• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Hasil

4.1.4 Hasil Pengamatan dan Wawancara

Peneliti melakukan wawancara kepada 5 Guru di Sekolah Alam Bukit Hijau beserta 5 Orang tua siswa Sekolah Alam Bukit Hijau sebagai informan. Berikut hasil wawancara dengan masing masing informan:

4.1.4.1 Informan Guru Informan Guru I

Nama : Eva Handayani Sembiring Tanggal Wawancara : 6 Oktober 2014

Tempat : Sekolah Alam Bukit Hijau Medan

Peneliti melakukan wawancara sebanyak dua kali dengan informan di Sekolah Alam Bukit Hijau Medan. Di awal wawancara dengan Ibu Eva, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Kemudian peneliti mulai menanyakan pertanyaan mengenai biodata diri serta pengalaman beliau sebagai seorang tenaga pengajar.

Ibu Eva mengaku tertarik terhadap dunia pendidikan anak usia dini karena juga melakukan pelayanan-pelayanan terhadap anak di Gereja. Walaupun dirinya tidak memiliki latar belakang pendidikan Guru tidak mengecilkan niatnya untuk menjadi seorang guru. Kemudian beliau tertarik untuk membentuk pendidikan yang berbasis sekolah alam karena melihat kondisi alam yang semakin memprihatinkan. Menurutnya, mulai dari anak usia dini lah waktu yang sangat tepat dan dasar untuk mengajarkan anak supaya mencintai lingkungan.

“Karena memang dari dulu itu dunianya saya di dunia anak yang dimulai dari pelayanan-pelayanan di Gereja dan berikutnya karena melihat kondisi alam kita yang sudah semakin rusak. Kita harus memberikan edukasi kepada anak-anak untuk mencintai lingkungan hidup. Nah, itu harus dimulai dari usia dini. Karena kalau mereka sejak kecil diajari misalnya untuk tidak membuang sampah sembarangan, supaya rajin menanam pohon, merawat tanaman gitu dan menyayangi binatang.” Sebagai seorang istri Pendeta, Ibu Eva juga tergerak untuk mengenalkan Tuhan kepada anak usia dini melalui alam sebagai ciptaannya. Dan sebagai ciptaan Tuhan anak-anak juga diajarkan agar dapat belajar bersyukur dan berterimakasih kedapa Tuhan.

“Kita mau mengajarkan anak-anak untuk mengenal Tuhan melalui ciptaanya dan itu juga sangat efektif, bahwa ini loh ciptaan Tuhan dan kita harus bersyukur kepada Tuhan.”

Ibu Eva mendapat dukungan penuh dari Suami beserta keluarga untuk menjadi seorang tenaga pengajar dan kemudian mendirikan sekolah alam Bukit Hijau. Dukungan dari keluarga diberikan berupa lahan yang merupakan milik dari orang tua ibu Eva.

“Suami beserta keluarga sangat mendukung, karena ini kan lahannya Orang tua saya, kalau tidak mendukung pasti beliau tidak memberi lokasi ini untuk pendidikan.”

Ibu Eva mengaku Sekolah Alam Bukit Hijau berbeda dengan sekolah formal lain. Perbedaan yang mendasar menurut beliau adalah program belajar yang berbasis lingkungan yang tidak akan ditemukan di sekolah formal.

“Biasanya sekolah lain itu untuk belajar kan mereka semua dilakukan di kelas, dengan tema yang sama tapi misalnya tema

lingkungan kita juga pakai buku paket tapi sekolah lain itu hanya belajar dari buku melalui gambar, ada gunung, ada pohon tapi itu semua kan hanya gambar. Kalau disekolah ini ada lingkungan langsung bisa belajar dengan melihat secara langsung dan itu membuat persentasi daya

tangkapnya lebih daripada hanya dari buku, itu yang membedakannya dengan sekolah lain.”

Walaupun sudah berkecimpung di dunia anak sejak lama, Ibu Eva juga menemukan berbagai kesulitan dalam mengajar anak usia dini.

“Kesulitannya karena mereka itu kan mulai dari nol, bagaimana untuk membuat mereka itu mandiri, bagaimana membuat mereka untuk bisa mengurus diri sendiri, melakukan proses bersosialisasi karena hal-hal mendasarkan yang kita ajarkan kepada anak-anak.”

Dalam melakukan kegiatan mengajar, Ibu Eva terlebih dahulu memahami karakter dari masing-masing anak muridnya. Setelah itu baru beliau bisa

menentukan strategi komunikasi seperti apa yang lebih cocok untuk digunakan dalam mengajar.

“Langkah pertama yang saya terapkan adalah mengenali dulu pribadi dan dunia si anak itu sendiri, kita harus tahu dulu dia pake bahasa apa gitu. Kita juga harus mengenali per-karakter si anak, setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda dan kita bisa menggunakan kesukaannya itu untuk merangsang dia dalam belajar. Tapi kita juga harus melihat hal yang disukai si anak itu pas tidak untuk dia.”

Dalam setiap proses pembelajaran, Ibu Eva mengaku selalu mengunakan bahasa Verbal dan non verbal. Ibu Eva mengaku sebagai seorang guru harus mampu meramu pesan yang akan ia sampaikan dan menyalurkannya kepada setiap anak didik dengan berbagai media sehingga bisa diterima dan dimengerti oleh si anak.

“Itu sebenarnya tergantung gurunya juga ya, bagaimana setiap guru menerangkan di kelas dan bagaimana kita meramu agar pesan yang kita sampaikan tepat sasaran, sampai tidak pesan yang kita berikan, mengertikah mereka. Misalnya dengan menggunakan alat peraga seperti gambar, saya menyuruh mereka untuk membuat segitiga. Jika kita menyuruh mereka membuat segitiga dengan hanya mengatakannya saja mungkin ada diantara mereka yang tidak tahu, tapi dengan sekali saja kita contohkan dengan menggambar segitiga maka selanjutnya mereka akan tahu. Jadi sambil kita berbicara juga dipraktekkan agar mereka mudah paham dan tahu untuk selanjutnya.”

Dalam proses pembelajaran, Ibu Eva mengaku terkadang menghadapi anak yang tidak memahami strategi komunikasi yang digunakan sehingga berdampak terhadap si anak dalam memahami pelajaran atau apa yang ia sampaikan. Untuk itu, beliau harus berusaha untuk mencari cara lain untuk menghadapi berbagai karakter yang ada pada anak didiknya.

“Kita harus cari tahu apa lagi yang mereka sukai. Kembali lagi setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda-beda, jadi kita memang harus kenal per karakter setiap anak agar dapat menentukan bagaimana cara untuk menghadapi mereka.”

Untuk mengatasi adanya siswa yang belum memahami pelajaran, ibu Eva mengaku melakukan antisipasi dengan membagi kelas menjadi kelompok kecil dengan jumlah siswa yang sedikit. Selain itu, beliau juga memberikan perlakuan khusus kepada anak yang membutuhkan perlakuan khusus karena memiliki perbedaan daya tangkap terhadap pelajaran dibanding dengan anak lainnya.

“Ini kita membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, jadi lebih bisa mengenali karakter anak lebih mendalam, misalnya si andre yang awalnya tidak tahu apapun jadi ketika yang lain bermain, saya

memberikan waktu khusus sama dia 10 menit setelah dia bisa baru dia boleh ikut main bersama yang lain.”

Begitu juga dalam memberikan pekerjaan rumah, ibu Eva memberikan pembagian tugas yang harus dikerjakan sesuai dengan tingkatan anak masing-masing. Beliau mengaku, sekolah tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya faktor untuk pembelajaran anak karena harus juga didukung oleh banyak faktor lain seperti dukungan dari keluarga terutama orang tua di rumah. Perhatian yang diberikan orang tua dirumah mengenai pekerjaan rumah anak yang diberikan oleh sekolah mampu memotivasi anak untuk belajar.

“Nah untuk belajar dirumah atau pekerjaan rumah pun saya memberikan perbedaan bagi yang lebih bisa dan yang masih kurang bisa dalam pelajaran tertentu. Karena terkadang walaupun sama-sama murid baru anak ini kan punya perbedaan, karena dipengaruhi bagaimana mereka dirumah. Ada siswa yang tidak mau mengerjakan apa-apa kok dirumahnya, bersama kita disekolah cuma berapa jam lah. Jadi banyak faktor juga yang mendukung si anak untuk dapat mudah untuk belajar sesuatu.”

Sebagai sekolah yang berbasi lingkungan, program bembelajaran yang diberikan oleh ibu Eva berkaitan erat dengan pemanfaatan lingkungan. Namun, beliau mengaku dalam mengajar tetap mengikuti kurikulum dari dinas pendidikan namun diramu dengan kekhasan yang dimiliki sekolah alam. Yaitu dengan pemanfaatan segala sesuatu yang ada di alam sebagai alat belajar siswa.

“Kan kurikulum TK itu per-tema, tema diri sendiri, lingkungan, tanaman, binatang dan transportasi semua itu pengenalan. Kalau kita, semua kurikulum Diknas kita pakai hanya saja metode dan tekniknya yang kita bedakan dengan cara-cara sekolah lain dan kita punya kurikulum khas sendiri. Misalnya kemarin kita masuk tema tanaman, jadi kita pergi menanam padi itu sebenarnya sudah mencakup semua tema dan banyak hal yang sudah tercakup disitu. Kita sudah belajar binatang ketika berada disitu, ada burung, ada kodok dan ada capung disitu. Dan disitu juga kita sudah mengajarkan kepada anak yaitu ada tema profesi, ada petani disitu dan mereka ngobrol langsung dengan petaninya. Berikutnya kita sudah

belajar lingkungan disitu, kita lihat lingkungan disitu ada tanah, langit, awan dan matahari. Jadi satu tema di sekolah alam itu pasti sudah mencakup semuanya.”

Ibu Eva mengaku dengan menggunakan alam sebagai wadah pembelajaran, tidak membuat para anak merasa bosan selayaknya belajar di dalam kelas. Menurutnya dengan banyaknya hal baru yang mereka temui setiap harinya, membuat mereka terus antusias dalam belajar. Ibu Eva mengaku, anak-anak sangat menunggu untuk pelajaran menanam. Dimana anak-anak antusias turun langsung kesawah dalam pelajaran menanam padi. Beliau mengaku, situasi tersebut sangat baik untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anak dimana mereka sedang mempelajari hal yang mereka sukai. Mereka juga tidak akan bosan selayaknya melakukan kegiatan belajar didalam kelas.

“Gak ah, mereka selalu nunggu-nunggu apalagi untuk belajar kesawah. Untuk menanam padi misalnya, kita ajarkan dulu filosofi bahwa ini adalah ciptaan Tuhan dan nasi yang kamu makan setiap harinya itu dari sini asalnya. Karena banyak anak yang tidak tahu pohon padi, jadi kita memberitahu dari sini loh asalnya nasi dan padi itu pun tidak langsung dia berbuah tapi membutuhkan proses kan dimana menunggu enam bulan dulu dan dirawat dengan baik sama petani lalu dipetik, kemudian tidak langsung jadi nasi dirumah. Karena orangtua harus bekerja dulu, terus berbelanja kemudian dimasak baru jadi nasi yang dimakan setiap harinya. Dan yang member pertumbuhan itu adalah Tuhan maka kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan. Nah udah banyak kan yang bisa dipelajari si anak disitu. Paling karena seringnya belajar langsung keluar mereka terkadang bosannya belajar dikelas.”

Dalam mengatasi kejenuhan siswa ketika mengadakan proses belajar dikelas, ibu Eva mengaku selalu mencari cara yang menarik bagi mereka. Menurut ibu Eva, belajar sambil bermain keluar kelas sangat efektif dalam mengatasi kejenuhan siswa. Metode ini dapat dilakukan oleh ibu Eva bersama siswanya di pekarangan sekolah yang menyediakan berbagai wadah untuk pembelajaran.

“Kita selalu mencari teknik-teknik yang dapat digunakan, misalnya kita lagi belajar berhitung. Kita pergi keluar kelas kita berjalan keluar kan banyak pohon cokelat disitu kan dan berbuah, anak-anak dapat belajar berhitung dari buah cokelatnya dan itu sudah pasti tidak membuat mereka bosan lagi. Nah, disitu sudah tidak hanya belaar menghitung lagi, sudah juga belajar mengenal warna dari warna tumbuhan yang ada dan tidak habis disitu juga kita belajar melalui buah cokelat yang sudah masak kemudian di makan lalu disitu anak juga sudah belajar soal rasa.” Selain belajar di sekolah, ibu Eva juga berkunjung kerumah para siswanya untuk sekedar melihat anak dirumah dan berdiskusi dengan orang tua mengenai perkembangan si anak.

“Ya, kita punya juga kunjungan kerumah karena ada juga saat-saatnya mereka jenuh ya bersekolah jadi kita datang untuk ngobrol dengan orang tua dan juga si anak.”

Tanggapan yang diberikan oleh para orang tua siswa juga positif terhadap cara mengajar yang dilakukan oleh Ibu Eva. Beliau juga mengaku bahwa para orang tua siswa selalu memiliki pandangan yang sama dengan sekolah.

“Positif ya, mereka senang karena disetiap tahun ajaran baru dihari pertama sekolah itu kan orang tua selalu mengantar anak-anaknya dan saya juga membuat pertemuan dengan orang tua untuk mempresentasikan bagaimana sih sekolah kita ini. Dan orang tua selalu memiliki pandangan yang sama dengan sekolah.”

Ibu Eva mengaku berhasil dalam membentuk dan mengembangkan kemandirian para siswa melalui strategi pembelajaran yang diterapkan. Kemandirian para siswa cepat berkembang sejak awal mengikuti pembelajaran di sekolah. Banyak hal-hal baru yang mereka pelajari setiap harinya mampu menambah kemandirian siswa yang belum tentu mereka dapatkan dirumah. Menurut beliau, kemandirian awal yang paling sulit diraih para siswa adalah ditinggal oleh orang tua di sekolah. Selain itu, untuk melakukan kegiatan-kegiatan dasar seperti membuka sepatu, kaos kaki dan makan sendiri dibutuhkan tahapan pembelajaran dan waktu sampai mereka bisa melakukannya secara mandiri.

“Saya kira berhasil lah ya. Kalau untuk kemandiriannya mereka cepat berkembang, misalnya saja dari hal ditemani Orang tua. Itu hal pertama ya dimana anak mandiri dulu untuk ditinggal di sekolah. Untuk anak Play group itu bisa sampai tiga minggu untuk ditunggui Orang Tua, tapi kalau anak TK bisa hanya dalam 3 hari ditunggui Orang tuanya. Nah utuk itu kita memberi tahapan juga dimana Orang tua menunggu, mulai menunggu di dalam kelas, kemudian di luar kelas. Hal ini paling sulit sebenarnya untuk anak-anak dimasa awal sekolah mereka. Kemandirian yang lain bisa dilihat juga dari belajar untuk memakai kaos kaki sendiri, sepatu sendiri, makan sendiri karena mereka mungkin dirumah masih dibantu oleh Orang Tua tapi disini semua harus dilakukan sendiri.”

Untuk mengetahui perkembangan kemandirian setiap siswa, ibu Eva dapat melihat proses perkembangannya setiap hari disekolah. Banyak hal yang setelah mereka pelajari bersama mampu memberikan perubahan pada siswa terutama terhadap kemandiriannya. Beliau juga memerlukan bantuan dan dukungan dari orang tua siswa untuk menambah kemandirian anak mereka dirumah.

“Yang tadinya masih mengandalkan orang tua dalam melakukan banyak hal namun setelah sekolah akhirnya bisa mandiri, bisa

mengerjakan banyak hal sendiri. Mulai dari pakai baju, mandi, makan udah bisa sendiri. Ada juga anak yang pulang sekolah sampai dirumah langsung semangat dalam mengerjakan PR yang diberikan Gurunya. Nah, keberhasilan itu semua juga harus dibantu oleh orang tua dirumah

bagaimana cara orang tua juga untuk menambah juga kemandirian si anak dengan dukungan yang diberikan.”

Ibu Eva mengaku mendapat tanggapan yang baik dari orang tua siswa, mereka juga menyampaikan perkembangan yang dialami oleh anak mereka dirumah. Keberhasilan beliau pada akhirnya mendapat apresiasi dari orang tua siswa.

“Orang tua juga banyak menyampaikan perubahan-perubahan yang terjadi sama anak mereka, misalnya ada anak yang tadinya masi ngedot, dirumah udah gak ngedot lagi. Terus ada juga murid yang tidak mau potong rambut dirumah, nah Orang tua si anak ini meminta sama

kita supaya si anak disuruh potong rambut, dan ia akhirnya mau potong rambut karena disuruh sekolah. Banyak perubahan lah yang terjadi setelah mereka sekolah, dan yang paling nyata itu adalah berdoa, sebelumnya anak-anak ini kebanyakan tidak tahu berdoa. Orang tua pun senang juga ya ketika mereka sudah bisa berdoa apalagi bisa juga dalam bahasa inggris. Mereka menjadi pemimpin doa makan dirumah, nah kalo disekolah setiap harinya ketika diminta untuk memimpin doa pasti berebutan.”

Informan Guru II

Nama : Dewi Rasmeitha Ginting Tanggal Wawancara : 9 Oktober 2014

Pukul : 12.00 WIB

Tempat : Sekolah Alam Bukit Hijau Medan

Dalam wawancara peneliti dengan ibu Dewi, ibu Dewi mengaku sudah sekitar 4 tahun mengajar di sekolah alam Bukit Hijau. Dalam menjalani profesinya sebagai tenaga pengajar, Ibu Dewi mendapat dukungan dari keluarga terutama dukungan dari sang suami. Awal ketertarikan beliau untuk mengajar anak usia dini adalah karena kesenangannya dengan dunia anak. Beliau juga senang berbagi ilmu yang ia dapatkan sebagai lulusan ilmu pendidikan keguruan. Selain itu, ibu Dewi mengaku tertarik untuk mengenal berbagai karakter dari anak usia dini.

“Saya memilih mengajar anak usia dini ya karena saya sangat senang dengan dunia anak, saya senang berbagi dengan anak dan senang juga untuk mengenal karakter dari setiap anak.”

Ibu Dewi mengaku tertarik untuk mengajar di sekolah alam bukit hijau karena menyukai konsep pembelajaran yang ditawarkan oleh sekolah. Menurutnya, konsep belajar yang berbasis lingkungan tidak menjemukan. Membuat kegiatan belajar dengan memanfaatkan alam mampu mempermudah guru dalam mengeluarkan berbagai kreativitas sehingga mempermudah siswa untuk menangkap pelajaran tersebut.

“Alasan saya yang utama karena konsep sekolah ini ya. Konsep sekolah ini tidak menjemukan karena disini kita mengajar dengan kretivitas kita dalam menggunakan alam untuk mempermudah siswa untuk paham dalam proses belajar. Misalnya saja ketika beljar dikelas ada siswa yang bosan, kita bisa keluar dan belajar diluar sehingga mereka tidak merasa bosan”.

Dalam menghadapi anak usia dini, ibu Dewi juga mengaku mengalami berbagai kesulitan di awal. Namun seiring dengan mengenal dan memahami karakter dari setiap anak didiknya, ditambah dengan penentuan strategi yang tepat dapat menghadapi berbagai karakter anak usia dini tersebut.

“Kalau kesulitannya ya karena anak-nak itu kan masih harus didekati dulu pribadinya, bagaimana kita memahami karakter anak. Ada anak yang harus dibujuk dan ada juga anak yang harus dengan tegas kita didik. Jadi harus dipahami terlebih dahulu karakter si anak agar dapat ditentukan strategi apa nih yang sesuai untuk diterapkan dalam belajar.” Ibu Dewi mengaku memberikan hukuman kepada setiap anak didiknya yang melakukan kesalahan dalam prose belajar di sekolah. Hukuman yang biasa di berikan adalah yang beliau namakan hukuman di sudut ruangan. Setiap anak yang melakukan kesalahan akan di pindahkan kesudut ruangan untuk memberikan efek jera sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.

“Untuk setiap kesalahan kita membuat hukuman, salah satunya itu hukuman di sudut ruanagan namanya. Kalau misalnya ada anak yang ribut terus tidak bisa diingatkan atau lari-lari terus kita hukum dengan membuat bangkunya di sudut. Dia tetap ikut dalam belajar tapi di buat disudut. Nah, dari hukuman ada efek jera dari si anak karena mereka akan bingung sendiri dan bosan sendiri karena dipisahkan dari teman-temannya dan untuk selanjutnya di tanya mau dihukum lagi disudut si anak jera dan tidak mau lagi melakukan kesalahan.”

Dalam pandangan ibu Dewi, proses pembelajaran dengan menggunakan metode belajar berbasis lingkungan alam membuat para siswa dapat dengan mudah mengerti. Konsep yang terapkan lebih kepada belajar melalui permainan.

Jadi anak didik mendapatkan banyak pembelajaran setiap harinya melalui kegiatan yang dilakukan di alam. Beliau mengaku metode ini efektif bagi anak didiknya karena mereka tidak merasa dipaksa untuk belajar.

“Metode belajar yang diterapkan tidak kaku dan membuat suatu proses belajar yang santai dan mudah dimengerti anak melalui konsep belajar dialam. Jadi konsepnya lebih kepada penerapan belajar sambil bermain. Jadi seringkali ketika berada di luar belajar langsung dialam siswa merasa tidak belajar padahal dari proses interaksi mereka dengan menggunakan media alam sudah merupakan pembelajaran yang lebih efektif bagi mereka karena mereka tidak merasa dipaksa dan tidak merasa bosan. Selain itu, mereka juga belajar menanam tumbuhan dari benih, merawat tumbuhan itu sampai besar dan memetik hasilnya. Jadi mereka bisa belajar mengenal tumbuhan melalui proses pertumbuhannya hingga hasilnya bagaimana.”

Konsep belajar yang di terapkan oleh sekolah alam bukit hijau berbeda dengan konsep belajar yang ada disekolah lainnya. Kebanyakan sekolah menurut beliau hanya berorientasi pada hasil akhir yang ingin di capai dengan menggunakan cara belajar yang memaksa. Cara ini menurut beliau kebanyaan dilakukan oleh sekolah lain demi mendapatkan citra sekolah yang baik. Berbeda dengan sekolah alam bukit hijau, ia menambahkan bahwa di sekolah tersebut, anak diajak belajar sambil bermain dan menentukan cara belajar sesuai kesenangan anak didik.

“Yang membedakan sekolah ini dengan sekolah lain itu terletak pada konsep belajar dengan alam yang mungkin tidak ditemukan di sekolah lainnya. Yang lainnya mungkin sekolah lain lebih berorientasi kepada hasil dan dengan menggunakan cara belajar dengan cara memaksa siswa untuk mencapai suatu target demi citra sekolah. Kalau disekolah ini anak diajak belajar sambil bermain dan belajar sesuai kesenangan si anak.”

Untuk itu, beliau merasa bahwa konsep belajar dengan memanfaatkan alam sangat efektif digunakan untuk anak usia dini seperti pengalaman yang telah beliau jalankan. Karena menurutnya, kegiatan belajar dapat dilakukan tanpa

disadari oleh anak didik karena dibuat dengan konsep bermain di alam. Dengan demikian, anak didik yang pastinya senang dengan bermain dapat sambil mendapatkan pelajaran.

“Ya, pastinya lebih efektif. Ya karena kita disini belajar sambil

Dokumen terkait