• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Preparasi Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Preparasi Sampel

Tujuan dari preparasi sampel adalah untuk mendapatkan fraksi air ekstrak etanolik daun selasih yang diduga dalam fraksi tersebut mengandung senyawa fenolik. Sampel yang digunakan dalam preparasi sampel berupa daun selasih yang masih segar. Menurut Markham (1988), alasan digunakan daun yang masih segar sebagai sampel adalah untuk menjaga kestabilan senyawa flavonoid (termasuk dalam golongan senyawa fenolik) dalam sampel karena bahan tumbuhan yang telah dikeringkan mempunyai kecenderungan adanya perubahan susunan senyawa flavonoid. Perubahan tersebut dapat berupa glikosida menjadi aglikonnya karena potensi adanya pengaruh fungi. Bentuk aglikon tersebut dapat berubah menjadi bentuk teroksidasinya dan terjadi reaksi oksidasi multistep yang akhirnya terbentuk polimer. Dalam hal ini, peneliti mengekstraksi daun selasih segar dengan etanol dengan tujuan agar fungi tidak tumbuh dalam ekstrak daun selasih.

Menurut Galati, McKay, dan Tan (2005) digunakan daun segar sebagai sampel dalam suatu penelitian karena dalam proses pengeringan atau bentuk dehidrasi bahan tumbuhan paska panen, potensi terjadinya peristiwa browning

atau blackening cenderung lebih besar. Laporan dari Markham (1988) dan Galati, et al., (2005) tersebutlah yang membuat peneliti berupaya untuk mengantisipasi agar stabilitas senyawa fenolik dalam daun selasih terjaga.

Daun selasih yang diperoleh dicuci dengan air mengalir untuk membersihkannya dari pengotor-pengotor yang menempel. Setelah itu, daun selasih diangin-anginkan untuk menghilangkan air yang menempel dari proses pencucian daun selasih. Lalu daun selasih diblender sebelum dimaserasi, tujuannya adalah untuk memperkecil ukuran permukaan daun selasih sehingga penyarian akan bertambah baik jika permukaan simplisia yang kontak dengan penyari semakin luas (Harborne, 1987).

Lalu dilakukan proses maserasi dengan penyari etanol 76% dan dibantu dengan alat shaker. Penyarian dilakukan dengan cara maserasi karena peneliti menghindari cara preparasi sampel yang banyak membutuhkan perlakuan pemanasan terhadap sampel. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas dari senyawa fenolik yang diekstraksi (Bruneton, 1999).

Penyarian dengan cara infundasi dan penyarian berkesinambungan membutuhkan pemanasan, sedangkan cara perkolasi dan maserasi tidak membutuhkan pemanasan. Dipilih cara maserasi daripada perkolasi karena pada cara maserasi proses pengerjaannya lebih praktis daripada perkolasi. Dalam cara perkolasi perlu diatur sedemikian rupa aliran tetesan perkolatnya dan hasil penyariannya memiliki volume lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu pembuatan ekstrak yang lebih lama (Arini, 2007). Selain alasan tersebut, sampel yang digunakan berupa bahan segar sehingga lebih sesuai apabila menggunakan

cara maserasi daripada perkolasi. Hal ini disebabkan karena dalam kondisi segar yang diperkecil ukuran sampel dengan blender, akan didapatkan ukuran sampel yang diperkecil dengan sifat polidispers. Ukuran yang demikian dapat menyumbat aliran cairan perkolat dalam perkolator sehingga aliran cairan perkolat tidak menetes. Lain halnya jika menggunakan serbuk yang telah diayak dengan derajat kehalusan tertentu, cairan perkolat dapat mengalir akibat adanya pori-pori dalam susunan serbuk sampel. Efek farmakologis yang diharapkan bersifat umum, yaitu antioksidan sehingga pemilihan maserasi daripada perkolasi akan lebih menguntungkan. Cara maserasi yang dilakukan oleh peneliti menggunakan alat bantu berupa shaker yang digunakan untuk membantu proses maserasi agar penyari lebih dapat kontak langsung dengan sel-sel dalam daun selasih daripada hanya didiamkan saja. Hal ini membuat proses maserasi dapat secara efektif mengekstraksi metabolit sekunder dalam daun selasih. Pada proses maserasi, dilakukan pula remaserasi dengan tujuan untuk memaksimalkan proses penyarian agar mendapatkan lebih banyak senyawa fenolik dibandingkan hanya digunakan maserasi saja.

Etanol 76% digunakan dalam proses ini karena peneliti ingin mengekstraksi senyawa fenolik dari daun selasih. Untuk mengekstraksi senyawa fenolik dalam bahan tumbuhan dapat dilakukan dengan pelarut polar seperti etanol, metanol, n-butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, dan air (Markham, 1988). Alasan tidak digunakan pelarut aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, dan air adalah senyawa fenolik lebih larut dalam campuran larutan alkohol dengan air daripada pelarut polar lainnya (Bruneton, 1999).

Pelarut metanol tidak digunakan karena memiliki efek toksik yang lebih tinggi daripada etanol (Armala, 2009). Pelarut n-butanol tidak digunakan karena n-butanol lebih non polar serta struktur dari n-butanol lebih besar sehingga n-butanol kurang begitu bisa masuk ke dalam sel-sel daun selasih daripada etanol. Alasan digunakan campuran etanol dan air daripada hanya air adalah karena campuran tersebut dapat melarutkan dengan optimal senyawa fenolik, agar ekstrak yang dihasilkan tidak ditumbuhi mikroorganisme yang dapat merubah susunan fisika-kimia senyawa dalam ekstrak, dan agar enzim dalam ekstrak yang ikut tersari tidak aktif karena etanol mempunyai kecenderungan dapat mendenaturasi enzim dengan cara menarik kandungan air dari enzim.

Pemilihan konsentrasi etanol sebesar 76% sebagai penyari merupakan hasil dari penelitian Wangcharoen dan Morasuk (2007 b) yang melaporkan bahwa pada ekstrak etanolik 76% daun selasih, secara lebih efektif dan efisien menghasilkan aktivitas antioksidan dibandingkan dengan konsentrasi etanol 18%, 36%, 57%, dan 95%. Oleh karena itu, peneliti memilih etanol dengan konsentrasi 76% untuk mengekstraksi daun selasih.

Tujuan pemilihan penyaringan filtrat menggunakan corong Buchner yang diintegrasikan dengan pompa vacuum daripada dengan penyaringan biasa adalah untuk mempercepat proses penyaringan dan memperbanyak hasil penyaringan. Setelah itu, untuk menguapkan pelarut hasil penyaringan filtrat, digunakan alat

vacuum rotary evaporator. Alat tersebut dapat menguapkan pelarut filtrat dibawah titik didih (t.d.) pelarut filtrat, yaitu etanol. Etanol memiliki t.d. sebesar 78,50C (O'Neil, Smith, Heckelman, Obenchain Jr., Gallipeau, D'Arecca, et al.,

2001). Hal ini dikarenakan alat tersebut memakai prinsip penurunan tekanan udara dalam sistem vacuum sehingga titik didih larutan dapat diturunkan (Dave, 2010).

Setelah didapatkan ekstrak kental etanolik daun selasih, kemudian ekstrak tersebut dilarutkan dengan air hangat. Digunakan air hangat agar dapat lebih melarutkan ekstrak etanolik daun selasih. Fraksi air berada di bagian bawah, sedangkan fraksi wasbensin berada di bagian atas. Hal ini dikarenakan berat jenis (b.j.) air lebih besar daripada wasbensin. Air memiliki b.j. sebesar 0,996 sedangkan b.j. wasbensin sebesar 0,730 (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995; Robin Laboratoire, 2009).

Dalam fraksi air pertama dari hasil pemisahan ekstrak etanolik daun selasih dengan wasbensin, akan didapatkan senyawa fenolik yang lebih murni karena air dan senyawa fenolik bersifat polar maka air dapat melarutkan senyawa fenolik. Dalam fraksi wasbensin akan didapatkan zat-zat kimia yang tidak diinginkan, yaitu senyawa-senyawa non polar seperti lipid dan klorofil sehingga fraksi ini dapat dibuang.

Proses ekstraksi cair-cair ekstrak etanol daun selasih yang dilakukan berulang sebanyak 3 kali sehingga dalam satu kali ekstraksi cair-cair volume total larutan sebanyak 200 mL yang terdiri dari 100 mL air dan 100 mL wasbensin. Dilakukan ekstraksi cair-cair berulang karena menyesuaikan hukum Nerst yang prinsipnya, yaitu proses ekstraksi berulang akan lebih efektif bila dibandingkan dengan ekstraksi tunggal (Bassett, et al., 1991).

Setelah didapatkan fraksi air pertama dari hasil pemisahan ekstrak etanolik daun selasih dengan wasbensin, maka fraksi air pertama tersebut diekstraksi cair-cair lagi dengan etil asetat. Hal ini bertujuan untuk lebih memurnikan senyawa fenolik yang didapatkan. Fraksi air kedua akan berada di bawah, sedangkan fraksi etil asetat berada di atas. Hal ini dikarenakan b.j. air (0,996) lebih besar dibandingkan b.j. etil asetat (0,898) (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995; O'Neil, et al., 2001). Fraksi air kedua inilah yang diuji aktivitas antioksidannya dan ditetapkan kandungan fenolik totalnya.

Pada umumnya bentuk glikosida senyawa fenolik bersifat polar, sedangkan bentuk aglikonnya lebih non polar, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya senyawa tersebut larut dalam air maupun etil asetat (Bruneton, 1999). Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk menguji aktivitas antioksidan fraksi air kedua dibandingkan dengan fraksi etil asetat didasarkan pada keamanan konsumsi dan keamanan penggunaan fraksi yang dihasilkan untuk uji lainnya yang membutuhkan subjek uji hewan untuk melengkapi data penelitian mengenai fraksi air ekstrak etanolik daun selasih. Selain itu, didasarkan pada penelitian sejenis oleh Widodo (2011) yang telah menentukan aktivitas antioksidan dari fraksi etil asetat daun selasih yang kepolarannya lebih rendah daripada air sehingga peneliti ingin memperoleh informasi aktivitas antioksidan daun selasih dari fraksi yang lebih polar daripada etil asetat. 

Fraksi air kedua yang didapatkan diuapkan pelarutnya dengan vacuum rotary evaporator supaya tidak merusak kestabilan senyawa fenolik. Kemudian fraksi air kedua tersebut dimasukkan dalam cawan porselen dan dilakukan

pemanasan menggunakan waterbath dengan bantuan kipas angin. Pemanasan ini bertujuan untuk untuk menguapkan pelarut yang masih terdapat dalam fraksi air keuda sehingga didapatkan ekstrak kental air daun selasih.

Berat fraksi air kedua yang diperoleh dalam bentuk kental tersebut sebesar 24,0992 g dengan rendemen 2,41 %. Fraksi tersebut kemudian ditutup dengan plastik serta aluminium foil lalu disimpan dalam eksikator. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kerusakan senyawa fenolik dalam fraksi air kedua tersebut dari pengaruh luar, misalkan cahaya, udara, maupun kelembaban.

D. Hasil Uji Pendahuluan

Dokumen terkait