• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN PERAN VITAMIN A PADA TUBERKULOSIS

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilaksanakan di beberapa puskesmas di kota Medan pada bulan Juli sampai Oktober 2017. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 40 orang pasien TB yang berobat jalan di beberapa puskesmas di kota Medan. Subjek penelitian yang diambil merupakan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik subjek penelitian ditunjukkan dalam tabel 4.1.

Tabel 7.1. Deskripsi karakteristik subjek penelitian.

Karakteristik n=40 Usia (Mean ± SD) Kategori usia, n (%) < 20 Tahun 20-30 Tahun 31-40 Tahun 41-50 Tahun >50 Tahun 36 ± 12,3 3 (7,5%) 13 (32,5%) 8 (20%) 10 (25%) 6 (15%) Total 40 (100%) Jenis Kelamin, n (%) Laki-Laki Perempuan 32 (80%) 8 (20%) Total 40 (100%)

Tabel 7.1 menunjukan subjek penelitian terbanyak berasal dari kelompok usia 20-30 tahun, yaitu sebanyak 13 orang (32,5%), diikuti kelompok usia 41-50 tahun 10 orang (25%), kelompok usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 8 orang (20%), kelompok usia diatas 50 tahun sebanyak 6 orang (15%) dan kelompok usia dibawah 20 tahun sebanyak 3 orang (7,5%). Rata-rata usia subjek penelitian adalah 36 tahun (±12,3). Penderita TB

umumnya berasal dari kelompok usia produkif yaitu usia 15 sampai 50 tahun (KEMENKES, 2014).

Sebanyak 32 (80%) dari 40 orang subjek penelitian merupakan laki-laki penderita TB dan 8 orang (20%) merupakan perempuan penderita TB. Pada riset kesehatan dasar tahun 2013, prevlensi TB paru ditemukan lebih tinggi pada kelompok laki-laki yaitu sebesar 0,4% dibandingkan dengan kelompok perempuan yaitu sebesar 0,3% (KEMENKES, 2013).

Pada penelitian di Lucknow, India mengenai kadar serum zinc dan hubungannya dengan tingkat vitamin A pada pasien TB, ditemukannya kategori usia terbanyak adalah 21-30 (50,4%) dengan jangkauan umur 18-55 tahun. Selain itu ditemukan sebagian besar jenis kelamin sampel penelitian adalah laki-laki (54,3%) dari 208 pasien (Ali et al, 2014).

Qrafi et al., menemukan sebagian besar pasien TB pada penelitian di Morocco berada pada kategori usia 18-28 (52,3%) dengan jangkauan umur 18-52 tahun. Beliau juga menemukan kebanyakan sampel penelitian adalah laki-laki (59,1%) dari 44 sampel (Qrafi et al, 2017).

Tabel 7.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis tuberkulosis.

Jenis n (%)

Tuberkulosis Paru 38 (95%)

Tuberkulosis Ekstraparu 2 (5%)

Tabel 7.2 menunjukkan subjek penelitian terbanyak menderita TB paru, yaitu sebanyak 38 orang (95%). TB ekstra paru jarang ditemukan pada pasien dewasa tanpa ko-infeksi HIV. TB ekstra paru lebih sering ditemukan pada pasien TB dengan ko-infeksi HIV dan pada pasien anak-anak (Nutrition and Tuberculosis, 2010).

WHO telah melaporkan pada tahun 2013 bahwa dari 5,4 juta kasus baru TB, terdapat 2,6 juta kasus TB paru yang telah dikonfirmasi secara bakteriologis, 2 juta kasus TB paru yang terdiagnosis secara klinis, dan hanya 0,8 juta kasus TB ekstra paru (World Health Organization, 2014).

Tabel 7.3 Gambaran asupan vitamin A harian subjek penelitian.

Asupan vitamin A (µg/hari) n=40

Asupan vitamin A (Mean ± SD) Kategori Asupan Defisit Kurang Sedang Baik 512,3 ± 280,4 17 (42,5%) 4 (10%) 2 (5%) 17 (42,5%)

Dari tabel 7.3 dapat dilihat sebaran subjek penelitian berdasarkan status asupan vitamin A. Sebanyak 17 orang (42,5%) penderita TB yang mengalami defisiensi asupan vitamin A. Bila jumlah sampel digabungkan dengan kategori asupan kurang, terdapat 21 sampel (52,5%) yang mengalami kekurangan asupan vitamin A.

Asupan vitamin A terendah pada subjek penelitian adalah sebesar 110 µg/ hari dan asupan vitamin A tertinggi subjek penelitian adalah sebesar 988 µg/hari. Nilai median asupan vitamin A pada penelitian ini adalah 446,5 µg/hari.

Angka kejadian ini lebih tinggi bila dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh TA Pakasi et al., pada tahun 2009 yaitu terdapat 49,7% responden yang mengalami kekurangan asupan vitamin A. Penelitian lain di surakarta menemukan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 75,6%. Asupan vitamin A per hari yang direkomendasikan adalah sebanyak 600 µg untuk laki-laki dan 500 µg untuk perempuan yang berumur 15-55 tahun (KEMENKES RI, 2013 ; TA Pakasi et al, 2009 ; Wisnugroho, Y. C., 2014).

Kurangnya asupan vitamin A diperkirakan disebabkan oleh berkurangnya nafsu makan, mual-mual dan nyeri abdominal yang merupakan gejala umum dari penyakit TB dan juga efek samping dari OAT, selain itu sumber utama vitamin A pada negara berkembang seperti Indonesia berasal dari makanan nabati dalam bentuk provitamin A, yang merupakan sumber vitamin yang lebih sedikit dibandingkan preformed vitamin A dari makanan hewani (Depkes, 2011; Ministry of Health Malaysia, 2005).

Tabel 7.4 Gambaran serum retinol pada subjek penelitian.

Kadar serum retinol (μmol/L) n=40

Serum retinol (Mean ± SD) Kategori serum retinol (n %)

Rendah Cukup

0,78 ± 0,65 23 (57,5%) 17 (42,5%)

Tabel 7.4 menunjukkan subjek penelitian berdasarkan status serum retinol. Sebanyak 23 orang (57,5%) penderita TB yang memiliki kadar serum retinol yang rendah. Angka kejadian ini tidak jauh beda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kassu et al, dimana 56,1% penderita TB tanpa ko-infeksi HIV memiliki serum retinol yang rendah. Sedangkan penelitian di India menemukan angka kejadian yang lebih besar dimana ditemukan 81% pasien penderita TB mengalami kekurangan serum retinol (Kassu et al., 2007 ; Nutrition and Tuberculosis, 2010).

Selain itu ditemukan juga konsentrasi serum retinol terendah

sebesar 0,12 μmol/L dan konsentrasi serum retinol tertinggi 3,04 μmol/L. Nilai median untuk konsentrasi serum retinol adalah sebesar 0,62 μmol/L.

Rendahnya serum retinol pada pasien TB dapat disebabkan oleh beberapa hal, selain kurangnya asupan vitamin A dan rendahnya absorpsi lemak, penyakit infeksi sendiri dapat menganggu metabolisme vitamin A melalui berbagai mekanisme. Vitamin A akan diekskresi melalui urin pada pasien demam. Pada respon fase akut, terjadi kebocoran dari proalbumin melalui vascular endothelium; dan produksi dari retinal binding protein dan prealbumin oleh hati menurun. Selain itu kebutuhan untuk vitamin A saat infeksi juga meningkat(Gupta et al., 2009; Qrafi et al., 2017).

Defisiensi dari Vitamin A sendiri merupakan faktor risiko tidak langsung untuk menderita infeksi, terutama TB. Vitamin A telah diketahui dapat menginhibisi multiplikasi dari bacilli pada makrofag manusia yang telah dikultur. Selain itu vitamin A memiliki peran penting dalam proliferasi limfosit dan mempertahankan fungsi jaringan epitel. Vitamin A juga dibutuhkan dalam fungsi normal limfosit T dan B, aktivitas makrofag, dan respon antibodi (Gupta et al., 2009).

Tabel 7.5 Hubungan asupan vitamin A dan kadar serum retinol. Serum retinol

cukup

Serum retinol

rendah P

Asupan Vit. A cukup 15 (37,5%) 4 (10%)

0,00 Asupan Vit. A rendah 2 (5%) 19 (47,5%)

Hubungan antara asupan vitamin A dan konsentrasi serum retinol ditunjukan dalam tabel 7.5. Hasil uji chi-square menunjukkan nilai P < 0,001 yang artinya terdapat hubungan antara konsumsi vitamin A dan konsentrasi serum retinol.

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor / provitamin A / karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier, 2004).

Vitamin A adalah nutrisi penting yang dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh manusia untuk fungsi normal dari sistem pengelihatan, tumbuh kembang, pemeliharaan dari keutuhan sel-sel epitel, sistem imun, dan reproduksi. Kebutuhan pangan untuk vitamin A biasanya tersedia dalam bentuk preformed retinol terutama sebagai retinyl ester dan provitamin A yang disebut ikatan karoten (World Health Organization, 2004).

Preformed retinol/vitamin A terdapat pada sumber makanan

hewani, sedangkan karotenoid, terutama α– dan β-karotin yang merupakan prekursor potensial vitamin A yang dapat di konversi menjadi retinol, terdapat pada produk makanan nabati (Ministry of Health Malaysia, 2005).

50-90% vitamin A yang telah dicerna diabsorbsi dalam usus kecil, dan diangkut bersama dengan kilomikron, ke hati, tempat retinol mula-mula disimpan sebagai retinil palmitat. Ketika dibutuhkan, retinol dilepaskan ke dalam aliran darah sebagai retinol dalam gabungan dengan protein pengikat retinol yaitu retinol binding protein (RBP). Fraksi retinol yang berkatan dengan RBP dalam darah inilah yang dapat diperiksa sebagai konsentrasi serum retinol dalam darah (Sommer, 2003).

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 40 orang, oleh karena itu, uji normalitas yang digunakan adalah uji Shapiro-Wilk, dengan nilai p < 0,05. Dengan demikian, data pada penelitian ini tidak terdistribusi normal, sehingga ujiakorelasi yang digunakan pada penelitian ini adalah uji korelasi Spearman (Sastroasmoro dan Ismail, 2014).

Tabel 7.6 Korelasi asupan vitamin A dan serum retinol. Variabel Mean ± SD Nilai p Nilai r Asupan vit A 512,3 ± 280,4

0,00 0,67

Serum retinol 0,78 ± 0,65

Uji korelasi Spearman menunjukan nilai p sebesar <0,001 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A dan konsentrasi serum retinol pada pasien TB. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,67 menunjukkan bahwa terdapat korelasi sedang antara kedua variabel (Sastroasmoro dan Ismail, 2014).

Beberapa hambatan pada penelitian ini diantaranya adalah kesulitan untuk mengubah satuan ukuran rumah tangga ke dalam satuan gram, sehingga belum dapat menggambarkan asupan vitamin A harian subjek penelitian secara tepat.

Perbedaan persepsi ukuran rumah tangga pada setiap orang juga dapat mengganggu perhitungan asupan vitamin A.

Selain itu, daftar bahan makanan indonesia pada program

nutrisurvey juga belum lengkap sehingga menyulitkan peneliti dalam mencari kandungan vitamin A dalam suatu bahan makanan.

BAB VIII

PENUTUP

Penderita penyakit tuberkulosis dikaitkan dengan defisiensi vitamin D dan A, penelitian. Prevalensi defisiensi vitamin D di negara tropis ditemukan di negara-negara Asia, seperti di Indonesia dan Malaysia. Penelitian di Indonesia menemukan defisiensi vitamin D sebesar 35% pada perempuan usia 60-75 tahun. proporsi defisiensi vitamin D (pemeriksaan kadar 25(OH)D serum) pada perempuan postmenopause sebesar 27% dan sebanyak 71% mengalami insufisiensi vitamin D. Sedangkan proporsi pada perempuan usia 20-50 tahun ditemukan 70% mengalami defisiensi dan insufisensi dan hanya 5% termasuk kategori sufisiensi atau cukup di temukan di daerah perkotaan. Hal ini juga ditemukan di daerah pedesaan, sebanyak 98% perempuan mengalami defisensi-insufisiensi, dan hanya 2% yang termasuk kategori cukup. Rendahnya kadar vitamin D dan A juga terjadi pada penderita tuberkulosis.

Hasil penelitian ini melaporkan bahwa rerata kadar 25(OH) serum adalah 21.8±7.6 ng/mL, dan sejumlah 40,6% termasuk kategori defisiensi dan 40,6% termasuk insufisensi, dari 32 pasien tuberkulosis, hanya 18,8% yang mencapai kadar cukup pada peneliitan awal. Untuk penelitian pemberian suplementasi 1000 mg vitamin D per hari terlihat adanya perbedaan bermakna sebelum dan sesudah perlakuan dan terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Perubahan gaya hidup dapat memberikan perbedaan bermakna terutama pada asupan. Untuk pemeriksaan vitamin A masih berlanjut untuk di analisis.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka diharapkan kajian ini dapat membuka wawasan lebih lanjut mengenai fungsi vitamin D dan perubahan gaya hidup guna menghasilkan suatu model. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pencegah terjadinya defisiensi vitamin D sehingga memberikan kualitas hidup yang lebih baik khususnya pada penderita tuberkulosis

Dokumen terkait