• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai dokumen yang diterbitkan Gereja Katolik Indonesia menyebutkan pentingnya peran umat dalam mengembangkan pelayanan kedermawanan sosial. Penekanan ini dilatarbelakangi oleh beban reksa pastoral jika hanya mengandalkan para rohaniwan/wati dalam melakukan pelayanan karena perbandingan antara jumlah rohaniwan/wati dengan jumlah umat selalu terdapat diskrepansi. Oleh karena itu Gereja Katolik Indonesia mendorong tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok pelayanan kedermawanan sosial dari umat. Kelompok-kelompok pelayanan Gereja Katolik Indonesia terdiri dari kelompok parokial dan kelompok kategorial yang tercakup dalam istilah kelompok basis. Komunitas basis dapat dipahami sebagai "satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala

untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci"

Kelompok parokial terintegrasi ke dalam struktur organisasi gereja setempat yang disebut dengan Komisi atau Seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Sebelum dilakukan restrukturisasi organisasi Gereja Katolik Indonesia, bagian ini bernama Seksi Sosial Paroki

(SSP). Perubahan itu berkenaan dengan ingin dihilangkan kesan “pemberi”. Gereja Katolik Indonesia tidak lagi hanya menjadi “pemberi” melainkan juga ingin aktif dalam mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi umat maupun lingkungan sekitarnya. Seksi PSE merupakan implementator kebijakan aksi kedermawanan sosial keuskupan di tingkat paling bawah. Untuk dapat menjangkau para anggota masyarakat baik Katolik maupun non-Katolik, paroki dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan. Kepengurusan seksi PSE ini dipilih dan diangkat dari para pengurus di tingkat wilayah atau lingkungan suatu paroki.

Kelompok kategorial merupakan perkumpulan umat Katolik yang bergerak dibidang kedermawanan sosial untuk masyarakat yang lebih luas berdasarkan kekhususan para anggotanya. Kekhususan tersebut dapat didasarkan pada profesi, bidang keahlian, gender, atau bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan kepada orang jompo, cacat, atau orang-orang terlantar. Organisasi ini mempunyai otonomi relatif dari hirarki Gereja Katolik setempat namun demikian tetap memperoleh pendampingan (bukan pengawasan) dari keuskupan. Pendampingan ditujukan agar umat selalu memperhatikan pertimbangan etis dan nilai-nilai universal iman Katolik dalam berkarya di masyarakat, termasuk ketika melakukan kegiatan kedermawanan sosial.

Pada kegiatan kedermawanan sosial tingkat keuskupan atau nasional, kelompok parokial dan kategorial diajak untuk aktif mengimplementasikan tema program yang telah digariskan. Keduanya membagi peran baik sebagai kelompok pendukung (supporting group) ataupun sebagai kordinator kegiatan dengan pengawasan oleh dewan paroki. Sementara diluar momen-momen khusus seperti disebutkan, kelompok-kelompok kategorial bergerak secara mandiri di luar struktur gereja.

Relasi antar kedua kelompok tidak selalu harmonis namun juga terkadang disertai dengan ketegangan hubungan. Ketegangan itu mungkin terjadi jika aksi kedermawanan sosial menyangkut tentang pilihan metode pelayanan antara pemberian bantuan cuma-cuma atau pemberdayaan, bentuk kegiatan yang tepat bagi masyarakat, dan batas-batas kewenangan masing-masing kelompok. Melalui ketegangan itulah kemungkinan-kemungkinan pembaruan baik dalam hal metode maupun bentuk kedermawanan sosial bisa didapatkan. Di sisi lain, ketegangan yang mewarnai kerjasama itu juga merefleksikan belum maksimalnya kemampuan kelompok basis dalam mengelola sumber daya bersama.

Aksi kedermawanan sosial Katolik kelompok parokial maupun kategorial di lingkungan KAJ dan KAS mempunyai perbedaan. Dari segi potensi sumber dayanya, pertama seksi PSE di KAJ dan KAS mendapatkan dan mempunyai alokasi finansial yang lebih ajeg dibanding kelompok kategorial. Namun kekuatan dari kelompok kategorial adalah kapasitas

social capital dan keahlian yang dimiliki oleh individu anggota kelompok kategorial dalam

menjangkau sumber-sumber daya non-finansial namun bernilai secara ekonomis di berbagai organisasi masyarakat melalui jaringan sosial. Kedua, aspek organisasi, PSE paroki mempunyai seksi sosial wilayah atau lingkungan--organ terendah seksi PSE--yang dapat dimobilisasi dalam proses pengumpulan dana maupun penyebarluasan pelayanan aksi kedermawanan. Sementara kelompok kategorial sampai pada tingkatan paroki, tidak sampai tingkat wilayah atau lingkungan.

Dari segi bentuk kegiatan tidak nampak perbedaan yang tegas antara kelompok parokial dan kategorial. Keduanya melakukan berbagai jenis kegiatan mulai dari kegiatan yang bersifat karitatif hingga pemberdayaan. Kegiatan karitatif yang dominan dan rutin biasanya berupa pelayanan kesehatan gratis serta pembagian barang-barang natura untuk kebutuhan hidup. Sementara kegiatan atau program pemberdayaan umumnya lebih sering dan dominan dilakukan oleh kelompok kategorial, khususnya dari kelompok profesi. Namun satu hal yang berbeda yaitu Seksi PSE Paroki mempunyai program kredit mikro dan santunan kematian bagi umat sementara kelompok kategorial tidak mempunyai program semacam itu. Pada hasil sidang Sinodal KWI November 2006 lalu diputuskan bahwa kondisi masalah sosio-ekonomi bangsa mendorong Gereja Katolik Indonesia untuk memberi tanggapan pastoralnya dengan mencanangkan betapa penting Gerakan Sosio-Ekonomi dilakukan oleh segenap umat Katolik. Hasil sidang itu memandang bahwa Credit Union merupakan salah satu sarana yang dinilai dapat memajukan perekonomian rakyat secara luas.

Bentuk kegiatan karitatif Seksi PSE yang setahun sekali diprakarsai oleh keuskupan adalah Aksi Peduli Sesama (APS). Pelaksanaan program karitatif ini dilakukan seiring dengan Hari Pangan Sedunia. APS bukan merupakan program yang dikerjakan hanya oleh Seksi PSE paroki saja tetapi juga oleh yayasan-yayasan yang didirikan oleh keuskupan seperti Lembaga Daya Dharma milik KAJ dan Yayasan Sosial Soegijapranata milik KAS.

Sebelum melakukan pelayanan kepada masyarakat umum, sosialisasi atas program merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kedermawanan sosial Katolik. Sosialiasi internal dilakukan untuk memobilisasi sumber daya umat yang mau terlibat dalam program. Sosialisasi eksternal dimaksudkan untuk menghimpun kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas yang dituju untuk bersama-sama melaksanakan program. Program dikatakan berhasil jika aksi kedermawanan sosial itu tidak menemui resistensi yang berarti dari komunitas yang dituju, adanya partisipasi kerja bersama dari kedua belah pihak, dan dihargainya posisi iman dan kemanusiaan masing-masing pihak.

Umat Katolik di KAJ yang terlibat di dalam aksi kedermawanan sosial bisa dikatakan merupakan bagian dari kelompok masyarakat kelas menengah perkotaan. Ciri sosiologis ini sedikit banyak turut mempengaruhi bentuk dan metode aksi kedermawanan sosial. Kesibukan sehari-hari umat membuat mereka tidak banyak turut terlibat dalam tiap aksi sehingga hanya orang-orang yang itu-itu saja yang aktif. Posisi sosial pengurus lembaga di gereja yang ditemui kebanyakan terdiri dari orang-orang yang secara ekonomi berkecukupan. Ada semacam perasaan bahwa kegiatan karitatif saja sudah cukup karena sudah merasa memberi dari kelebihan yang dimilikinya alih-alih melakukan program pemberdayaan strategis yang berkelanjutan.

Situasi di atas cukup berbeda dengan yang nampak di lingkungan KAS, terutama pasca-gempa Jogja-Klaten. Proses tanggap bencana dan rehabilitasi mendorong umat untuk terlibat aktif di lingkungan sekitarnya. Banyak laporan yang menyebutkan tindakan-tindakan altruistik umat yang mengabaikan kepentingannya sendiri demi membantu korban bencana. Umat Katolik yang menjadi korban bencana alam merasakan dan berefleksi bahwa tempat dimana orang hidup berdekatan dengan penderitaan kematian bisa melantunkan banyak teladan tentang solidaritas, cinta, dan harapan. Bencana dinilai telah mendidik mereka untuk lebih menaruh perhatian kepada lingkungan sekitar sambil bahu membahu menata kembali kehidupan sosial dan imannya. Di sini para korban bukan tidak dapat menjadi pelaku kedermawanan sosial melainkan juga dapat memberi dari kekurangan yang dimiliki.

Faktor lain penentu keberhasilan kedermawanan sosial Katolik adalah kapasitas pendataan komunitas penerima pelayanan yang tertata. Di kelompok parokial, fungsi pendataan itu dijalankan oleh Seksi PSE dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan. Data-data kemudian ditampung di paroki dan diklasifikasi berdasarkan kebutuhan pelayanan yang diminta. Data yang diperoleh kemudian diuji-silang dengan memeriksa ke ketua-ketua lingkungan yang bersangkutan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya (assesment). Selain uji-silang kepada ketua lingkungan, seksi PSE biasanya juga melakukan uji-silang dengan ketua RT/RW setempat. Kelompok kategorial seringkali juga memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh seksi PSE paroki. Namun untuk kegiatan kedermawanan yang khas kelompok seperti pemberdayaan biasanya data diperoleh dari hasil pemetaan oleh kelompok itu sendiri. Disamping itu, kerja sama juga dijalin oleh kedua kelompok ini dengan organisasi-organisasi lain seperti pemerintahan setempat. Cara seperti itu dinilai menunjukan niat baik bekerjasama dan menghormati keberadaan pemerintahan di tingkat lokal, sehingga kedepannya hubungan yang baik itu bisa menjadi kerjasama antara gereja dan negara untuk memajukan masyarakat.

Dokumen terkait