• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

Dalam dokumen Rudi Satriawan S6006003 (Halaman 61-70)

Penelitian ini melibatkan 62 penderita TB paru kasus baru di RSUD Dr. Moewardi, BKPM Klaten, dan Puskesmas seluruh wilayah Kota Surakarta. Dua penderita tidak menyelesaikan penelitian karena keduanya tidak terlacak pada hari terakhir penelitian. Jumlah akhir subyek yang mengikuti penelitian dan dianalisis sampai selesai penelitian adalah 60 orang yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok kontrol (n = 30) adalah subyek penderita TB paru kasus baru yang mendapat terapi regimen obat antituberkulosis rifampisin 10 mg/kgBB/hari, isoniazid 5 mg/kgBB/hari, pirazinamid 25 mg/kgBB/hari, etambutol 15 mg/kgBB/hari dan kelompok perlakuan (n = 30) mendapatkan regimen dan dosis yang sama ditambah NAC oral 600 mg dua kali sehari. Keluhan karena efek samping pemberian NAC seperti mual, muntah atau gangguan gastrointestinal lain tidak ditemukan pada kelompok perlakuan selama penelitian.

1.Karakteristik subyek penelitian

Keseluruhan subyek penelitian sejumlah 60 orang terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok kontrol terdiri dari laki-laki 16 orang (45,7%), perempuan 14 orang (56,0%), kelompok perlakuan terdiri dari laki-laki 19 orang (54,3%), perempuan 11 orang (44,0%). Hasil pemeriksaan BTA sputum kelompok kontrol BTA (+) 23 orang (51,2%), BTA (-) 7 orang (46,7%), kelompok perlakuan BTA (+) 22 orang (48,8%), BTA (-) 8 orang (53,3%). Berdasarkan karakteristik umur, rerata umur kelompok kontrol adalah 41,13 dengan standar deviasi 17,71. Rerata umur kelompok perlakuan 41,27 dengan standar deviasi 14,70. Berdasarkan karakteristik indeks masa tubuh (IMT), rerata IMT kelompok kontrol adalah 17,23 dengan standar deviasi 2,45. Rerata IMT kelompok perlakuan adalah 17,61 dengan standar deviasi 2,29. Tabel 2 memperlihatkan karakteristik subyek penelitian yang menunjukkan bahwa tidak

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

48 terdapat perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dalam hal karakteristik jenis kelamin, umur, status BTA, dan IMT.

Tabel 2. Karakteristik subyek

Variabel Frekuensi Mean±SD Chi- t p K.kontrol Kel.Perlk K.kontrol K.perlk square

n = 30 n = 30 n = 30 n = 30 Jenis kelamin Laki-laki 16(45,7%) 19(54,3%) 0,43 Perempuan 14(56,0%) 11(44,0%) Status BTA Positif 23(51,2%) 22(48,8%) 0,77 Negatif 7(46,7%) 8(53,3%) Umur (tahun) 41,13±17,71 41,27±14,70 - 0,03 0,97 IMT (kg/m2) 17,23±2,45 17,61±2,29 - 0,61 0,55

2. Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total

Pemeriksaan kadar serum AST, ALT, dan glutathione total dilakukan sebelum

terapi OAT pada kelompok kontrol. Pemeriksaan kadar serum AST, ALT, dan

glutathione total juga dilakukan pada kelompok perlakuan sebelum mendapat terapi

OAT ditambah NAC. Pemeriksaan AST, ALT, dan glutathione total dilakukan kembali

setelah 14 hari terapi baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan.

Perbandingan rerata kadar AST, ALT, dan glutathione total serta standar deviasi

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum terapi maupun setelah 14 hari terapi dapat dilihat di tabel 3.

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

49

Tabel 3. Nilai mean ± SD dari AST, ALT, dan glutathione total Hasil laboratorium Kelompok Kelompok p kontrol perlakuan (mean±SD) (mean±SD) Sebelum terapi AST (U/L) 24,27 ± 8,88 20,97 ± 5,09 0,08 ALT (U/L) 19,67 ± 8,87 19,73 ± 12,71 0,98 Glutathione total (µM) 118,64 ± 68,78 145,54 ± 90,46 0,20 Setelah 14 hari terapi

AST (U/L) 39,70 ± 56,48 21,50 ± 11,75 0,09 ALT (U/L) 41,67 ± 58,87 17,37 ± 14,89 0,04

Glutathione total (µM) 228,74 ± 179,01 418,98 ± 174,35 0,00

Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebelum terapi kadar rerata AST, ALT, dan

glutathione total kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan tidak berbeda

signifikan (p > 0,05). Kadar rerata AST kelompok kontrol berbeda tidak signifikan bila dibanding kelompok perlakuan (p = 0,09) pada hasil pemeriksaan setelah 14 hari terapi.

Kadar rerata ALT dan glutathione total kelompok kontrol berbeda signifikan bila

dibanding kelompok perlakuan pada hasil pemeriksaan setelah 14 hari terapi (p = 0,04 dan p = 0,00).

Tabel 4. Perbandingan mean±SD sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi

Variabel Sebelum terapi Setelah 14 hari terapi p Kelompok kontrol AST (U/L) 24,27±8,88 39,70±56,48 0,13 ALT (U/L) 19,67±8,87 41,67±58,87 0,04 Glutathione total (µM) 118,64±68,78 228,74±179,01 0,00 Kelompok perlakuan AST (U/L) 20,97±5,09 21,50±11,75 0,79 ALT (U/L) 19,73±12,71 17,37±14,89 0,32 Glutahione total (µM) 145,54±90,46 418,98±174,35 0,00

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

50 Kadar rerata AST sebelum terapi dan setelah 14 hari terapi pada kelompok kontrol terdapat kenaikan tetapi menurut analisis statistik tidak berbeda signifikan (p = 0,13). Sementara itu kadar ALT pada kelompok kontrol juga mengalami peningkatan rerata sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi dan setelah dianalisis statistik terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,04). Kadar glutathione total pada kelompok kontrol mengalami peningkatan saat sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi dan menurut analisis statistik terdapat perbedaan signifikan (p = 0,00).

Kadar rerata AST pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat kenaikan rerata tetapi menurut analisis statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p = 0,79). Kadar rerata ALT pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat penurunan, tetapi menurut

analisis statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,32). Kadar rerata glutathione

total pada kelompok perlakuan sebelum terapi dibanding setelah 14 hari terapi terdapat peningkatan yang menurut analisis statistik terdapat perbedaan yang signifikan

(p = 0,00). Kadar glutathione total baik kelompok kontrol maupun kelompok

perlakuan terdapat peningkatan rerata tetapi peningkatan rerata kelompok perlakuan lebih tinggi.

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

51

BAB V PEMBAHASAN

Efek antioksidan secara langsung dan tak langsung ditunjukkan oleh NAC. Efek

langsung ini adalah interaksi dengan kelompok elektrofilik [radikal hidroksil (-OH)]

reactive oxygen species (ROS). Interaksi dengan ROS ini menyebabkan pembentukan

intermediate thiol NAC, dengan NAC disulfide sebagai hasil akhir utama. Efek

antioksidan tak langsung NAC berhubungan dengan perannya sebagai prekursor

glutathione. Glutathione adalah tripeptida yang terbuat dari glutamic acid, cysteine, dan

glycine. Pemeliharaan adekuat kadar glutathione intraseluler penting untuk

menanggulangi efek buruk zat toksik.41,43

Analisis hasil penelitian ini bermaksud untuk mengetahui perbedaan kadar AST,

ALT, dan glutathione total pasien TB paru terapi OAT tanpa pemberian NAC

dibandingkan pasien TB paru terapi OAT ditambah NAC.

1. Karakteristik subyek penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan penderita TB paru laki-laki lebih banyak dibanding penderita perempuan baik pada kelompok kontrol (54,3%) maupun kelompok perlakuan (45,7%) sesuai penelitian Arsyad Z di Padang (1996) yaitu 43%

dan Zaman R di Pakistan (2011)12,62 Status BTA positif pada kelompok kontrol terdapat

22 orang (48,8%) dan pada kelompok perlakuan 23 orang (51,2%). Status BTA negatif pada kelompok kontrol sebanyak 8 orang (53,5%) dan pada kelompok perlakuan 7 orang (46,7%). Hasil ini lebih rendah bila dibanding penelitian Mahmood K et al di

Karachi tahun 2005, yaitu BTA positif 59,7% dan BTA negatif 40,3%.8

Rerata umur subyek penelitian ini adalah 41,13 pada kelompok kontrol dan 41,27 pada kelompok perlakuan hal ini hampir sama dengan penelitian Khan H di

Pakistan (2009) yaitu 42,10.6 Indeks masa tubuh (IMT) rerata pada penelitian ini adalah

17,23 pada kelompok kontrol dan 17,61 pada kelompok perlakuan, lebih rendah

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

52

2. Perbandingan kadar AST, ALT, dan glutathione total

Serum aminotransferase AST dan ALT terdapat pada konsentrasi tinggi di

dalam hati. Aspartate aminotransferase juga secara difus digambarkan di dalam

jantung, otot skeletal, ginjal, otak, dan sel darah merah, berada di dalam sitosol dan isoenzim mitokondria, serum AST kurang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi

kelainan hati. Alanine aminotransferase berada dalam jumlah banyak di dalam

sitoplasma selular hati. Serum ALT berada dalam konsentrasi rendah di dalam otot

skeletal dan ginjal, peningkatan serum ALT lebih spesifik untuk kerusakan hati.19,35

Data dari tabel 3 memperlihatkan kadar rerata AST kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan signifikan baik sebelum terapi (p = 0,08) maupun setelah 14 hari terapi (p = 0,09). Berdasarkan data tabel 4 bahwa kadar rerata AST penderita TB paru kasus baru kelompok kontrol sebelum diterapi adalah 24,27±8,88, dan mengalami peningkatan setelah 14 hari terapi OAT (39,70±56,48) tetapi pada analisis statistik didapatkan hasil perbedaan tidak signifikan (p = 0,13) hal tersebut karena peningkatan tidak begitu besar dan masih dalam batas normal (< 40 U/L). Kadar rerata serum AST sebelum terapi OAT dan penambahan NAC 2 X 600 mg pada kelompok perlakuan mengalami sedikit peningkatan dibanding setelah 14 hari terapi OAT dan NAC yaitu dari 20,97±5,09 menjadi 21,50±11,75 tetapi dalam analisis statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,79). Berbeda dengan penelitian

Baniasadi S et al menunjukkan peningkatan signifikan kadar serum AST kelompok

kontrol, tetapi pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan yang tidak signifikan kadar serum AST. Peningkatan kadar serum AST tidak spesifik menunjukkan kelainan fungsi hati, banyak faktor dari organ lain yang mempengaruhi peningkatan kadar serum AST, sehingga dalam hal ini tidak memerlukan pembahasan tersendiri.

Kadar ALT kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang pada awalnya (sebelum terapi) berbeda tidak signifikan (p = 0,98) setelah 14 hari terapi terjadi selisih kadar rerata ALT yang signifikan (p = 0,04) (tabel 3). Tabel 4 menunjukkan peningkatan signifikan (p = 0,04) kadar ALT pada kelompok kontrol yaitu dari rerata 19,67±8,87 menjadi 41,67±58,87. Hal tersebut karena dari kelompok kontrol terdapat 6

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

53 penderita yang mengalami peningkatan enzim transaminase diantaranya dengan ALT mencapai 213 U/L dan 219 U/L. Pada penderita tersebut OAT telah dihentikan dan disarankan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Kadar serum ALT pada kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi lebih rendah dibanding sebelum terapi, yaitu 19,73±12,71 dibanding 17,37±14,89. Secara analisis statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p = 0,32).

Hasil penelitian Baniasadi S et al juga menunjukkan peningkatan signifikan

kadar serum ALT kelompok kontrol sebelum terapi dibanding setelah 2 minggu terapi, tetapi pada kelompok perlakuan tidak terjadi peningkatan signifikan. Mencermati tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa penambahan NAC 600 mg dua kali sehari efektif mencegah kenaikan kadar ALT, walaupun bila dibandingkan kadar ALT awal dengan setelah 14 hari terapi pada kelompok perlakuan tidak terdapat selisih signifikan (p = 0,32), tetapi bila dibandingkan dengan kadar ALT kelompok kontrol yang mengalami kenaikan signifikan kemungkinan besar penurunan tersebut karena pengaruh pemberian NAC, mengingat kadar serum ALT adalah petanda spesifik untuk kelainan fungsi hati.5

Glutathione tersebar luas di seluruh sel tubuh binatang dan manusia. Dalam

kondisi normal berada dalam konsentrasi tinggi (0,1 – 10 mM = 100 – 10.000µM ).55

Banyak penyakit kronik seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), rheumatoid arthritis, infeksi, atau pajanan polutan yang berat dapat menyebabkan defisiensi

glutathione. Hal ini karena tubuh menggunakan lebih banyak glutathione untuk

menanggulangi infeksi dan membersihkan tubuh dari toksin.46,63

Venketaraman et al mengindikasikan bahwa kadar glutathione menurun pada

pasien TB, dan penurunan ini berhubungan dengan imunitas protektif. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian NAC pada pasien TB mungkin meningkatkan jumlah

glutathione dan respons imun host.5 Menariknya banyak studi juga mengindikasikan

bahwa pasien dengan TB memiliki keseimbangan glutathione terganggu.50

Tabel 3 memperlihatkan kadar rerata glutathione total kelompok kontrol dan

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

54 berbeda signifikan setelah 14 hari terapi (p = 0,00). Kadar rerata glutahione total kelompok perlakuan setelah 14 hari terapi mengalami peningkatan dibanding sebelum terapi, yaitu dari 145,54 ± 90,46 menjadi 418,98 ± 174,35. Secara analisis statistik perbedaan tersebut signifikan, hal ini karena penambahan NAC sebagai penyedia

cysteine sebagai bahan utama sintesis glutahione.5,15,49

Kadar rerata glutathione total pada kelompok kontrol juga mengalami

peningkatan bila dibandingkan antara sebelum terapi (118,64±68,78) dengan setelah 14

hari terapi (228,74±179,01), dengan analisis statistik menunjukkan perbedaan

signifikan (p = 0,00). Hal ini karena sumber cystein sebagai prekursor glutathione bisa

didapatkan dari bahan-bahan makanan yang mengandung methionine yang akan

dimetabolisme di hati menjadi glutathione melalui jalur transsulfurasi.49 Beberapa

makanan dapat menjadi sumber cysteine dan atau methionine seperti kuning telur, cabe,

brokoli, bawang merah, bawang putih dan sebagainya.63 Faktor tersebut menjadi

variabel perancu pertama yang tidak dapat dikontrol. Kenaikan kadar rerata glutathione

kelompok kontrol masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan dalam jangka waktu yang sama (14 hari), hal ini menunjukkan tersedianya

cysteine mempercepat pembentukan glutathione oleh hati.53

Ketersediaan cysteine menjadi salah satu penentu utama laju pembentukan

glutathione. Cysteine secara normal didapatkan dari diet dan pemecahan protein, dan di

dalam hati dari methionine melalui jalur transsulfurasi. Kemampuan sel hati

mengkonversi methionine menjadi cysteine penting karena hati menjadi tempat utama

dari katabolisme methionine dan tempat penyimpanan utama glutathione. Jalur ini aktif

dan khas untuk sel hati. Aktifitas jalur ini di dalam hati secara nyata rusak atau tidak ada pada fetus atau bayi baru lahir dan pasien sirosis.49

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan

tidak dapat diduga (idiosinkratik).27,32 Reaksi idiosinkratik dapat dibagi menjadi

hipersensitivitas atau imunoalergik dan idiosinkratik metabolik.34 Hepatotoksisitas

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

55 Idiosinkratik metabolik adalah tipe reaksi yang terjadi melalui reaksi tak langsung metabolit obat. Toksisitas isoniazid dipertimbangkan masuk dalam kelompok ini.

Hepatotoksisitas pirazinamid termasuk dose dependent dan idiosinkratik. Reaksi

idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan

respons imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).16,28,32

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak setiap penderita TB paru yang diterapi OAT pasti terjadi hepatotoksisitas. Faktor idiosinkrasi tersebut dapat menjadi variabel perancu kedua yang juga tidak dapat dikontrol. Penderita TB paru di kelompok kontrol yang mengalami peningkatan enzim transaminase berjumlah 6 orang, 24 orang tidak terjadi peningkatan enzim transaminase. Penderita yang sel-sel hatinya tidak

terpengaruh oleh OAT tetap dapat mensintesis glutathione secara baik melalui jalur

transsulfurasi. Didukung oleh perbaikan klinik setelah mendapatkan terapi OAT maka

asupan makanan lebih baik, sehingga glutathione dapat disintesis dari makanan sumber

cysteine dan atau methionine. Hal-hal tersebut yang menyebabkan kadar rerata

glutathione total kelompok kontrol tetap mengalami kenaikan signifikan.

Penderita TB paru pada kelompok kontrol terdapat 6 orang (20%) yang mengalami peningkatan enzim transaminase (AST dan ALT), dua diantaranya disertai keluhan gastrointestinal, hal ini sesuai prevalensi hepatitis imbas obat antituberkulosis

di negara berkembang yaitu 8% - 39%.1 Penderita TB paru di kelompok perlakuan

terdapat hanya 1 orang (0,03%) yang mengalami peningkatan enzim transaminase. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian NAC memperkecil risiko hepatitis imbas obat walaupun masih perlu dievaluasi lebih lanjut faktor apakah penyebab kenaikan enzim transaminase tersebut.

commit to user

Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr.Moewardi, 2012

56

BAB VI

Dalam dokumen Rudi Satriawan S6006003 (Halaman 61-70)

Dokumen terkait