan perlawanan dalam perkara perdata yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. di Pengadilan Negeri Klaten.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan menuangkannya dalam penulisan hukum dengan judul : “STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.).”

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian harus tegas, agar dapat memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian dan menghindari data yang tidak diperlukan. Dalam perumusan masalah akan diperoleh kerangka yang sistematis dan terbatas pada obyek yang bersifat pokok saja. Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti merumuskan masalah untuk dikaji lebih terperinci. Adapun beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini, antara lain :

1. Apa aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang

mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :

39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.?

2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia?

(17)

Tujuan merupakan target yang ingin dicapai sebagai pemecahan atas berbagai masalah yang diteliti (tujuan obyektif) dan untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Tujuan penelitian diperlukan karena berkaitan erat dengan perumusan masalah dalam penelitian dan untuk memberikan arah yang tepat dalam penelitian agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif :

a.Untuk mengetahui aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.;

b.Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.

2. Tujuan Subyektif :

a.Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

penyusunan penulisan hukum guna memenuhi persyaratan akademis bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

b.Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan

pengalaman serta pemahaman aspek hukum acara perdata dalam teori dan praktik di lapangan, khususnya mengenai perlawanan tersita terhadap sita eksekusi dalam perkara perdata;

c.Untuk mendalami teori dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

(18)

1. Manfaat Teoritis :

a.Memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya,

khususnya hukum acara perdata, terutama yang berkaitan dengan perlawanan oleh tersita terhadap sita eksekusi dalam perkara perdata; b.Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang

karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan;

c.Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh, sehingga dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah.

2. Manfaat Praktis :

a.Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam teori dan praktik penelitian ilmiah di bidang ilmu hukum;

b.Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas

permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini; c.Meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti

akan permasalahan yang diteliti dan dapat dipergunakan sebagai bahan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Penelitian ilmiah harus disusun dengan berpedoman pada metode yang tepat. Peneliti harus cermat dalam menggunakan metode, agar hasil penelitian sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Metode penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2007 : 7). Hakikatnya metode memberikan pedoman bagi peneliti untuk mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang akan dihadapinya. Pengertian dari metode penelitian adalah suatu unsur mutlak yang memberikan pedoman dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

(19)

Berdasarkan judul dan permasalahan yang diteliti, jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas (Amirudin dan Zainal Asikin, 2004 : 118). Penelitian hukum jenis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan-bahan hukum itu disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menguji adanya suatu fakta yang disebabkan oleh faktor tertentu (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 35). Penulis dalam penelitian ini ingin mendeskripsikan mengenai dasar yuridis lelang eksekusi yang mendapat perlawanan dari tersita dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perlawanan tersita ditinjau dari aspek Hukum Acara Perdata Indonesia, yang merupakan faktor tertentu. Lelang eksekusi yang tetap berjalan meskipun mendapat perlawanan dari tersita dan putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. yang menolak perlawanan tersita, merupakan suatu fakta.

3. Pendekatan Penelitian

(20)

fokus penelitian ini, yaitu perlawanan sita eksekusi oleh tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang memuat informasi atau data tersebut. Data sekunder meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, laporan, majalah, artikel dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

5. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dapat berupa dokumen, buku-buku literatur, majalah dan artikel yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a.Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah norma atau kaidah dasar hukum acara yang berlaku di Indonesia, antara lain :

1) Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

2) Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB);

3) Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.

(21)

b.Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mendukung data sekunder dari bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku literatur di bidang hukum, pendapat para sarjana (doktrin), jurnal-jurnal hukum, majalah, artikel dan karya ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

c.Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang mencakup kamus hukum, bahan-bahan dari internet dan bahan lain yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian.

6. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, dokumen resmi, jurnal-jurnal hukum dan artikel yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

7. Teknik Analisis Data

(22)

Pada penelitian ini, Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Herziene Inlandsch Reglement (HIR), sebagai premis mayor. Adapun premis minor, yaitu perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Akhir dari proses silogisme tersebut diperoleh simpulan (conclusion) atas permasalahan dalam penelitian hukum ini.

Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi adalah sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Menjelaskan ketentuan undang-undang adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 154).

Metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi Teleologis atau Sosiologis, yaitu apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dalam interpretasi Teleologis atau Sosiologis, undang-undang yang masih berlaku namun sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak mempedulikan apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut tidak dikenal atau tidak. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru, untuk menyelesaikan sengketa kehidupan waktu sekarang (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 156).

F. Sistematika Penulisan Hukum

(23)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan landasan teori berdasarkan sumber-sumber data yang digunakan oleh penulis berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tinjauan pustaka terbagi atas dua bagian, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan tentang perlawanan, sita eksekusi, eksekusi, perjanjian pinjam-meminjam, penanggungan dan tanah sebagai benda jaminan. Kerangka pemikiran merupakan gambaran logika hukum berbentuk bagan dan disertai deskripsi singkat guna mempermudah alur pemikiran dalam menjawab permasalahan yang diteliti.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dalam proses penelitian. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat pokok masalah yang dibahas dalam bab ini, yaitu mengenai aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

(24)

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perlawanan

a.Pengertian dan Bentuk-Bentuk Perlawanan

Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar kehadiran tergugat atau biasanya disebut putusan verstek. Dasar hukumnya dalam Pasal 125 Ayat (3) jo. Pasal 129 HIR dan Pasal 149 Ayat (3) jo. Pasal 153 RBg. Pada asasnya perlawanan sebagai media bagi pihak tergugat yang pada umumnya berkedudukan sebagai pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara perdata, karena ketidakhadiran tergugat dalam pemeriksaan di persidangan meskipun telah dipanggil secara patut (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 232). Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 290.K/Sip/1973, tanggal 13 Agustus 1974 menyatakan bahwa perlawanan yang diajukan terlambat harus dinyatakan tidak dapat diterima, bukan ditolak.

Praktik dalam peradilan, ada berbagai macam bentuk verzet. Bentuk verzet yang lain diantaranya (R. Soeparmono, 2000 : 160-161) :

1) Verzet atas Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag), yaitu perlawanan yang diajukan oleh tergugat/debitur terhadap sita atas barang tidak tetap dan barang tetap miliknya;

(25)

Verzet terhadap sita conservatoir dan sita revindicatoir sama sekali tidak diatur dalam HIR. Sita jaminan tidak ditujukan untuk melakukan eksekusi terhadap barang sitaan, hanya sekedar melarang tersita untuk melakukan perbuatan hukum terhadap barang sitaan. Sita jaminan tetap dapat menimbulkan kerugian bagi tersita. Dalam Rv justru diatur tentang ketentuan tentang perlawanan terhadap sita jaminan. Pasal 724 dan Pasal 725 Rv mengatur tentang perlawanan yang diajukan oleh tersita dalam suatu pemeriksaan perkara atas sah dan berharga atau tidaknya sita jaminan yang harus diadakan 8 hari setelah sita ditetapkan.

3) Verzet oleh pihak ketiga atau biasa disebut Derden Verzet, yaitu suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang merasa kepentingan dan hak-haknya dirugikan karena adanya sita dari pengadilan;

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No.

306.K/Sip/1962 tanggal 31 Oktober 1962 menyatakan, bahwa perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, dalam hal sita conservatoir belum disahkan (van waarde verklaard). Verzet terhadap conservatoir beslag bersifat insidentil, apabila perlawanan diterima seharusnya diperiksa secara tersendiri (insidentil) dengan menunda pemeriksaan terhadap pokok perkara. Dasar hukumnya adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1346.K/Sip/1971 tanggal 23 Juli 1973. 4) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir

beslag maupun revindicatoir beslag (tidak diatur dalam HIR, RBg maupun Rv);

Perlawanan pihak ketiga didasarkan pada hak milik. Pelawan harus dapat membuktikan bahwa barang yang disita adalah miliknya, agar dapat dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diangkat. Pelawan yang tidak dapat membuktikan hak miliknya akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan sita akan tetap

(26)

dipertahankan. Perlawanan terhadap sita conservatoir tidak akan dapat memenuhi perlawanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 (6) HIR, karena perlawanan bukan berdasarkan atas hak milik. Perlawanan oleh pihak ketiga berdasarkan hak milik atas barang yang disita dapat diterima selama sita belum disahkan (http://hukumpedia.com/index.php?title=Sita_jaminan>[20 Januari 2010 pukul 10.00]).

5) Verzet atas Sita Eksekusi, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak yang dikalahkan (debitur) terhadap eksekusi. Perlawanan terhadap Sita Eksekusi ini diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg;

Perlawanan terhadap sita eksekusi bisa dilakukan selama barang yang disita masih belum dilelang atau masih belum dilaksanakan penyerahannya kepada pihak yang menang. Perlawanan tidak akan berhasil dan akan ditolak bila diajukan terlambat, meskipun pelawan adalah pihak yang benar dan pemilik yang sah atas barang yang disita. Barang yang telah dilelang tetap berada ditangan pembeli dari pelelangan dan terhadap barang yang telah diserahkan kepada pihak pemenang lelang tetap ditangan yang menerima barang. Cara yang dapat ditempuh oleh pelawan adalah mengajukan gugatan kepada tergugat semula untuk mendapatkan ganti rugi (Putusan Mahkamah Agung tertanggal 24 Januari 1980 No. 393/K/Sip/1975). Pada umumnya yang dimohonkam pelawan dalam perlawanannya adalah :

1. Menyatakan bahwa perlawanan tersebut adalah tepat dan

beralasan;

2. Menyatakan bahwa pelawan adalah pelawan yang benar;

3. Meminta agar sita jaminan atau sita eksekutorial yang

bersangkutan diperintahkan untuk di angkat;

(27)

Apabila pelawan dapat membuktikan bahwa barang yang disita itu miliknya, maka keempat hal yang diminta tersebut diatas akan dikabulkan. Pengadilan akan menyatakan perlawanan tidak beralasan dan pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar, apabila tidak dapat membuktikan. Penyitaan pun tetap dipertahankan dan biaya perkara dibebankan kepada pelawan (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2009 : 176-177).

6) Derden Verzet atas Sita Eksekusi, yaitu perlawanan dari pihak ketiga yang merasa dirugikan kepentingan dan hak-haknya karena adanya sita eksekusi. Dasar hukum perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan Pasal 208 HIR/Pasal 206 dan Pasal 228 RBg;

7) Verzet atas Eksekusi Riil, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh debitur karena kepentingan dan hak-haknya dirugikan oleh tindakan kreditur dalam hal eksekusi riil, seperti penyerahan barang, pengosongan, penjualan lelang dan pembayaran uang;

8) Verzet atas Sita yang lain, seperti Sita Maritaal, Sita Gadai (Pandbeslag), dan lain sebagainya.

b.Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi

Pelaksanaan putusan hakim yang pada dasarnya berupa penyitaan barang-barang milik pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata dapat diajukan perlawanan, baik oleh pihak yang kalah maupun pihak ketiga. Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang menjalankan eksekusi atau dalam wilayah hukumnya terjadi penyitaan itu dan dapat diajukan secara lisan ataupun tertulis. Perlawanan oleh tersita terhadap sita eksekusi atas barang miliknya, dapat mengemukakan alasan-alasan yang dapat diterima (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 241), sebagai berikut :

(28)

Apabila pelaksanaan sita telah selesai, namun pihak yang kalah mampu memenuhi isi putusan dengan membayar utangnya. Penyitaan dapat dilawan karena putusan pengadilan sudah selesai dilaksanakan dan penyitaan itu harus diangkat.

2) Syarat penyitaan tidak sesuai atau bertentangan dengan undang-undang;

Contoh : Pelaksanaan putusan dapat dilawan jika tanpa ada pemberitahuan kepada yang bersangkutan atau tidak menurut tenggang waktu yang telah ditetapkan.

3) Penyitaan bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 Ayat (8) HIR/ Pasal 211 RBg, yaitu terhadap hewan dan barang bergerak untuk menjalankan perusahaan/yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh tersita.

Sekarang ini, hanya ada satu alasan yang dianggap paling relevan sebagai dalil atas perlawanan tersita terhadap eksekusi. Alasannya yaitu putusan yang dieksekusi telah dipenuhi seluruhnya atau grosse akta (pengakuan hutang, hak tanggungan, atau jaminan fidusia) telah dilunasi seluruhnya atau sebagian, sedangkan pelunasan sebagian itu tidak dikurangi jumlah utang (M. Yahya Harahap, 2006 : 437).

Perlawanan terhadap penyitaan dapat diajukan oleh pihak ketiga apabila ternyata barang yang disita adalah barang milik pihak ketiga dan dia dapat membuktikan hak miliknya. Perlawanan pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi putusan hakim (pelelangan atas barang sitaan),

kecuali apabila Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan

(29)

Perlawanan secara faktual apabila diajukan dengan alasan yang sangat mendasar, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menunda eksekusi sampai putusan perlawanan mempunyai kekuatan hukum tetap. Perlawanan diajukan setelah selesai pelaksanaan putusan hakim/ penjualan lelang, maka oleh pengadilan negeri harus ditolak dan tidak dapat dibenarkan. Jalan yang dapat ditempuh oleh pelawan adalah dengan mengajukan gugat baru.

Perlawanan yang diajukan oleh tersita terhadap eksekusi pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan. Tujuan itu meliputi :

a). Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang

hendak dieksekusi tidak mengikat;

b). Mengurangi nilai jumlah yang dieksekusi.

Perlawanan tersita terhadap eksekusi dalam praktiknya tidak semua mempunyai makna seperti pada tujuan tersebut diatas. Perlawanan yang diajukan sebagian besar hanya sebagai kedok untuk menunda proses eksekusi. Tersita berharap mendapat kelonggaran waktu untuk mengusahakan memenuhi putusan, apabila eksekusi ditunda.

2. Tinjauan tentang Sita Eksekusi a.Pengertian Sita Eksekusi

(30)

bergerak yang dimaksudkan adalah uang, surat berharga dan barang bergerak yang bertubuh. Dalam Pasal 229 RBg diatur mengenai dimungkinkan untuk menyita piutang dari pihak yang dihukum yang dapat ditagihnya dari pihak ketiga. Ketentuan dalam Pasal 229 RBg tidak diatur dalam HIR (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 257).

Sita eksekusi dapat diletakkan terhadap barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan, selain barang bergerak. Barang tidak bergerak bisa berupa tanah, rumah, gedung dan sebagainya. Penyitaan barang tidak bergerak harus dibuat berita acara penyitaan dengan menyebutkan jam, hari, bulan dan tahun yang kemudian diberitahukan kepada lurah/kepala desa setempat untuk diumumkan (Pasal 198 ayat (1) dan (2)). Selanjutnya oleh panitera didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan dan diregister kepaniteraan pengadilan negeri dalam buku Register Sita Eksekusi. Pihak yang disita barangnya tidak boleh lagi memindahkan, menggadaikan atau menyewakan barang yang disita sejak berita acara penyitaan diumumkan (Pasal 198 ayat (1) dan (2)).

b.Macam-Macam Sita Eksekusi

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam sita

eksekutorial/sita eksekusi (Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata, 2009 : 130-131) :

1) Sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan;

Dalam proses pemeriksaan perkara perdata, sebelumnya telah diadakan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan ini bertujuan agar dapat terjamin pelaksanaan putusan hakim. Setelah putusan hakim menyatakan sita jaminan sah dan berharga, maka secara otomatis sita jaminan menjadi sita eksekutorial.

2) Sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi

(sebelumnya tidak ada sita jaminan).

(31)

belum diadakan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan yang belum dimohonkan, mengakibatkan besarnya kemungkinan termohon eksekusi sudah tidak memiliki harta benda, karena sudah dijual ataupun dialihkan kepada pihak lain pada saat sita eksekusi ditetapkan. Akibatnya sita eksekusi menjadi gagal dan gugatan yang bersangkutan tidak dapat dieksekusi, karena gugatan tidak memiliki jaminan atau gugatan hampa (illusoir).

c.Sita Eksekusi dan Lelang Lanjutan

Semua harta kekayaan tergugat (debitur) dapat dijual lelang untuk memenuhi pelunasan utangnya kepada penggugat (kreditur). Ketua Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan sita eksekusi dan lelang lanjutan atas harta kekayaan debitur yang masih ada sampai terpenuhi lunas pembayaran kepada pihak kreditur, apabila hasil penjualan lelang belum mencukupi untuk melunasi pembayaran utang. Eksekusi merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisah sampai terpenuhi secara sempurna apa yang dihukumkan kepada pihak tereksekusi sesuai amar putusan hakim.

(32)

dijalankan atas alasan tidak dijumpai harta kekayaan tereksekusi (M. Yahya Harahap, 2006 : 409-411).

3. Tinjauan tentang Eksekusi

a.Pengertian Eksekusi

Suatu perkara perdata yang diajukan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan pihak lain, pasti selalu diakhiri dengan putusan hakim. Kedua pihak yang berperkara apabila dapat menerima putusan atau tidak mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, maka putusan hakim akan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dieksekusi. Putusan hakim pada tingkat peradilan pertama belum mempunyai kekuatan hukum tetap bila salah satu pihak mengajukan upaya hukum Banding maupun Kasasi dan praktis belum bisa dieksekusi, kecuali perkara diputus serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorrad) agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi selalu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, meskipun masih tersedia upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali.

Pelaksanan putusan hakim atau eksekusi ialah “realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut” (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 248). Berdasarkan Pasal 195 HIR/Pasal 206 RBg, pelaksanaan putusan hakim dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama.

(33)

untuk dilaksanakan tentang apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Kekuatan eksekutorial putusan hakim terletak pada kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Putusan hakim tidak semuanya dapat dilaksanakan secara paksa oleh

pengadilan. Putusan declaratoir dan putusan constitutif tidak

memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakan isi putusan, karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada kesediaan pihak yang kalah dalam perkara. Putusan condemnatoir sangat berbeda, putusan ini dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan dengan bantuan alat kekuasaan negara karena adanya hak atas suatu prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak yang kalah (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247). Upaya paksa oleh pengadilan dalam menjalankan putusan ini dapat ditempuh apabila pihak yang kalah tidak mau memenuhi isi putusan secara sukarela.

Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg mengatur, bahwa hakim diizinkan menjalankan putusan terlebih dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorrad), meskipun ada upaya hukum verzet, banding dan kasasi. Berdasarkan

SEMA RI No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar

Bij Voorrad) dan Provisionil, ketentuan yang harus dipenuhi agar putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat dijalankan terlebih dahulu, yaitu :

a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti;

b. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;

(34)

lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik;

d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta

perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;

e. Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan

hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;

f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan

mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;

g. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

b.Peraturan-Peraturan tentang Eksekusi

Beberapa peraturan yang mengatur tentang eksekusi, antara lain : 1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia yang

diperbarui (RIB) atau Reglement Buitengewijsten (RBg). Pasal 195 s.d. 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 258 RBg, yang masih berlaku efektif Pasal 195 s.d. Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 240 dan Pasal 258 RBg;

2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria;

3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;

5) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

6) Undang-Undang No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan

Piutang Negara jo. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara;

7) SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta

(Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Putusan Provisionil jo. Pasal 180 HIR;

8) Peraturan Lelang No. 189/1908 (Staatsblad 1908 Nomor 189);

(35)

10)Keputusan Menteri Keuangan RI No. 336/KMK.01/2000 tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara.

c.Syarat-Syarat Eksekusi

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar putusan hakim dapat dieksekusi, antara lain (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247-248) :

1) Putusan hakim bersifat comdemnatoir (menghukum);

Putusan hakim yang bersifat declaratoir (menetapkan) dan

constitutif (menimbulkan/meniadakan hukum baru) tidak memerlukan eksekusi. Amar putusan hakim harus berupa :

a) Menghukum tergugat membayar sejumlah uang;

b) Menghukum tergugat menyerahkan rumah yang ditempati;

c) Menghukum tergugat mengosongkan barang sengketa.

2) Putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);

Beberapa pengecualian dari syarat ini, yaitu putusan serta merta (Uitvoerbar Bij Voorraad), putusan provisionil, putusan akta perdamaian dan eksekusi grosse akta (Pasal 224 HIR).

3) Pihak yang kalah dengan tidak sukarela menjalankan putusan hakim;

4) Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang menang disertai

dengan pembayaran biaya eksekusi;

5) Atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

secara ef officio (Pasal 197 HIR).

d.Jenis-Jenis dan Prosedur Eksekusi

(36)

1) Eksekusi Riil, yaitu melakukan tindakan nyata, misalnya menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu; 2) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, yaitu memenuhi isi putusan

hakim dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan lelang.

Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia

Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi

Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai (Pasal 1 angka 4 Permenkeu No.40/PMK.07/2006).

Penjualan lelang (executorial verkoop) adalah kelanjutan sita eksekusi yang ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg, yang memerintahkan penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan kantor lelang. Sumber hukum yang menjadi pedoman pelaksanaannya tidak semata-mata merujuk pada HIR dan RBg. HIR dan RBg tidak mengatur lebih lanjut tata cara penjualan lelang. Lelang eksekusi dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang Stb. 1908 No. 189 (Vendu Reglement) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Stb. 1940 No. 56 yang juga didukung oleh beberapa peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan.

(37)

perbuatan tertentu termasuk dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang. Melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tidak dapat dipaksakan kepada setiap orang.

Sudikno Mertokusumo (2006 : 248) membagi jenis-jenis eksekusi menjadi tiga macam, yaitu :

1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

membayar sejumlah uang;

Prestasi yang diwajibkan untuk memenuhi isi putusan hakim adalah dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 s.d. 200 HIR. Prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagai berikut :

a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;

b). Panggilan aanmaning;

c). Pelaksanaan aanmaning;

d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri. e). Sita eksekusi (jika dalam pemeriksaan perkara perdata belum

diadakan sita jaminan). Apabila sebelumnya sudah diadakan sita jaminan, pada tahap eksekusi sita jaminan dinyatakan sah dan berharga, kemudian menjadi sita eksekutorial;

f). Surat perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk megadakan

penjualan lelang; g). Pelaksanaan lelang.

2) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu;

(38)

tertentu yang seharusnya dilakukan. Pihak yang menang dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang. Perubahan eksekusi dapat dilakukan dengan cara perubahan secara langsung yang dimohonkan pada petitum gugatan dan dengan cara mengajukan permohonan perubahan dari eksekusi melakukan perbuatan tertentu menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang. Prosedurnya, meliputi :

a). Setelah tahap aanmaning, pihak yang kalah tidak mau

melakukan perbuatan tertentu;

b). Pihak yang menang mengajukan perubahan eksekusi dengan

menyebutkan secara jelas jumlah uang yang dimohonkan;

c). Pengadaan sidang khusus, tidak perlu memanggil kedua belah pihak dan pihak yang menang tidak wajib hadir. Pihak yang kalah diwajibkan untuk hadir dalam sidang khusus tanpa harus didengar keterangannya dalam sidang. Pemanggilan terhadap pihak yang kalah adalah untuk menerima perubahan dari eksekusi putusan melakukan perbuatan tertentu menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang;

d). Putusan hakim tentang perubahan eksekusi dalam sidang

khusus, tidak diperkenankan mengajukan permohonan Banding dan Kasasi.

(39)

3) Eksekusi Riil.

Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR, melainkan dalam Pasal 1033 Rv. Pasal 1033 Rv yang mengatur perihal eksekusi riil berbunyi :

Jika putusan hakim yang memerintahkan pengosongan suatu barang yang tidak bergerak, tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurusita supaya dengan bantuannya alat kekuasaan negara, barang itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang

kepunyaannya (Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata, 2009 : 137).

Ketentuan yang dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh Pasal 1033 Rv maksudnya adalah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Pihak yang kalah apabila tidak dengan sukarela memenuhi isi putusan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan memerintahkan dengan surat kepada jurusita dengan bantuan panitera pengadilan dan jika perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya dan segala barang yang dimilikinya. Meskipun diatur dalam Rv, namun dalam praktiknya sangat dibutuhkan. Eksekusi riil murni pada umumnya tidak mungkin, karena debitur tidak dapat dipaksa secara langsung untuk memenuhi prestasi secara pribadi (nemo praecise ad factum cogi potest). Prosedur eksekusi riil meliputi :

a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;

b). Panggilan aanmaning;

c). Pelaksanaan aanmaning;

d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri; e). Panitera memberitahukan perintah eksekusi kepada pemohon,

(40)

f). Eksekusi dijalankan oleh panitera dan jurusita secara fisik. Eksekusi bisa berupa penyerahan atau pengosongan obyek sengketa yang berwujud benda tidak bergerak.

Ada jenis eksekusi lain yang dikenal selain tiga jenis eksekusi diatas. Eksekusi itu adalah parate executie atau eksekusi langsung. Parate executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155 dan 1175 ayat (2) BW).

e.Hambatan Eksekusi

Praktik dunia peradilan, terkadang pelaksanaan putusan hakim tidak begitu mudahnya untuk dijalankan karena adanya hambatan-hambatan untuk menjalankan putusan hakim. Hambatan-hambatan eksekusi pada umumnya, yaitu (M. Yahya Harahap, 2006 : 390-396) :

1) Tereksekusi menolak karena tidak sesuai dengan amar putusan;

Penolakan eksekusi yang diajukan tereksekusi atas alasan eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak sesuai amar putusan, tidak dapat dijadikan alasan menunda eksekusi. Pihak tereksekusi dapat mengajukan perlawanan jika tetap keberatan. Hampir setiap orang yang terkena eksekusi berusaha menolak eksekusi itu, meskipun dijalankan sesuai amar putusan.

2) Pemohon eksekusi menolak karena tidak sesuai amar putusan;

Penolakan oleh pemohon eksekusi dapat diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Pengadilan menunda eksekusi sampai pemohon eksekusi mencabut penolakan itu. Pemohon eksekusi dianggap menggugurkan haknya sendiri untuk meminta eksekusi. Selama pemohon eksekusi belum mencabut penolakan, haknya gugur untuk meminta eksekusi.

(41)

yang demikian merupakan penegasan atas eksekusi yang sedang atau sudah selesai dijalankan, sekaligus merupakan penegasan kepada pemohon eksekusi agar tidak mempermainkan eksekusi.

3) Kedua belah pihak menolak eksekusi;

Kedua belah pihak (pemohon dan termohon eksekusi) menolak atas alasan eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak sesuai dengan amar putusan, mutlak eksekusi tidak dapat dijalankan atau harus dihentikan. Eksekusi berada dalam keadaan status quo dan obyek eksekusi tetap dalam keadaan semula. Penundaan dan keadaan status quo dapat dicairkan apabila pemohon eksekusi mencabut penolakannya. Pencairan belum dapat dijalankan jika yang mencabut penolakan datang dari pihak tereksekusi. Eksekusi belum dapat dijalankan selama pemohon eksekusi belum mencabut penolakan. 4) Amar putusan kurang jelas.

Amar putusan hakim yang kurang jelas, menyebabkan eksekusi tidak sesuai dengan amar putusan hakim. Pemohon atau termohon eksekusi dapat menolak eksekusi. Termohon eksekusi dapat menolak eksekusi dengan mengajukan permohonan penundaan eksekusi, meskipun tidak menghalangi dijalankannya eksekusi. Pemohon eksekusi apabila sebagai pihak yang menolak eksekusi, maka eksekusi dapat ditunda jika penolakan diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Penolakan yang diajukan pada saat eksekusi dijalankan tidak dapat menunda eksekusi.

f. Penundaan atau Penangguhan Eksekusi

(42)

Tidak ada alasan penundaan eksekusi yang bersifat menentukan. Alasan yang sama, berbeda penerapan dan penilaiannya, sehingga alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi. Asas yang lain adalah penundaan eksekusi bersifat eksepsional, artinya pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan pengecualian dari asas aturan umum. Menurut asas umum yang berlaku (M. Yahya Harahap, 2006 : 309-310) :

1) Pada setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;

2) Eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya;

3) Perdamaian yang dapat menunda eksekusi.

g.Bentuk Penundaan atau Penangguhan Eksekusi

Penundaan atau penangguhan eksekusi dapat dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking). Penetapan (beschikking) dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang dapat berisi penolakan atau pengabulan permintaan pengguhan eksekusi. Praktik dalam peradilan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan apabila permohonan penundaan dikabulkan. Permohonan penundaan eksekusi yang ditolak, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat korespondensi. Penegakan sistem peradilan yang baik, maka sudah seharusnya penolakan pun harus dituangkan dalam bentuk penetapan yang memuat pertimbangan alasan penolakan. Dasar alasan pertimbangan penangguhan diberikan agar supaya pihak pemohon eksekusi mengetahui landasan hukum penundaan yang bersangkutan.

(43)

Keberatan terhadap penundaan eksekusi tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Upaya yang dapat diajukan hanya pengaduan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dalam rangka tindakan pengawasan (M. Yahya Harahap, 2006 : 333-334).

4. Tinjauan tentang Perjanjian Pinjam-Meminjam

a.Pengertian Perjanjian Pinjam-Meminjam

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Perjanjian menurut namanya digolongkan menjadi dua macam, yaitu

perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak

bernama). Perjanjian nominaat (bernama) merupakan perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata dan diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata. Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan, “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.” Contohnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Perjanjian innominaat (tidak bernama) ialah perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, seperti perjanjian waralaba, joint venture, dan lain-lain.

(44)

diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian Pinjam-Meminjam diatur dalam Pasal 1754 s.d. Pasal 1762 KUHPerdata.

Perjanjian Pinjam-Meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula (Pasal 1754 KUHPerdata).

b.Subyek dan Obyek Perjanjian Pinjam-Meminjam

Subyek dalam perjanjian pinjam-meminjam adalah pemberi pinjaman (kreditur), yaitu orang yang memberikan pinjaman kepada penerima pinjaman (debitur) dan penerima pinjaman (debitur), yaitu orang yang menerima pinjaman dari pemberi pinjaman (kreditur).

Obyek perjanjian pinjam-meminjam adalah semua barang-barang yang dapat habis dipakai, dengan syarat bahwa barang-barang tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

c.Peminjaman dengan Bunga dalam Perjanjian Pinjam-Meminjam

Perjanjian Pinjam-Meminjam pada dasarnya diperbolehkan

(45)

telah diperjanjikan sebelumnya, penerima pinjaman harus membayarnya sampai pada pengembalian uang pokoknya.

Berdasarkan pada Pasal 1767 KUHPerdata, bunga dapat dibedakan menjadi bunga yang ditentukan dalam undang-undang dan bunga yang didasarkan pada perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditentukan dalam undang-undang, sebesar 6% per tahun (Staatsblaad Tahun 1848 No. 22). Kenyataan yang ada, bunga perbankan berkisar antara 18%-24% per tahun. Bunga berdasarkan perjanjian merupakan bunga yang besarnya ditentukan oleh para pihak berdasarkan atas perjanjian yang telah disepakati. Bunga menurut perjanjian besarnya boleh melampaui bunga yang ditentukan dalam undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Bunga yang didasarkan pada perjanjian seringkali ditentukan oleh salah satu pihak, terutama pemberi pinjaman. Bunga yang ditetapkan oleh pemberi pinjaman biasanya sangat tinggi, yaitu berkisar antara 5%-7% per bulan dan bisa mencapai 60%-84% per tahun (Salim HS, 2005 : 79).

5. Tinjauan tentang Penanggungan atau Jaminan Perorangan

a.Pengertian Penanggungan atau Jaminan Perorangan

Penanggungan atau jaminan perorangan diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Menurut Pasal 1820 KUHPerdata penanggungan adalah “suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” Tujuan penanggungan adalah untuk memberikan jaminan dipenuhinya utang dalam perjanjian pokok. Si berutang jika cidera janji dengan tidak membayar utang, maka si penanggung yang wajib untuk membayar utangnya kepada si berpiutang.

(46)

bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Akan tetapi dapat pula diberikan atau dijamin untuk dipenuhi pihak ketiga yaitu orang pribadi atau badan hukum. Jaminan inilah yang disebut dengan Personal Guaranty. Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) ini timbul dengan adanya hubungan hukum yang akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembayaran pada salah satu pihak. Agar pihak kreditur terjamin bahwa pembayarannya akan dilakukan, maka disertakan pihak ketiga yang kadang-kadang sama sekali tidak ada hubungan dengan perikatan yang dilakukan dan bahkan menyediakan diri untuk menanggungnya (Atik Indriyani, 2006 : 1).

b.Sifat Perjanjian Penanggungan

Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, artinya apabila perjanjian pokok yang pemenuhannya dijamin dengan perjanjian penanggungan tidak dipenuhi oleh si berutang, maka si berpiutang dapat menuntut kepada penanggung agar melunasi utang itu (http://endangmintorowati.staff.hukum.uns.ac.id/2009/11/25/perjanjian-jaminan-dan-lembaga-jaminan/>[20 Januari 2010 pukul 10.30]). Maksud

daripada perjanjian penanggungan bersifat accessoir, yaitu :

1) Adanya perjanjian penanggungan tergantung pada perjanjian pokok;

2) Perjanjian pokoknya apabila hapus, maka perjanjian

penanggungannya pun ikut hapus;

3) Piutang pada perjanjian pokok dialihkan, maka semua perjanjian yang melekat pada piutang akan ikut beralih.

(47)

satisfy the Statute of Frauds and thereby be legally effective” (Karl W. Pilger, 1996 : 10). Maksudnya, beberapa kesalahan dapat membuat sebuah penjaminan tidak berguna. Hukum yang sebenarnya dari segala yurisdiksi membutuhkan persetujuan sebagai jaminan utang yang lain dalam penulisannya dan ditandatangani oleh penjamin. Tidak seperti jenis kontrak lainnya, dimana dapat dijalankan bahkan secara lisan, kontrak-kontrak penjaminan harus ditulis guna memenuhi peraturan perundang-undangan tentang penipuan/kecurangan dan dengan demikian menjadi efektif menurut hukum.

c.Hapusnya Perjanjian Penanggungan

Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, maka hapusnya tergantung hapusnya perjanjian pokoknya. Pasal 1845 s.d. 1850 KUHPerdata mengatur mengenai hapusnya perjanjian penanggungan, namun dikarenakan oleh sebab-sebab lain, yaitu :

1) Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana hapusnya perikatan-perikatan yang lain;

2) Percampuran yang terjadi antara pribadi si berutang dengan pribadi si penanggung utang, sehingga hak dan kewajiban kedua belah pihak berada pada satu orang;

3) Penanggung menggunakan segala tangkisan yang digunakan oleh si

berutang terhadap si berpiutang mengenai segala utangnya yang ditanggung itu sendiri, namun penanggung tidak diperbolehkan mengajukan tangkisan-tangkisan khusus yang menyangkut pribadi si berutang;

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian mulai tahun 2009 sampai sekarang PPP Dadap mengalami penurunan aktivitas dan kinerja operasionalnya disebabkan banyaknya permasalahan yang terjadi di PPP

Ada pun beberapa pihak yang membuat hal yang sama saya buat tetapi tidak terfokus akan kota Medan, website ini dikembangkan di komputer dan handphone diharapkan

T e rsusunny a perencanaan pengembangan k awasan st rat egis dan cepat t um buh dan arahan klust e ri sasi i ndust

7. Adif Muhtar, S.Pd., Guru mata pelajaran matematika SMPN 4 Karanganyar yang telah membantu saat penelitian;.. Para siswa kelas VIII SMPN 4 Karanganyar yang membantu

Survei arus lalu – lintas di bundaran dilakukan melalui perhitungan volume pada waktu sibuk pagi dan sore selama 4 jam yang dilakukan pada hari Senin tanggal 2 Oktober 2006 dari

adalah aspek sosial keagamaan dalam novel JBSIR. Data dan Sumber Data. a. Data

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 50 remaja sampai dewasa (usia 17-50 tahun), yang mempunyai handphone / smartphone dan sudah pernah melakukan

Nilai qc sebagai variable pada perhitungan pondasi tiang dan menghasilkan nilai Chi- kuadrat ( χ 2 ) berupa empat jenis distribusi, distribusi normal, gamma, beta, dan log