• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Interaksi Simbolik

2.3.1 Perspektif Interaksi Simbolik

Pemikiran filsafat pragmatisme banyak mempengaruhi pemikiran para teoritisi interaksi simbolik. Stephen W. Litlejhon (1996) dalam bukunya “theories

of human communication” mengatakan bahwa yang memberikan dasar teori

interaksi simbolik adalah George Herbert Mead, Herbert Blumer, Manford Khun, Kenneth Burke, dan Hugh Duncan.

Interaksi simbolik adalah suatu perspektif sosiologis yang berakar pada filsafat pragmatisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke- 20. Para penganutnya percaya bahwa perspektif ini mampu menjawab dan menjelaskan pengalaman sehari-hari manusia serta setiap permasalahan yang dihadapinya (Hewitt, 1991).

Interaksi simbolik adalah perspektif ilmiah untuk memahami kehidupan masyarakat dan perilaku manusia. Berdasarkan pandangan ini manusia sesungguhnya adalah sosok yang aktif dan dinamis serta goal-oriented, bukan semata-mata

mahkluk yang pasif dan responsif, sosok yang tidak mudah dimanipulasi dan sukar diprediksi perilakunya (Lesmana, 2001).

Cooley (1864 – 1929) melalui perangkat yang dinamakannya “sympathetic imagination,” menjelaskan bahwa seseorang diyakini dapat mengamati situasi atau melihat permasalahan dari perspektif orang lain. Hal ini dilakukan dengan menempatkan diri pribadi (self) pada posisi orang lain. Konsep “sympathetic imagination” dikemudian hari dieksplorasi oleh George Herbert Mead dan melalui sedikit modifikasi, diubah menjadi konsep “taking the role of the other” atau mengambil peran orang lain, salah satu konsep penting dalam teori interaksi simbolik (Hewitt, 1991).

William James (1842-1910) (dalam Denzin, 1992) secara khusus mempelajari hubungan antara mind and body. Menurut James apa yang dilakukan manusia, sebagian besar diyakini lahir dari kesadaran yang reflektif (reflective consciousness). Bagi James, kesadaran merupakan tema utama yang harus dipelajari oleh psikologi. Dua konsep lain yang dikemukakan oleh James adalah diri-pribadi (self) dan realita.

Diri-pribadi diakui sebagai pusat kesadaran manusia, terdiri atas “I” dan

“Me” (“Aku” dan “Diriku”), masing-masing mewakili subyek dan obyek individu. Tiap manusia sesungguhnya memiliki banyak diri-pribadi: sebagai suami atau istri di rumah, sebagai pendidik di sekolah, sebagai anggota masyarakat dan lain-lain. Konsep “Aku” dan “Diriku” kemudian dikembangkan oleh Mead dalam teorinya interaksi simbolik (Denzin, 1992).

Jhon Dewey (1859 – 1952) yang konsepnya “meaning arises through communication”, adalah seorang filosof dan pendidik yang banyak menulis tentang komunikasi. Menurut Dewey, semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi. Bahasa memiliki kedudukan yang begitu penting, sehingga tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil bisa saling berinteraksi dan bertindak bersama. Dari proses komunikasi manusia berupaya mencari makna (meaning) suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku

itu. Konsep Dewey kemudian menjadi salah satu asumsi dasar teori interaksi simbolik (Lesmana,2001)

2.3.2 Pemikiran George H. Mead terhadap Perspektif Interaksi Simbolik

George Herbert Mead (1863 – 1931) diakui sebagai “Bapak interaksi simbolik”. Mead belajar ilmu filsafat dan psikologi di Universitas Harvard pada 1887. Disini Ia berkenalan dengan William James yang ketika itu telah menjadi guru besar. Mead bahkan tinggal beberapa waktu lamanya di rumah James serta memberikan tutoring pada anaknya. Gelar doctor dalam ilmu physiological

psychology diperolehnya dari universitas Berlin pada 1891. setelah itu Mead

mengajar di Universitas Michigan, An Arbor.

Di Universitas tersebut, Ia berkenalan dengan Jhon Dewey. Hubungan kerja antara kedua filosof ini sangat erat. Mead mengaku banyak ajaran Dewey yang mempengaruhi pandangannya tentang individu dan masyarakat. Sebaliknya Dewey sangat kagum atas pemikiran-pemikiran Mead. Ketika Dewey diminta menjadi ketua Departemen Filsafat Universitas Chicago, Ia pun mengajukan satu syarat, yaitu diperbolehkan membawa Mead. Maka pada tahun 1894 Mead pindah ke Universitas Chicago dan bekerja sebagai asisten Dewey. Ia mengajar Filsafat pada Universitas tersebut hingga akhir hayatnya pada 1931.

Mead tidak pernah menyebut ajarannya dengan istilah “interaksi simbolik”. Adalah Herbert Blumer, salah seorang murid Mead, yang pertama kali pada 1937 memperkenalkan istilah “interaksi simbolik” pada tulisannya Man and Society yang merupakan salah satu bab dalam buku Emerson Schmid. Man and Socity terbit tiga tahun setelah buku klasik Mead berjudul Mind, Self and Society beredar. Buku tersebut sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah dan ceramah Mead ketika ia mengajar di Universitas Chicago. Bahan-bahan kuliahnya itulah yang secara sistematis kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.

Masih dalam tahun yang sama, Universitas yang sama juga menerbitkan buku kedua Mead yang berjudul George Herbert Mead on Social Psychology, lagi-lagi merupakan bahan kuliah dan ceramah Mead. Buku ini diedit dan diberi kata

pengantar oleh Anselm Strauss, yang juga seorang interaksionis. Dalam ulasannya Strauss juga menyatakan bahwa Mead sesungguhnya tidak pernah menulis satu buku pun sepanjang hidupnya. Buku-bukunya yang diterbitkan setelah Ia meninggal diambil dari artikel-artikelnya yang berjumlah lebih dari 80 judul (Wallace dan Wolf,

dalam Lesmana, 2001).

George Herbert Blumer, seperti dikutip oleh Fine (1990), membedakan tiga pendekatan dalam psikologi sosial. Pertama, pendekatan yang menggunakan insting manusia dan ajaran evolusi Darwin. Kedua, pendekatan yang menitik beratkan refleksi seperti yang terdapat di dalam tulisan-tulisan para penganut psikolog behavioristik, antara lain Jhon Watson. Ketiga, sintesa dari kedua pendekatan yang menurut pengakuan Blumer didasarkan atas karya-karya gurunya, yaitu Mead.

“Psikologi Darwin’” berpandangan bahwa emosi adalah keadaan psikologis, keadaan kesadaran individu, a state of consciousness, yang tidak dapat diformulasikan dalam bentuk sikap atau perilaku. Emosi secara instink sudah ada pada diri seseorang. Memang sikap adakalanya merefleksikan emosi seseorang, namun tanpa sikap dan perilaku yang mendukung, emosi tetap ada dalam diri seseorang, sebab emosi mencerminkan a state of consciousness. Dengan demikian psikologi sosial Darwin, menurut Mead, hampir identik dengan psikologi individu. Perilaku individu dipahami sebagai the inner state dari individu yang bersangkutan (Fine,1990).

Para penganut behavioristik mengoreksi psikologi Darwin dengan pendekatan perilaku. Pemahaman atas individu diyakini bersumber pada pemahaman terhadap perilaku atau tindakan serta stimuli lingkungan yang mendorong lahirnya perilaku tersebut. Jhon Watson mengatakan, “behavior is learned”, dan Ia mencoba megungkap hukum-hukum yang mengatur perilaku sebagai reaksi atas stimuli (Hewitt, 1991).

Psikologi sosial Mead, sebagai diakui sendiri oleh Mead, sebenarnya juga termasuk aliran behaviorisme, namun behaviorisme yang bersifat sosial. Aliran ketiga ini menekankan pentingnya pemahaman perilaku individu dalam konteks sosial. Ide sentral lain dari psikologi sosial Mead menyangkut realitas sosial yang

dikatakan tidak pernah statis, tetapi mengalami perubahan terus menerus. Individu dan perilakunya senantiasa dalam proses “menjadi” (becoming), tidak pernah dalam keadaan “jadi” (become) (Hewit, 1991).

Perbedaan pokok lain antara behaviorisme Watson dan behaviorisme Mead ialah pengakuan Mead tentang adanya komponen perilaku yang tidak kalah penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead minded behavior yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi oleh orang lain. Bahkan aktifitas mind dan juga self, kemudian mendapat fokus yang lebih khusus lagi dalam pemaparan Mead tentang teori interaksi simbolik (Hewitt, 1991).

Kedua buku Mead, Mind, self and Society dan George Herbert Mead on

Social Psycology banyak mempengaruhi karya Blumer (1969) yang berjudul

Symbolic Interactionism Perspective and Methode. Jika orang berbicara tentang teori interaksi simbolik, maka salah satu acuan utamanya adalah buku Blumer yang satu ini. Dalam buku tersebut Blummer memaparkan secara komprehensif teori interaksi simbolik, termasuk aspek metodologisnya (Charon, 1998).

Setelah Blumer, teori interaksi simbolik dikembangkan terus, antara lain melalui karya-karya Manford H. Khun (teori Diri-Pribadi, Self Theory), Erving Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss, Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E. Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon. Interaksi simbolik kemudian juga memberi inspirsasi bagi lahirnya perspektif-perspektif lain dalam sosiologi yang masih “sendirian”, seperti teori label, dramaturgi Ervin Goffman dan etnomethodologi Harold Garfinkel (Charon, 1998).

Setelah 1990 timbul upaya dari kaum interaksionis untuk mengintegrasikan teori interaksi simbolik dengan ajaran pasca modern. Teori pasca-modern menolak mitos obyektivitas dalam ilmu pengetahuan, pemisahan fakta dan nilai, upaya menemukan kebenaran sejati dan hukum yang mengatur realitas ekternal. Pasca-

modern juga menolak apa yang disebut obdurate (realitas eksternal yang tidak terbantahkan (Lesmana, 2001).

Fine (1990) secara tegas mengemukakan “Institution partly determine behavior,” bahwa perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh institusi tempat ia berada. Sedang Denzin (1992) berpendapat “ aparatus budaya” ikut mempengaruhi tindakan individu. Bahkan Gofman, menurut Fine (1990), akhirnya bergeser dari dari seorang interaksionis menjadi strukturalis ketika ia mengemukakan “structure underlies all interactions.”

Charon (1998) percaya bahwa struktur yang dimaksud dalam pernyataan Goffman bukanlah “solid structure being handed down to us,” melainkan kualitas struktur yang ada pada proses interaksi sosial. Pendapat Goffman mungkin saja berlebihan oleh kaum interaksionis, namun pendapat interaksionis-awal bahwa individu bebas dalam menentukan segala tindakannya kiranya tidak lagi menjadi pandangan resmi teori interaksi simbolik.

2.3.3 Pandangan Interaksi Simbolik Tentang Diri

Secara analitik, Mead membedakan diri pribadi antara “I” dan “Me”

(diterjemahkan: Aku dan Diriku). Perbedaan analitik ini sekaligus menunjukan bahwa diri-pribadi bisa dilihat sebagai suatu proses, disamping sebagai obyek. Sebagaimana diketahui suatu tindakan biasanya berawal ketika terjadi gangguan terhadap lingkungan eksternal individu. Terhadap gangguan itu, individu cendrung untuk secepatnya memberikan reaksi. Jika telepon tiba-tiba berdering, atau suatu suara keras di luar rumah, atau apa yang dikatakan oleh seseorang dinilai kurang jelas, ia tergerak untuk memberikan reaksi. Namun setelah reaksi diberikan, individu cendrung untuk mengevaluasi apa yang dilakukannya melalui minded-activity

(Lesmana, 2001)

Menurut Hewitt (1991), bagian awal dari suatu tindakan individu seringkali belum begitu terorganisir, karena semata-mata lahir dari kebutuhan untuk secepatnya memberikan reaksi. Tindakannya tidak jarang bersifat spontan dan impulsif. Pada

tahap evaluasi, individu memikirkan kembali apa yang dilakukannya. Hasilnya bisa berupa kesadaran atau kekeliruan yang dilakukannya, bahkan bisa berupa kecaman terhadap diri sendiri, tapi bisa juga penguatan karena keyakinan bahwa yang dilakukannya memang benar. “Aku” mewakili aspek tindakan yang bersifat spontan dan impulsif ; sedangkan “Diriku” mewakili aspek evaluatif dari tindakan.

Menurut Mead, “Aku” mewakili kecendrungan individu yang tidak terarah, individu yang penuh dorongan. “Diriku” mewakili pandangan atau penilaian orang lain terhadap “aku.” Aku sebagaimana dilihat dan diharapkan oleh orang lain, itulah ‘Diriku’. Hal ini berarti, ketika individu mengevaluasi tindakannya, norma-norma yang berlaku di lingkungannya dan perspektif kelompok referensi (reference group) dijadikan acuannya. “Diriku” mengarahkan, sekaligus mengevaluasi, tindakan “Aku”, agar menjadi sasaran dan konform pada norma-norma yang berlaku. Dalam konteks ini, “Diriku” merupakan representasi dari wujud sosial (Lesmana, 2001).

Maka diri-pribadi (self) sekaligus subyek dan obyek. “Aku” dan “Diriku” tidak henti-hentinya saling berganti posisi dalam proses interaksi-diri (self- interaction). Pada suatu saat individu bertindak sebagai “aku,” memberikan reaksi pada obyek dan situasi yang dihadapinya. Pada saat lain, reaksi menjadi bagian dari masa lalu, sekaligus bagian dari “Diriku.” Karena reaksi menjadi obyek yang sudah lalu, individu bisa memanfaatkannya untuk bahan renungan.

Seorang ibu yang memarahi anaknya yang dinilai nakal. Ia bertindak sebagai “Aku”. Setelah itu, setelah merenungkan apa yang baru saja dilakukannya, sang ibu mungkin menyesal. Mungkin ia menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anaknya terlalu berat. Pada saat itu, sang ibu bertindak sebagai “Diriku”; amarahnya kepada anak menjadi obyek renungan. Dalam interaksi-pribadi yang dilakukannya, ibu sebagai “Diriku” menegur ibu sebagai “Aku,” sekaligus mengoreksi tindakan “Aku” (Lesmana, 2001).

Sebagai suatu proses sosial, self (diri-pribadi) mempunyai dua makna, pertama; ia terus menerus terlibat dalam dialog antara “Aku” dan “Diriku,”

communication with self, atau self-interaction. Kedua self itu sendiri lahir dari pengalaman sosial, pengalaman berinteraksi dengan orang lain, communication with

others. Kesadaran bahwa “aku pemalas”, “aku enerjik,” atau “aku pemboros,” sebagiannya karena pengalaman interaksi sosial “Aku” dengan individu lain yang kemudian direfleksikan lagi dalam self-interaction” (Mead, 1967 dalam Lesmana 2001).

Karena diri-pribadi terutama dibentuk oleh interaksi sosial yang dilakukan seseorang, dengan siapa ia berinteraksi menjadi sangat menentukan. Mead dalam hal ini memakai istilah “the sigificant other,” orang-orang yang mempunyai arti penting, yang dihormati atau menjadi panutan bagi individu dalam hal tertentu (Charon, 1998). Istilah yang dipakai oleh Shibutani (1995) (dalam Lesmana, 2001) adalah

reference group. Masyarakat atau kelompok referensi berfungsi sebagai acuannya untuk bertindak.

2.3.4 Interaksi Simbolik, Inti Pandangannya

Profesor Joel M, Charon (1998), seorang interaksionis lulusan Universitas Minnesota, yang kini menjadi ketua Departemen Sosiologi Moorhead State University (Minnesota), memaparkan inti pandangan teori interaksi simbolik sebagai berikut:

(1) Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada hakekat dan dinamika interaksi yang terjadi antar manusia.

(2) Tindakan manusia (human action) dipengaruhi oleh interaksi sosial dan interaksinya dengan dirinya sendiri (self interaction).

(3) Sebelum melakukan tindakan, manusia terlebih dahulu merumuskan situasi (define the situation) lingkungan yang dihadapinya.

(4) Kejadian masa lalu dapat mempengaruhi kejadian saat ini, harapan dan tujuan juga dapat mempengaruhi tindakan saat ini. Namun keputusan yang diambil seseorang selalu didasarkan atas analisis dan rumusan terhadap situasi rill yang dihadapinya saat ini.

(5) Berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, manusia sesungguhnya adalah sosok yang bebas yang dalam batas tertentu dapat menentukan sendiri tindakannya.

Menurut Blommer dan Spradly dalam Endraswara (2001) ada beberapa premis dasar interaksi simbolik; pertama manusia melakukan berbagai hal atas makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Kedua makna berbagai hal itu berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga,

makna ditangani atau dimodifikasi melalui satu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam berbagai hal yang dia hadapi.

Di samping tiga premis dasar di atas, Muhajir dalam Endraswara (2001) menambahkan tujuh proposisi,yaitu :

(1) Perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang mengejala, (2) Kemaknaan manusia dicari sumbernya kedalam interaksi sosial,

(3) Manusia itu merumuskan proses yang berkembang secara holistik, tidak terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga,

(4) Pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, dan maksud, bukan berdasarkan mekanik,

(5) Konsep mental manusia berkembang secara dialektik,

(6) Perilaku manusia itu wajar, kreatif dan konstruktif, bukan elementer-reaktif, (7) Perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan

intuitif untuk menangkap makna.

2.3.5 Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik

Beberapa tokoh interaksionisme simbolik merumuskan beberapa prinsip dasar teori ini, yang meliputi ;

(1) Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir (2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial

(3) Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka

(4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi

(5) Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi

(6) Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampua mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan, dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu diantara serangkaian peluang itu.

(7) Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer & Goodman, 2007).

Kapasitas Berpikir

Salah satu konsep dasar mengenai interaksi simbolik adalah apa yang disebut oleh George Herbert Mead (Charon, 1998) sebagai “mind, self and socity.” Mind

didefinisikan sebagai the ability (of the invidual) to indicate to one’s self the response that one’s gestures indicates to others.” Mind juga dinamakan “reflecting

thinking” memungkinkan individu untuk berhenti sejenak dan menunda respons

kepada stimuli. Proses mental itu bertujuan untuk mengorganisir dan mengontrol respons individu kepada stimuli.

Mead menjelaskan komponen perilaku yang penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead sebagai minded behavior, yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi. Intra-komunikasi dalam diri individu dimungkinkan karena tiap-tiap individu memiliki self (diri-pribadi). Self merupakan bagian dari lingkungan yang menjadi obyek perbuatan seseorang. Manusia pun bisa menilai perbuatannya, atau marah terhadap diri sendiri, menyesali tindakan sendiri atau mengakui bahwa perbuatannya salah. Singkat kata ia bisa mengenal diri sendiri (make indication to himself). Bahkan ia bisa berdialog dengan diri sendiri yang dinamakan self-interaction

Intra-komunikasi menurut Mead, tidak berbeda dengan proses berkomunikasi dengan orang lain. Hanya saja, intra-komunikasi berlangsung dalam diri sendiri, sehinggga orang lain tidak dapat memahaminya, namun Mead menolak tudingan psikologi behavioristik yang mengatakan bahwa kegiatan berpikir tidak dapat diobservasi. Menurut Mead, apa yang dipikirkan seseorang bisa saja dituturkan kepada orang lain, sehingga dapat diobservasi.

Mead menamakan covert behavior (perilaku tersembunyi atau tidak kasat mata) dan overt behavior (perilaku lahiriah atau kasat mata). Masing-masing untuk aktifitas berpikir dan bentuk tindakan (perilaku) yang dihasilkannya. Masalah perilaku tidak kasat mata sama sekali tidak disinggung dalam psikologi behavioristik yang sering juga disebut psikologi obyektif, padahal proses berpikir menjadi kualitas paling esensial bagi manusia. Mead percaya bahwa pengingkaran atas eksisitensinya sama dengan mengidentifikasikan manusia dengan benda mati (Charon, 1998).

Teori interaksi simbolik memusatkan perhatian terutama pada makna dan simbol dari tindakan dan interaksi manusia. Perilaku tersembunyi atau proses berpikir melibatkan simbol dan makna. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku tidak melibatkan perilaku tersembunyi (karena kebiasaan atau tanggapan tanpa pikir terhadap rangsangan eksternal). Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku itu (Ritzer & Goodman, 2007).

Teori interaksiaksionisme simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan sebagai proses yang berkelanjutan. Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri merupakan bagian dari proses yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran, menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat (Ritzer, dan Goodman, 2007)

Manusia memiliki kapasitas untuk berpikir, kapasitas ini dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi sosial, pandangan ini menyebabkan teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial

yakni sosialisasi. Kemamapuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa. Sosialisasi adalah proses dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia itu sendiri. Sosialisasi bukanlah semata-mata proses atau arah dimana aktor menerima informasi, tetapi aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Manis &Melzer, dalam Ritzer & Goodman, 2007).

Interaksi

Interaksi berarti aksi atau tindakan seseorang yang senantiasa memper- hatikan aksi atau tindakan orang lain yang ditujukan kepadanya, action that takes account one other (Charon,1998), atau seperti yang dikatakan oleh George Simmel

dalam Lesmana (2001), action which is mutually determined. Interaksi berarti seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia pun senantiasa mempengaruhi orang lain. Interaksi juga berarti tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan orang lain yang ditujukan terhadapnya didalam situasi tertentu. Ini berarti individu juga senantiasa memperhatikan dan menginterpretasikan tindakan mitra interaksinya sebelum bertindak (Lesmana, 2001).

Interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi tidak hanya interaksi selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain, dan interaksi simbolik memerlukan proses mental itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Ritzer dan Goodman 2007).

Charon (1998) mendefenisikan interaksi sebagai; “aksi sosial bersama individu-individu yang berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang mereka lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing-masing (mutual action individuals, communicating to each other in what they do orienting their acts to each other).”

Jhon Dewey mengemukakan bahwa ”meaning arise through communication.”

George Herbert Mead kemudian memperjelas pendapat Dewey dengan mengatakan;

meaning is content of an object which is dependent upon the relation of an

organism or group of organism to it.” Dewey menggunakan istilah

communication” sedangkan Mead menggunakan istilah “relation.” Keduanya

sama-sama menunjukan mutlaknya interaksi sosial untuk terbentuknya sebuah makna obyek. Pemahaman individu atas makna timbul dari interaksinya dengan lingkungan fisik dan sosial. Interaksi mengandung arti bahwa para pelaku memperhatikan satu sama lain dan senantiasa saling menginterpretasikan pesan yang disampaikan (Lesmana, 2001).

Ballis-Lal dalam Lesmana (2001) menjelaskan bahwa tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan mitra-interaksinya melalui proses interpretasi. Langkah yang diambil seorang aktor bergantung pada langkah yang diambil atau akan diambil oleh aktor lain. Itulah yang dimaksud dengan interdependensi antar- interaktan.

Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan

Dokumen terkait