• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil uji lanjut Duncan reduksi oksalat talas Banten

Means with the same letter are not significantly different. Duncan

Grouping Mean N lama

A 5709.7 4 30 B 3637.1 4 60 C 2582.4 4 90 C C 2204.3 4 120 D 1112.5 4 150

KARAKTERISASI DAN PENGARUH NaCl TERHADAP

KANDUNGAN OKSALAT DALAM PEMBUATAN TEPUNG

TALAS BANTEN

SKRIPSI

EKA MARLIANA

F34062338

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

CHARACTERIZATION AND THE INFLUENCE OF NaCl CONTENT

OF MAKE FLOUR OXALATE IN BANTEN TARO

Sugiarto, Sulusi Prabawati, and Eka Marliana

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone 62 856 8472165, e-mail : ekamarliana_88@yahoo.com

ABSTRACT

Banten Taro (Xanthosoma undipes K. Koch) is a type of taro, which wildly grows in Juhut, Pandeglang. This plant has not grown as a result of the lack of information on benefits and applications. In addition, not known the exact time of the harvest in Banten taro plants. Banten taro can use food as a way to achieve diversification. However, the constraints faced by Banten taro high enough oxalate content so that it can itch when consumed. The purpose of this study was investigated the characteristics of Banten taro on a variety of harvest and reduce the content of oxalate by immersion in NaCl solution in different concentrations solutions and time. Banten taro at the age of 8 months is adequate conditions for harvest. To qualify as a novel food ingredient, oxalate in Banten taro content should be reduced. One of them by immersion with NaCl solution. Reduction of oxalate are taro immersion best deals with solution 10% NaCl for 150 minutes. The content of oxalate in Banten taro up to 90.21% can be reduced.

Eka Marliana. F34062338. Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten. Di bawah bimbingan Sugiarto dan Sulusi Prabawati. 2011

RINGKASAN

Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) merupakan jenis talas yang berpotensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan di daerah Banten. Talas Banten ini belum dibudidayakan dan masih tergolong sebagai talas liar dengan ciri khasnya seperti batang yang memanjang di bawah tanah dan umbi yang muncul di sekitar batang serta bagian tanamannya menimbulkan rasa gatal apabila dikonsumsi. Senyawa penyebab gatal pada talas adalah oksalat yang dapat mengakibatkan batu oksalat atau batu ginjal apabila kadar oksalatnya tidak dikurangi.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik talas Banten pada berbagai umur panen dan menurunkan kandungan oksalat pada talas Banten dengan menggunakan perendaman dalam larutan NaCl dengan kondisi konsentrasi larutan dan waktu berbeda. Penelitian dilakukan di laboratorium kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor pada bulan Mei 2010 sampai Januari 2011.

Tahapan penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu karakterisasi bahan berdasarkan umur panen dan profil tanaman dengan analisis yang dilakukan adalah kadar air, rendemen tepung, kadar oksalat, dan kadar pati. Rancangan penelitian pertama menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor perlakuan adalah umur panen dan bagian batang. Penelitian kedua adalah reduksi kadar oksalat dengan menggunakan perendaman pada larutan NaCl 10% dan 5% dengan waktu rendam adalah 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Analisis yang dilakukan pada tahap reduksi kadar oksalat adalah kadar oksalat. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan dua faktor yaitu konsentrasi NaCl (petak utama) dan waktu perendaman (anak petak) yang digunakan dalam mereduksi kandungan oksalat pada talas Banten.

Kadar air pada batang pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 78.03; 78.30; 76.23; dan 77.40%. Sedangkan untuk kadar air tepung pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 5.92; 6.42; 5.89; dan 5.11%. Kadar oksalat pada talas dengan umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 8525.68; 7115.37; 5903; dan 7030.14 ppm. Kadar pati pada talas Banten pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 94.63; 96.36; 91.09; dan 93.49%. Hasil rendemen tepung yang didapat untuk tepung umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 21.5; 20.16; 24.39; dan 20.43%.

Reduksi oksalat merupakan upaya untuk menurunkan kadar oksalat pada talas Banten. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa waktu perendaman dan konsentrasi NaCl yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap reduksi oksalat. Selain itu, terdapat interaksi antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat talas pada selang kepercayaan 95%. Teknik reduksi oksalat yang terbaik ditemukan pada perendaman talas Banten dengan menggunakan larutan NaCl 10% selama 150 menit. Persentase penurunan reduksi oksalat yang terjadi sebanyak 90.21%.

I. PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Talas merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki ragam kultivar talas yang luar biasa banyaknya. Keanekaragaman talas ini dapat dilihat pada daerah–daerah pembudidayaan talas seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Irian Jaya saja pernah dilaporkan mempunyai 114 kultivar talas (1957), Biak dan Sorong sendiri memiliki 30 kultivar (1982) dan Kabupaten Jaya Wijaya 60 kultivar. Sementara itu, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong telah berhasil menginventarisasi dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan dari daerah pembudidayaan talas. Keanekaragaman varietas talas tersebut menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan ukuran batang, warna dan tekstur serta rasa daging batang, umur panen, dan lain-lain. Talas termasuk famili Araceae yang terdiri menjadi tiga genus yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia (Prana dan Kuswara, 2002).

Di Indonesia, talas yang sering dijumpai adalah Colocasia esculanta L. Schott yang lebih dikenal dengan sebutan talas Bogor. Jenis talas tersebut sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Namun, masih banyak varietas talas yang belum dibudidayakan dan masih tergolong sebagai talas liar dengan ciri khasnya seperti stolon yang panjang dan banyak, batang relatif besar, serta bagian tanamannya menimbulkan rasa gatal apabila dikonsumsi. Salah satu talas yang dimaksud adalah Xanthosoma undipes K. Koch yang dikenal dengan nama talas Banten.

Talas Banten adalah talas lokal khas dari Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten Pandeglang. Masyarakat lokal menyebut talas Banten dengan istilah beneng yang berasal dari kata “besar koneng” (bahasa Sunda) yang artinya besar kuning. Talas ini berukuran besar dan daging batangnya berwarna kuning. Batang talas yang sudah berumur 3 tahun bisa mencapai panjang 2 meter dengan diameter 15 cm, sebagian batang masuk ke dalam tanah dan sebagian lainnya berada di atas permukaan tanah (BPTP Banten, 2009). Sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik talas Banten sebagai bahan pangan. Padahal talas Banten dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai diversifikasi pangan.

Keunikan yang dimiliki oleh talas Banten adalah pemanfaatan batang yang dijadikan sebagai bahan pangan. Pada talas lain, yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah umbi talas tersebut. Perbedaan inilah yang menjadi daya tarik tersendiri yang dimiliki oleh talas Banten. Selain itu, talas Banten dapat tumbuh dengan baik tanpa pemeliharaan. Hal ini merupakan nilai penting dari talas Banten apabila dijadikan sebagai sumber pangan karena tidak memerlukan biaya dalam membudidayakannya. Namun menjadi permasalahan adalah belum adanya kepastian waktu yang baik untuk memanen talas Banten.

Kurangnya informasi mengenai talas Banten menjadikan talas Banten ini perlu dikarakterisasi sehingga dapat diketahui karakteristik talas Banten sebagai bahan acuan untuk pemanfaatannya menjadi sumber pangan bagi masyarakat. Kendala pengolahan talas sebagai bahan pangan adalah tingginya kandungan oksalat sehingga memerlukan penanganan agar kandungan oksalat pada talas dapat direduksi. Salah satu cara untuk mereduksi oksalat adalah dengan perendaman talas di dalam larutan NaCl. Perendaman talas dalam larutan NaCl dimaksudkan agar dapat menghilangkan rasa gatal akibat kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Dengan tereduksinya kandungan oksalat pada talas maka akan menghasilkan sumber pangan yang dapat dijadikan sebagai alternatif pangan Indonesia.

B.TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi talas Banten berdasarkan umur panen dan bagian batang, mendapatkan waktu pemanenan terbaik talas Banten, serta penentuan kondisi perendaman NaCl untuk mereduksi oksalat sehingga mendapatkan tepung talas rendah kandungan oksalat yang dapat digunakan dalam pembuatan aneka pangan olahan berbasis talas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.TALAS

Talas merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air. Talas merupakan tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia dari famili Araceae. Talas Banten tergolong dalam genus Xanthosoma. Taksonomi tumbuhan talas Banten adalah sebagai berikut (Prana dan Kuswara, 2002).

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Xanthosoma Spesies : undipes K.Koch

Talas merupakan salah satu tumbuhan yang lazim ditanam untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Tanaman ini berasal dari kawasan Asia Selatan (India, Bangladesh, China Selatan) dan Tenggara (Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia) (Prana dan Kuswara, 2002). Sebagai tanaman pangan, daun dan tangkai daunnya dapat digunakan sebagai sayuran, yaitu pada varietas yang tidak gatal. Talas seringkali dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan cukup (175–250 cm/tahun) serta memerlukan tanah yang subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21–27°C. Tanaman ini dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut namun tidak tahan terhadap temperatur sangat rendah (beku) (Minantyorini dan Hanarida, 2002).

Talas adalah tanaman herba dengan tinggi antara 0.5-1.5 m dan sebagian besar daunnya berbentuk peltatus, kecuali khusus yang tumbuh di Hawai daunnya berbentuk hastate. Panjang helai daun sekitar 30-80 cm dan lebar daun antara 20-50 cm. Panjang tangkai daun bervariasi tergantung genotipenya, antara < 30 cm-1.5 m. Ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ukuran maksimal daun biasanya terjadi saat awal muncul bunga dan setelah mendekati panen tangkai daun memendek dan helai daun mengecil (Minantyorini dan Hanarida, 2002).

Tanaman talas mempunyai toleransi tinggi terhadap keteduhan sehingga dapat ditanam secara tumpang sari yang dapat menguntungkan petani (Waluya, 2003). Di Indonesia, talas ditanam dalam berbagai pola budidaya, bisa sebagai tanaman tunggal (monokultur), tumpang sari atau tumpang gilir (Prana dan Kuswara, 2002).

Umur panen talas bervariasi tergantung kultivarnya. Ada kultivar yang genjah yang dapat dipanen pada umur sekitar 4 – 5 bulan, misalnya talas pare dan talas jahe. Namun ada pula kultivar yang tergolong berumur dalam (lambat) hingga waktu panennya bisa mencapai 8 bulan. Bila kultivar yang tergolong kelompok dalam ini dipelihara secara intensif, termasuk pengairannya, maka waktu panennya bahkan bisa ditunda sampai umur 10 – 12 bulan dengan bobot umbi yang tentu saja meningkat (Prana dan Kuswara, 2002).

Kebanyakan kultivar komersial dipanen sekitar umur 7 bulan. Pemanenan yang dilakukan lebih awal hasilnya jelas lebih sedikit dibandingkan yang dipanen belakangan. Akan tetapi penundaan pemanenan yang terlalu lama (lebih dari 8 bulan) berkemampuan mengurangi kualitas umbi, meskipun secara kuantitatif hasilnya bertambah (Prana dan Kuswara, 2002).

Pemanenan dilakukan dengan cara menggali umbi talas, lalu pohon talas dicabut dan pelepahnya di potong sepanjang 20 – 30 cm dari pangkal umbi serta akarnya dibuang dan umbinya di bersihkan dari tanah yang melekat. Masa panen talas perlu mendapat perhatian yang cermat sebab waktu panen yang tidak tepat akan menurunkan kualitas hasil. Panen yang terlalu cepat akan menghasilkan talas yang tidak kenyal dan pulen, sebaliknya jika panen terlambat akan menghasilkan umbi talas yang terlalu keras dan liat (BPTP Banten, 2009).

Talas merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat mengeluarkan getah berwarna putih seperti susu. Tanaman ini memiliki daun berbentuk perisai dan warna daun yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Pada setiap permukaan daun dan pelepah tanaman ini dilapisi oleh lapisan lilin untuk melindungi diri. Tanaman ini memiliki sistem perakaran yang relatif dangkal. Daya jangkau akar tanaman ini mencapai kedalaman 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Kulit umbi talas berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong melalui kegiatan eksplorasinya telah berhasil menginventarisasikan dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam (morfotipe) talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan terutama dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Lampung. Keanekaragaman ini menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, warna daun dan pelepah daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan warna serta ukuran pembungaan, bentuk dan ukuran umbi, warna dan tekstur serta daging umbi, umur panen, ketahanan terhadap hama/penyakit, ketahanan/toleransi terhadap kekeringan, dan lain-lain (Prana dan Kuswara, 2002).

Karakter talas lainnya terdapat batang di bawah tanah berupa cormus yang berpati dan besar. Bentuk dan ukuran cormus bervariasi tergantung dari genotipenya, macam bibit yang digunakan, faktor ekologi khususnya jenis tanah, dan ada tidaknya batuan. Cormus tipe taro daratan umumnya bulat atau sedikit memanjang, sementara yang tipe rawa/sawah umumnya sangat memanjang. Cormus terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kulit, korteks, dan daging. Kulit dapat halus, berserabut atau tertutup sisik. Serat pada daging sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi lingkungan. Untuk mengetahui bentuk cabang cormus talas yang dibedakan menjadi dua yaitu bercabang dan tidak bercabang dapat dilihat pada Gambar 1 (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Sedangkan karakterisasi bentuk cormus talas yang diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada Gambar 2 (Minantyorini dan Hanarida, 2002).

Keterangan gambar : 0 (tidak bercabang) dan 1 (bercabang) Gambar 1. Cabang cormus talas

Keterangan gambar : 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan bermuka banyak), 8 (tandan)

Gambar 2. Klasifikasi bentuk cormus talas (Minantyorini dan Hanarida, 2002)

Tabel 1. Daftar kandungan gizi talas dalam 100 g umbi, daun, dan tangkai daun talas

No. Kandungan Gizi

Bagian Tanaman

Umbi Daun Tangkai Daun

a b a b a 1. Kalori (cal.) 85.00 98.00 69.00 71.00 19.00 2. Protein (g) 2.50 1.90 4.40 4.10 0.20 3. Lemak (g) 0.20 0.20 1.80 2.10 0.20 4. Karbohidrat (g) 19.10 23.79 12.20 12.30 4.60 5. Serat (g) 0.40 - 3.40 - 0.60 6. Abu (g) 0.80 - 2.00 - 1.20 7. Kalsium (mg) 32.00 28.00 268.00 302.00 57.00 8. Fosfor (mg) 64.00 61.00 78.00 47.00 23.00 9. Zat besi (mg) 0.80 1.00 4.30 8.30 1.40 10. Natrium (mg) 700 - 11.00 - 5.00 11. Kalium (mg) 514.00 - 1237.00 - 367.00 12. Vitamin A (SI) - 20.00 20385.00 10395.00 335.00 13. Vitamin B1 (mg) 0.18 0.13 0.10 0.11 0.01 14. Vitamin B2 (mg) 0.04 - 0.33 - 0.02 15. Vitamin C (mg) 10.00 4.00 142.00 163.00 8.00 16. Niacin (mg) 0.90 - 2.00 - 0.20 17. Air (g) 77.50 73.00 79.60 79.40 93.80

18. Bag. Yg dapat dimakan (%) 81.00 85.00 55.00 80.00 84.00 a. Food and Nutrition Res. Center. Handbook I, Manila (1964) dalam Rukmana (1998)

b. Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (1998) c. a dan b dikutip dari Prana dan Kuswara (2002)

Komposisi kimia umbi talas bervariasi tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi.

Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin A, B1 (Thiamin) dan sedikit vitamin C. Umbi talas

memiliki kandungan mineral Ca, dan P yang cukup tinggi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Kandungan gizi pada talas dapat dilihat pada Tabel 1.

Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang baik, kandungan pati yang mudah dicerna, bebas gluten, kaya akan tiamin, niacin, riboflavin, dan vitamin C (Onayemi dan Nwigwe, 1978). Talas juga kaya akan getah yaitu mencapai 10.7% getah kasar. Getah tersebut diekstrak dari cormus dan umbi talas menggunakan air mendidih. Cormus

talas segar seberat 1 kg dapat menghasilkan 100 gram getah murni. Getah kasar dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan emulsifier. Pati talas juga baik digunakan sebagai bahan pengisi,

biodegradable polyethylene film, dan bahan pengganti lemak (Jane et al., 1992).

Komposisi talas yang rendah lemak dan natrium, bebas gluten dan laktosa, kaya kalsium, fosfor, vitamin B serta mudah dicerna membuat talas banyak digunakan sebagai makanan bayi di daerah Hawaii. Masyarakat daerah Pasifik, yaitu New Zealand dan Australia juga mengkonsumsi talas sebagai makanan pokok (Matthews, 2004).

B.TEPUNG TALAS

Tepung adalah hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian. Menurut Suismono et al. (2005), tahapan pembuatan tepung umbi-umbian yang lazim dilakukan baik pada skala industri rumah tangga maupun menengah dan besar adalah meliputi proses pengupasan, pencucian, penyawutan, pengeringan, dan penggilingan.

Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering atau dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan sinar matahari. Hal ini dikarenakan suhu pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat dan merata. Pada tahap pengeringan, selain mengalami perubahan fisik, produk mengalami perubahan kadar air dan komponen kimia lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi proses, metode proses, kondisi bahan, dan perlakuan pendahuluan. Proses pengeringan juga bersifat mengawetkan dikarenakan penurunan kadar air pada bahan menyebabkan aktivitas air berkurang sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan (Winarno, 1992).

Talas dilaporkan mengandung pati 70 – 80% dengan granula yang berukuran kecil yaitu diameter 1.4 – 5 µm. Bentuk granula kecil pada pati talas menyebabkan talas mudah dicerna sehingga diindikasikan sebagai bahan pangan yang mampu mengatasi masalah pencernaan. Penduduk di beberapa daerah di Hawaii dan kepulauan Pasifik, menggunkan talas dalam bentuk tepung sebagai bahan makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992). Selain itu, talas juga sering dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi orang-orang yang alergi terhadap biji-bijian tertentu yang mengandung gluten terutama gandum (Lee, 1992).

C.OKSALAT

Oksalat (C2O42-) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air (asam oksalat) dan

tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki nama sistematis asam etanadioat. Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam bentuk garam. Bentuk yang lebih banyak ditemukan adalah

bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut terdapat baik dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam tanaman lebih besar daripada hewan (Noonan dan Savage, 1999).

Menurut Noonan dan Savage (1999), asam oksalat membentuk garam larut air bersama ion Na+, K+, dan NH4+ serta berikatan pula dengan Ca2+, Fe2+, dan Mg2+ menyumbangkan mineral-

mineral yang tidak tersedia pada hewan. Oksalat terdapat dalam bentuk ion oksalat (C2O4 2-

) pada beberapa spesies tumbuhan dari famili Goosefoot dengan cairan sel mendekati pH 6. Ion oksalat yang ditemukan biasanya dalam bentuk natrium oksalat yang dapat larut serta kalsium oksalat dan magnesium oksalat yang tidak dapat larut.

Oksalat dapat ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil pada banyak tumbuhan. Bahan pangan yang kaya dengan oksalat biasanya hanya merupakan komponen minor dalam diet manusia, tetapi menjadi penting dalam diet di beberapa wilayah di dunia. Colocasia (talas) dari famili Aroid merupakan salah satu tanaman dengan level kadar oksalat paling tinggi, yaitu 470 mg/100 g (Noonan dan Savage, 1999).

Peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi (Ma dan Miyasaka, 1998). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk kristal padat non volatil, bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam asam kuat (Schumm, 1978). Secara umum terdapat lima jenis bentuk dasar kalsium oksalat yang terdapat dalam berbagai tanaman, diantaranya berbentuk raphide (jarum), rectangular dan bentuk pinsil, druse (bulat), prisma, dan rhomboid (Horner dan Wagner, 1995). Bentuk umum kristal kalsium oksalat yang banyak ditemukan pada tumbuhan monokotil dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk kristal oksalat pada tanaman monokotil (Horner dan Wagner, 1995) a. Raphide (bentuk jarum)

b. Rectangular dan bentuk pinsil c. Druse (bentuk bulat)

Bradbury dan Nixon (1998) menyatakan bahwa efek gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil yang berbentuk jarum halus yang disebut raphide.

Raphide adalah struktur berbentuk jarum yang tersusun atas kristal-kristal kalsium oksalat di dalam vakuola sel tumbuhan. Raphide umumnya memliki panjang sekitar 50 – 200 µ m, diameter 2 – 4 µm, dan dapat berpenetrasi pada kulit (Bradbury dan Nixon, 1998).

Efek gatal muncul ketika kristal dilepaskan dan menimbulkan lubang-lubang kecil pada kulit saat bersentuhan dengan raphide (Onwueme, 1994). Raphide terkurung di dalam kapsul yang dikelilingi lendir yang disebut dengan sel idioblas. Kapsul-kapsul itu terletak dalam daerah di antara dua vakuola. Ujung dari kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola-vakuola pada dinding sel. Vakuola-vakuola tersebut berisi air sehingga jika diberi perlakuan mekanis maka air

akan masuk ke dalam kapsul melalui dinding sel. Tekanan air terhadap dinding sel meningkat sehingga kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum terdesak ke luar.

Gambar 4. Raphide yang bergerombol dalam sel idioblas (Aboubakar et al., 2008)

Asam oksalat bersama dengan kalsium dan zat besi di dalam tubuh manusia membentuk kristal yang tak larut sehingga dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh (Noonan dan Savage, 1999). Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Metabolisme oksalat tidak dapat dilakukan di dalam tubuh sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Individu yang memiliki kerentanan khusus dengan oksalat, yaitu penderita kelainan ginjal, encok, dan radang persendian atau osteoporosis harus membatasi asupan asam oksalat, sedangkan orang yang sehat mungkin tidak perlu, dengan tetap menjaga agar konsumsi bahan pangan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang. Jenis paling umum dari batu ginjal adalah batu kalsium dengan komposisi mencapai 80% dan paling banyak ditemukan dalam bentuk kalsium oksalat (Mariani, 2008).

Asam oksalat dan garamnya tergolong senyawa yang berbahaya karena bersifat toksik. Senyawa oksalat dengan dosis 4 – 5 gram dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa, tetapi dosis yang dilaporkan dapat menyebabkan pengaruh fatal biasanya adalah 10 – 15 gram (Noonan dan Savage, 1999). Proses pencernaan asam oksalat dapat mengakibatkan korosi pada mulut dan sistem pencernaan serta gagal ginjal. Gejala pada pencernaan yaitu abdominal kram dan muntah- muntah yang dengan cepat diikuti kegagalan peredaran darah dan pecahnya pembuluh darah inilah yang dapat menyebabkan kematian (Mariani, 2008).

D.REDUKSI OKSALAT

Banyak cara dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal akibat kandungan oksalat pada talas. Salah satunya dengan cara pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dilakukan melalui penjemuran, pemanasan (Lee, 1999); perebusan, perendaman dalam air hangat, pemanggangan (Iwuoha dan Kalu, 1994); dan pengeringan (Nur, 1956). Proses pemanasan dapat mengurangi kelarutan oksalat, namun proses pemanasan tidak dapat menghilangkan keseluruhan kandungan

Dokumen terkait