• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS LAHAN DAN PENGGUNAAN ZAT ADITIF

(

Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)

RIZKY AMELIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Analisis Pendapatan Usaha

Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif: Studi Kasus

Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu” adalah karya saya

dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2013

(4)

RIZKY AMELIA. Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu). SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA.

Indonesia merupakan negara maritim dengan berbagai kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah air laut sebagai bahan baku penghasil garam. Meskipun memiliki kekayaan laut yang berlimpah, namun Indonesia masih menjadi importir garam yang cukup besar setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 2006 – 2010, Pemerintah Indonesia melakukan impor rata-rata per tahunnya sebesar 1.731.309,4 ton.

Desa Santing merupakan salah satu penghasil garam terbesar di Kabupaten Indramayu, sementara Kabupaten Indramayu merupakan penghasil garam terbesar di Jawa Barat. Oleh karena itu dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, diharapkan dapat lebih mengoptimalkan produksi garam.

Produksi berbanding lurus dengan pendapatan, sehingga untuk dapat meningkatkan pendapatan maka petani garam harus meningkatkan produksi dengan cara mengoptimalkan input yang digunakan sebagai faktor produksi. Zat aditif yang bernama ramsol digunakan sebagai tambahan input pembuatan garam oleh beberapa petani di Desa Santing dan bermanfaat untuk meningkatkan kualitas serta output garam Dari hasil wawancara dengan 100 responden diperoleh 62 orang responden yang menggunakan zat aditif sebagai tambahan input produksi sedangkan sisanya 38 orang responden tidak menggunakan zat aditif..

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam adalah jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja dan zat aditif. Adapun dalam satu musim tahun 2011 petambak garam yang menggunakan zat aditif mampu menghasilkan garam rata-rata sebesar 85.053,76 kg per ha, sedangkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif adalah sebesar 71.903,51 kg per ha.

Analisis pendapatan usaha garam rakyat dibedakan berdasarkan status lahan dan penggunaan zat aditif. Status lahan terbagi menjadi petambak dengan status lahan milik sendiri, petambak dengan status lahan milik sewa dan petambak dengan status lahan bagi hasil (penyakap). Pendapatan tertinggi diperoleh oleh petambak yang menggunakan zat aditif dan berada pada status lahan milik sendiri. Pendapatan terendah diperoleh oleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif dan berstatus lahan bagi hasil.

(5)

the land and the use of Additives (case study: Village Santing, Indramayu Regency Losarang District). SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA.

Indonesia is a maritime country with a variety of marine and fishery resources of wealth. One that can be utilized is sea water as a raw material for producing salt. Although it has abundant marine wealth, Indonesia still remains a substantial importer of salt annually. Since 2006 – 2010, the Government of Indonesia imports amounted to 1.731.309 tons, 4, on average per year.

Santing village is one of the largest salt manufacturer in Indramayu Regency, while Indramayu Regency is the largest salt producer in West Java. Therefore base on the potential of the area, Indramayu Regency is expected to optimize more the production of salt.

Production propotionally compares to income, so the farmers have to increase the production of salt by optimizing the input that is used as a factor of production in order to improve their income. The additives substance named ramsol is used as additional inputs in producing salt by some farmers in the village of Santing and it is good to improve the quality and output of salt, from the results of interviews with 100 respondent, 62 respondents use additives as additional inputs to their salt production, and the rest, 38 respondents do not use additives.

The factors that affect the production of salt are the number of windmills, land area, labor and additives. But in a season of 2011 salt farmers who use additives caan improve their salt production on average 85.053,76 kg per ha, while the farmers who do not use additives is only 71.903 .51 kg per ha.

The analysis of people’s salt revenues is differed based on the status of the land and the use of additives. Status of land is divided into two categories, first the farmers’s production sharing land (penyakap) and the second is the farmers on the leased land. The highest income will be obtained by the farmers who use additives on their own land. The lowest income will be gained by the farmers whoo do not use additives and they produce on the production sharing land status.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS PENDAPATAN

USAHA GARAM RAKYAT BERDASARKAN

STATUS LAHAN DAN PENGGUNAAN ZAT ADITIF

(

Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)

RIZKY AMELIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Nama : Rizky Amelia

NIM : H44070112

Disetujui oleh

Ir .Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen

(10)
(11)

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai

bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Ibu Munawaroh dan Bapak Yusman Karsiwan atas segala doa, kasih

sayang, dan dukungan yang telah diberikan selama ini baik berupa moril

maupun materil, serta kepada Mohammad Yudi, kakak Harry, Dwi, dan

Diah.

2. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi

yang senantiasa dengan penuh ketekunan membimbing penulis,

memberikan arahan, dan saran hingga skripsi ini selesai.

3. Ir. Nindyantoro, M.SP dosen penguji utama yang telah meluangkan

waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan dan

penyempurnaan skripsi ini.

4. Nuva, S.P. M.Sc selaku dosen penguji wakil departemen atas koreksi dan

saran yang membangun demi perbaikan penulisan skripsi ini.

5. Ibu Hastuti,SP,M.Si, Mba Putri dan Mba Aam yang sudah banyak

membantu dalam administrasi dan kelulusan penulis.

6. Bapak Heri Wahyu Hartono selaku Ketua Koperasi Segoromadu

Indramayu dan Bapak Tarman selaku Sekretaris Desa Santing serta seluruh

petambak garam rakyat responden yang telah bersedia meluangkan waktu,

memberikan informasi, bantuan dan pengarahan selama penulis melakukan

kegiatan turun lapang.

7. Bapak/ibu dan kakak/adik yang menjadi responden pada penelitian ini

untuk meluangkan waktu wawancara dan memberikan informasi yang

sangat berharga untuk penulisan skripsi ini.

8. Rekan-rekan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ESL

44 khususnya untuk Syifa Azizah, Erin Roslina, Wahyu Nugraha, Kartika

Putri S., Anggun Eka E., Wikaniati, Ario Bismoko S., dan Astrid Yeyen

yang telah memberikan nasihat, kesabaran, dan motivasinya selama

(12)

M. Fadhli Diana, Dea Amanda, dan Imam Mukti W.

10. Abdul Aziz, Herdiana, Destia, dan Nadia Khairunnisa yang telah

memberikan nasihat, kesabaran, dan motivasinya selama penulisan skripsi

ini.

11. Teman-teman kosan Wisma Balio Atas (WBA) yang telah memberikan

support, semangat dan masukan-masukan positif dalam penyelesaian

skripsi ini.

12. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Bogor, November 2013

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Garam ... 9

2.2 Zat Aditif ... 10

2.2.1 Pengertian Zat Aditif ... 10

2.2.2 Tata Cara Pemakaian Zat Aditif ... 11

2.3 Status Petani Berdasarkan Penguasaan Lahan ... 12

2.4 Fungsi Produksi ... 13

2.5 Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 17

2.6 Skala Usaha (Return to Scale) ... 19

2.7 Elastisitas ... 19

2.8 Biaya Usahatani ... 20

2.9 Analisis Pendapatan Usahatani ... 20

2.10 Analisis Profitabilitas ... 22

2.11 Analisis Faktor-Faktor Produksi Usahatanu ... 22

2.12 Hasil Penelitian Terdahulu ... 25

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 31

3.1.1 Analisis Fungsi Produksi ... 31

(14)

3.1.5 Pendapatan Usahatani...38

3.1.6 Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio)...39

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional...39

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...43

4.2 Jenis dan Sumber Data...43

4.3 Metode Pengambilan Sampel...44

4.4 Metode Analisis Data...45

4.4.1 Analisis Fungsi Produksi...45

4.4.2 Pengujian Hipotesa...47

4.4.3 Analisis Pendapatan Usahatani...51

4.4.4 Analisis Profitabilitas...52

4.4 Batasan Penelitian...53

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografi dan Sosial Ekonomi...55

5.2 Keadaan Umum Usaha Garam Rakyat di Desa Santing...56

5.2.1 Pendapat Petambak Garam terhadap Produksi Garam....59

5.2.2 Pendapat Petambak Garam terhadap Kualitas Garam...60

5.3 Karakteristik Responden...61

5.3.1 Jenis Kelamin Responden...61

5.3.2 Usia Responden...61

5.3.3 Tingkat Pendidikan Responden...62

5.3.4 Status Penguasaan Lahan Responden...62

5.3.5 Luas Lahan Garapan Responden...63

5.3.6 Pengalaman Usaha Garam Rakyat Responden...64

5.3.7 Pengguna Zat Aditif Responden...64

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Faktor Produksi Usaha Garam Rakyat di Desa Santing...65

(15)

6.1.2.1 Uji Multikolinearitas...65

6.1.2.2 Uji Heteroskedastisitas...66

6.1.2.3 Uji Normalitas...66

6.1.2.4 Uji Autokorelasi...66

6.1.3 Analisis Uji Statistik...66

6.1.3.1 Uji Adjusted R2...66

6.1.3.2 Uji F-hitung ...67

6.1.3.3 Uji t-hitung ...67

6.1.4 Analisis Ekonomi ...67

6.1.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Garam di Desa Santing ...67

6.1.4.2 Elastisitas dan Skala Usaha...69

6.1.4.2.1 Elastisitas Produksi Garam...69

6.1.4.2.2 Skala Usaha...70

6.2 Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Desa Santing...71

6.2.1 Penerimaan Usaha Garam Rakyat...72

6.2.1.1 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri...72

6.2.1.2 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa...73

6.2.1.3 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil...74

6.2.2 Biaya Usaha Garam Rakyat...75

6.2.2.1 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri...76

6.2.2.2 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa...78

6.2.2.3 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil...80

6.2.2.4 Komponen Biaya Usaha Garam Rakyat di Desa Santing... 82

6.2.3 Pendapatan Usaha Garam Rakyat...86

(16)

6.2.3.3 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil... 89

6.2.4 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat ... 90

6.2.4.1 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri .... 90

6.2.4.2 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sewa ... 91

6.2.4.3 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil ... 93

6.2.5 Analisis Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat di Desa Santing Tahun 2011...94

6.2.5.1 Status Penguasaan Lahan...94

6.2.5.2 Penggunaan Zat Aditif...96

VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan...99

7.2 Saran...100

DAFTAR PUSTAKA...103

LAMPIRAN...105

(17)

1 Pasokan Garam Nasional 2006-2010 (Ton) ... 2

2 Harga Dasar Garam Rakyat Per Kg di Tingkat PeGaram Rakyat Rakyat di Indonesia Tahun 2005 – 2011

(Rupiah/Kg) ... 5

3 Jenis Data yang Digunakan pada Penelitian ... 44

4 Metode Prosedur Analisis Data ... 45

5 Luas Wilayah di Desa Santing Menurut Penggunaan,

Tahun 2010 ... 55

6 Usia Responden Petambak di Desa Santing, Tahun

2011... 62

7 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

di Desa Santing, Tahun 2011... 62

8 Karakteristik Responden Berdasarkan Status Penguasaan

Lahan di Desa Santing, Tahun 2011 ... 63

9 Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan

Garapan di Desa Santing, Tahun 2011 ... 63

10 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman

Bertani Garam di Desa Santing, Tahun 2011 ... 64

11 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengguna Zat Aditif Usaha Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011

... 64

12 Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Usaha

Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011... 65

13 Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas... 70

14 Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011

... 72

15 Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan

Milik Sewa Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 ... 74

(18)

Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011 ... 77

18 Biaya Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status

Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 ... 79

19 Biaya Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status

Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ... 81

20 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011 .. 88

21 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 ... 89

22 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ... 90

23 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011.. 91

24 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 .... 92

25 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 .... 94

26 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat

Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011... 97

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka

Pendek ... ... 15

2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

3 Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan

Produksi Garam ... 60

4 Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan

(19)

1 Potensi Lahan garam di Indonesia Tahun 2011 ... 105

2 Lokasi Potensi Pengembangan Usaha Garam Rakyat di

Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 ... 106

3 Denah Kabupaten Indramayu, Provinsi jawa Barat ... 107

4 Denah Lokasi Penelitian di Desa Santing, Kecamatan

Losarang, Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 ... 108

5 Karakteristik Responden Petambak Garam Rakyat di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu,

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011 ... 109

6 Input Fungsi Produksi yang Dianalisis pada Penelitian Ini

di Desa Santing, Tahun 2011 ... 114

7

8

Hasil Pendugaan Uji Regresi Model 1 dengan Menggunakan Software Minitab 14.0 ...

Hasil Uji Asumsi Klasik Ordinary Least Square (OLS) Model 1 dengan Menggunakan Software Eviews 6 dan Minitab 14 ...

117

118

9 Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing

Tahun 2011 ... 119

10 Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing

Tahun 2011 ... 120

11 Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing

Tahun 2011 ... 121

12 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing

Tahun 2011 ... 123

13 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing

Tahun 2011 ... 125

(20)

15 Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 129

16 Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 130

17 Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 131

18 Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 132

19 Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 133

20 Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 134

(21)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan pesisir dan laut mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk

dikembangkan. Pada pembangunan di masa mendatang, pemanfaatan sumber

daya kelautan dan perikanan harus dijadikan prioritas. Potensi sumber daya

kelautan dan perikanan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan domestik

dan penghasil devisa negara, khususnya bagi masyarakat daerah setempat. Salah

satu potensi laut yang dapat dikembangkan adalah air laut, dimana air laut dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan garam.

Garam merupakan pelengkap pangan yang sangat penting bagi tubuh

manusia. Peranan penting garam bagi tubuh manusia, diantaranya

menyeimbangkan elektrolit dalam cairan san sel-sel tubuh, dan membantu

transmisi impuls saraf ke otak1. Oleh karena itu kebutuhan masyarakat akan fungsi garam harus dapat dipenuhi.

Berdasarkan fungsinya, garam dibedakan menjadi dua macam, yakni garam

konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi digunakan untuk konsumsi rumah

tangga dan industri makanan. Garam industri digunakan untuk industri

perminyakan, pembuatan soda dan chlor, penyamakan kulit, dan obat-obatan.

Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan garam semakin meningkat dari

tahun ke tahun, dimana kebutuhan tersebut terbagi untuk kebutuhan industri dan

kebutuhan konsumsi (rumah tangga).

Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa permintaan (kebutuhan) garam setiap

tahunnya mengalami peningkatan, dimana terjadi peningkatan sebesar 609.160

ton garam dari tahun 2006 hingga tahun 2010, sedangkan persediaan garam yang

berasal dari produksi domestik hanya meningkat sebesar 67.000 ton dan turun

drastis pada tahun 2010 mencapai 30.600 ton. Pada tahun 2010 terjadi anomali

cuaca tidak dapat diperkirakan. Sehingga terjadi over demand yang melanda

Indonesia saat itu. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan, maka

pemerintah melakukan impor garam dalam skala besar.

1

(22)

Tabel 1. Pasokan Garam Nasional 2006-2010 (Ton)

Tahun Permintaan Produksi

Garam Rakyat Impor Garam Konsumsi Garam Industri

2006 650.000 1.519.000 1.304.000 1.552.750

2007 671.000 1.935.375 977.000 1.661.488

2008 680.000 2.071.910 1.033.000 1.657.548

2009 686.800 2.092.629 1.371.000 1.701.418

2010 686.000 2.092.160 30.600 2.083.343

Sumber : Kementrian Perdagangan RI (2011)

Produksi garam nasional hingga saat ini lebih banyak dipasok untuk

memenuhi keperluan rumah tangga atau biasa disebut dengan garam konsumsi,

sedangkan industri selama ini dipenuhi oleh pasokan dari produksi impor. Hal

tersebut disebabkan oleh tidak cukupnya produksi nasional untuk memenuhi

kebutuhan industri.

Produksi garam nasional ditaksir tidak mampu memenuhi kebutuhan garam

masyarakat Indonesia. Hal tersebut membuat pemerintah RI harus melakukan

impor garam agar mampu menanggulangi masalah ketersediaan garam.

Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2010 pemerintah memasukkan

garam impor ke dalam negeri sebesar 2.083.343 ton. Pemberlakuan impor ini

dinilai lebih berpihak kepada konsumen, sedangkan produsen khususnya para

petambak garam terabaikan. Kondisi tersebut menyebabkan petambak merugi,

karena beberapa sudah meminjam modal kepada tengkulak dan koperasi untuk

mempersiapkan lahan produksi. Produksi tidak dapat dilakukan karena

ketidakpastian cuaca dan kurangnya sinar matahari yang berfungsi dalam hal

pengkristalan air laut.

Guna menanggulangi beberapa permasalahan yang melanda industri

garam dalam negeri, maka diperlukan inovasi dan teknologi yang dapat

membantu para petambak garam untuk mengoptimalkan produksi garam setiap

musimnya tiba. Saat ini telah ditemukan sebuah inovasi yang berguna dalam

mengoptimalkan produksi garam serta meningkatkan kualitasnya. Inovasi tersebut

adalah penambahan input produksi bubuk zat aditif ke dalam meja garam yang

berisi air laut. Selanjutnya air laut akan diubah menjadi garam dengan bantuan

sinar matahari, sehingga dengan penambahan zat aditif ke dalam proses produksi

(23)

1.2Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara maritim dengan berbagai kekayaan

sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah

air laut sebagai bahan baku penghasil garam. Fungsi garam terbagi menjadi dua

macam yaitu garam konsumsi dan garam industri. Setiap tahunnya kebutuhan

garam baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri terus bertambah

seiring dengan meningkatnya permintaan garam. Permintaan garam meningkat

sebesar 609.160 ton garam dari tahun 2006 hingga tahun 2010, sedangkan

persediaan garam dari produksi domestik hanya meningkat 67.000 ton dan tahun

2010 mencapai 30.600 ton (Kementrian Perdagangan RI, 2011). Oleh karena itu,

untuk memenuhi kebutuhan, maka pemerintah melakukan impor garam dalam

skala besar. Terhitung sejak tahun 2006-2010, Pemerintah Indonesia melakukan

impor rata-rata per tahunnya sebesar 1.731.309,4 ton. Peningkatan permintaan

garam seharusnya diiringi dengan peningkatan produksi garam domestik.

Faktor produksi garam rakyat dapat diwujudkan dengan cara penambahan

areal penambakan garam, dan penggunaan inovasi/teknologi, sedangkan yang

terjadi pada usaha garam rakyat bahwa luas lahan garapan petani garam kurang

dari satu hektar dan minimnya penggunaan teknologi. Selain itu, kondisi usaha

garam rakyat di Indonesia saat ini terlalu mengandalkan cuaca, angin, sinar

matahari dan tenaga kerja atau metode tradisional, sehingga yang terjadi banyak

faktor ketidakpastian yang terjadi pada usaha garam rakyat di Indonesia. Oleh

karena itu harus ada perubahan yang dilakukan, baik terhadap input pertanian

maupun metode-metode yang digunakan.

Pada Tabel 1 menggambarkan produksi garam nasional tidak seimbang

memenuhi tingkat permintaan garam nasional baik kebutuhan konsumsi rumah

tangga maupun konsumsi industri. Permintaan garam yang melebih pasokan

produksi garam dari domestik, maka diperlukan langkah strategis berupa inovasi

dan teknologi. Adanya sentuhan inovasi dan teknologi serta dukungan dari

pemerintah diharapkan mampu mengoptimalkan produksi garam nasional.

Usaha produksi garam rakyat dilakukan secara tradisional dan

(24)

utama untuk memproduksi garam, karena masyarakat pesisir masih memerlukan

pemanasan dengan bantuan matahari sebagai sumber panas. Selain prosesnya

tradisional, kualitas garamnya juga masih rendah disebabkan masih tingginya

kandungan pengotor terutama logam Magnesium dan Calcium dalam senyawa

MgSO4, CaSO4, CaCO3, KBr yang disebabkan oleh proses produksi yang masih

sangat sederhana. (Priyono, 2011).

Kabupaten Indramayu merupakan sentra penghasil garam di Jawa Barat

(Lampiran. 1). Lokasinya yang berdekatan langsung dengan Laut Jawa, membuat

Kabupaten Indramayu mampu menghasilkan garam lebih besar dibandingkan

dengan daerah lain di Jawa Barat (Lampiran 3). Musim kemarau banyak

dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakatnya yang berprofesi sebagai

petambak garam. Sistem usaha garam rakyat di sana masih sangat tradisional.

Garam yang dihasilkan bergantung kepada cuaca, sehingga apabila tiba-tiba

terjadi hujan, maka petambak memanen garam lebih cepat atau bahkan tidak bisa

sama sekali untuk memanen garam. Pada tahun 2010, petambak garam khususnya

di Indramayu mengalami kerugian yang besar, ketika itu mereka sudah

menyiapkan segala kebutuhan untuk memulai produksi garam, namun sulit

mendapatkan cahaya matahari dan angin yang baik untuk bisa menghasilkan

garam. Hal tersebut terjadi akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.

Agar pembangunan pertanian dapat berkelanjutan untuk memenuhi

kebutuhan manusia yang senantiasa bertambah maka harus selalu terjadi

perubahan. Ketika perubahan itu berhenti, maka berhenti pula pembangunan

pertanian (Hanafie, 2010). Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan berupa

inovasi dan teknologi, sehingga dapat menanggulangi permasalahan yang sifatnya

bergantung dengan sesuatu yang sulit dipastikan. Dibutuhkan teknologi khusus

untuk bisa mengoptimalkan produksi garam baik di musim hujan maupun musim

kemarau. Zat aditif ramsol dianggap mampu mengoptimalkan produksi yang

dihasilkan petambak garam.

Ramsol adalah bahan/formula zat aditif yang berfungsi sebagai pembersih

(25)

pertama kali oleh Hasan Achmad Sujono2, istilah Ramsol sendiri merupakan singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku Ramsol terdiri dari rumput laut, kulit

kerang dan zeolit. Menurut Bapak Hasan, zat tersebut mampu meningkatkan

produksi garam dalam sekali panen. Selain itu zat aditif ramsol mampu mengikat

NaCl lebih kuat dalam pembentukan yodium, sehingga menghasilkan garam yang

berkualitas3. Garam berkualitas akan mempengaruhi harga jual yang akan diterima oleh petambak garam, sehingga dengan penggunaan zat aditif ini

diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petambak. Penetapan harga dasar

penjualan garam rakyat per kg di tingkat petambak dari tahun 2005-2011 tersaji

dalam Tabel 2.

Tabel 2. Harga Dasar Garam Rakyat Per Kg di Tingkat Petambak Garam Rakyat di Indonesia Tahun 2005-2011 (Rupiah/kg)

Tabel 2 menginformasikan harga garam di tingkat petambak yang telah

ditetapkan oleh pemerintah untuk wilayah pergaraman di Indonesia. Harga garam

rakyat disesuaikan dengan jenis kualitas produksinya (KP). Tahun 2005 harga

penjualan garam rakyat hanya Rp 200 per kg untuk KP-1 dan Rp 150 per kg untuk

KP-2. Tahun 2008 harga dasar garam rakyat dinaikkan menjadi Rp 325 per kg

untuk garam KP-1 dan Rp 250 per kg untuk garam KP-2, lalu pada tahun 2011

harga dasar dinaikkan oleh pemerintah menjadi Rp 750 per kg untuk garam KP-1

dan Rp 550 per kg untuk garam KP-2 .

Pada umumnya harga rata-rata garam rakyat tahun 2011 di sejumlah

daerah pergaraman tidak sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh

pemerintah. Harga garam rakyat saat awal bulan Juli tahun 2011 hanya berkisar

(26)

Rp 400 per kg untuk KP-1 dan 320 per kg untuk KP-2.4 Pada saat panen raya, harga dasar garam KP-1 berkisar Rp 350 per kg dan Rp 300 per kg untuk KP-2.

Rendahnya harga garam rakyat dapat menyebabkan pendapatan petambak

menjadi rendah.

Pada usaha garam rakyat, lahan merupakan faktor produksi penting

terhadap keberlanjutan usaha garam rakyat tersebut. Lahan merupakan modal

dalam usaha garam rakyat guna menjamin kehidupannya serta keluarganya. Pada

faktor produksi, lahan erat kaitannya dengan status penguasaan lahan. Status

penguasaan lahan pada pokoknya dibagi menjadi tiga, yaitu pemilik penggarap

(owner operator), penyewa (cash tenant) dan penyakap atau bagi hasil (share

tenant).

Ada beberapa anggapan yang menilai bahwa sistem bagi hasil kurang

efisien karena petambak dengan status penguasaan lahan tersebut berada pada

ketidakpastian dalam menggarap lahan tersebut. Kemampuan petambak untuk

tetap bisa menggarap lahan bergantung dari wewenang pemilik lahan, bahkan

pemilik lahan dapat sewaktu-waktu meminta orang lain untuk menggantikan

petambak tersebut agar menggarap lahan yang sebelum dikelola. Meskipun

penyakap dibebaskan dari biaya atas lahan, namun ia harus membagi hasil tani

nya kepada pemilik lahan. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali

bagaimana pengaruh pemberian zat aditif dalam mengatasi beberapa

permasalahan usaha garam rakyat khususnya dalam hal produksi dan penerimaan

yang nantinya akan mempengaruhi pendapatan petambak garam. Selain itu akan

dibahas juga pengaruh status penguasaan lahan terhadap pendapatan petambak

garam. Peningkatan produksi garam, dilakukan dengan cara mengoptimalkan

faktor produksi garam. Pada umumnya, produksi berbanding lurus dengan

pendapatan. Semakin meningkat output produksi yang dihasilkan, maka semaki

meningkat pendapatan petani/petambak tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka

dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi garam di Desa

Santing?

4

(27)

2. Bagaimana pengaruh penggunaan zat aditif dan status penguasaan lahan

terhadap pendapatan usaha garam rakyat di Desa Santing?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam di Desa

Santing.

2. Menganalisis pengaruh pemberian zat aditif dan status penguasaan lahan

terhadap pendapatan petambak garam di Desa Santing.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Petambak, sebagai informasi bahwa belanja daerah di sektor pertanian dapat

menjadi insentif dan memberikan berkontribusi dalam pembangunan

daerah.

2. Pemerintah, sebagai salah satu bahan masukan bagi para pembuat kebijakan

dan para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan mengenai

perbaikan produksi gatam dan peningkatan kesejahteraan petambak garam,

khususnya dalam mewujudkan Program Swasembada Garam Nasional.

3. Masyarakat, sebagai informasi bahwa proporsi belanja daerah di sektor

4. Akademisi, khususnya untuk penelitian mengenai analisis pendapatan dan

profitabilitas usaha garam rakyat menurut status penguasaan lahan dan

penggunaan zat aditif agar dapat dievaluasi guna perumusan kebijakan

selanjutnya di masa mendatang dan sebagai bahan pustaka yang berkaitan

(28)

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan kebijakan harga dasar garam rakyat yang

ditetapkan pada tahun 2011. Lokasi pengambilan data primer dilakukan di Desa

Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Data produksi garam

rakyat yang digunakan adalah data produksi tahun 2011. Produksi garam hanya

dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan November. Penelitian ini akan menilai

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi garam serta dampak apa saja

yang diakibatkan dari penggunaan zat aditif terhadap pendapatan petambak di

(29)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Garam

Garam natrium klorida (NaCl) adalah elektrolit ekstra seluler dasar yan

penting bagi keberlangsungan dan perkembangbiakan makhluk hidup (Korovessis

dan Lekkas 2000). Garam merupakan salah satu mineral terbaik di dunia dan

substansi kimia yang berhubungan erat dengan sejarah peradaban manusia. Garam

diproduksi menggunakan evaporasi tenaga surya sejak awal mula peradaban

manusia. Kehidupan dimulai dari laut dimana organisme monoseluler mulai

diciptakan.

Garam rakyat Indonesia sebagian besar masih diolah dengan cara

tradisional, yaitu dengan menimba, mengaliri dan memasukkan air laut ke dalam

lahan-lahan yang sudah disiapkan diatas tanah. Garam rakyat atau garam krosok

merupakan sebutan bagi garam yang diproduksi oleh masyarakat diatas lahan

milik pribadi atau milik orang lain. Garam rakyat nantinya akan menjadi bahan

baku pembuatan garam konsumsi ataupun garam industri. Masa produksi garam

hanya dapat dilakukan pada saat musim kemarau yaitu sekitar 4-6 bulan dari

bulan Juni hingga bulan November.

Proses produksi garam sangat bergantung pada faktor cuaca. Garam

diproduksi dengan cara menguapkan air laut yang dipompa di lahan pegaraman.

Kondisi cuaca menjadi salah satu penentu keberhasilan target produksi garam

(Mahdi, 2009). Evaporasi air garam dapat tercapai jika didukung oleh radiasi

surya serta bantuan rekayasa iklim mikro pada areal pegaraman, khususnya angin,

curah hujan, suhu dan kelembaban, serta durasi penyinaran matahari. Proses

produksi garam memerlukan cuaca yang kering dengan laju evaporasi tinggi.

Curah hujan menjadi faktor pengurang evaporasi yang memberikan efek negatif

pada proses pembuatan garam (Zhiling et al, 2009). Indonesia hanya dapat

memproduksi garam pada musim kemarau, yakni ketika curah hujan di Indonesia

relatif sedikit, sedangkan di negara-negara subtropis dapat memproduksi garam

(30)

2.2 Zat Aditif

2.2.1 Pengertian Zat Aditif

Produksi garam rakyat di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan

garam dengan kualitas tiga (K3) dengan mutu rendah dari kadar NaCl rendah

pula. Dengan demikian diperlukan penambahan zat aditif selama proses

pembuatan garam untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam.

Saat ini telah ditemukan beberapa zat aditif sebagai filter untuk menjadikan garam

dari kualitas tiga (K3) mnejadi kualitas satu (K1). Salah satu dari zat aditif adalah

Garam Solusi (ramsol).

Ramsol adalah bahan/formula zat aditif yang berfungsi sebagai pembersih

dan pemutih garam (NaCl) dalam proses produksi garam. Ramsol ditemukan

pertama kali oleh Hasan Achmad Sujono, istilah ramsol sendiri merupakan

singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku ramsol terdiri dari rumput laut, kulit

kerang dan zeolit. Pada tanggal 10 Maret 2009 Ramsol telah memperoleh

sertifikat Perlindungan Hak Merek dengan Nomor IDM000161720 dari Direktorat

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual – Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia. Ramsol tersebut juga memperoleh Sertifikat Produk Penggunaan Tanda

SNI (SPPT-SNI) sebagai garam konsumsi beryodium dengan SNI No.

01-3556-2000. Pada tanggal 7 Juni 2010 Ramsol memperoleh sertifikat dai Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Propinsi Jawa Barat dengan sertifikat halal No.

01061030100608. Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) telah

mengeluarkan persetujuan pendaftaran produk pangan No. BPOM RI MD

245728001223 tanggal 31 Agustus 2010 (Aris, 2011).

Produksi Ramsol skala industri Hasan Achmad Sujono melakukan

kerjasama dengan Ir. Cholidi selaku Direktur Utama PT. Sumber Alam Niagamas

(PT. SUN). Perusahaan tersebut bergerak di bidang usaha Industri Pengolahan

Mineral Garam (Garam Iodium). Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang

Industri, Kementrian Perindustrian telah melakukan uji laboratorium terhadap

Ramsol dan menyatakan bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan Standar

Nasional Indonesia (SNI) untuk produk garam konsumsi beryodium. Beberapa uji

(31)

1. Sampel garam krosok dengan Ramsol yang diuji oleh Balai Besar Industri

Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (8 Januari 2007)

2. Sampel garam halus dengan Ramsol yang diuji oleh Balai Besar Industri

Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (19 Februari

2007)

3. Sampel garam halus beryodium diuji oleh Balai Besar Industri Agro,

Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (24 Mei 2010). Sampel

dinyatakan memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk

produk garam konsumsi beryodium.

Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia telah

memberikan penghargaan kepada Hasan Achmad Sujono atas inovasi Ramsol

sebagai bahan aditif dalam memproduksi garam yang juga dapat meningkatkan

kesehatan dan kecerdasan manusia. Analisis kelayakan usaha terhadap pemberian

Ramsol dalam proses produksi garam yang dilakukan secara tradisional, semi

intensif, dan back yard menunjukkan bahwa Ramsol dapat meningkatkan

produksi dan kualitas garam yang dihasilkan, sehingga menguntungkan dari segi

ekonomis. Dengan demikian Ramsol memiliki potensi yang cukup baik untuk

dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil produksi penggaraman

nasional serta meningkatkan pendapatan petambak garam.

2.2.2 Tata Cara Pemakaian Zat Aditif

Menurut Prasetyanto (2011) dalam modul pelatihan garam tingkat dasar

menyebutkan tata cara pemakaian ramsol pada masing-masing teknik pembuatan

garam baik tradisional, semi intensif, dan back yard adalah sebagai berikut :

1. Siapkan ramsol sebanyak 700 gr yang diaduk dengan air 10 liter hingga

merata sampai terlihat keruh keabu-abuan.

2. Taburkan ke meja-meja garam sampai habis yang dimulai dari tiap-tiap

(32)

2.3 Status Petani Berdasarkan Penguasaan Lahan

Soeharjo dan Patong (1973) membedakan status petani dalam usahatani

menjadi tiga, yaitu:

1. Petani Pemilik

Petani pemilik adalah golongan petambak yang memiliki tanah dan ia

pulalah yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua

faktor-faktor produksi baik yang berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang

digunakan adalah milik petani sendiri. Dengan demikian, ia bebas dalam

menentukan kebijaksanaan usahataninya tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan

oleh orang lain. Golongan petani yang agak berbeda statusnya adalah yang

mengusahakan tanamannya sendiri dan juga mengusahakan lahan orang lain

2. Petani Penyewa

Petani penyewa adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang

lain dengan jalan menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa

dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum

penggarapan dimulai. Lama kontrak sewa ini tergantung pada perjanjian antara

pemilik tanah dengan penyewa. Jangka waktu dapat terjadi satu musim, satu

tahun, dua tahun atau jangka waktu yang lebih lama. Dalam sistem sewa, resiko

usahatani hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah menerima sewa

tanahnya tanpa dipengaruhi oleh resiko usahatani yang mungkin terjadi.

3. Penyakap

Penyakap adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang lain

dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, resiko usahatani ditanggung

bersama oleh pemilik tanah dan penyakap. Besarnya bagi hasil tidak sama untuk

setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah

masing-masing, kelas tanah, kesuburan tanah, banyaknya pemintaan dan penawaran dan

peraturan negara yang berlaku. Menurut peraturan pemerintah, besarnya bagi hasil

ialah 50 persen untuk pemilik lahan dan 50 persen untuk penyakap setelah

dikurangi dengan biaya - biaya produksi yang berbentuk sarana. Disamping

(33)

penyakap, misalnya kewajiban membantu pekerjaan dirumah pemilik tanah dan

kewajiban - kewajiban lain berupa materi.

2.4 Fungsi Produksi

Produksi adalah kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna

suatu barang atau menciptakan barang baru sehingga mempunyai manfaat dalam

memenuhi kebutuhan, khususnya untuk manusia. Analisis fungsi produksi sering

dilakukan oleh para peneliti, karena mereka menginginkan informasi mengenai

cara agar sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, dan modal dapat

dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh. Dalam praktek,

penggunaan masukan produksi masih dipengaruhi oleh faktor lain di luar kontrol

manusia, misalnya serangan hama – penyakit dan iklim. Oleh karena itu, dalam

fungsi produksi dikenal istilah faktor ketidakpastian (uncertainty) dan risiko

(risk). Besarnya tingkat faktor ketidakpastian akan menentukan besarnya risiko

yang dihadapi.

Dalam memberi arti terhadap besarnya fungsi produksi, hendaknya perlu

berhati-hati, karena tidak semua variabel independen dimasukkan dalam model.

Hal ini dikarenakan terbatasnya data, sehingga perlu berhati-hati terhadap bias

yang terjadi dalam model pendugaan tersebut. Beberapa hal yang perlu

diperhatikan adalah (Soekartawai, 1993):

a) Model pendugaan yang dipakai adalah diketahui, dalam artian bahwa

model tersebut diduga tidak bias terlalu banyak,

b) Variabel yang dipakai dalam keadaan ketidakpastian dan tidak berisiko,

c) Pendugaan dalam fungsi produksi menunjukkan gambaran rata-rata suatu

pengamatan, kalau data yang dipakai adalah data “cross-section”,

d) Data yang dinyatakan dengan uang, mungkin bias dengan keadaan

sebenarnya, karena adanya biaya yang dluangkan (opportinity cost). Hal

ini mungkin terjadi karena adanya pasar yang bekerja tidak sempurna, dan

e) Setiap pengusaha atau petani mempunyai usaha yang khusus, sehingga

(34)

Menurut Nicholson (2002), fungsi produksi suatu barang memperlihatkan

jumlah output maksimum yang bisa diperoleh dengan menggunakan berbagai

alternatif kombinasi input. Hubungan antara input dan output bisa diformulasikan

oleh suatu fungsi produksi secara matematis, yaitu (persamaan 1) :

Y = f(X1, X2, X3, ...., Xn)

dimana:

Y = total output yang dihasilkan dalam satu periode tertentu,

Xn = input yang digunakan dalam memproduksi pupuk urea,

f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output.

Jumlah barang yang diproduksi dapat ditambah dengan menaikkan jumlah

input atau dengan menambah jumlah salah satu inputnya dan mempertahankan

jumlah input yang lainnya. Pelaku ekonomi menghadapi berbagai macam teknik

produksi dan akan memilih hasil yang optimal dalam batas modal yang dimiliki.

Fungsi produksi memberikan output maksimum dalam pengertian fisik dari

tiap-tiap tingkat input (Beattie dan Taylor, 1994).

Fungsi produksi dapat pula dinyatakan dalam bentuk grafik, dengan

asumsi bahwa hanya ada satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor

produksi lainnya dianggap tetap atau cateris paribus. Grafik fungsi produksi dapat

(35)

Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka Pendek

Sumber : Nicholson (1994)

Produk Total (PT) adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara

input dengan output. Ketika salah satu faktor produksi meningkat dan faktor

produksi lainnya dianggap konstan, maka jumlah output akan meningkat sampai

pada batas maksimum. Jika sudah melebihi batas maksimum, maka output yang

dihasilkan akan semakin menurun. Kurva produk total dapat diturunkan menjadi

kurva produk marjinal (PM) dan kurva produk rata-rata (PR). Produk rata-rata

adalah hasil pembagian antara output total dengan input total produksi yang

digunakan. Produk Marjinal (PM) adalah keluaran tambahan yang dapat

diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil

mempertahankan semua masukan lain tetap konstan (Nicholson, 1994).

Fungsi produksi dibagi kedalam tiga daerah produksi yang dibedakan

berdasarkan elastisitas produksinya, yaitu daerah produksi dengan elastisitas

produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas

antara nol sampai satu (daerah II), dan daerah produksi dengan elastisitas produksi

(36)

Daerah produksi I terletak antara titik nol sampai X**. Elastisitas produksi

pada daerah satu bernilai lebih besar dari satu, artinya penambahan faktor

produksi sebanyak satu persen akan menambah produksi lebih besar dari satu

persen. Pada daerah ini produksi marjinal (PM) mencapai titik maksimum lalu

mengalami penurunan, tetapi masih lebih besar dari produk rata-rata (PR).

Keuntungan maksimum belum tercapai pada daerah ini karena produksi masih

bisa ditingkatkan dengan penambahan faktor produksi, sehingga daerah ini

disebut daerah irrational.

Daerah yang terletak antara X** dan X*** merupakan daerah produksi II.

Pada daerah ini elastisitas produksinya antara nol sampai satu, artinya setiap

penambahan faktor produksi satu persen akan menambah produksi sebesar nol

sampai satu persen. Pada daerah ini produksi marjinal dan produksi rata-rata

mengalami penurunan, sedangkan pada produksi total daerah ini merupakan

daerah decreasing diminishing return karena setiap penambahan faktor produksi

akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin

berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini

sudah optimal, sehingga disebut daerah rational.

Daerah tiga mempunyai elastisitas lebih kecil dari nol, yang dimulai dari

titik X*** sampai seterusnya. Pada daerah ini produksi marjinal mengalami

penurunan bahkan bernilai negatif, sehingga produksi totalnya mengalami

penurunan. Setiap penambahan faktor produksi pada daerah ini akan

menyebabkan penurunan output yang dihasilkan. Oleh karena itu, daerah II ini

disebut daerah irrational.

Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi yaitu

hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Deminishing

Returns). Hukum tersebut mempunyai arti bahwa jika faktor produksi ditambah

secara terus menerus dalam suatu proses produksi, sedangkan faktor lainnya

konstan, maka tambahan jumlah produksi pada akhirnya akan mengalami

penurunan. Hukum ini juga bisa menggambarkan adanya kenaikan hasil yang

(37)

2.5 Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb-Douglas menjadi terkenal setelah diperkenalkan

oleh Cobb, C.W. dan Douglas, P.H. pada tahun1928 melalui artikelnya yang

berjudul “A Theory of Production“. Artikel ini dimuat pertama kalinya di majalah

ilmiah American Economic Review 1 halaman 139 – 165. Sejak saat itu fungsi

Cobb-Douglas dikembangkan oleh para peneliti, sehingga bukan saja

diperuntukkan untuk fungsi produksi, melainkan juga digunakan untuk fungsi

biaya dan fungsi keuntungan. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa fungsi

Cobb-Douglas memang dianggap penting dalam peristiwa ekonomi (Souekartawi,

1993).

Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan ang melibatkan

dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut dengan variabel dependent

(yang dijelaskan atau Y), dan yang lainnya adalah variabel independent (yang

menjelaskan atau X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan

cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Secara

matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti persamaan 2 :

Y = aX1b1 X2b2... Xnbn eu (2)

Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka

dapat dituliskan seperti persamaan 3:

Y = f(X1,X2,....Xn) (3)

Dimana :

Y = output (variabel yang dijelaskan)

a = intersep

bn = koefisien regresi penduga variabel ke-n

xi = jenis faktor produksi ke-n (variabel yang menjelaskan)

u = residual

e = 2,1782 (logaritma natural)

Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah

bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada beberapa persyaratan yang

(38)

Persyaratan ini diantaranya adalah (Soekartawi, 1993) :

a) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari

bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui;

b) Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi

pada setiap pengamatan. Ini artinya, kalau fungsi Cobb Douglas yang

dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan

analisa yang merupakan lebih dari satu model, maka perbedaan model

tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope)

model tersebut.

c) Tiap variabel X adalah perfect competition

d) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah

tercakup pada faktor kesalahan, u.

Fungsi produksi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk

fungsinya menjadi linier, dan harus sesuai dengan persyaratan yang telah

diuraikan sebelumnya. Output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi

tergantung pada input yang digunakan, secara sistematis menjelaskan suatu fungsi

produksi yang merupakan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (total

produksi pupuk urea) dengan variabel yang menjelaskan (faktor-faktor produksi).

Berikut ini beberapa alasan fungsi Cobb-Douglas banyak diminati oleh para

peneliti, yaitu (Soekartawi, 1993):

a) Penyelesaian fingsi Cobb-Douglas relaltif lebih mudah dibandingkan

dengan fungsi yang lain, misalnya fungsi kuadratik suatu model dapat

dengan mudah ditransfer ke bentuk linear.

b) Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan

koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas. Jadi

besaran koefisien regresi pada model adalah elastisitas dari variabel

masukan produksi yang bersangkutan.

c) Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return

(39)

2.6 Skala Usaha (Return to Scale)

Konsep return to scale menjelaskan keadaan suatu kenaikan proporsional

dari semua input terhadap hasil produksi total. Hasil berbanding skala atau dapat

disebut juga dengan skala usaha digunakan untuk menganalisis seberapa besar

pengaruh dari sejumlah input yang digandakan terhadap output yang dihasilkan

(Nicholson, 1994).

Menurut Soekartawi (2003), return to scale perlu diketahui agar dapat

melihat apakah kegiatan usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing,

constant atau decreasing return to scale. Jumlah dari setiap koefisien dari suatu

model, memberikan informasi mengenai pengaruh skala terhadap hasil (return to

scale), yaitu tanggapan output terhadap perubahan proporsional dalam input. Jika

b= 1, maka terdapat pengaruh skala terhadap hasil yang konstan (constant return

to scale), yaitu jika terjadi kenaikan input sebesar dua kali lipat, maka output akan

meningkat sebesar dua kali lipat pula. Jika jumlahnya lebih kecil daripada satu,

maka ada pengaruh skala yang menurun terhadap tingkat hasil (decreasing return

to scale), yaitu adanya kenaikan input sebesar dua kali lipat akan menyebabkan

penurunan output yang kurang dari dua kali lipat. Jika jumlahnya lebih besar

daripada satu, maka ada pengaruh skala yang meningkat terhadap tingkat hasil,

artinya adanya kenaikan input sebesar dua kali lipat akan meningkatkan output

sebesar lebih dari dua kali lipat (Gujarati, 1995)

2.7 Elastisitas

Pada proses produksi, jumlah faktor produksi urea yang digunakan

cenderung berubah-ubah. Perubahan tersebut disebabkan adanya elastisitas

produksi dari faktor produksi urea yang digunakan. Elastisitas produksi adalah

(Ep) adalah perubahan produk yang dihasilkan sebagai akibat dari perubahan

faktor produksi yang dipakai. Elastisitas produksi merupakan persentase

(40)

Perubahan jumlah output yang disebabkan oleh faktor input yang digunakan dapat

dinyatakan dalam elastisitas produksi.

Menurut Nicholson (1994), hubungan lain juga membuktikan bahwa

koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai

elastisitasnya dengan menggunakan rumus dari fungsi produksi Cobb-Douglas.

Nilai koefisien dari masing-masing input yaitu modal,bahan baku, tenaga kerja,

dan stream days mencerminkan elastisitas hasil terhadap modal, bahan baku,

tenaga kerja, dan stream days

2.8 Biaya Usahatani

Biaya adalah korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi semula

fisik, kemudian diberi nilai rupiah (Hernanto, 1989). Sedangkan menurut

Soekartawi, et.al. (1986) menyebutkan bahwa biaya atau pengeluaran usahatani

adalah semua nilai masuk yang habis dipakai atau dikeluarkan di dalam proses

produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petambak.

Menurut Daniel (2004), dalam usahatani dikenal dua macam biaya, yaitu

iaya tunai atau biaya yang dibayarkan dan biaya tidak tunai atau biaya yang tidak

dibayarkan/diperhitungkan. Biaya tunai atau biaya yang dibayarkan adalah biaya

yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk

pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan bawon panen juga

termasuk biaya iuran pemakaian air dan irigasi, pembayaran zakat dan lain- lain.

Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa

sebenarnya pendapatan kerja petambak jika modal dan nilai kerja keluarga

diperhitungkan. Selain itu, biaya yang diperhitungkan digunakan untuk

menghitung nilai penyusutan dari penggunaan suatu peralatan.

2.9 Analisis Pendapatan Usahatani

Usahatani sebagai satu kegiatan produksi pertanian yang pada akhirnya

akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Selisih

(41)

mengartikan pendapatan usahatani sebagai balas jasa dari kerjasama antara

faktor-faktor produksi dengan petani sebagai penanam modal dan sekaligus pengelola

usahatani.

Tingkat pendapatan didapatkan dengan analisis pendapatan usahatani.

Analisis pendapatan usahatani dapat dijadikan tolak ukur sederhana tentang

tingkat keberhasilan suatu usahatani. Soeharjo dan Patong (1973), menjelaskan

terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan

keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan

yang akan datang dari suatu kegiatan usaha.

Analisis pendapatan memerlukan dua komponen utama, yaitu keadaan

pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam usahatani dan keadaan

penerimaan pasca produksi dan pemasaran usahatani (Soeharjo dan Patong,

1973). Menurut Soekarwati et al. (1986), penerimaan adalah besaran output

usaha, baik produk utama maupun produk sampingan yang dihasilkan. Sedangkan

pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumber daya yang terukur

dalam satuan nominal uang (rupiah) yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan

usahatani.

Komponen pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai (cash

cost) dan pengeluaran diperhitungkan (inputted cost). Beban biaya dalam

pengeluaran tunai meliputi: pembayaran tunai sarana produksi pertanian seperti

pembelian benih, pupuk, obat-obatan (pestisida), beban biaya sewa dibayar

dimuka seperti sewa lahan garapan, sewa alat mesin pertanian (bila ada), dan

biaya tenaga kerja. Beban biaya yang termasuk dalam pengeluaran diperhitungkan

(inputted cost) adalah pendapatan bunga modal, pendapatan yang dipergunakan

untuk usahatani berikutnya seperti benih hasil panen dan nilai tenaga kerja

keluarga diperhitungkan.

Komponen penerimaan usahatani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu

penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Pendapatan tunai bersumber dari

penjualan tunai hasil produksi panen (output) usahatani yang dilakukan,

sedangkan penerimaan non tunai bersumber dari (1) produk hasil panen (output)

(42)

benda-benda investasi yang dimiliki rumah tangga petambak berdasarkan selisih

nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun.

2.10 Analisis Profitabilitas

Keberhasilan dari suatu usahatani selain diukur dengan nilai mutlak

(analisis pendapatan), juga diukur dari analisis efisiensinya (Soeharjo dan Patong,

1977). Salah satu ukuran efisiensinya adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang

dikeluarkan (revenue cost ratio). Dalam analisis R/C akan diuji seberapa jauh

nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan dapat

memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Semakin tinggi nilai

R/C ratio, menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh dari setiap

rupiah biaya yang dikeluarkan, sehingga dengan perolehan nilai R/C ratio yang

semakin tinggi maka tingkat efisiensi pendapatan pun semakin baik.

2.11 Analisis Faktor-faktor Produksi Usahatani

Usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang

mengusahakan dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan dan

alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang

sebaik-baiknya (Suratiyah, 2006). Menurut Soekartawi (1986), usahatani adalah

organisasi yang pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh

seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terkait biologis,

politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Usahatani dilakukan untuk

mengkoordinasikan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin untuk

mendapatkan pendapatan semaksimal mungkin.

Menurut Suratiyah (2006), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani

yaitu :

1. Lahan

Lahan usahatani dapat berupa sawah ataupun lahan pekarangan yang bisa

(43)

(menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Lahan mewakili unsur dalam

dan merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan usahatani.

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam usahatani merupakan faktor penting selain tanah,

modal dan pengelolanya. Ada tiga jenis tenaga kerja yang dikenal dalam usahatani

yaitu manusia, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas, tenaga

kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua

jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja

ternak digunakan untuk mengolah tanah dan pengangkutan. Tenaga kerja mekanik

bersifat substitusi pengganti ternak. Kekurangan tenaga kerja dapat diantisispasi

dengan mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa

upah.

3. Modal

Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi

yang lainnya untuk menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian.

Modal mempunyai pengaruh yang besar terhadap usahatani, terutama modal

operasional. Modal operasional terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan

usahatani dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain

seperti sarana produksi, tenaga kerja bahkan untuk membiayai pengelola. Menurut

sifatnya modal dibedakan menjadi modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap

seperti tanah dan bangunan, sedangkan modal bergerak seperti alat-alat, bahan,

uang tunai, piutang di bank, tanaman dan ternak.

4. Pengelola

Pengelola usahatani adalah kemampuan dalam menentukan,

mengorganisasikan dan mengkoordinasikan faktor produksi sebaik mungkin

sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukuran keberhasilan pengelola adalah

peningkatan produksi setiap faktor maupun dari setiap usahanya. Terdapat dua

faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani, yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal dapat dikendalikan oleh petambak, meliputi petambak

pengelola, tenaga usaha, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan

petambak mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga. Faktor

(44)

usahatani meliputi sarana transportasi dan komunikasi, pemasaran dan fasilitas

kredit.

Hubungan sumberdaya lahan, modal, dan tenaga kerja saling terkait dalam

pertanian. Aspek sumberdaya pertanian menurut Soekartawi (2006) adalah aspek

alam (tanah), modal dan tenaga kerja. Selain aspek tersebut juga terdapat aspek

manajemen dalam pengelolaan sumberdaya produksi. Mahdi (2009) memaparkan

bahwa pegaraman hendaknya memenuhi beberapa faktor yang menjadi variabel

produksi pada proses produksi garam antara lain:

1. Peningkatan kecepatan penguapan air laut

2. Penurunan peresapan tanah

3. Pengaturan konsentrasi pengkristalan garam

4. Perbaikan cara pengolahan tanah

5. Penggunaan teknologi baru.

Proses produksi garam yang disarankan adalah dengan metode kristalisasi

bertingkat, yakni model pembaruan dari metode konvensional. Proses ini sudah

dilakukan oleh PT Garam (Persero). Tahap pembuatan garam untuk memproduksi

garam berkualitas sebagai berikut (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003):

1. Persiapan

Persiapan dilakukan paling lambat 2 minggu sebelum musim kemarau

dengan cara melakukan perbaikan kembali semua saluran, tanggul-tanggul kolam

pegaraman, dan lain-lain.

2. Pengaliran air laut ke kolam pengumpul/pengendapan

Air laut dialirkan ke kolam pengumpul jika musim kemarau tiba. Pada saat

pengisian air laut dilakukan pembukaan pintu air ke kolam pengumpul, sedangkan

pada saat air laut pasang pintu air ditutup rapat dan diupayakan tidak ada

kebocoran. Air laut didiamkan kurang lebih 14-15 hari sampai konsentrasi air

garam mencapai 10oBe.

3. Aliran larutan garam pada kolam-kolam pegaraman

Larutan air garam (brine) dialirkan ke kolam-kolam setelah beberapa hari

diendapkan dan mengalami peningkatan konsentrasi, dengan demikian dibuat

empat seri kolam penguapan dengan target konsentrasi berbeda-beda. Ketika

(45)

ke kolam pemekatan, sehingga mencapai konsentrasi 29.5oBe namun tidak boleh lebih dari 30.5oBe, sebab kualitas garam akan menurun pada konsentrasi tersebut. Pemindahan brine dari satu kolam ke kolam lain melewati pintu-pintu air.

Pengukuran konsentrasi brine harus dilakukan dengan menggunakan alat yang

disebut baumeter. Proses penguapan air garam di lahan peminihan umumnya

berlangsung selama 70 hari.

4. Kolam kristalisasi dan pengambilan kristal garam

Kolam kristalisasi telah dipersiapkan sebelum garam pekat dari kolam pemekatan

dipindahkan ke kolam kristalisasi.

5. Pencucian garam

Pencucian garam adalah suatu cara menghilangkan/mengurangi komponen-

komponen yang tidak diinginkan dengan melalui pengkontakkan antara benda

padat dengan cairan.

6. Pengeringan garam

Pengeringan garam adalah tahap terakhir sebelum pengarungan, dimana garam

yang sudah dicuci diletakkan diatas geribik, lalu dijemur dibawah sinar matahari.

7. Pergudangan

Pergudangan didesain untuk menjaga garam agar tidak mengalami

penurunan kualitas. Karena sifat garam yang higroskopis sehingga mudah

menyerap air, maka kelembaban gudang harus dikontrol

2.12 Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha garam rakyat merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan

oleh petambak atau petani garam dengan menggabungkan sumberdaya (lahan,

tenaga kerja, modal, dan lain-lain) untuk mencapai tujuan utama yaitu

mendapatkan keuntungan. Usaha garam rakyat di Indonesia dikenal masih sangat

tradisional, karena melalui proses evaporasi hanya dengan bantuan sinar matahari

dan angin, tanpa adanya sentuhan teknologi. Oleh karena itu, untuk mencapai

keuntungan atau produksi yang maksimal, maka penggunaan faktor-faktor

(46)

Tingkat pendapatan merupakan indikator dari keberhasilan yang diperoleh

dari setiap usaha garam rakyat. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan

semua biaya (Soekartawi, 2006). Untuk menganalisis, apakah usaha garam rakyat

yang dilakukan menguntungkan (profitable) atau tidak, maka dilakukan

perbandingan antara jumlah penerimaan dan biaya (R/C). Usaha yang

menguntungkan (profitable) mempunyai nilai R/C > 1. Nilai R/C dapat pula

menunjukan ukuran efisiensi suatu usaha. Semakin besar nilai R/C maka semakin

efisien usaha yang dilakukan.

Ihsannudin (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pemberdayaan

Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. Lokasi

penelitian bertempat di Pulau Madura tepatnya di Kabupaten Sampang. Lokasi

tersebut dipilih karena merupakan sentra penggaraman rakyat paling luas di

Madura. Latar belakangnya penelitian ini adalah tentang tidak sejahteranya petani

penggarap garam atau tidak memiliki status kekuasaan lahan. Widodo (2010)

dalam Ihsannudin (2013) mengatakan masyarakat pesisir pada umumnya

menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang

membutuhkan investasi besar dan bergantung musim. Kondisi iklim dan cuaca

yang seringkali tidak bersahabat, mekanisme harga dan pasar garam yang

cenderung tidak berpihak kepada petani garam menjadikan usaha garam ini

dilingkupi risiko (Ihsannudin, 2012). Demikian pula mengenai tingkat pendidikan

penduduk yang rendah dan keterampilan yang terbatas. Kondisi tersebut semakin

terpuruk apabila petani tersebut tidak memiliki kuasa lahan atau biasa disebut

penyakap (petani penggarap), sehingga selain memiliki keterbatasan modal,

penyakap juga tidak mempunyai hak dalam pengambilan keputusan dalam usaha

garam rakyat. Oleh karena itu, penelitian ini berujuan mengetahui pendapatan

petani penggarap garam dari usaha produksi garam serta alternatif kebijakan

pertanahan yang dapat ditetapkan untuk dapat memberdayakannya.

Analisis data yang dilakukan adalah analisis pendapatan, sedangkan alat

analisis yang digunakan untuk mengestimasi keberhasilan usaha adalah sebagai

berikut :

NI = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC)

(47)

Dimana :

NI : Nett Income (Pendapatan Bersih)

Q : Total produksi

Pq : Harga per satuan produk

TFC : Total biaya tetap

TVC : Total biaya variabel

Sementara upaya pemberdayaan petani penggarap garam dengan kebijakan

pertanahan dilakukan dengan melakukan analisis kualitatif. Analisis kualitatif

terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data,

penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Pada isi pembahasan dijelaskan bahwa 40,34% biaya yang dikeluarkan

adalah untuk tenaga kerja pada saat penggarapan persiapan sebelum panen dan

pemeliharaan selama masa panen. Garam selanjutnya dipungut setiap 10 hari

sekali. Biaya terbesar selanjutnya adalah biaya pengangkutan (22,6%). Biaya yang

dikeluarkan petani garam akan menjadi unsur pengurang dari penerimaan yang

diperoleh. Berdasarkan data yang diperoleh, usaha garam pada musim 2011

diperoleh rata-rata produksi per hektar per musim sebesar 52,93 ton, dengan harga

yang diterima adalah Rp484.000 per ton, sehingga penerimaan petani tersebut

adalah Rp25.640.907. Selanjutnya setelah dikurangi total biaya sebesar

Rp16.394.966 maka diperoleh pendapatan petani garam sebesar Rp9.245.941 per

hektar per musim. Perjanjian yang telah dibuat oleh penggarap dengan pemilik

lahan adalah bahwa pembagian hasil sebesar 30% untuk penggarap dan 70%

untuk pemilik lahan, dengan asumsi jika seluruh alat-alat produksi berasal dari

pemilik lahan. Oleh karena itu, pendapatan bersih yang diperoleh petani

penggarap garam adalah Rp2.773.782,3 per hektar per musim.

Alternatif kebijakan pemberdayaan petani penggarap dimaksudkan agar

petani penggarap ini tidak berada dalam lingkaran kemiskinan. Sebagaimana

dibahas di depan bahwa lahan atau tanah adalah variabel yang penting, maka

diharapkan upaya kebijakan ini bisa membantu menyejahterakan petani penggarap

garam. Alternatif kebijakan tersebut terdiri dari empat pendekatan, yaitu (1)

peningkatan produktivitas; (2) efisiensi biaya; (3) memanfaatkan hak pakai atau

Gambar

Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka Pendek
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operational
Tabel 3. Jenis Data yang Digunakan Pada Penelitian
Tabel 4.  Metode Prosedur Analisis Data
+7

Referensi

Dokumen terkait