• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. Tinjauan tentang Eksekusi

a.Pengertian Eksekusi

Suatu perkara perdata yang diajukan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan pihak lain, pasti selalu diakhiri dengan putusan hakim. Kedua pihak yang berperkara apabila dapat menerima putusan atau tidak mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, maka putusan hakim akan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dieksekusi. Putusan hakim pada tingkat peradilan pertama belum mempunyai kekuatan hukum tetap bila salah satu pihak mengajukan upaya hukum Banding maupun Kasasi dan praktis belum bisa dieksekusi, kecuali perkara diputus serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorrad) agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi selalu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, meskipun masih tersedia upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali.

Pelaksanan putusan hakim atau eksekusi ialah “realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut” (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 248). Berdasarkan Pasal 195 HIR/Pasal 206 RBg, pelaksanaan putusan hakim dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap didalamnya terdapat 3 (tiga) jenis kekuatan, salah satunya adalah kekuatan untuk dilaksanakan/eksekutorial. Kekuatan eksekutorial merupakan kekuatan

untuk dilaksanakan tentang apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Kekuatan eksekutorial putusan hakim terletak pada kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Putusan hakim tidak semuanya dapat dilaksanakan secara paksa oleh

pengadilan. Putusan declaratoir dan putusan constitutif tidak

memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakan isi putusan, karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada kesediaan pihak yang kalah dalam perkara. Putusan condemnatoir sangat berbeda, putusan ini dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan dengan bantuan alat kekuasaan negara karena adanya hak atas suatu prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak yang kalah (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247). Upaya paksa oleh pengadilan dalam menjalankan putusan ini dapat ditempuh apabila pihak yang kalah tidak mau memenuhi isi putusan secara sukarela.

Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg mengatur, bahwa hakim diizinkan menjalankan putusan terlebih dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorrad), meskipun ada upaya hukum verzet, banding dan kasasi. Berdasarkan

SEMA RI No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar

Bij Voorrad) dan Provisionil, ketentuan yang harus dipenuhi agar putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat dijalankan terlebih dahulu, yaitu :

a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti;

b. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;

c. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis/

lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik;

d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta

perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;

e. Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan

hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;

f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan

mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;

g. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

b.Peraturan-Peraturan tentang Eksekusi

Beberapa peraturan yang mengatur tentang eksekusi, antara lain : 1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia yang

diperbarui (RIB) atau Reglement Buitengewijsten (RBg). Pasal 195 s.d. 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 258 RBg, yang masih berlaku efektif Pasal 195 s.d. Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 240 dan Pasal 258 RBg;

2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria;

3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;

5) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

6) Undang-Undang No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan

Piutang Negara jo. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara;

7) SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta

(Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Putusan Provisionil jo. Pasal 180 HIR;

8) Peraturan Lelang No. 189/1908 (Staatsblad 1908 Nomor 189);

9) Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;

10)Keputusan Menteri Keuangan RI No. 336/KMK.01/2000 tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara.

c.Syarat-Syarat Eksekusi

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar putusan hakim dapat dieksekusi, antara lain (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247-248) :

1) Putusan hakim bersifat comdemnatoir (menghukum);

Putusan hakim yang bersifat declaratoir (menetapkan) dan

constitutif (menimbulkan/meniadakan hukum baru) tidak memerlukan eksekusi. Amar putusan hakim harus berupa :

a) Menghukum tergugat membayar sejumlah uang;

b) Menghukum tergugat menyerahkan rumah yang ditempati;

c) Menghukum tergugat mengosongkan barang sengketa.

2) Putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);

Beberapa pengecualian dari syarat ini, yaitu putusan serta merta (Uitvoerbar Bij Voorraad), putusan provisionil, putusan akta perdamaian dan eksekusi grosse akta (Pasal 224 HIR).

3) Pihak yang kalah dengan tidak sukarela menjalankan putusan hakim;

4) Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang menang disertai

dengan pembayaran biaya eksekusi;

5) Atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

secara ef officio (Pasal 197 HIR). d.Jenis-Jenis dan Prosedur Eksekusi

Ada dua jenis eksekusi menurut M. Yahya Harahap (2006 : 24), yaitu :

1) Eksekusi Riil, yaitu melakukan tindakan nyata, misalnya menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu; 2) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, yaitu memenuhi isi putusan

hakim dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan lelang.

Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia

Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi

Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai (Pasal 1 angka 4 Permenkeu No.40/PMK.07/2006).

Penjualan lelang (executorial verkoop) adalah kelanjutan sita eksekusi yang ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg, yang memerintahkan penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan kantor lelang. Sumber hukum yang menjadi pedoman pelaksanaannya tidak semata-mata merujuk pada HIR dan RBg. HIR dan RBg tidak mengatur lebih lanjut tata cara penjualan lelang. Lelang eksekusi dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang Stb. 1908 No. 189 (Vendu Reglement) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Stb. 1940 No. 56 yang juga didukung oleh beberapa peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan.

Alasan Yahya Harahap membagi eksekusi menjadi 2 (dua) macam, karena eksekusi perintah melakukan atau tidak melakukan suatu

perbuatan tertentu termasuk dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang. Melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tidak dapat dipaksakan kepada setiap orang.

Sudikno Mertokusumo (2006 : 248) membagi jenis-jenis eksekusi menjadi tiga macam, yaitu :

1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

membayar sejumlah uang;

Prestasi yang diwajibkan untuk memenuhi isi putusan hakim adalah dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 s.d. 200 HIR. Prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagai berikut :

a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;

b). Panggilan aanmaning;

c). Pelaksanaan aanmaning;

d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri. e). Sita eksekusi (jika dalam pemeriksaan perkara perdata belum

diadakan sita jaminan). Apabila sebelumnya sudah diadakan sita jaminan, pada tahap eksekusi sita jaminan dinyatakan sah dan berharga, kemudian menjadi sita eksekutorial;

f). Surat perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk megadakan

penjualan lelang; g). Pelaksanaan lelang.

2) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu;

Eksekusi jenis ini diatur dalam Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg yang memuat ketentuan bahwa orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi suatu prestasi dengan melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Prestasi dapat dinilai dengan sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak yang kalah sebagai pengganti perbuatan

tertentu yang seharusnya dilakukan. Pihak yang menang dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang. Perubahan eksekusi dapat dilakukan dengan cara perubahan secara langsung yang dimohonkan pada petitum gugatan dan dengan cara mengajukan permohonan perubahan dari eksekusi melakukan perbuatan tertentu menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang. Prosedurnya, meliputi :

a). Setelah tahap aanmaning, pihak yang kalah tidak mau

melakukan perbuatan tertentu;

b). Pihak yang menang mengajukan perubahan eksekusi dengan

menyebutkan secara jelas jumlah uang yang dimohonkan;

c). Pengadaan sidang khusus, tidak perlu memanggil kedua belah pihak dan pihak yang menang tidak wajib hadir. Pihak yang kalah diwajibkan untuk hadir dalam sidang khusus tanpa harus didengar keterangannya dalam sidang. Pemanggilan terhadap pihak yang kalah adalah untuk menerima perubahan dari eksekusi putusan melakukan perbuatan tertentu menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang;

d). Putusan hakim tentang perubahan eksekusi dalam sidang

khusus, tidak diperkenankan mengajukan permohonan Banding dan Kasasi.

Pasal 225 HIR sesungguhnya sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan didalam praktik. Sejak beberapa puluh tahun didalam praktik, orang telah menggunakan akal yang lebih memuaskan dan praktis, yaitu dengan apa yang dinamakan astreinte atau dwangsom (uang paksaan). Dengan jalan astreinte ini, maka yang dikenakan hukuman itu diharuskan membayar sejumlah uang (biasanya suatu jumlah yang tetap) buat tiap hari ia melalaikan putusan itu. Uang paksaan atau dwangsom itu tidak dapat disamakan dengan membayar ganti rugi, sebab kewajiban buat melakukan perbuatan atau membiarkan perbuatan itu pada pokoknya tetap ada. Uang paksaan itu hanya merupakan suatu akal untuk memaksa orang yang dikenakan itu berbuat melaksanakan putusan hakim (R. Tresna, 2005 : 189).

3) Eksekusi Riil.

Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR, melainkan dalam Pasal 1033 Rv. Pasal 1033 Rv yang mengatur perihal eksekusi riil berbunyi :

Jika putusan hakim yang memerintahkan pengosongan suatu barang yang tidak bergerak, tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurusita supaya dengan bantuannya alat kekuasaan negara, barang itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang

kepunyaannya (Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Oeripkartawinata, 2009 : 137).

Ketentuan yang dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh Pasal 1033 Rv maksudnya adalah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Pihak yang kalah apabila tidak dengan sukarela memenuhi isi putusan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan memerintahkan dengan surat kepada jurusita dengan bantuan panitera pengadilan dan jika perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya dan segala barang yang dimilikinya. Meskipun diatur dalam Rv, namun dalam praktiknya sangat dibutuhkan. Eksekusi riil murni pada umumnya tidak mungkin, karena debitur tidak dapat dipaksa secara langsung untuk memenuhi prestasi secara pribadi (nemo praecise ad factum cogi potest). Prosedur eksekusi riil meliputi :

a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;

b). Panggilan aanmaning;

c). Pelaksanaan aanmaning;

d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri; e). Panitera memberitahukan perintah eksekusi kepada pemohon,

termohon, kepala desa, camat dan jika perlu meminta bantuan alat negara untuk pengamanan;

f). Eksekusi dijalankan oleh panitera dan jurusita secara fisik. Eksekusi bisa berupa penyerahan atau pengosongan obyek sengketa yang berwujud benda tidak bergerak.

Ada jenis eksekusi lain yang dikenal selain tiga jenis eksekusi diatas. Eksekusi itu adalah parate executie atau eksekusi langsung. Parate executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155 dan 1175 ayat (2) BW).

e.Hambatan Eksekusi

Praktik dunia peradilan, terkadang pelaksanaan putusan hakim tidak begitu mudahnya untuk dijalankan karena adanya hambatan-hambatan untuk menjalankan putusan hakim. Hambatan-hambatan eksekusi pada umumnya, yaitu (M. Yahya Harahap, 2006 : 390-396) :

1) Tereksekusi menolak karena tidak sesuai dengan amar putusan;

Penolakan eksekusi yang diajukan tereksekusi atas alasan eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak sesuai amar putusan, tidak dapat dijadikan alasan menunda eksekusi. Pihak tereksekusi dapat mengajukan perlawanan jika tetap keberatan. Hampir setiap orang yang terkena eksekusi berusaha menolak eksekusi itu, meskipun dijalankan sesuai amar putusan.

2) Pemohon eksekusi menolak karena tidak sesuai amar putusan;

Penolakan oleh pemohon eksekusi dapat diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Pengadilan menunda eksekusi sampai pemohon eksekusi mencabut penolakan itu. Pemohon eksekusi dianggap menggugurkan haknya sendiri untuk meminta eksekusi. Selama pemohon eksekusi belum mencabut penolakan, haknya gugur untuk meminta eksekusi.

Eksekusi tetap dilanjutkan apabila penolakan oleh pemohon eksekusi diajukan pada saat eksekusi sedang dijalankan. Penerapan

yang demikian merupakan penegasan atas eksekusi yang sedang atau sudah selesai dijalankan, sekaligus merupakan penegasan kepada pemohon eksekusi agar tidak mempermainkan eksekusi.

3) Kedua belah pihak menolak eksekusi;

Kedua belah pihak (pemohon dan termohon eksekusi) menolak atas alasan eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak sesuai dengan amar putusan, mutlak eksekusi tidak dapat dijalankan atau harus dihentikan. Eksekusi berada dalam keadaan status quo dan obyek eksekusi tetap dalam keadaan semula. Penundaan dan keadaan status quo dapat dicairkan apabila pemohon eksekusi mencabut penolakannya. Pencairan belum dapat dijalankan jika yang mencabut penolakan datang dari pihak tereksekusi. Eksekusi belum dapat dijalankan selama pemohon eksekusi belum mencabut penolakan. 4) Amar putusan kurang jelas.

Amar putusan hakim yang kurang jelas, menyebabkan eksekusi tidak sesuai dengan amar putusan hakim. Pemohon atau termohon eksekusi dapat menolak eksekusi. Termohon eksekusi dapat menolak eksekusi dengan mengajukan permohonan penundaan eksekusi, meskipun tidak menghalangi dijalankannya eksekusi. Pemohon eksekusi apabila sebagai pihak yang menolak eksekusi, maka eksekusi dapat ditunda jika penolakan diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Penolakan yang diajukan pada saat eksekusi dijalankan tidak dapat menunda eksekusi.

f. Penundaan atau Penangguhan Eksekusi

Putusan No. 1243 K/Pdt/1984 tanggal 27 Februari 1984, menyatakan bahwa Ketua Pengadilan Negeri berwenang menangguhkan eksekusi. Penangguhan eksekusi dituangkan dalam bentuk penetapan dan sifatnya merupakan kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri. Asas yang berlaku pada penundaan eksekusi adalah “tidak ada patokan umum” untuk menunda eksekusi. Penerapan penundaan eksekusi bersifat kasuistik.

Tidak ada alasan penundaan eksekusi yang bersifat menentukan. Alasan yang sama, berbeda penerapan dan penilaiannya, sehingga alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi. Asas yang lain adalah penundaan eksekusi bersifat eksepsional, artinya pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan pengecualian dari asas aturan umum. Menurut asas umum yang berlaku (M. Yahya Harahap, 2006 : 309-310) :

1) Pada setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;

2) Eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya;

3) Perdamaian yang dapat menunda eksekusi.

g.Bentuk Penundaan atau Penangguhan Eksekusi

Penundaan atau penangguhan eksekusi dapat dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking). Penetapan (beschikking) dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang dapat berisi penolakan atau pengabulan permintaan pengguhan eksekusi. Praktik dalam peradilan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan apabila permohonan penundaan dikabulkan. Permohonan penundaan eksekusi yang ditolak, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat korespondensi. Penegakan sistem peradilan yang baik, maka sudah seharusnya penolakan pun harus dituangkan dalam bentuk penetapan yang memuat pertimbangan alasan penolakan. Dasar alasan pertimbangan penangguhan diberikan agar supaya pihak pemohon eksekusi mengetahui landasan hukum penundaan yang bersangkutan.

Penundaan eksekusi secara imperatif harus tertulis, tidak boleh berbentuk lisan. Bentuk penundaan eksekusi secara lisan adalah tidak sah dan tidak mengikat kepada para pihak yang bersengketa. Penangguhan eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri, sifatnya merupakan kebijakan.

Keberatan terhadap penundaan eksekusi tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Upaya yang dapat diajukan hanya pengaduan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dalam rangka tindakan pengawasan (M. Yahya Harahap, 2006 : 333-334).

Dokumen terkait