• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Hasil Studi Kewirausahaan, Interaksi Simbolik dan Kebaruan

Beberapa kajian terkait yang dianggap memiliki kesamaan dengan studi ini, baik berdasarkan obyek kajian (entrepreneurship) maupun pendekatan teori yang digunakan (interaksi simbolik), berikut ini disajikan dengan tujuan untuk menjelaskan kebaharuan yang ditawarkan oleh studi ini.

Kajian Pambudy (1999), menjelaskan bahwa: (a) perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh perilaku komunikasi, yaitu dalam hal pemilihan media komunikasi, partisipasi sosial, keterdedahan media massa, kontak antara sesama peternak, aktivitas peternak dalam kelompok, dan kontak dengan penyuluh pada taraf yang berbeda. Selain itu, juga dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan seperti; umur,

Obyek Sosial Interaksi dengan diri sendiri (self-interaction) tujuan perspektif pengalaman Interaksi dengan orang lain (Social- interaction) significant others refference group Definisi Situasi Keputusan Tindakan

tanggungan keluarga, lama berternak, pendidikan dan penghasilan peternak. (b) perilaku berwirausaha dibentuk dari tiga aspek, yaitu pengetahuan berwirausaha, sikap mental berwirausaha, dan keterampilan berwirausaha. (c) perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh fungsi agribisnis, baik itu pada tingkat off-farm hulu,

on-farm dan off-farm hilir.

Kajian Suparta (2001) dalam disertasinya menyimpulkan: (1) 90,30 persen peternak mempunyai sifat kewirausahaan tinggi, yang terbentuk karena pengaruh peubah-peubah yang dapat dialami dan atau dirasakan langsung dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti; keterampilan sistem nilai masyarakat lokal, persepsi, penyediaan sapronak, dan pemasaran hasil. (2) semua faktor internal peternak berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku agribisnis terutama faktor keterampilan dan sifat kewirausahaan, sedangkan (3) faktor-faktor eksternal berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku peternak secara tidak langsung melalui; pengetahuan, persepsi, sikap, keterampilan, motivasi ekternal, dan sifat kewirausahaan.

Seperti terlihat dari kajian-kajian di atas, semua peneliti menggunakan paradigma positivistic-scientific (ilmiah). Hal lain yang dapat disimak adalah; penelitian-penelitian tersebut lebih banyak melihat dan didasari oleh teori-teori tentang “faktor apa yang menggerakkan orang berperilaku tertentu (isi).” Penelitian- penelitian tersebut menurut Kast dan Rosenzweig (1995) didasari oleh teori yang fokus pada variabel spesifik yang mempengaruhi perilaku, seperti kondisi internal dan kondisi eksternal yang bersangkutan. Sementara penelitian ini lebih fokus pada keinginan untuk melihat proses terjadi suatu perubahan perilaku seseorang yaitu dalam hal pembentukan dan atau pengembangan jiwa kewirausahaan dari perspektif paradigma kualitatif-naturalistik (alamiah).

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu fenomenologi. Studi fenomenologi adalah studi yang melihat dan menyajikan realitas sebagaimana tampaknya tanpa memaksakan nilai-nilai atau ukuran-ukuran tertentu didalamnya. Dengan metode tersebut studi ini melihat, bagaimana sesungguhnya realitas perilaku kewirausahaan dihasilkan (diproses). Teori-teori interaksi simbolik, adalah salah satu teori yang ikut memperkaya studi fenomenologi ini.

Mulyana (2001) menjelaskan bahwa, akar pemikiran interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis. Artinya, masyarakat dilihat sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Pada hakekatnya tiap manusia bukanlah ’barang jadi’ melainkan barang yang ’akan jadi’, karenanya teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai ’diri’ (self) yang tumbuh berdasarkan ’negosiasi makna’ dengan orang lain.

Dari penelusuran pada beberapa kepustakaan, teori dan konsep interaksi simbolik banyak digunakan oleh para antropolog atau para sosiolog untuk melihat kasus-kasus sosial budaya (peradaban) dalam suatu masyarakat. Untuk kasus-kasus yang lebih sempit seperti perubahan sifat dan ciri individu dalam suatu komunitas bisnis, belum ditemukan. Penggunaan pendekatan teori interaksi simbolik untuk melihat proses pembentukan entrepreneurship adalah kebaharuan lain dari penelitian ini.

Dua kajian yang menggunakan teori interaksi simbolik adalah Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI dan Manajemen Komunikasi Pengemis, yang kedua tulisan ini terdapat dalam buku Metode Penelitian Komunikasi Deddy Mulyana (2007).

”Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI” merupakan disertasi Arrianie (2010) menyimpulkan bahwa para aktor politik di DPR RI sangat dinamis, mereka memiliki motif yang lebih bersifat individual dalam memainkan peran politik mereka di DPR RI, bukan motif yang berkaitan dengan kepentingan partai politik yang mereka wakili, apalagi dengan kepentingan rakyat banyak. Untuk itu mereka kerap melakukan pengelolaan kesan (impression management) untuk mewujudkan kepentingan mereka.

Panggung politik adalah sebuah dunia yang kental dengan manipulasi diri. Makna pesan politik yang sama dalam suatu fraksi boleh jadi dimaknai berbeda oleh politisi dari fraksi yang sama, tapi boleh jadi dimaknai sama oleh politisi dari fraksi yang berbeda. Terdapat kekacauan konsepsi pada panggung politik. Peristiwa yang seharusnya terjadi di panggung belakang (back stage), bisa terjadi di panggung

depan (front stage) atau sebaliknya. Apa yang terjadi di pangung depan bagi individu atau kelompok politisi (baik dalam arti partai, fraksi atau komisi) boleh jadi merupakan panggung belakang bagi individu atau kelompok politisi lainnya, atau dapat juga terjadi sebaliknya. Ditemukan pula panggung tengah yang menjadi ajang kompromi politik, yang berada di luar atau mengantarai dua panggung tersebut.

Studi ”Manajemen Komunikasi Pengemis” Engkus Kuswarno (dalam

Mulyana 2007) antara lain menjelaskan: apabila pengemis diberi sejumlah identitas, maka pengemis merupakan subyek yang melakukan suatu tindakan sosial; pengemis adalah aktor kehidupan; pengemis menciptakan dunianya sendiri; pengemis memiliki hidup yang penuh dengan makna simbolik; dan pengemis memerankan panggung sebuah drama kehidupan serta pengemis hidup dengan kemampuan mengelola komunikasi interpersonal, intrapersonal maupun sistem dimana mereka berada. Interaksi di antara sesama pengemis dan pengemis dengan orang lain yang bukan pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna tersendiri. Secara intersubyektif pengemis memilih lambang yang dapat berinteraksi dalam sistem sosial mereka.

Pengemis berupaya menampilkan dirinya seperti apa yang mereka kehendaki. Mereka wujudkan hal itu dalam bentuk verbal maupun non verbal untuk memberikan kesan yang diharapkan bagi lawan mereka berinteraksi. Mereka menampakkan panggung depan (front stage) di hadapan publik (calon dermawan) yang berbeda dengan panggung belakang (back stage) atau kehidupan keseharian tanpa kehadiran calon dermawan. Dalam konteks tersebut, pengemis memiliki kemampuan untuk mengelola komunikasi mereka didasarkan atas nilai komponen masing-masing (impression management), baik secara intrapersonal, interpersonal maupun sistem dalam arti luas.

Kedua kajian di atas lebih banyak melihat bagaimana aktor mengelola kesan (impression management) untuk berbagai alasan. Keduanya lebih banyak bersandar pada teori dramaturgis yang dipopulerkan oleh Erving Gofman dan merupakan varian dari teori interaksi simbolik.

Berbeda dengan kajian-kajian tersebut, penelitian ini lebih ditekankan pada keinginan untuk melihat bagaimana aktor memaknai atau menginterpretasikan hubungan atau interaksinya dengan lingkungan sosial (social interaction) terutama dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh secara signifikan (significant others). Proses pemaknaan atau penginterpretasian itu sendiri dalam perspektif teori interaksi simblik adalah suatu proses berpikir, atau dengan kata lain disebut interaksi dengan dirinya sendiri (self interaction).

Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang dekat dengan diri kita. George Herbert Mead menyebut mereka significant others – orang lain yang sangat penting. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W. J. Humber menamainya

affective others – orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah kita secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita (Rakhmat, 2005).

Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan

(the generalized other), istilah yang dipergunakan oleh Mead yang perlu

diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial. Dikatakan oleh Mead “the matured self arises when a generalized other is internalized so that the community

exercise control over the conduct of its individual members.” Hanya dengan

menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang matang (Charon, 1998).

Selanjutnya Rakhmat (2005) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya,

significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Pandangan diri kita terhadap keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Memandang diri kita

seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Kita mengambil peran orang lain (role taking) yang amat penting artinya dalam pembentukan konsep diri.

Dalam bermasyarakat, manusia pasti menjadi anggota dari suatu kelompok. Setiap kelompok pasti mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau kita memilih kelompok rujukan tertentu, maka kita akan menjadikan norma-norma dalam kelompok ini sebagai ukuran perilaku kita.

Dokumen terkait