• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.12 Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha garam rakyat merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh petambak atau petani garam dengan menggabungkan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, dan lain-lain) untuk mencapai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan. Usaha garam rakyat di Indonesia dikenal masih sangat tradisional, karena melalui proses evaporasi hanya dengan bantuan sinar matahari dan angin, tanpa adanya sentuhan teknologi. Oleh karena itu, untuk mencapai keuntungan atau produksi yang maksimal, maka penggunaan faktor-faktor produksi (sumberdaya) sebagai korbanan harus diketahui dan efisien.

Tingkat pendapatan merupakan indikator dari keberhasilan yang diperoleh dari setiap usaha garam rakyat. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya (Soekartawi, 2006). Untuk menganalisis, apakah usaha garam rakyat yang dilakukan menguntungkan (profitable) atau tidak, maka dilakukan perbandingan antara jumlah penerimaan dan biaya (R/C). Usaha yang menguntungkan (profitable) mempunyai nilai R/C > 1. Nilai R/C dapat pula menunjukan ukuran efisiensi suatu usaha. Semakin besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan.

Ihsannudin (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pemberdayaan Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. Lokasi penelitian bertempat di Pulau Madura tepatnya di Kabupaten Sampang. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan sentra penggaraman rakyat paling luas di Madura. Latar belakangnya penelitian ini adalah tentang tidak sejahteranya petani penggarap garam atau tidak memiliki status kekuasaan lahan. Widodo (2010) dalam Ihsannudin (2013) mengatakan masyarakat pesisir pada umumnya menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan bergantung musim. Kondisi iklim dan cuaca yang seringkali tidak bersahabat, mekanisme harga dan pasar garam yang cenderung tidak berpihak kepada petani garam menjadikan usaha garam ini dilingkupi risiko (Ihsannudin, 2012). Demikian pula mengenai tingkat pendidikan penduduk yang rendah dan keterampilan yang terbatas. Kondisi tersebut semakin terpuruk apabila petani tersebut tidak memiliki kuasa lahan atau biasa disebut penyakap (petani penggarap), sehingga selain memiliki keterbatasan modal, penyakap juga tidak mempunyai hak dalam pengambilan keputusan dalam usaha garam rakyat. Oleh karena itu, penelitian ini berujuan mengetahui pendapatan petani penggarap garam dari usaha produksi garam serta alternatif kebijakan pertanahan yang dapat ditetapkan untuk dapat memberdayakannya.

Analisis data yang dilakukan adalah analisis pendapatan, sedangkan alat analisis yang digunakan untuk mengestimasi keberhasilan usaha adalah sebagai berikut :

NI = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC) = (Q.Pq) – (TFC+TVC)

Dimana :

NI : Nett Income (Pendapatan Bersih) Q : Total produksi

Pq : Harga per satuan produk TFC : Total biaya tetap

TVC : Total biaya variabel

Sementara upaya pemberdayaan petani penggarap garam dengan kebijakan pertanahan dilakukan dengan melakukan analisis kualitatif. Analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Pada isi pembahasan dijelaskan bahwa 40,34% biaya yang dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja pada saat penggarapan persiapan sebelum panen dan pemeliharaan selama masa panen. Garam selanjutnya dipungut setiap 10 hari sekali. Biaya terbesar selanjutnya adalah biaya pengangkutan (22,6%). Biaya yang dikeluarkan petani garam akan menjadi unsur pengurang dari penerimaan yang diperoleh. Berdasarkan data yang diperoleh, usaha garam pada musim 2011 diperoleh rata-rata produksi per hektar per musim sebesar 52,93 ton, dengan harga yang diterima adalah Rp484.000 per ton, sehingga penerimaan petani tersebut adalah Rp25.640.907. Selanjutnya setelah dikurangi total biaya sebesar Rp16.394.966 maka diperoleh pendapatan petani garam sebesar Rp9.245.941 per hektar per musim. Perjanjian yang telah dibuat oleh penggarap dengan pemilik lahan adalah bahwa pembagian hasil sebesar 30% untuk penggarap dan 70% untuk pemilik lahan, dengan asumsi jika seluruh alat-alat produksi berasal dari pemilik lahan. Oleh karena itu, pendapatan bersih yang diperoleh petani penggarap garam adalah Rp2.773.782,3 per hektar per musim.

Alternatif kebijakan pemberdayaan petani penggarap dimaksudkan agar petani penggarap ini tidak berada dalam lingkaran kemiskinan. Sebagaimana dibahas di depan bahwa lahan atau tanah adalah variabel yang penting, maka diharapkan upaya kebijakan ini bisa membantu menyejahterakan petani penggarap garam. Alternatif kebijakan tersebut terdiri dari empat pendekatan, yaitu (1) peningkatan produktivitas; (2) efisiensi biaya; (3) memanfaatkan hak pakai atau mengelola tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun milik orang lain

sesuai UUPA tahun 1960 atau dengan kata lain dengan melakukan sewa atau lelang; (4) upaya redistribusi tanah, dengan harapan dapat meningkatkan kemandirian petani garam dalam memproduksi garam.

Penelitian Wahyuni (2007) berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Garam Beryodimu di Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi permasalahan adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Penelitian ini telah memenuhi asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana variabel dependennya adalah output riil yang dihasilkan industri (dalam ribuan rupiah), sedangkan variabel independennya terdiri dari bakan baku riil (ribuan rupiah), modal riil (ribuan rupiah), bahan bakar riil (ribuan rupiah), jumlah tenaga kerja (ribu orang/jiwa).

Data yang digunakan dalam penelitian harus bisa menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Data yang diperoleh memiliki satuan rupiah dalam nilai nominal dan untuk tenaga kerja mempunyai keterbatasan data, sehingga data yang digunakan dalam satuan orang. Data yang riil diperoleh dengan cara membagi data nominal dari variabel-variabel yang akan diamati dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sub sektor garam beryodium di Indonesia, lalu hasilnya dikalikan dengan 1000.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakan baku, modal , dan bahan bakar memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap output industri garam beryodium di Indonesia pada taraf nyata lima persen, sedangkan tenaga kerja memberikan pengaruh negatif dan nyata terhadap peningkatan nilai output pada industri tersebut pada taraf nyata lima persen. Pada penelitan ini industri garam beryodium di Indonesia berada pada kondisi decreasing return to scale yang artinya laju pertumbuhan output lebih kecil dari laju pertumbuhan input.

Rifqie (2008) menelti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kubis di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Hasil menunjukkan bahwa faktor- faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas positif adalah pupuk kandang (selang kepercayaan 90 persen), benih, pupuk kimia, dan pestisida padat (selang kepercayaan 85 persen). Faktor-faktor produksi yang

berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas negatif adalah tenaga kerja (selang kepercayaan 85 persen) dan pestisida cair (selang kepercayaan 80 persen).

Purba (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang menyarankan agar input tenaga kerja dalam fungsi produksi dioptimalkan lagi agar dapat menghasilkan outpun yang efisien. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa (1) dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya (analisis R/C ratio), diperoleh nilai ratio R/C atas biaya total sebesar 0,76 (lebih kecil dari satu), sehingga dapat disimpulkan bahwa cabang usahatani padi ladang di Desa Wanajaya tidak menguntungkan bagi petani, (2) faktor- faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi ladang adalah tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga, yang signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Sedangkan faktor pupuk, benih, dan pestisida tidak berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan yang ditetapkan, (3) penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien secara ekonomis dicapai pada saat penggunaan faktor pupuk sebesar 282,51, faktor tenaga kerja luar keluarga sebesar 146,33HOK, penggunaan benih yang semula sebesar 60 kilogram harus ditingkatkan menjadi 69,69 kilogram, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga harus dikurangi dari yang semula sebesar 237,37 HOK menjadi sebesar 59,94 HOK, faktor produksi pestisida harus ditingkatkan dari sebesar 1,7 liter dalam penggunaan aktualnya menjadi sebesar 2,47 liter.

Berdasarkan referensi penelitian terdahulu yang sudah diulas dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja adalah faktor penting dalam suatu kegiatan produksi. Produksi garam di Indonesia termasuk unik dan berbeda jika dibandingkan dengan usahatani lainnya. Hal tersebut dikarenakan faktor ketidakpastiannya yang lebih tinggi, karena input yang digunakan banyak mengandalkan cuaca, angin dan kelembaban yang sifatnya sulit untuk diprediksi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purba (2005) juga dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis kelayakan suatu usahatani dengan analisis pendapatan, maka perlu dilakukan identifikasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi komoditi usahatani tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila petani ingin meningkatkan pendapatan dari usahatani, maka petani

tersebut perlu mengetahui ukuran input produksi yang efisien agar menghasilkan output produksi yang optimal.

Dokumen terkait