• Tidak ada hasil yang ditemukan

Symbolic Interaction and The Establishment of Entrepreneurship KemChicks Manager’s (case study interaction of owner – managers KemChicks)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Symbolic Interaction and The Establishment of Entrepreneurship KemChicks Manager’s (case study interaction of owner – managers KemChicks)"

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus Interaksi Pemilik - Pengelola Perusahaan KemChicks)

RETNO DEWI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Interaksi Simbolik dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan Pengelola KemChicks (Kasus Interaksi Pemilik - Pengelola Perusahaan KemChicks) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, 30 September 2011

Retno Dewi

(3)

RETNO DEWI. Symbolic Interaction and The Establishment of Entrepreneurship KemChicks Manager’s (case study interaction of owner – managers KemChicks) under directed by SARWITITI SARWO PRASODJO and SUTISNA RIYANTO

Development of human resources in Indonesia who have the entrepreneurial spirit, is strategic steps to developt society economic in this country. Interaction with the business environment will encourage the formation

of entrepreneurial spirit in a

person. Therefore, interaction and entrepreneurship interesting to study. This

study aims to determine how the meaning (definition of the

situation) KemChicks managers to: (1) the social situation (society) of

entrepreneurship in KemChicks, (2) self and significant others’

entrepreneurship, (3) self and the establisment self

manager’s entrepreneurship. The study is expected to

be a basic policy and further basic studies. The method used is the approach of phenomenology, phenomenology maked actuals lives experiences the basic dat a of reality. The data were analyzed qualitatively - interpretive. The conclusion is:

(1) the meaning of the

social situation entrepreneurship in KemChicks, differ according

to each respondent, so that

the delivery action (entreprenerurship) differently. (2) the meaning of different significant others for each respondent. The decision to adopt the values where the significant others, is highly dependent on the values and ideas of their own. (3) interactions encourage the formation of entrepreneurial

spirit, but in varying degrees, according to the meaning

of self and entrepreneurship in the respondent's own

Keywords : interaction, entrepreneurship

(4)

RINGKASAN

RETNO DEWI. Interaksi Simbolik dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan Pengelola KemChicks (Studi Kasus : Interaksi Pemilik – Pengelola Perusahaan KemChicks). Dibimbing oleh SARWITITI SARWO PRASODJO dan SUTISNA RIYANTO.

Di sepanjang sejarah peradaban manusia, terbukti kewirausahaan atau kewiraswastaan mampu menggerakkan perekonomian suatu masyarakat, bangsa atau negara. Oleh karena itu pengembangan sumberdaya manusia yang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) adalah langkah srategis untuk membangun perekonomian masyarakat di Indonesia. Kajian-kajian tentang strategi pengembangan jiwa kewirausahaan masih terbatas dan perlu untuk terus dikembangkan. Studi ini bertujuan untuk melihat dan mengkaji pembentukan

entrepreneurship dari sudut pandang bidang ilmu komunikasi.

Kajian ini dimulai dengan asumsi bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan bisnis dapat mendorong terbentuknya entrepreneurship dalam diri orang tersebut.

Studi ini berupaya menggambarkan fenomena interaksi pengelola usaha dalam lingkungan usahanya, dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi. Studi fenomenologi menurut Littlejhon (1996; 204), adalah studi yang menjadikan pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai data dasar dari realitas. Observasi ditujukan untuk melihat perilaku nyata (overt behavior) dan perilaku yang tidak nyata (covert behavior). Perilaku nyata meliputi; pola perilaku komunikasi dan interaksi dari subyek, data ini diperoleh dengan cara mengamati, memotret dan mencatat simbol-simbol yang signifikan (significant symbol). Perilaku tidak nyata seperti; pemikiran, pandangan, pengalaman, persepsi, harapan dan tujuan, serta motivasi subyek, diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) yang bersifat terbuka, tidak berstruktur, dalam suasana bebas, dan tidak formal. Data (percakapan) didokumentasikan dengan alat perekam audio

Tujuan yang lebih spesifik dari studi ini adalah melihat dan mengkaji; bagimana para pengelola suatu perusahaan berinteraksi dan memaknai situasi sosial dan situasi diri mereka sendiri serta pengaruhnya terhadap pembentukan entrepreneurship dalam diri mereka.

(5)

dilakukan uji kebenaran setiap makna yang muncul dari data sebelum kesimpulan akhir dibuat. Setiap data diklarifikasikan kembali kepada informan yang bersangkutan dan pimpinan perusahaan, penelusuran kepustakaan dan diskusi dengan pembimbing dan sejawat. Apabila hasil klarifikasi telah memperkuat kesimpulan, maka pengumpulan data untuk komponen tersebut siap dihentikan. Apabila hasil klarifikasi ditemukan kekurangan atau kekeliruan, maka proses penelitian kembali ke tahap awal untuk melengkapi dan mengoreksi kesalahan. Apabila data-data baru dapat memperkuat kesimpulan sebelumnya, maka proses verifikasi dihentikan, setelah itu barulah kesimpulan akhir dibangun.

Dari studi ini telah ditemuka n ; bahwa situasi sosial kewirausahaan (entrepreneurship) di lingkungan KemChicks yang “nyaman” dalam konsep kekeluargaan, dimaknai secara berbeda. Umumnya informan memaknainya sebagai pendekatan yang menyentuh pusat kesadaran, hingga melahirkan kesetiaan dan loyalitas pada perusahaan. Namun, ada pula informan yang memaknainya sebagai lemahnya sistem managemen, sehingga melahirkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai entrepreneurship.

Pemilik perusahaan adalah figur penting (significant others)yang berperan dalam pengembangan jiwa kewirausahaan pengelola perusahaan tersebut. Pemilik perusahaan dinilai sebagai figur yang memenuhi semua sifat dan ciri dari seorang entrepreneur. Situasi sosial lain yang berperan dalam perkembangan dimensi kewirausahaan dan perilaku kewirausahaan pengelola KemChicks adalah tuntutan peran. Seorang pengelola perusahaan bisa memiliki definisi negatif terhadap aspek sosial lainnya, namun karena peran, misalnya sebagai pemimpin, maka ia merasa harus menggembangkan jiwa kepemimpinannya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, definisi situasi sosial mempengaruhi perkembangan dimensi dan perilaku kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks, namun dalam derajat yang berbeda-beda, ditentukan oleh makna situasi sosial tersebut bagi mereka.

Studi ini juga menemukan bahwa; definisi situasi diri berkembang sesuai makna atas diri yang dibangun oleh pengalaman, harapan/keinginan, tujuan, dan pandangan diri sebagai pengelola KemChicks. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa definisi situasi diri memiliki pengaruh yang sama pentingnya dengan definisi situasi sosial dalam pembentukan dan pengembangan jiwa kewirausahaan pengelola KemChicks.

(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun,

(7)

INTERAKSI SIMBOLIK

DAN PEMBENTUKAN JIWA KEWIRAUSAHAAN

(Kasus Interaksi Pemilik - Pengelola Perusahaan KemChicks)

RETNO DEWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

(8)
(9)

Judul Tesis : Interaksi Simbolik dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan Pengelola KemChicks (Kasus : Interaksi Pemilik – Pengelola Perusahaan KemChicks)

Nama : Retno Dewi NIM : I352070111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS

(Ketua) (Anggota) Ir. Sutisna Riyanto, MS

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian

dan Pedesaan

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul ; “ Interaksi Simbolik dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan (entrepreneurship) (Kasus: Interaksi Pemilik - Pengelola Perusahaan KemChicks) “ ini dapat diselesaikan dengan baik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir. Sarwiti Sarwoprasodjo, MS dan Bapak Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku pembimbing I dan II atas segala arahan dan bimbingannya, kepada Bapak Bob Sadino dan keluarga sebagai pemilik perusahaan yang banyak membantu dan memberi fasilitas dan kepada Bapak dan ibu pengelola perusahaan KemChicks yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Painan (Sumatera Barat) tanggal 31 Desember 1966 dari Ayah Anas Latif (alm) dan Ibu Chasi’ah (alm). Penulis adalah bungsu dari empat bersaudara.

Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Universitas Andalas Padang Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1992 melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana (S2) Institut Pertanian Bogor bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) lulus tahun pada tahun 1996. Pada tahun 2007 kembali mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana (S2) Institut Pertanian Bogor bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

(12)

D A F T A R I S I

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xiii

DAFTAR GAMBAR ………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 9

2.1 Kewirausahaan(entrepreneurship) ... 9

2.2 Interaksi dan Pembentukan Perilaku ... 15

2.3 Interaksi Simbolik ………... 17

2.3.1 Perspektif Interaksi Simbolik ... 17

2.3.2 Pemikiran George H.Mead terhadap Perspektif Interaksi Simbolik ... 19

2.3.3 Pandangan Interaksi Simbolik tentang Diri ... 22

2.3.4 Interaksi Simbolik, Inti Pandangannya ... 24

2.3.5 Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik ... 25

2.4 Hasil Studi Kewirausahaan, Interaksi Simbolik dan Kebaruan Penelitian …... 35

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 41

IV. METODE PENELITIAN ...……….. 45

4.1 Desain Penelitian ... 45

4.2 Lokasi dan Subyek Penelitian ... 46

4.3 Informan dan Kedudukannya dalam Perusahaan ... 47

4.4 Definisi Konseptual ... 48

4.5 Data dan Pengumpulan Data ... 48

4.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1 Definisi Situasi Sosial dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan (entrepreneurship) Pengelola KemChicks... 53

5.1.1 Hasil ... 53

5.1.2 Pembahasan ... 67

(13)

5.3 Interaksi dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan Pengelola

Perusahaan KemChicks... 106

5.3.1 Hasil ... 106

5.3.2 Pembahasan ... 111

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

6.1 Kesimpulan... ... 115

6.2 Saran ... ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(14)
(15)

Halaman

1 Ciri dan sifat seorang entrepreneur ... 12

2 Definisi situasi sosial dalam pembentukan jiwa kewirausahaan pengelola KemChicks ... 55

3 Definisi situasi diri dalam pembentukan jiwa kewirausahaan Pengelola KemChicks ... 76

4 Sumber definisi situasi diri dalam kewirausahaan “D’utama”.... 77

5 Sumber definisi situasi diri dalam kewirausahaan “Divora”... 81

6 Sumber definisi situasi diri dalam kewirausahaan “Divuma”... 84

7 Sumber definisi situasi diri dalam kewirausahaan “Asila”... 88

8 Sumber definisi situasi diri dalam kewirausahaan “Divsara”... 92

9 Sumber definisi situasi diri dalam kewirausahaan “Divua”... 95 10 Interaksi dan Pembentukan Jiwa Kewirausahaan

(entrepreneurship) Pengelola Perusahaan KemChicks ...

(16)

Halaman

1 Model “AKSI” Charon (1998) ………... 35 2 Kerangka pemikiran penelitian “Interaksi Simbolik dan

Terbentuknya Jiwa Kewirausahaan ………... 44

3 Proses analisis data ………... 51

(17)

Halaman 1. Definisi situasi dan sumber pembentukan jiwa kewirausahaan

“D’utama”... 121

2. Definisi situasi dan sumber pembentukan jiwa kewirausaan

“Divora”………. 124

3. Definisi situasi dan sumber pembentukan jiwa kewirausaan

“Divuma”………... 127

4. Definisi situasi dan sumber pembentukan jiwa kewirausaan

“Asila” …………... 130 5. Definisi situasi dan sumber pembentukan jiwa kewirausaan

“Divsara” ………... 133

6. Definisi situasi dan sumber pembentukan jiwa kewirausaan

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Di sepanjang sejarah peradaban manusia, kewirausahaan atau kewira- swastaan terbukti mampu menggerakkan perekonomian suatu masyarakat, bangsa atau negara. Jalan ini pula yang telah melahirkan bangsa-bangsa besar, maju, mapan dan makmur secara ekonomi. Jepang dan Singapura adalah contoh nyata negara-negara yang dapat menggambarkan keadaan negeri miskin sumberdaya alam, tetapi mampu membangun diri menjadi negara-negara kaya yang rakyatnya hidup makmur. Kekayaan mereka ini diperoleh dari hasil kerja keras masyarakatnya yang berkualitas, sangat berbeda artinya dengan kekayaan yang ada pada negara-negara lain yang amat kaya, tetapi semata-mata berasal dari kekayaan alam. Negara-negara Arab di Timur Tengah serta sebagian negara Afrika, disebut “negara petro – dolar” karena kekayaan mereka yang melimpah berasal dari penambangan minyak. Sementara Jepang dan bangsa Singapura berhasil membangun sistem ekonominya melalui peranan kelas menengahnya sebagai kaum wiraswastawan (entrepreneur) (Drucker, 1985).

Rachbini (2001) menjelaskan bahwa proses lepas landas (take off) masyarakat Jepang adalah contoh klasik yang sangat jelas dari kerangka pemikiran Rostow tentang peranan kaum entrepreneur. Menurut Rostow, dalam masa transisi proses lepas landas suatu bangsa, kesiapan sumberdaya manusia yang ditandai dengan lahirnya kelas menengah kaum entrepreneur dinilai paling menentukan. Bagi Rostow, para entrepreneur adalah pelopor, bahkan ujung tombak keberhasilan. Restorasi Meiji di Jepang, ditandai dengan munculnya kelas menengah kaum

(19)

Harvey Leibenstein (dalam Rachbini, 2001) menjelaskan pentingnya peranan kaum entrepreneur sebagai pemacu kelesuan pasar. Failure market (pasar yang sakit) adalah tantangan baginya, dengan sikap berani kondisi pasar bagaimanapun menjadi arena jelajah yang harus dikuasainya, meskipun penuh resiko. Jadi kepeloporan kaum entrepreneur terlahir bukan karena terdapat peluang saja, tetapi juga karena menemui kondisi pasar dan peluang yang sempit, kemudian menciptakan kondisinya menjadi lebih baik.

Kelas menengah seperti itu perlu diciptakan, karena dalam setiap usaha atau bisnis yang dilakukan oleh kalangan ini biasanya akan mendatangkan efek ikutan (multy playing effect) berupa terserapnya tenaga kerja dan sumberdaya ekonomi, serta rentetan usaha lainnya. Semua seperti terkoneksi membentuk suatu rantai, jejaring, atau bahkan suatu sistem yang saling terkait (interdependensi), dan bersama-sama menggerakkan roda perekonomian. Menurut Surjohadiprojo dalam Rachbini (2001), tanpa kelahiran atau usaha untuk melahirkan kelas ini, kemajuan akan sulit diraih, khususnya dalam rangka memasuki arena pasar yang bersaing sangat ketat di dunia internasional.

Namun melahirkan kelembagaan dan sikap entrepreneurship bukanlah hal mudah bagi suatu bangsa. Tidak mudah melahirkan kaum Samurai di Jepang, kaum Parsi di Timur Tengah, Yahudi dan lainnya. Dalam sejarah ekonomi, kelahiran kelompok-kelompok ini merupakan pertanda kebangkitan ekonomi suatu bangsa menuju era modern dan maju.

(20)

Oleh karena itu, mengembangkan kewirausahaan di Indonesia seharusnya dimulai dengan pembangunan manusianya terlebih dulu, yaitu dengan cara merobah paradigma, cara/pola pikir dan mengembangkan sikap mental yang siap dan mampu bersaing, dan berkewirausahaan. (entrepreneurship). Hal ini sesuai dengan pendapat Rachbini (2001) bahwa untuk membangun suatu bangsa, kesiapan sumberdaya manusia dinilai paling menentukan. Kesiapan itu biasanya ditandai dengan lahirnya kelas menengah kaum entrepreneur. Kelompok ini mempunyai peranan sebagai katalisator dan menunjang perkembangan arus investasi sehingga ikut memperkuat pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung.

Menurut Swasono dalam Riyanti (2003), kualitas kewirausahaan di Indonesia secara umum dapat dikatakan imferior, hal ini tidak terlepas dari ciri dan kualitas manusia Indonesia sendiri, misalnya sangat jarang orang Indonesia yang achievement oriented, dan lebih banyak yang status oriented. Selanjutnya Swasono mengatakan, pada umumnya masyarakat Indonesia memiliki ciri; berorientasi pada masa lalu, menggantungkan diri pada nasib, konformis, berorientasi pada atasan, meremehkan mutu dan tidak teliti dan tidak sistematik, tidak percaya diri, tidak disiplin, suka mengabaikan tanggung jawab, munafik, feodal, percaya takhayul, berwatak lemah (terutama lemah terhadap uang), tidak hemat (konsumtif), kurang ulet, manja dan hidup santai, terlalu fleksibel, kurang inovatif, kurang waspada (mudah merasa aman), sok kuasa (haus kekuasaan), mencampur adukan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, berlagak ramah (friendly) padahal sebenarnya menghamba (servile), berlagak wajar-diri (low profile) padahal sebenarnya lemah (soft).

Studi Mayrowani dan Ariningsih (1998) menemukan bahwa faktor penting yang mempengaruhi perkembangan kewirausahaan adalah faktor manusia yang meliputi: kepribadian pelaku usaha, pendidikan, lingkungan, pengalaman, dan kemampuan memperoleh uang, nilai sosial, budaya, dan peluang yang ditentukan oleh lingkungan, rangsangan ekonomi seperti peluang pasar, keuntungan yang diperoleh, permintaan yang bersifat elastis, iklim usaha dan peraturan pemerintah. Studi Riyanti (2003) menemukan bahwa kepribadian entrepreneur merupakan faktor

(21)

utama, menyusul sesudahnya faktor kemampuan, faktor teknologi, dan faktor lain. Sifat kepribadian yang paling banyak dibahas oleh para ahli dalam kaitan dengan wirausaha, adalah sifat kreatif dan inovatif.

Berangkat dari hal-hal di atas, maka studi/kajian pembentukan atau pengembangan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dengan berbagai pendekatan teori perlu terus dikembangkan. Dari kajian-kajian tersebut diharapkan bisa dihasilkan suatu ide atau inovasi baru yaitu “strategi pembentukan/pengembangan jiwa entrepreneur (entrepreneurship)” dalam rangka pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah Penelitian

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mendorong dan mendukung perubahan paradigma cara berpikir seseorang hingga berorientasi kewirausahaan, di antaranya adalah melalui; “komunikasi-interaksi”, baik dengan lembaga pendidikan dan pelatihan (formal maupun informal); interaksi dengan orang-orang dan atau lembaga-lembaga yang bersifat kewirausahaan; dan melalui interaksi budaya baik dalam artian luas maupun spesifik (budaya kewirausahaan dalam suatu masyarakat atau dalam sebuah perusahaan).

(22)

Pemilik perusahaan Bob Sadino dapat dikatakan sebagai entrepreneur sejati, Bob memulai usahanya dari dasar – dari nol sekali, tanpa modal finansial, tanpa ilmu dan pengalaman dibidang usaha yang digelutinya, tanpa dukungan baik dari perorangan maupun lembaga-lembaga keuangan. “Hanya bermodal keyakinan dan kerja keras.” Namun Bob sudah membuktikan bahwa tanpa semua itu, ia bisa sukses seperti sekarang.

Pada beberapa kesempatan, publik bisa menyaksikan penampilannya dalam memberi kuliah umum tentang kewirausahaan baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun melalui media masa. Peneliti sendiri adalah salah seorang yang pernah mengikuti kuliah umum dan mendapat “pencerahan” dari mengikuti perkuliahan singkat tersebut. Studi ini dimulai dengan pemikiran, jika pertemuan singkat saja dapat merobah paradigma, cara berpikir dan konsep diri peneliti, bagaimana hasilnya jika seseorang berkomunikasi/berinteraksi dengan Bob dalam waktu yang panjang ?.

Jhon Dewey (1859 – 1952) seorang filosof dan pendidik yang sangat berpengaruh pada zamannya mengatakan; “semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi. Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change). Cooley menempatkan komunikasi pada nilai yang tinggi, suatu mekanisme dalam formasi yang ia sebut the looking glass self yang amat penting. Ini berarti bahwa interaksi dengan orang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu membentuk konsep diri seseorang (Effendy, 2003).

(23)

Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respons, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi.

Menurut Rakhmat (2005), konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.

Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas obyek-obyek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok. Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural (Ritzer & Goodman, 2007).

Dengan menggunakan pendekatan teori-teori interaksi simbolik, penelitian ini ingin melihat bagaimana proses pembentukan jiwa kewirausahaan pengelola KemChicks? bagaimana mereka berinteraksi dalam lingkungan/situasi sosial KemChicks? bagaimana mereka memaknai setiap aspek dalam interaksi tersebut? dan bagaimana keputusan atau tindakan mereka ambil terkait dengan pembentukan/ pengembangan jiwa entrepreneur. Beberapa pertanyaan penelitian sehubungan dengan konteks tersebut dirumuskan sebagai berikut:

(1) Bagaimana definisi situasi sosial dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks ?

(2) Bagaimana Definisi situasi ‘diri’ dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks?

(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji:

(1) Definisi situasi sosial dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks

(2) Definisi situasi diri dan kewirausahaan pengelola KemChicks, sumber dan proses pembentukannya

(3) Interaksi dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks

1.4. Manfaat Penelitian

Kajian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pengembangan konsep

entrepreneur dan entrepreneurship yang berguna bagi semua pihak. Bagi peneliti-peneliti lain baik yang independen maupun kelembagaan, kajian ini bisa menjadi dasar pijakan bagi penelitian lanjutan tentang konsep ini. Bagi pembuat kebijakan yang dalam upaya mencari dan mengembangkan metode dan strategi pengembangan kualitas sumberdaya manusia khususnya menyangkut dengan pengembangan

entrepreneurship, hasil kajian ini bisa menjadi dasar pijakan bagi kebijakan-kebijakan selanjutnya. Bagi pelaku dan pengelola usaha terutama perusahaan KemChicks tempat penelitian dilaksanakan, studi ini menjadi tambahan informasi dan referensi bagi upaya pengelolaan staf sehingga dapat menjadi entreprneur dalam artian yang luas.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(25)

sosial (lingkungan) perusahaan dan situasi diri pengelola KemChicks itu sendiri, yang terbentuk atau berkembang akibat adanya interaksi sosial dan interaksinya dengan diri sendiri pengelola KemChicks.

Studi ini merupakan studi kasus, oleh sebab itu hasil kajian tidak bisa digeneralisasikan (berlaku umum) untuk kasus-kasus yang lain. Studi ini tidak bisa menjadi jawaban dari semua persoalan yang menjadi hambatan dalam pembentukan

entrepreneurship seseorang, karena ada sejumlah faktor pendukung lain yang diperlukan bagi pembentukan entrepreneurship (seperti faktor endogen dan eksogen pengelola usaha, faktor internal – eksternal perusahaan, kebijakan dan sistem ekonomi mikro dan makro, dan masih banyak faktor-faktor lainnya).

Perbedaan pendekatan ilmu dan teori yang digunakan juga menghasilkan rumusan yang berbeda. Pendekatan teori interaksi simbolik yang digunakan sebagai pijakan dan kerangka penelitian ini pun, hanyalah satu-dua konsep saja dari teori-teori interaksi simbolik yang juga sangat banyak. Setelah konsep mind and self dari George Herbert Mead yang menjadi rujukan utama dalam studi ini, teori-teori interaksi simbolik dikembangkan terus, antara lain melalui karya-karya George H Blummer (murid Mead yang merilis konsep-konsep Mead), Manford H. Khun (teori Diri-Pribadi, Self Theory), Erving Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss, Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E. Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon (Charon, 1998).

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kewirausahaan (Entrepreneurship)

Entrepreneurship yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kewiraswastaan atau kewirausahaan adalah kondisi kejiwaan seseorang yang memiliki semangat, kemauan, kemampuan dan kekuatan untuk memindahkan segala sumberdaya ekonomi dari kawasan poduktivitas rendah ke kawasan produktivitas tinggi dengan tambahan hasil yang lebih besar atau lebih menguntungkan. Orang yang memiliki jiwa kewirausahaan disebut entrepreneur (Baptiste Say dalam Riyanti, 2003).

Di Amerika Serikat, entrepreneur seringkali diartikan sebagai seseorang yang memulai bisnis baru, kecil dan milik sendiri. Namun menurut Drucker (1985), tidak semua bisnis baru dan kecil adalah wiraswasta atau mewakili kewiraswastaan. Suami istri yang membuka sebuah restoran Padang yang baru disebuah kawasan pastilah menghadapi resiko, lalu apakah mereka itu wiraswastawan ?, apa yang mereka lakukan adalah yang telah berulang kali mereka lakukan sebelumnya. Mereka mengadu untung dengan makin banyaknya orang yang suka makan di luar rumah di daerah itu, tetapi mereka sama sekali tidak menciptakan kepuasan baru atau permintaan konsumen yang baru. Dilihat dari perspektif ini, menurut Drucker mereka bukanlah “wiraswastawan” (entrepreneur), sekalipun usaha mereka itu juga merupakan bisnis baru.

(27)

drastis meningkatkan hasil dari sumberdaya yang ada, dan menciptakan pasar serta pelanggan baru. Inilah yang dinamakan kewiraswastaan (entrepreneurship).

Menurut Drucker; entrepreneur adalah orang yang selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai peluang. Entrepreneur adalah orang yang memindahkan sumberdaya dari daerah yang produktivitas dan hasilnya rendah, ke daerah yang produktivitas dan hasilnya lebih tinggi. Drucker memberikan contoh seorang Bankir. Sebagai entrepreneur tugasnya adalah memobilisasi uang orang lain untuk dialokasikan pada berbagai bidang yang produktivitasnya lebih tinggi sehingga hasilnya lebih besar. Semua Bankir sebelumnya adalah pemilik. Bila mereka membangun jalan kereta api, mereka membiayainya dengan uang sendiri. Sebaliknya Bankir wiraswasta tidak berkeinginan untuk menjadi pemilik, ia mendapatkan keuntungan dengan cara menjual kepada umum saham dari perusahaan yang mereka biayai pada awal pertumbuhannya. Ia mendapat dana investasi dari masyarakat.

Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa ciri yang paling penting dari seorang entrepreneur adalah inovator. Menurut Drucker inovasi merupakan alat spesifik entrepreneurship. Inovasi adalah tindakan yang memberi sumberdaya kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Inovasi menciptakan sumberdaya. Tidak ada sesuatu pun yang menjadi sumberdaya sampai orang menemukan manfaat dari sesuatu yang terdapat di alam sehingga memberinya nilai ekonomis. Inovasi tidak selalu bersifat teknis, juga tidak selalu berupa “benda.” Menurut Drucker, hanya beberapa inovasi teknis yang bisa menandingi dampak inovasi sosial.

(28)

Jepang telah membuat keputusan secara sadar satu setengah abad yang lalu, untuk memutuskan sumberdaya yang ada pada mereka untuk inovasi sosial, untuk meniru, mengimpor serta menyadap inovasi dalam bidang teknik dengan sukses yang mengejutkan. Ini berarti bahwa inovasi sosial jauh lebih penting dari pada inovasi teknis dan yang bersifat “kebendaan.”

Jika orang Inggris memaknai entrepreneurship sebagai bisnis kecil dan baru, maka orang Jerman menafsirkannya sebagai kemampuan dan kepemilikan, sesuatu yang bahkan lebih menyesatkan. Istilah entrepreneur secara harfiah dalam bahasa Jerman adalah orang yang memiliki dan sekaligus menjalankan sendiri usahanya (dalam bahasa inggris disebut “owner manager”). Dan kata itu digunakan terutama untuk membedakan kata “Boss” yang memiliki perusahaan dengan kata profesional manajer untuk hired hand (tenaga yang digaji).

Entrepreneur juga bukan kapitalis, sekalipun tentu saja mereka juga perlu modal untuk semua aktivitas ekonomi (dan sebagian untuk aktivitas non-ekonomi mereka). Mereka juga bukan penanam modal (investor). Tentu saja mereka juga menanggung resiko, tetapi resiko juga ditanggung oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam setiap jenis kegiatan ekonomi. Unsur pokok dari kegiatan ekonomi adalah kegiatan sumberdaya sekarang untuk harapan masa yang akan datang, dan hal itu berarti ketidakpastian dan resiko. Wiraswastawan juga bukan seorang majikan, tetapi bisa jadi, dan bahkan seringkali seorang pekerja biasa atau seorang yang bekerja sendiri dan seluruhnya dilakukan sendiri (Drucker, 1985).

(29)

berperilaku wiraswastawan. Maka kewiraswastaan lebih merupakan perilaku dari pada gejala kepribadian, dan dasarnya terletak pada konsep dan teori.

Meredith et al.(2001) menjelaskan tentang ciri-ciri dan sifat-sifat seorang

entreprenenur yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Ciri dan sifat entrepreneur

Nomor Ciri-ciri Watak

1 Percaya diri a. Memiliki keyakinan

b. Ketidakbergantungan c. Optimisme

2 Berorientasi tugas dan hasil a. Kebutuhan akan prestasi

b. Berorientasi laba c. Tekun dan tabah

d. Mempunyai tekad kerja keras e. Mempunyai dorongan yang kuat, f. Energitik dan inisiatif

3 Pengambil resiko a. Kemampuan mengambil resiko

b. Suka pada tantangan

4 Kepemimpinan a. Bertingkah laku sebagai pemimpin

b. Dapat bergaul dengan orang lain c. Menanggapi saran dan kritik

5 Keorisinilan a. Inovatif dan kreatif

b. Fleksibel

c. Punya banyak sumber d. Serba bisa

e. Mengetahui banyak

6 Berorientasi ke masa depan a. Pandangan ke depan

Menurut Meredith et al. (2002) dari semua ciri tersebut, mustahil bisa ditemui seorang wirausahawan mendapat angka tinggi untuk semua sifat-sifat itu, namun besar kemungkinan bahwa wirausahawan tersebut akan mendapat angka tinggi untuk kebanyakan sifat-sifat itu, terutama kepercayaan terhadap diri sendiri, kemampuan mengambil resiko, fleksibilitas, keinginan untuk mencapai sesuatu, dan keinginan untuk tidak tergantung pada orang lain.

(30)

Ahli ekonomi Prancis Jean Babtise (dalam Riyanti, 2003) berpendapat wirausaha adalah orang memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha ekonomi yang baru. Dia memiliki pemahaman sendiri akan kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan itu. Wirausaha mempengaruhi masyarakat dengan membuka usaha baru, tetapi pada saat yang sama dia dipengaruhi oleh masyarakat untuk mengenali kebutuhan dan memenuhinya melalui ketajaman manajemen sumberdaya.

Menger (dalam Riyanti, 2003) sebaliknya berpendapat bahwa wirausaha adalah orang yang dapat melihat cara-cara ekstrem dan tersusun untuk mengubah sesuatu yang tidak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi (misalnya dari terigu menjadi roti bakar yang lezat), dengan cara memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia. Model Menger ini diterima luas di Amerika Serikat.

Secara komprehensif Meng and Liang (dalam Riyanti, 2003) merangkum pandangan beberapa ahli, dan mendefenisikan wirausaha sebagai:

1. Seorang inovator

2. Seorang pengambil resiko atau a risk-taker 3. Orang yang mempunyai misi dan visi 4. Hasil dari pengalaman masa kanak-kanak

5. Orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi 6. Orang yang memiliki locus of control internal

Berdasarkan pendapat para ahli yang diuraikan di atas, terdapat ciri umum yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan mengubah sesuatu menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, dalam literatur psikologi dikenal sebagai perilaku kreatif dan inovatif. Banyak ahli menggarisbawahi ciri kreatif dan inovatif sebagai sifat yang terdapat pada wirausaha.

(31)

komitmen dan sabar. Cunningham menyimpulkan bahwa sebagian besar keberhasilan usaha, sangat ditentukan oleh faktor entrepreneur. Kepribadian

entrepreneur merupakan faktor utama, menyusul sesudahnya faktor kemampuan, faktor teknologi, dan faktor lain.

Sifat kepribadian yang paling banyak dibahas oleh para ahli dalam kaitan dengan wirausaha, adalah sifat kreatif dan inovatif. Drucker (1985) juga menegaskan bahwa untuk meraih keberhasilan, seorang wirausaha harus belajar mempraktekan inovasi secara sistematik. Menurut Drucker Inovasi adalah alat khusus bagi

entrepreneur. Menurut Riyanti (2003) orang sering menyamakan kreativitas dan inovasi, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Kreativitas berarti menghasilkan sesuatu yang baru. Kreativitas lebih menekankan kemampuan, bukan kegiatan. orang disebut kreatif jika dia memiliki ide/gagasan yang baru tanpa harus merealisasikan gagasannya itu. Inovasi adalah proses melakukan sesuatu yang baru. Jadi kreativitas dan inovasi adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu inovasi berarti tranformasi dari gagasaan-gagasan kreatif pada aplikasinya yang bermanfaat. Kreativitas merupakan prasyarat untuk inovasi.

Inovasi adalah alat spesifik wiraswastawan, suatu alat untuk memanfaatkan perubahan sebagai peluang bagi bisnis yang berbeda atau jasa yang berbeda. Inovasi dapat ditampilkan sebagai ilmu, dapat dipelajari dan dapat dipraktekan. Wiraswastawan perlu secara sengaja mencari sumber inovasi, perubahan dan gejala yang menunjukan adanya peluang untuk inovasi yang berhasil, dan mereka perlu mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip inovasi yang berhasil. (Drucker, 1985).

McClelland (1987), pelopor dalam pendidikan kewirausahaan bertolak dari Joseph Schumpeter tentang peranan entrepreneur sebagai unsur dinamik dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, melihat bahwa yang menjadi sumber penggerak (motivasi) para intrepreneur itu bukanlah keinginan untuk mendapatkan keuntungan (uang), suatu hal yang bertentangan dengan ilmu ekonomi yang percaya bahwa penggerak (pendorong) manusia dalam kegiatan ekonomi adalah keuntungan. Keunggulan yang dimiliki oleh wiraswasatawan terletak pada kebutuhannnya yang tinggi untuk berprestasi atau keberhasilan mencapai prestasi (n-Ach).

(32)

2.2. Interaksi dan Pembentukan Perilaku

Jhon Dewey (1859 – 1952) seorang filosof dan pendidik yang sangat berpengaruh pada zamannya mengatakan bahwa ; “semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi”. Bahasa memiliki kedudukan yang begitu penting, tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil bisa saling berinteraksi dan bertindak bersama. Dari proses komunikasi manusia berupaya mencari makna (meaning) suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku itu. Tema “meaning arises through communication” Dewey ini kemudian dieksplorasi lebih dalam oleh Mead, bahkan menjadi asumsi dasar teori interaksi simbolik (Lesmana, 2001).

Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change). Sesuai dengan pendapat Carl Hovland dalam Effendy (2005), bahwa yang dijadikan obyek studi komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Bahkan Hovland memberikan definisi secara khusus, bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain.

Cooley menempatkan komunikasi pada nilai yang tinggi, suatu mekanisme dalam formasi yang ia sebut the looking glass self yang amat penting. Ini berarti bahwa interaksi dengan orang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu membentuk konsep diri seseorang. Bagi Cooley, komunikasi berfungsi sebagai sarana sosialisasi, dan dengan demikian menjadi tali yang mengikat masyarakat. Dasar empirik yang utama dari teori Cooley adalah introspeksi (Effendy, 2003).

(33)

penerimaannya haruslah dibina (to establish acceptance). Pada akhirnya kegiatan dimotivasikan (to motivate action).

Park dalam Effendy (2003) mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial psikologis dengan mana seseorang mampu menerima sikap dan pandangan orang lain. Park menunjukkan bahwa dua orang atau lebih, dapat bertukar informasi selama berlangsungnya proses komunikasi, dimana masing-masingnya memberikan makna berbeda pada informasi yang diterima.

Makna pesan merupakan inti dari komunikasi. Proses komunikasi pada intinya adalah proses penyampaian makna dalam bentuk pesan dengan menggunakan kode-kode tertentu. Pembicaraan, gambar atau lainnya hanyalah merupakan simbol atau kode, sedangkan yang disampaikan adalah apa yang terkandung di dalam simbol/gambar itu. Makna menjadi penting karena padanyalah ukuran suatu bahasa berada. (Mulyana, 2005).

Pemberian makna merupakan proses yang aktif. Makna diciptakan dengan kerjasama di antara sumber dan penerima, pembicara dan pendengar, penulis dan pembaca, makna pesan dapat diilustrasikan sebagai lambang atau simbol komunikasi. Karena pesan bersifat abstrak, dengan akal budinya manusia melahirkan sejumlah lambang komunikasi: mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan bahasa tulisan; yang berfungsi untuk merubah pesan yang abstrak menjadi kongkrit/berwujud (DeVito, 1997).

Lambang atau simbol digunakan untuk merujuk pada sebuah obyek. Obyek yang ditunjuk oleh lambang itu adalah apa yang dimaksud oleh kelompok sosial penggunanya, melekat pada budaya setempat. Tidak harus ada hubungan yang penting antara obyek yang ditunjuk dengan lambang yang menunjuknya, sehingga dapat dinyatakan bahwa lambang atau simbol komunikasi sebagai bentuk pesan yang bersifat sembarang.

(34)

terhadapnya. Dengan demikian, kita dapat nyatakan bahwa makna adalah hubungan antara suatu obyek dengan lambangnya (Littlejohn, 1996).

Menurut Dewey dalam Denzin (1992) manusia tidak akan bertindak sebelum memahami situasi, dan tindakannya selalu disesuaikannya dengan definisi situasi yang dibuatnya. Karena situasi bisa berubah-rubah, kebenaranpun bersifat relatif. Kebenaran, bagi penganut pragmatisme, tidak pernah bersifat absolut, selalu dikaitkan dengan kebutuhan dan kepentingan manusia.

Kebenaran suatu pemikiran atau makna sebuah pernyataan dipengaruhi oleh konsekwensi praktis dari pemikiran dan pernyataan (Hewit, 1991). Menurut William James dalam Denzin (1992) kebenaran suatu pemikiran harus bisa diuji dan diverifikasi di lapangan. Suatu pemikiran bisa bermanfaat untuk sebuah situasi, namun tidak bermanfaat untuk situasi yang lainnya. Dengan kata lain James pun percaya bahwa kebenaran itu bersifat relatif.

2.3 Interaksi Simbolik

2.3.1 Perspektif Interaksi Simbolik

Pemikiran filsafat pragmatisme banyak mempengaruhi pemikiran para teoritisi interaksi simbolik. Stephen W. Litlejhon (1996) dalam bukunya “theories of human communication” mengatakan bahwa yang memberikan dasar teori interaksi simbolik adalah George Herbert Mead, Herbert Blumer, Manford Khun, Kenneth Burke, dan Hugh Duncan.

Interaksi simbolik adalah suatu perspektif sosiologis yang berakar pada filsafat pragmatisme yang berkembang pada akhir abad 19 hingga awal abad ke-20. Para penganutnya percaya bahwa perspektif ini mampu menjawab dan menjelaskan pengalaman sehari-hari manusia serta setiap permasalahan yang dihadapinya (Hewitt, 1991).

(35)

mahkluk yang pasif dan responsif, sosok yang tidak mudah dimanipulasi dan sukar diprediksi perilakunya (Lesmana, 2001).

Cooley (1864 – 1929) melalui perangkat yang dinamakannya “sympathetic imagination,” menjelaskan bahwa seseorang diyakini dapat mengamati situasi atau melihat permasalahan dari perspektif orang lain. Hal ini dilakukan dengan menempatkan diri pribadi (self) pada posisi orang lain. Konsep “sympathetic imagination” dikemudian hari dieksplorasi oleh George Herbert Mead dan melalui sedikit modifikasi, diubah menjadi konsep “taking the role of the other” atau mengambil peran orang lain, salah satu konsep penting dalam teori interaksi simbolik (Hewitt, 1991).

William James (1842-1910) (dalam Denzin, 1992) secara khusus mempelajari hubungan antara mind and body. Menurut James apa yang dilakukan manusia, sebagian besar diyakini lahir dari kesadaran yang reflektif (reflective consciousness). Bagi James, kesadaran merupakan tema utama yang harus dipelajari oleh psikologi. Dua konsep lain yang dikemukakan oleh James adalah diri-pribadi (self) dan realita.

Diri-pribadi diakui sebagai pusat kesadaran manusia, terdiri atas “I” dan

“Me” (“Aku” dan “Diriku”), masing-masing mewakili subyek dan obyek individu. Tiap manusia sesungguhnya memiliki banyak diri-pribadi: sebagai suami atau istri di rumah, sebagai pendidik di sekolah, sebagai anggota masyarakat dan lain-lain. Konsep “Aku” dan “Diriku” kemudian dikembangkan oleh Mead dalam teorinya interaksi simbolik (Denzin, 1992).

(36)

itu. Konsep Dewey kemudian menjadi salah satu asumsi dasar teori interaksi simbolik (Lesmana,2001)

2.3.2 Pemikiran George H. Mead terhadap Perspektif Interaksi Simbolik

George Herbert Mead (1863 – 1931) diakui sebagai “Bapak interaksi simbolik”. Mead belajar ilmu filsafat dan psikologi di Universitas Harvard pada 1887. Disini Ia berkenalan dengan William James yang ketika itu telah menjadi guru besar. Mead bahkan tinggal beberapa waktu lamanya di rumah James serta memberikan tutoring pada anaknya. Gelar doctor dalam ilmu physiological psychology diperolehnya dari universitas Berlin pada 1891. setelah itu Mead mengajar di Universitas Michigan, An Arbor.

Di Universitas tersebut, Ia berkenalan dengan Jhon Dewey. Hubungan kerja antara kedua filosof ini sangat erat. Mead mengaku banyak ajaran Dewey yang mempengaruhi pandangannya tentang individu dan masyarakat. Sebaliknya Dewey sangat kagum atas pemikiran-pemikiran Mead. Ketika Dewey diminta menjadi ketua Departemen Filsafat Universitas Chicago, Ia pun mengajukan satu syarat, yaitu diperbolehkan membawa Mead. Maka pada tahun 1894 Mead pindah ke Universitas Chicago dan bekerja sebagai asisten Dewey. Ia mengajar Filsafat pada Universitas tersebut hingga akhir hayatnya pada 1931.

Mead tidak pernah menyebut ajarannya dengan istilah “interaksi simbolik”. Adalah Herbert Blumer, salah seorang murid Mead, yang pertama kali pada 1937 memperkenalkan istilah “interaksi simbolik” pada tulisannya Man and Society yang merupakan salah satu bab dalam buku Emerson Schmid. Man and Socity terbit tiga tahun setelah buku klasik Mead berjudul Mind, Self and Society beredar. Buku tersebut sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah dan ceramah Mead ketika ia mengajar di Universitas Chicago. Bahan-bahan kuliahnya itulah yang secara sistematis kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.

(37)

pengantar oleh Anselm Strauss, yang juga seorang interaksionis. Dalam ulasannya Strauss juga menyatakan bahwa Mead sesungguhnya tidak pernah menulis satu buku pun sepanjang hidupnya. Buku-bukunya yang diterbitkan setelah Ia meninggal diambil dari artikel-artikelnya yang berjumlah lebih dari 80 judul (Wallace dan Wolf,

dalam Lesmana, 2001).

George Herbert Blumer, seperti dikutip oleh Fine (1990), membedakan tiga pendekatan dalam psikologi sosial. Pertama, pendekatan yang menggunakan insting manusia dan ajaran evolusi Darwin. Kedua, pendekatan yang menitik beratkan refleksi seperti yang terdapat di dalam tulisan-tulisan para penganut psikolog behavioristik, antara lain Jhon Watson. Ketiga, sintesa dari kedua pendekatan yang menurut pengakuan Blumer didasarkan atas karya-karya gurunya, yaitu Mead.

“Psikologi Darwin’” berpandangan bahwa emosi adalah keadaan psikologis, keadaan kesadaran individu, a state of consciousness, yang tidak dapat diformulasikan dalam bentuk sikap atau perilaku. Emosi secara instink sudah ada pada diri seseorang. Memang sikap adakalanya merefleksikan emosi seseorang, namun tanpa sikap dan perilaku yang mendukung, emosi tetap ada dalam diri seseorang, sebab emosi mencerminkan a state of consciousness. Dengan demikian psikologi sosial Darwin, menurut Mead, hampir identik dengan psikologi individu. Perilaku individu dipahami sebagai the inner state dari individu yang bersangkutan (Fine,1990).

Para penganut behavioristik mengoreksi psikologi Darwin dengan pendekatan perilaku. Pemahaman atas individu diyakini bersumber pada pemahaman terhadap perilaku atau tindakan serta stimuli lingkungan yang mendorong lahirnya perilaku tersebut. Jhon Watson mengatakan, “behavior is learned”, dan Ia mencoba megungkap hukum-hukum yang mengatur perilaku sebagai reaksi atas stimuli (Hewitt, 1991).

(38)

dikatakan tidak pernah statis, tetapi mengalami perubahan terus menerus. Individu dan perilakunya senantiasa dalam proses “menjadi” (becoming), tidak pernah dalam keadaan “jadi” (become) (Hewit, 1991).

Perbedaan pokok lain antara behaviorisme Watson dan behaviorisme Mead ialah pengakuan Mead tentang adanya komponen perilaku yang tidak kalah penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead minded behavior yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi oleh orang lain. Bahkan aktifitas mind dan juga self, kemudian mendapat fokus yang lebih khusus lagi dalam pemaparan Mead tentang teori interaksi simbolik (Hewitt, 1991).

Kedua buku Mead, Mind, self and Society dan George Herbert Mead on Social Psycology banyak mempengaruhi karya Blumer (1969) yang berjudul

Symbolic Interactionism Perspective and Methode. Jika orang berbicara tentang teori interaksi simbolik, maka salah satu acuan utamanya adalah buku Blumer yang satu ini. Dalam buku tersebut Blummer memaparkan secara komprehensif teori interaksi simbolik, termasuk aspek metodologisnya (Charon, 1998).

Setelah Blumer, teori interaksi simbolik dikembangkan terus, antara lain melalui karya-karya Manford H. Khun (teori Diri-Pribadi, Self Theory), Erving Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss, Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E. Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon. Interaksi simbolik kemudian juga memberi inspirsasi bagi lahirnya perspektif-perspektif lain dalam sosiologi yang masih “sendirian”, seperti teori label, dramaturgi Ervin Goffman dan etnomethodologi Harold Garfinkel (Charon, 1998).

(39)

Pasca-modern juga menolak apa yang disebut obdurate (realitas eksternal yang tidak terbantahkan (Lesmana, 2001).

Fine (1990) secara tegas mengemukakan “Institution partly determine behavior,” bahwa perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh institusi tempat ia berada. Sedang Denzin (1992) berpendapat “ aparatus budaya” ikut mempengaruhi tindakan individu. Bahkan Gofman, menurut Fine (1990), akhirnya bergeser dari dari seorang interaksionis menjadi strukturalis ketika ia mengemukakan “structure underlies all interactions.”

Charon (1998) percaya bahwa struktur yang dimaksud dalam pernyataan Goffman bukanlah “solid structure being handed down to us,” melainkan kualitas struktur yang ada pada proses interaksi sosial. Pendapat Goffman mungkin saja berlebihan oleh kaum interaksionis, namun pendapat interaksionis-awal bahwa individu bebas dalam menentukan segala tindakannya kiranya tidak lagi menjadi pandangan resmi teori interaksi simbolik.

2.3.3 Pandangan Interaksi Simbolik Tentang Diri

Secara analitik, Mead membedakan diri pribadi antara “I” dan “Me”

(diterjemahkan: Aku dan Diriku). Perbedaan analitik ini sekaligus menunjukan bahwa diri-pribadi bisa dilihat sebagai suatu proses, disamping sebagai obyek. Sebagaimana diketahui suatu tindakan biasanya berawal ketika terjadi gangguan terhadap lingkungan eksternal individu. Terhadap gangguan itu, individu cendrung untuk secepatnya memberikan reaksi. Jika telepon tiba-tiba berdering, atau suatu suara keras di luar rumah, atau apa yang dikatakan oleh seseorang dinilai kurang jelas, ia tergerak untuk memberikan reaksi. Namun setelah reaksi diberikan, individu cendrung untuk mengevaluasi apa yang dilakukannya melalui minded-activity

(Lesmana, 2001)

(40)

tahap evaluasi, individu memikirkan kembali apa yang dilakukannya. Hasilnya bisa berupa kesadaran atau kekeliruan yang dilakukannya, bahkan bisa berupa kecaman terhadap diri sendiri, tapi bisa juga penguatan karena keyakinan bahwa yang dilakukannya memang benar. “Aku” mewakili aspek tindakan yang bersifat spontan dan impulsif ; sedangkan “Diriku” mewakili aspek evaluatif dari tindakan.

Menurut Mead, “Aku” mewakili kecendrungan individu yang tidak terarah, individu yang penuh dorongan. “Diriku” mewakili pandangan atau penilaian orang lain terhadap “aku.” Aku sebagaimana dilihat dan diharapkan oleh orang lain, itulah ‘Diriku’. Hal ini berarti, ketika individu mengevaluasi tindakannya, norma-norma yang berlaku di lingkungannya dan perspektif kelompok referensi (reference group) dijadikan acuannya. “Diriku” mengarahkan, sekaligus mengevaluasi, tindakan “Aku”, agar menjadi sasaran dan konform pada norma-norma yang berlaku. Dalam konteks ini, “Diriku” merupakan representasi dari wujud sosial (Lesmana, 2001).

Maka diri-pribadi (self) sekaligus subyek dan obyek. “Aku” dan “Diriku” tidak henti-hentinya saling berganti posisi dalam proses interaksi-diri ( self-interaction). Pada suatu saat individu bertindak sebagai “aku,” memberikan reaksi pada obyek dan situasi yang dihadapinya. Pada saat lain, reaksi menjadi bagian dari masa lalu, sekaligus bagian dari “Diriku.” Karena reaksi menjadi obyek yang sudah lalu, individu bisa memanfaatkannya untuk bahan renungan.

Seorang ibu yang memarahi anaknya yang dinilai nakal. Ia bertindak sebagai “Aku”. Setelah itu, setelah merenungkan apa yang baru saja dilakukannya, sang ibu mungkin menyesal. Mungkin ia menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anaknya terlalu berat. Pada saat itu, sang ibu bertindak sebagai “Diriku”; amarahnya kepada anak menjadi obyek renungan. Dalam interaksi-pribadi yang dilakukannya, ibu sebagai “Diriku” menegur ibu sebagai “Aku,” sekaligus mengoreksi tindakan “Aku” (Lesmana, 2001).

Sebagai suatu proses sosial, self (diri-pribadi) mempunyai dua makna, pertama; ia terus menerus terlibat dalam dialog antara “Aku” dan “Diriku,”

(41)

others. Kesadaran bahwa “aku pemalas”, “aku enerjik,” atau “aku pemboros,” sebagiannya karena pengalaman interaksi sosial “Aku” dengan individu lain yang kemudian direfleksikan lagi dalam self-interaction” (Mead, 1967 dalam Lesmana 2001).

Karena diri-pribadi terutama dibentuk oleh interaksi sosial yang dilakukan seseorang, dengan siapa ia berinteraksi menjadi sangat menentukan. Mead dalam hal ini memakai istilah “the sigificant other,” orang-orang yang mempunyai arti penting, yang dihormati atau menjadi panutan bagi individu dalam hal tertentu (Charon, 1998). Istilah yang dipakai oleh Shibutani (1995) (dalam Lesmana, 2001) adalah

reference group. Masyarakat atau kelompok referensi berfungsi sebagai acuannya untuk bertindak.

2.3.4 Interaksi Simbolik, Inti Pandangannya

Profesor Joel M, Charon (1998), seorang interaksionis lulusan Universitas Minnesota, yang kini menjadi ketua Departemen Sosiologi Moorhead State University (Minnesota), memaparkan inti pandangan teori interaksi simbolik sebagai berikut:

(1) Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada hakekat dan dinamika interaksi yang terjadi antar manusia.

(2) Tindakan manusia (human action) dipengaruhi oleh interaksi sosial dan interaksinya dengan dirinya sendiri (self interaction).

(3) Sebelum melakukan tindakan, manusia terlebih dahulu merumuskan situasi (define the situation) lingkungan yang dihadapinya.

(4) Kejadian masa lalu dapat mempengaruhi kejadian saat ini, harapan dan tujuan juga dapat mempengaruhi tindakan saat ini. Namun keputusan yang diambil seseorang selalu didasarkan atas analisis dan rumusan terhadap situasi rill yang dihadapinya saat ini.

(42)

Menurut Blommer dan Spradly dalam Endraswara (2001) ada beberapa premis dasar interaksi simbolik; pertama manusia melakukan berbagai hal atas makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Kedua makna berbagai hal itu berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga,

makna ditangani atau dimodifikasi melalui satu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam berbagai hal yang dia hadapi.

Di samping tiga premis dasar di atas, Muhajir dalam Endraswara (2001) menambahkan tujuh proposisi,yaitu :

(1) Perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang mengejala, (2) Kemaknaan manusia dicari sumbernya kedalam interaksi sosial,

(3) Manusia itu merumuskan proses yang berkembang secara holistik, tidak terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga,

(4) Pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, dan maksud, bukan berdasarkan mekanik,

(5) Konsep mental manusia berkembang secara dialektik,

(6) Perilaku manusia itu wajar, kreatif dan konstruktif, bukan elementer-reaktif, (7) Perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan

intuitif untuk menangkap makna.

2.3.5 Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik

Beberapa tokoh interaksionisme simbolik merumuskan beberapa prinsip dasar teori ini, yang meliputi ;

(1) Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir (2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial

(3) Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka

(43)

(5) Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi

(6) Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampua mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan, dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu diantara serangkaian peluang itu.

(7) Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer & Goodman, 2007).

Kapasitas Berpikir

Salah satu konsep dasar mengenai interaksi simbolik adalah apa yang disebut oleh George Herbert Mead (Charon, 1998) sebagai “mind, self and socity.” Mind

didefinisikan sebagai the ability (of the invidual) to indicate to one’s self the response that one’s gestures indicates to others.” Mind juga dinamakan “reflecting thinking” memungkinkan individu untuk berhenti sejenak dan menunda respons kepada stimuli. Proses mental itu bertujuan untuk mengorganisir dan mengontrol respons individu kepada stimuli.

Mead menjelaskan komponen perilaku yang penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead sebagai minded behavior, yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi. Intra-komunikasi dalam diri individu dimungkinkan karena tiap-tiap individu memiliki self (diri-pribadi). Self merupakan bagian dari lingkungan yang menjadi obyek perbuatan seseorang. Manusia pun bisa menilai perbuatannya, atau marah terhadap diri sendiri, menyesali tindakan sendiri atau mengakui bahwa perbuatannya salah. Singkat kata ia bisa mengenal diri sendiri (make indication to himself). Bahkan ia bisa berdialog dengan diri sendiri yang dinamakan self-interaction

(44)

Intra-komunikasi menurut Mead, tidak berbeda dengan proses berkomunikasi dengan orang lain. Hanya saja, intra-komunikasi berlangsung dalam diri sendiri, sehinggga orang lain tidak dapat memahaminya, namun Mead menolak tudingan psikologi behavioristik yang mengatakan bahwa kegiatan berpikir tidak dapat diobservasi. Menurut Mead, apa yang dipikirkan seseorang bisa saja dituturkan kepada orang lain, sehingga dapat diobservasi.

Mead menamakan covert behavior (perilaku tersembunyi atau tidak kasat mata) dan overt behavior (perilaku lahiriah atau kasat mata). Masing-masing untuk aktifitas berpikir dan bentuk tindakan (perilaku) yang dihasilkannya. Masalah perilaku tidak kasat mata sama sekali tidak disinggung dalam psikologi behavioristik yang sering juga disebut psikologi obyektif, padahal proses berpikir menjadi kualitas paling esensial bagi manusia. Mead percaya bahwa pengingkaran atas eksisitensinya sama dengan mengidentifikasikan manusia dengan benda mati (Charon, 1998).

Teori interaksi simbolik memusatkan perhatian terutama pada makna dan simbol dari tindakan dan interaksi manusia. Perilaku tersembunyi atau proses berpikir melibatkan simbol dan makna. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku tidak melibatkan perilaku tersembunyi (karena kebiasaan atau tanggapan tanpa pikir terhadap rangsangan eksternal). Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku itu (Ritzer & Goodman, 2007).

Teori interaksiaksionisme simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan sebagai proses yang berkelanjutan. Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri merupakan bagian dari proses yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran, menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat (Ritzer, dan Goodman, 2007)

(45)

yakni sosialisasi. Kemamapuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa. Sosialisasi adalah proses dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia itu sendiri. Sosialisasi bukanlah semata-mata proses atau arah dimana aktor menerima informasi, tetapi aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Manis &Melzer, dalam Ritzer & Goodman, 2007).

Interaksi

Interaksi berarti aksi atau tindakan seseorang yang senantiasa memper-hatikan aksi atau tindakan orang lain yang ditujukan kepadanya, action that takes account one other (Charon,1998), atau seperti yang dikatakan oleh George Simmel

dalam Lesmana (2001), action which is mutually determined. Interaksi berarti seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia pun senantiasa mempengaruhi orang lain. Interaksi juga berarti tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan orang lain yang ditujukan terhadapnya didalam situasi tertentu. Ini berarti individu juga senantiasa memperhatikan dan menginterpretasikan tindakan mitra interaksinya sebelum bertindak (Lesmana, 2001).

Interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi tidak hanya interaksi selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain, dan interaksi simbolik memerlukan proses mental itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Ritzer dan Goodman 2007).

(46)

Jhon Dewey mengemukakan bahwa ”meaning arise through communication.”

George Herbert Mead kemudian memperjelas pendapat Dewey dengan mengatakan; ” meaning is content of an object which is dependent upon the relation of an organism or group of organism to it.” Dewey menggunakan istilah “communication” sedangkan Mead menggunakan istilah “relation.” Keduanya sama-sama menunjukan mutlaknya interaksi sosial untuk terbentuknya sebuah makna obyek. Pemahaman individu atas makna timbul dari interaksinya dengan lingkungan fisik dan sosial. Interaksi mengandung arti bahwa para pelaku memperhatikan satu sama lain dan senantiasa saling menginterpretasikan pesan yang disampaikan (Lesmana, 2001).

Ballis-Lal dalam Lesmana (2001) menjelaskan bahwa tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan mitra-interaksinya melalui proses interpretasi. Langkah yang diambil seorang aktor bergantung pada langkah yang diambil atau akan diambil oleh aktor lain. Itulah yang dimaksud dengan interdependensi antar-interaktan.

Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan (the generalized other), istilah yang dipergunakan oleh Mead yang perlu diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial. Dikatakan oleh Mead “the matured self arises when a generalized other is internalized so that the community

exercise control over the conduct of its individual members.” Hanya dengan menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang matang (Charon, 1998).

(47)

Simbol

Teoritisi interaksi simbolik membayangkan bahasa sebagai sistem simbol yang sangat luas. Kata-kata adalah simbol karena digunakan untuk menggantikan sesuatu yang lain. Kata-kata membuat seluruh simbol yang lain menjadi tepat. Tindakan obyek, dan kata-kata lain eksis dan hanya mempunyai makna karena telah dan dapat dideskripsikan melalui penggunaan kata-kata (Ritzer & Goodman, 2007).

Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang untuk bertindak menurut cara-cara khas yang dilakukan manusia. Karena simbol, manusia tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan dirinya sendiri, tetapi secara aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan (Charon, 1998).

Ritzer dan Goodman (2007) menambahkan kegunaan umum dari simbol dan bahasa, khususnya yang mempunyai sejumlah fungsi bagi aktor :

1. Simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial yang memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan dan mengingat obyek yang mereka jumpai di situ. Dengan cara ini manusia mampu menata kehidupan, agar tidak membingungkan. Bahasa memungkinkan orang mengatakan, menggolongkan dan terutama mengingat secara lebih efisien ketimbang yang dapat mereka lakukan dengan menggunakan jenis simbol lain seperti kesan bergambar.

2. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Dari pada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian lingkungan tertentu ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain.

(48)

4. Simbol meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah, kemampuan ini mengurangi peluang berbuat kesalahan yang merugikan

5. Simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan kehidupan seperti apa dimasa lalu, atau kemungkinan hidup dimasa depan. Lagi pula, aktor dapat secara simbolik mendahului pribadi mereka sendiri dan membayangkan seperti apa kehidupan ini dilihat dari sudut pandang orang lain. Inilah konsep teoritis interaksinisme simbolik yang terkenal: mengambil peran orang lain.

6. Simbol memungkinkan orang untuk membayangkan realitas metafisik seperti surga dan neraka.

7. Simbol memungkinkan orang menghindari diperbudak oleh lingkungan mereka. Mereka dapat lebih aktif – mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka kerjakan.

Makna

Makna bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Manusia mempelajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial. Manusia menanggapi simbol dengan cara berpikir. Tanda-tanda mempunyai artinya sendiri. Simbol adalah obyek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau menggantikan) apapun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan (Charon, 1998).

Obyek sosial diartikan sebagai “anything that becomes involved in a social interaction” (Shibutani dalam Lesmana 2001). Jangkauan obyek sosial amat luas, termasuk juga diri (self) ketika terjadi proses intra-komunikasi atau proses berdialog dengan diri sendiri. Obyek diyakini tidak memiliki makna apa-apa. Manusialah yang memberikan makna tertentu pada obyek yang dijumpainya. Obyek-obyek yang dimaksud bisa berbentuk fisik (benda mati, lingkungan), orang, peristiwa atau yang bersifat abstrak seperti gagasan dan ideologi.

(49)

ketika seseorang memikirkan seekor kuda, apa yang dirasakan ketika ia membayangkan sebuah ujian yang sulit, apa yang dinginkan ketika berkhayal menjadi orang kaya. Makna berfungsi menjembatani individu ketika ia berpikir, merasa dan menginginkan sesuatu, dengan obyeknya (Lesmana, 2001).

Berdasarkan pengertian obyek sosial tersebut, interaksi simbolik mengajukan tiga asumsi dasar yang berkaitan dengan itu, yaitu; Pertama, manusia bertindak terhadap suatu obyek berdasarkan pemahaman makna obyek tersebut bagi dirinya, atau berdasarkan definisi situasi tempat obyek tersebut berada. Kedua, makna obyek, atau definisi situasi obyek terbentuk oleh interaksi sosial, khususnya interaksi dengan

significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting untuk dijadikan referensi untuk satu masalah tertentu. Ketiga, makna obyek tidak konstan, tetapi dapat berubah dari waktu ke waktu melalui proses interpretasi, proses pemahaman kembali makna dan pemahaman kembali situasi (Charon, 1998).

Definisi Situasi

Analisis dan pemahaman situasi dalam teori interaksi simbolik dinamakan “definisi situasi.” Menurut Charon (1998), humans do not sense their environment directly but instead define their situation as they go along in their action.” Manusia bertindak menurut hasil rumusan situasi yang dibuatnya. Aktor memberikan respons kepada setiap sinyal (cues) yang dijumpai, menganalisisnya dalam definisi situasi, dan bertindak atas dasar konstruksi definisi tersebut.

Definisi situasi adalah hasil dari proses eksplorasi untuk mengetahui segala opsi perilaku yang ada dalam situasi tertentu, serta tindakan yang perlu diambil dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Definisi situasi bersifat kognitif, menyangkut pengetahuan mengenai posisi seseorang di dalam waktu dan ruang yang dapat membatasi cara dan pilihan untuk bertindak (Hewit, 1991).

Gambar

Gambar 1. Model “AKSI” Charon  (1998)
Gambar 3. Proses analisis data
Gambar 4. Fenomena Simbolik Budaya “Kekeluargaan” di KemChicks
Tabel 3  Definisi situasi diri dalam pembentukan jiwa kewirausahaan pengelola
+7

Referensi

Dokumen terkait