• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Analisis Fungsi Produksi

Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dengan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan berupa output dan variabel yang menjelaskan berupa input. Melalui fungsi produksi, hubungan antara faktor-faktor produksi dengan tingkat produksi dan hubungan antara faktor- faktor produksi itu sendiri dapat diketahui. Berbagai macam fungsi produksi yang digunakan pada berbagai penelitiaan antara lain :

1. Faktor produksi linear

2. Faktor produksi kuadratika atau fungsi polinominal kuadratika 3. Faktor produksi eksponesial atau fungsi Cobb–Douglas

4. Selain itu,terdapat pula fungsi produksi CES (Constant Elastiscity of Substitution), Transcendental, dan Translog.

Fungsi produksi yang umum dibahas dan digunakan oleh para peneliti adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (Soekartawi, 1993). Fungsi produksi Cobb -Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut sebagai variabel dependen (Y) dan yang lain disebut variabel independen (X). Penyelesaian hubungan biasanya dilakukan dengan cara regresi. Secara matematik, persamaan dari fungsi Cobb– Douglas dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = b0. X1b1 X2 b2 . . . Xn bn eu

Keterangan :

Y = hasil produksi

Xn = nilai faktor produksi ke n

b0 = intersep

bn = dugaan slope yang berhubungan dengan variabel Xn

e = bilangan natural (e = 2,782) u = kesalahan (residual)

Logaritma dari persamaan sebelumnya adalah :

log Y = log a + b1 log X1 +b2 log X2 + ... + bn log Xn + v

Penyelesaian fungsi produksi Cobb–Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier. Oleh karena itu, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:

1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol

2. Tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan 3. Tiap variabel X adalah perfect competition

4. Perbedaan lokasi pada fungsi produksi, seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan (u).

Menurut Doll dan Frank (1984), model fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai beberapa kelebihan, antara lain (1) perhitungan sederhana karena dapat dibuat dalam bentuk linier, (2) hasil penjumlahan koefisien elastisitas masing-masing faktor produksi pada fungsi ini juga dapat menunjukkan fase pergerakan skala usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yang berlangsung, (3) pada model ini koefisien pangkatnya sekaligus menunjukkan besarnya elatisitas produksi, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi, (4) fungsi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi yang paling banyak dipakai dalam penelitian sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan alat analisis yang sama.

Pedoman yang digunakan untuk memilih fungsi produksi yang baik diantaranya (Soekartawi et al, 1986) :

1. Memiliki dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi 2. Mudah dianalisis

3.1.2. Skala Usaha

Elastisitas produksi (Ep) adalah respon perubahan output sebagai akibat dari perubahan input. Elastisitas ini dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

Ep= ∆Y/∆X . X/Y = PM/PR

∆Y/∆X adalah rumus PM (Produk Marjinal) sehingga besarnya Ep

tergantung dari besar kecilnya PM dari suatu input, misalnya input X. Terdapat tiga bentuk sakala usaha (return to scale) dalam suatu proses produksi, yaitu decreasing return to scale, constant return to scale, dan increasing return to scale. Suatu proses produksi berada pada fase decreasing return to scale apabila proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Hal ini ditunjukkan dengan elastisitas produksi yang kurang dari satu. Fase constant return to scale ditunjukkan dengan elastisitas sama dengan satu sehingga proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. Sementara, fase increasing return to scale menjelaskan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Pada fase ini elastisitas produksi lebih besar dari satu.

Fungsi produksi terbagi ke dalam tiga daerah produksi yang dibedakan berdasarkan elastisitas dari masing-masing faktor-faktor produksi, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol dan satu (daerah II), dan daerah produksi dengan elastisitas produksi kurang dari nol (daerah III). Ketiga daerah produksi tersebut dapat terlihat pada Gambar 1.

Daerah produksi I terletak antara titik asal dan X2. Pada daerah ini, PM mencapai titik maksimum, kemudian mengalami penurunan, tetapi PM masih lebih besar dari Produk Rata-rata (PR). PM akan bernilai sama dengan PR saat PR maksimum. Elastisitas produksi pada daerah I bernilai lebih dari satu, artinya penambahan faktor produksi secara bersama-sama sebanyak satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum pada daerah ini belum tercapai karena produksi masih dapat

diperbesar dengan penambahan faktor produksi yang lebih banyak. Dengan demikian, daerah ini merupakan daerah irrasional (irrational region).

Daerah produksi II terletak antara X** dan X*** dengan elastisitas produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi sebesar antara nol dan satu persen. Daerah ini dikatakan daerah decreasing/diminishing returns karena setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Pada suatu tingkat tertentu, penggunaan input akan mencapai produksi total yang maksimum yaitu pada saat PM sama dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, maka dikatakan daerah II merupakan daerah rasional (rational region).

Daerah III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Pada daerah ini, produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh PM yang bernilai negatif. Dengan demikian, setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan sehingga daerah III ini disebut daerah irrassional (irrational region).

3.1.3. Konsep Usahatani

Beberapa definisi mengenai ilmu usahatani sudah banyak dikemukakan oleh mereka yang melakukan analisis usahatani diantaranya yang dikemukakan oleh Soekartawi (2006), yakni ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi pemasukan (input).

Soekartawi et al. (1986) menambahkan bahwa tujuan usahatani adalah memaksimalkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan

maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan biaya, yaitu bagaimana menekan biaya sekecil mungkin untuk mencapai tingkat produksi tertentu.

Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa usahatani adalah kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komponen dalam usahatani tersebut terdiri dari alam, tenaga kerja, modal dan manajemen atau pengelolaan (organisasi). Alam, tenaga kerja dan modal merupakan unsur usahatani yang mempunyai bentuk, sedangkan pengelolaan tidak, tetapi keberadaannya dalam proses produksi dapat dirasakan.

Tingkat produksi dan produksi usahatani dipengaruhi oleh teknik budidaya, yang meliputi varietas yang digunakan, pola tanam, pemeliharaan, dan penyiangan, pemupukan serta penanganan pasca panen. Hernanto (1996) berpendapat bahwa keadaan usahatani yang satu dengan yang lain berbeda dari segi luas, kesuburan, tanaman yang ditanam serta hasilnya. Setiap bagian lahan berbeda kemampuan dan variasinya. Hal ini membuat usahatani yang ada di atasnya juga bervariasi. Oleh karena itu, manusia yang beragam menyebabkan beragam juga putusan yang ditetapkan untuk usahataninya. Secara umum beragamnya usahatani dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik yang ada di lingkungan usahataninya.

Faktor- faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga kerja dan modal. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Dan yang termasuk dalam faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburannya. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. (Suratiyah, 2006).

Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung dengan musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produksi, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut :

1. Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata.

2. Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas.

3. Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan.

4. Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula dengan usahatani. Menurut Vink dalam Suratiyah (2006) benda-benda termasuk tanah yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagi modal. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang- barang baru, yaitu produksi pertanian. Pada usahatani yang dimaksud dengan modal adalah (Hernanto, 1996) :

1. Tanah

2. Bangunan- bangunan (gudang, kandang, pabrik, dan lain-lain) 3. Alat- alat pertanian (traktor, sprayer, cangkul, parang, dan lai-lain) 4. Tanaman, ternak dan ikan di kolam

5. Bahan- bahan pertanian (pupuk, bibit, obat- obatan)

3.1.4. Biaya Usahatani

Biaya total (TC) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (Total Fixed Cost = TFC) dan biaya variabel total (Total Variabel Cost = TVC). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yaitu bertambah besar seiring peningkatan produksi, dan sebaliknya semakin berkurang seiring penurunan produksi. Klasifikasi biaya usahatani menjadi biaya tetap dan variabel tersebut dijelaskan dalam formulasi (Lipsey et al 1995):

TC = TFC + TVC

TC = TFC + Px1.x1+ Px2.x2+ .... + Pxn.xn

keterangan:

TFC = Biaya tetap TVC = Biaya variabel

Px1, Px2, Pxn = Harga satuan input variabel x1, x2, xn

x1, x2, xn = Jumlah penggunaan input variabel x1, x2, xn

Formulasi tersebut menunjukkan bahwa biaya tetap nilainya tetap pada setiap periode produksi sedangkan biaya variabel nilainya ditentukan oleh jumlah penggunaan input variabel, dimana jumlah penggunaan dan harga input variabel tidak selalu sama di setiap periode produksi. Oleh karena itu, peningkatan dan penurunan biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah biaya variabel usahatani.

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel; serta pengeluaran usahatani tunai dan yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani bila bunga modal dan niai kerja keluarga diperhitungkan. Modal yang digunakan petani diperhitungkan sebagai modal pinjaman pinjaman meskipun modal tersebut milik petani sendiri. Kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku pada waktu anggota keluarga menyumbangkan kerja dan pada tempat mereka bekerja. Selain berwujud biaya tetap dan biaya variabel, pengeluaran juga mencakup penurunan nilai inventaris usahatani. Nilai inventaris berkurang karena hilang, rusak, atau karena penyusutan. Penyusutan terjadi karena pengaruh umur atau karena dipakai, contohnya gedung-gedung, traktor, bajak, cangkul, dan lain sebagainya.

Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pengeluaran usahatani sering juga disebut sebagai biaya usahatani. Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga petani. Bunga pinjaman dan pembayaran pinjaman pokok tidak termasuk pengeluaran usahatani. Sedangkan Hernanto (1996) menyatakan pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasional dengan

tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani yang meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar.

Soekartawi (2006) mengklasifikasikan biaya usahatani menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap atau biaya variabel (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan tanpa dipengaruhi oleh besar-kecilnya jumlah produksi, bahkan berjalan atau tidaknya usahatani. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh jumlah produksi. Biaya ini dapat berubah sesuai dengan jumlah produksi yang ingin dihasilkan. Selain itu, pengeluaran usahatani juga dapat diklasifikasikan sebagai pengeluaran tunai dan tidak tunai (pengeluaran yang diperhitungkan). Pengeluaran tunai merupakan pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, sedangkan pengeluaran tidak tunai merupakan pengeluaran yang diperhitungkan secara tidak langsung karena tidak dilakukan secara verbal. Contoh pengeluaran tidak tunai atau pengeluaran yang diperhitungkan adalah penyusutan sarana produksi, gaji untuk tenaga kerja dalam keluarga petani, dan lain sebagainya.

3.1.5. Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan digunakan untuk melihat manfaat ( keuntungan) dari suatu usaha, sehingga dapat dinilai tingkat kelayakan usaha tersebut. Kriteria analisis pendapatan bertitik tolak pada prinsip bahwa efisiensi suatu usaha sangat dipengaruhi oleh nilai input yang digunakan dalam nilai output yang dihasilkan dengan proses produksi. Ada tiga variabel yang perlu diketahui dalam analisis usahatani. Tiga variabel tersebut adalah penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani. Analisis tiga variabel ini disebut analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis).

Menurut Soekartawi (1995) penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual, biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Sedangkan yang dimaksud dengan pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Selanjutnya Soeharjo dan Patong (1977) menyebutkan bahwa analisis pendapatan

usahatani mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi dimana dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu : (1) menggambarkan keadaaan sekarang dari suatu kegiatan usahatani, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani sangat bermanfaat bagi petani untuk mengukur tingkat keberhasilan dari usahataninya.

3.1.6. Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio)

Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah ratio imbangan penerimaan dan biaya (Return and Cost). Ratio R/C ini menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk memproduksi tiap satuan produksi. Alat analisis ini dapat dipakai untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan financial sehingga dapat dijadikan penilaian terhadap keputusan petani untuk menjalankan usahatani tertentu. Titik tekan pada konsep ini adalah unsur biaya merupakan unsur modal. Dalam analisis ini akan dikaji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soeharjo dan Patong 1973).

Usahatani efisien apabila R/C lebih besar dari 1 (R/C>1) artinya untuk setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan memberikan penerimaan lebih dari Rp. 1,00. Sebaliknya jika ratio R/C lebih kecil satu (R/C<1) maka dikatakan bahwa untuk setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan memberikan penerimanaan lebih kecil dari Rp. 1,00 sehingga usahatani dinilai tidak efisien. Semakin tinggi nilai R/C, semakin menguntungkan usahatani tersebut (Gray et al, 1992).

3.2. Kerangka Pemikiran Operational

Indonesia merupakan negara maritim. Berbagai kekayaan laut dunia bisa didapatkan di negara ini. Besarnya potensi tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan setiap kekayaan laut Indonesia. Kekayaan laut terbagi menjadi dua, yaitu kekayaan yang didapatkan dari perikanan dan kekayaan yang didapatkan dari kelautan. Sumberdaya yang didapatkan dari kelautan biasanya berupa air laut, rumput laut dan bahan-bahan

lainnya yang bukan berupa ikan. Salah satu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia adalah air laut, dimana air laut nantinya akan dijadikan bahan utama pembuatan garam.

Sentra pembuatan garam di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu. Luas lahan yang paling luas adalah berada di Kecamatan Losarang tepatnya di Desa Santing. Usaha garam rakyat disana merupakan usaha budidaya air laut dengan lahan berhektar-hektar dan dikelola secara tradisional oleh tenaga kerja baik dari dalam keluarga dan luar keluarga. Usaha tambak ini pun merupakan salah satu tombak penghasilan yang diharapkan pada musim kemarau oleh para petambak. Pada tahun 2010, kerugian pun dialami oleh para petambak di Desa Santing, umumnya di Indonesia. Dalam setahun curah hujan disana sangat tinggi, sehingga para petambak garam tidak bisa melakukan proses pengkristalan air laut dengan bantuan cahaya matahari yang jarang sekali muncul. Maka mereka pun harus meminjam uang untuk keperluan sehari-hari kepada para tengkulak.

Pada umumnya tidak semua petambak memiliki lahan sendiri. Ada beberapa status penguasaan lahan yang ada pada usaha garam rakyat di Indramayu. Status lahan yang ada disana, diantaranya lahan milik sendiri dan lahan bukan milik sendiri. Lahan bukan milik sendiri adalah lahan yang dimiliki oleh pemerintah setempat ataupun milik perseorangan. Pemindahtanganan manajemen pengelolaan lahan nanti dibuat berupa lelang, penyewaan maupun dengan sistem bagi hasil. Umumnya perbedaan status penguasaan lahan tersebut bisa membedakan pendapatan yang akan diterima oleh masing-masing petambak.

Pemerintah dalam hal ini membantu beberapa petambak di Desa Santing. Bantuan tersebut terhimpun dalam Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang masuk kedalam Program Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Tidak semua petambak di Indramayu mendapatkan bantuan ini, namun bantuan yang ada sudah cukup membantu beberapa petambak untuk meningkatkan pendapatannya. Bantuan tersebut berupa pemberian alat dan bahan yang biasa digunakan untuk usaha garam rakyat. Pada umumnya, usaha tambak padi menggunakan pupuk untuk meningkatkan produksi lahannya dimana dengan lahan yang sempit (<0,5Ha) dapat menghasilkan output produksi yang tinggi. Perbedaan pada usaha garam rakyat adalah tidak menggunakan pupuk. Bahan yang digunakan untuk

meningkatkan produksi lahan pada usaha garam rakyat adalah zat aditif. Nama dagang zat aditif yang ada di setiap daerah produksi garam mempunyai nama yang berbeda-beda. Produk yang diberikan oleh pemerintah di Kabupaten Indramayu adalah Ramsol (Garam Solusi). Penggunaan zat aditif terhadap pendapatan dapat diketahui dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi produksi garam di Desa Santing. Selain itu zat aditif akan dimasukkan kedalam model sebagai dummy, sehingga nanti akan diketahui seberapa besar pengaruhnya zat aditif terhadap produksi garam.

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam dan dampak penggunaan zat aditif terhadap pendapatan pada usaha garam rakyat. Variabel yang diduga mempengaruhi produksi garam, diantaranya jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja pada masa produksi, dan zat aditif. Analisis pendapatan dilakukan dengan mengambil sampel petambak yang telah distratifikasi kedalam dua bagian. Bagian pertama distratifikasi berdasarkan status penguasaan lahan menjadi petambak milik dan petambak bukan milik. Khusus pada petambak bukan milik kemudian akan dilakukan stratifikasi lagi berdasarkan petambak sewa, dan petambak bagi hasil. Kemudian bagian kedua merupakan analisis pendapatan petambak menurut penggunaan zat aditif. Responden terbagi menjadi dua, diantaranya petambak yang menggunakan zat aditif dan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Dari masing-masing sub-populasi dari kedua bagian tersebut akan dianalisis tingkat pendapatan dan profitabilitas usaha tambaknya untuk melihat sejauh mana pendapatan yang diperoleh dari usaha garam rakyat yang dilakukan berdasarkan status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif, serta apakah usaha tambak yang dilakukan oleh petambak tersebut cukup menguntungkan atau tidak. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operational

Rekomendasi Kepada Pemerintah dalam Hal Pengambilan Keputusan Mengenai Masalah Usahatani Garam di Desa Santing Khususnya dan Pada

Umumnya di Indonesia Kualitas Garam Analisis Pendapatan Analisis Regresi Berganda Analisis Profitabilitas Permasalahan Garam di Indonesia Belum mencapai kualitas 1 Bergantung Dengan Sinar Matahari

Jumlah Permintaan Lebih Tinggi Daripada Jumlah

Penawaran

Berpengaruh Terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Garam Inovasi Penggunaan Teknologi

Zat Aditif

Fungsi Zat Aditif : 1. Meningkatkan Kualitas 2. Meningkatkan Produksi Produksi Garam Pendapatan Petambak Garam Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Garam Status penguasaan Lahan Pengguna/Non Pengguna Zat Aditif

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa di daerah tersebut merupakan lokasi pengembangan usaha garam yang paling luas di Kabupaten Indramayu (Lampiran 2). Penelitian dimulai dari Agustus 2011 dengan mengumpulkan data yang terkait dengan penelitian ini. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan September - Oktober 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa data cross section dan dikumpulkan dari petambak secara langsung, dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik petambak garam, input yang digunakan, biaya produksi, penerimaan dan rata-rata harga garam yang diterima.

Data sekunder adalah data yang telah disajikan dalam bentuk dokumentasi. Data sekunder merupakan data penunjang yang berfungsi untuk memberikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian. Pada penelitian ini data sekunder diperoleh dari text book, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, BAPPEDA Kabupaten Indramayu, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu, Kantor Kuwu Santing, Kantor Kecamatan Losarang, Kementrian Perindustrian RI, Kementrian Perdagangan RI, dan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh suatu instansi,

Dokumen terkait