• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi dan pengaruh NaCl terhadap kandungan oksalat dalam pembuatan tepung talas Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi dan pengaruh NaCl terhadap kandungan oksalat dalam pembuatan tepung talas Banten"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI DAN PENGARUH NaCl TERHADAP

KANDUNGAN OKSALAT DALAM PEMBUATAN TEPUNG

TALAS BANTEN

SKRIPSI

EKA MARLIANA

F34062338

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

CHARACTERIZATION AND THE INFLUENCE OF NaCl CONTENT

OF MAKE FLOUR OXALATE IN BANTEN TARO

Sugiarto, Sulusi Prabawati, and Eka Marliana

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

Phone 62 856 8472165, e-mail : ekamarliana_88@yahoo.com

ABSTRACT

Banten Taro (Xanthosoma undipes K. Koch) is a type of taro, which wildly grows in Juhut, Pandeglang. This plant has not grown as a result of the lack of information on benefits and applications. In addition, not known the exact time of the harvest in Banten taro plants. Banten taro can use food as a way to achieve diversification. However, the constraints faced by Banten taro high enough oxalate content so that it can itch when consumed. The purpose of this study was investigated the characteristics of Banten taro on a variety of harvest and reduce the content of oxalate by immersion in NaCl solution in different concentrations solutions and time. Banten taro at the age of 8 months is adequate conditions for harvest. To qualify as a novel food ingredient, oxalate in Banten taro content should be reduced. One of them by immersion with NaCl solution. Reduction of oxalate are taro immersion best deals with solution 10% NaCl for 150 minutes. The content of oxalate in Banten taro up to 90.21% can be reduced.

(3)

Eka Marliana. F34062338. Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten. Di bawah bimbingan Sugiarto dan Sulusi Prabawati. 2011

RINGKASAN

Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) merupakan jenis talas yang berpotensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan di daerah Banten. Talas Banten ini belum dibudidayakan dan masih tergolong sebagai talas liar dengan ciri khasnya seperti batang yang memanjang di bawah tanah dan umbi yang muncul di sekitar batang serta bagian tanamannya menimbulkan rasa gatal apabila dikonsumsi. Senyawa penyebab gatal pada talas adalah oksalat yang dapat mengakibatkan batu oksalat atau batu ginjal apabila kadar oksalatnya tidak dikurangi.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik talas Banten pada berbagai umur panen dan menurunkan kandungan oksalat pada talas Banten dengan menggunakan perendaman dalam larutan NaCl dengan kondisi konsentrasi larutan dan waktu berbeda. Penelitian dilakukan di laboratorium kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor pada bulan Mei 2010 sampai Januari 2011.

Tahapan penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu karakterisasi bahan berdasarkan umur panen dan profil tanaman dengan analisis yang dilakukan adalah kadar air, rendemen tepung, kadar oksalat, dan kadar pati. Rancangan penelitian pertama menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor perlakuan adalah umur panen dan bagian batang. Penelitian kedua adalah reduksi kadar oksalat dengan menggunakan perendaman pada larutan NaCl 10% dan 5% dengan waktu rendam adalah 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Analisis yang dilakukan pada tahap reduksi kadar oksalat adalah kadar oksalat. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan dua faktor yaitu konsentrasi NaCl (petak utama) dan waktu perendaman (anak petak) yang digunakan dalam mereduksi kandungan oksalat pada talas Banten.

Kadar air pada batang pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 78.03; 78.30; 76.23; dan 77.40%. Sedangkan untuk kadar air tepung pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 5.92; 6.42; 5.89; dan 5.11%. Kadar oksalat pada talas dengan umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 8525.68; 7115.37; 5903; dan 7030.14 ppm. Kadar pati pada talas Banten pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 94.63; 96.36; 91.09; dan 93.49%. Hasil rendemen tepung yang didapat untuk tepung umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 21.5; 20.16; 24.39; dan 20.43%.

(4)

KARAKTERISASI DAN PENGARUH NaCl TERHADAP KANDUNGAN

OKSALAT DALAM PEMBUATAN TEPUNG TALAS BANTEN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh EKA MARLIANA

F34062338

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul : Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten

Nama : Eka Marliana NRP : F34062338

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. Sugiarto, M.Si) (Ir. Sulusi Prabawati, M.S) NIP 19690518 199403 1 002 NIP 19583012 198303 2 002

Mengetahui: Ketua Departemen

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011 Yang membuat pernyataan

Eka Marliana

(7)

BIODATA PENULIS

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Emin dan Ocih Setiawati, dilahirkan di Bekasi pada tanggal 14 Maret 1988. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Payangan dan melanjutkan ke SLTPN 9 Bekasi sampai dengan tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 48 Jakarta pada tahun 2006. Pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan seperti BEM TPB Kabinet Hexagonal sebagai staf Departemen Info dan Komunikasi (2006-2007), BEM FATETA Kabinet Integritas Pembaharu sebagai staf Departemen Sosial dan Kemasyarakatan (2007-2008), BEM FATETA Kabinet Semut Merah sebagai staf Departemen Sosial dan Kemasyarakatan (2008-2009), serta menjadi anggota HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan antara lain ketua SEREAL (2008), koordinator konsumsi GEBYAR SOSIAL (2009), dan ketua KAKAK ASUH FATETA (2008-2009). Selama menempuh studi, penulis menerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2008-2009 serta beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2009-2010.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur yang tak terhingga penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan pertolongan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Ir. Sugiarto, M.Si selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, kesabaran, arahan, dan saran kepada penulis.

2. Ir. Sulusi Prabawati, M.S selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, kesabaran, masukan, dan saran kepada penulis.

3. Ir. Muslich, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

4. Keluarga tercinta, Bapak Emin, Mama Ocih Setiawati, dan Meilady Isnaen Syah Putra yang terus-menerus memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, doa, dan bantuan tak terhingga serta senantiasa memberikan inspirasi yang sangat berharga dalam hidup.

5. Keluarga besar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor atas bantuannya selama penelitian.

6. Seluruh pihak yang tidak disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan selanjutnya.

Bogor, Januari 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... ... xiii

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN PENELITIAN... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. TALAS ... 3

B. TEPUNG TALAS ... 6

C. OKSALAT ... 6

D. REDUKSI OKSALAT ... 8

E. PENELITIAN TERDAHULU………..………. 9

III.BAHAN DAN METODE... 11

A. BAHAN DAN ALAT... 11

C. METODE PENELITIAN………....………... 11

1. Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen) ... 11

a. Karakterisasi Fisik Talas ... 11

b. Pembuatan Tepung Talas Berbagai Umur Panen ... 11

c. Karakterisasi Tepung Talas ... 12

2. Penelitian 2 (Reduksi Oksalat) ... 13

D. RANCANGAN PERCOBAAN... 14

1. Rancangan Percobaan Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen) ...………... 14

2. Rancangan Percobaan Penelitian 2 (Reduksi Oksalat) ………...… 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 16

A. KARAKTERISASI TALAS ... 16

B. KARAKTERISASI TEPUNG BERBAGAI UMUR PANEN ... 22

1. Kadar Air Tepung ... 22

2. Rendemen Tepung ... 23

3. Kadar Oksalat ... 25

4. Kadar Pati ……….………... 27

C. REDUKSI OKSALAT TALAS ………...……… 29

(10)

V. SIMPULAN DAN SARAN... 34

A. SIMPULAN... ... ... . 34

B. SARAN... ... ... ... 34

DAFTAR PUSTAKA... ... ... ... .. 35

(11)

DAFTAR TABEL

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Cabang cormus talas ………….………...…...……... 4

Gambar 2. Klasifikasi bentuk cormus talas ……….……… 5

Gambar 3. Bentuk kristal oksalat pada tanaman monokotil ……...……...…....…… 7

Gambar 4. Raphide yang bergerombol dalam sel idioblas ...…...…….. 8

Gambar 5. Diagram alir penelitian 1 (penentuan umur panen) ..……….……… 12

Gambar 6. Diagram alir penelitian 2 (reduksi oksalat) …………... 13

Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang ………...…..…...…. 16

Gambar 8. Penampakan talas Banten ………..…… 16

Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten ……….……… 17

Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten ………... 17

Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten………..……… 19

Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten …...……. 20

Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten ……….……….. 21

Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ……... 22

Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten …….... 23

Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen ……….. 24

Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas ……….. 24

Gambar 18. Hubungan antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen …..….. 25

Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas ... 26

Gambar 20. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen ………..… 27

Gambar 21. Hubungan antara kadar pati dengan bagian batang talas ………...… 28

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisis...…………... 39

Lampiran 2. Hasil sidik ragam kadar air batang talas Banten ……... 40

Lampiran 3. Hasil sidik ragam kadar air tepung talas Banten ..…... 41

Lampiran 4. Hasil sidik ragam rendemen tepung talas Banten ...……... 42

Lampiran 5. Hasil sidik ragam kadar oksalat talas Banten ... 43

Lampiran 6. Hasil uji sidik ragam kadar pati talas Banten ...……... 44

Lampiran 7. Hasil uji lanjut Duncan kadar pati talas Banten ... 45

Lampiran 8. Hasil sidik ragam reduksi oksalat talas Banten dalam perendaman larutan NaCl ……….……… 47

(14)

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Talas merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki ragam kultivar talas yang luar biasa banyaknya. Keanekaragaman talas ini dapat dilihat pada daerah–daerah pembudidayaan talas seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Irian Jaya saja pernah dilaporkan mempunyai 114 kultivar talas (1957), Biak dan Sorong sendiri memiliki 30 kultivar (1982) dan Kabupaten Jaya Wijaya 60 kultivar. Sementara itu, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong telah berhasil menginventarisasi dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan dari daerah pembudidayaan talas. Keanekaragaman varietas talas tersebut menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan ukuran batang, warna dan tekstur serta rasa daging batang, umur panen, dan lain-lain. Talas termasuk famili Araceae yang terdiri menjadi tiga genus yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia (Prana dan Kuswara, 2002).

Di Indonesia, talas yang sering dijumpai adalah Colocasia esculanta L. Schott yang lebih dikenal dengan sebutan talas Bogor. Jenis talas tersebut sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Namun, masih banyak varietas talas yang belum dibudidayakan dan masih tergolong sebagai talas liar dengan ciri khasnya seperti stolon yang panjang dan banyak, batang relatif besar, serta bagian tanamannya menimbulkan rasa gatal apabila dikonsumsi. Salah satu talas yang dimaksud adalah Xanthosoma undipes K. Koch yang dikenal dengan nama talas Banten.

Talas Banten adalah talas lokal khas dari Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten Pandeglang. Masyarakat lokal menyebut talas Banten dengan istilah beneng yang berasal dari kata “besar koneng” (bahasa Sunda) yang artinya besar kuning. Talas ini berukuran besar dan daging batangnya berwarna kuning. Batang talas yang sudah berumur 3 tahun bisa mencapai panjang 2 meter dengan diameter 15 cm, sebagian batang masuk ke dalam tanah dan sebagian lainnya berada di atas permukaan tanah (BPTP Banten, 2009). Sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik talas Banten sebagai bahan pangan. Padahal talas Banten dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai diversifikasi pangan.

Keunikan yang dimiliki oleh talas Banten adalah pemanfaatan batang yang dijadikan sebagai bahan pangan. Pada talas lain, yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah umbi talas tersebut. Perbedaan inilah yang menjadi daya tarik tersendiri yang dimiliki oleh talas Banten. Selain itu, talas Banten dapat tumbuh dengan baik tanpa pemeliharaan. Hal ini merupakan nilai penting dari talas Banten apabila dijadikan sebagai sumber pangan karena tidak memerlukan biaya dalam membudidayakannya. Namun menjadi permasalahan adalah belum adanya kepastian waktu yang baik untuk memanen talas Banten.

(15)

B.

TUJUAN PENELITIAN

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

TALAS

Talas merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air. Talas merupakan tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia dari famili Araceae. Talas Banten tergolong dalam genus Xanthosoma. Taksonomi tumbuhan talas Banten adalah sebagai berikut (Prana dan Kuswara, 2002).

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales

Famili : Araceae Genus : Xanthosoma Spesies : undipes K.Koch

Talas merupakan salah satu tumbuhan yang lazim ditanam untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Tanaman ini berasal dari kawasan Asia Selatan (India, Bangladesh, China Selatan) dan Tenggara (Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia) (Prana dan Kuswara, 2002). Sebagai tanaman pangan, daun dan tangkai daunnya dapat digunakan sebagai sayuran, yaitu pada varietas yang tidak gatal. Talas seringkali dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan cukup (175–250 cm/tahun) serta memerlukan tanah yang subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21–27°C. Tanaman ini dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut namun tidak tahan terhadap temperatur sangat rendah (beku) (Minantyorini dan Hanarida, 2002).

Talas adalah tanaman herba dengan tinggi antara 0.5-1.5 m dan sebagian besar daunnya berbentuk peltatus, kecuali khusus yang tumbuh di Hawai daunnya berbentuk hastate. Panjang helai daun sekitar 30-80 cm dan lebar daun antara 20-50 cm. Panjang tangkai daun bervariasi tergantung genotipenya, antara < 30 cm-1.5 m. Ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ukuran maksimal daun biasanya terjadi saat awal muncul bunga dan setelah mendekati panen tangkai daun memendek dan helai daun mengecil (Minantyorini dan Hanarida, 2002).

Tanaman talas mempunyai toleransi tinggi terhadap keteduhan sehingga dapat ditanam secara tumpang sari yang dapat menguntungkan petani (Waluya, 2003). Di Indonesia, talas ditanam dalam berbagai pola budidaya, bisa sebagai tanaman tunggal (monokultur), tumpang sari atau tumpang gilir (Prana dan Kuswara, 2002).

(17)

Kebanyakan kultivar komersial dipanen sekitar umur 7 bulan. Pemanenan yang dilakukan lebih awal hasilnya jelas lebih sedikit dibandingkan yang dipanen belakangan. Akan tetapi penundaan pemanenan yang terlalu lama (lebih dari 8 bulan) berkemampuan mengurangi kualitas umbi, meskipun secara kuantitatif hasilnya bertambah (Prana dan Kuswara, 2002).

Pemanenan dilakukan dengan cara menggali umbi talas, lalu pohon talas dicabut dan pelepahnya di potong sepanjang 20 – 30 cm dari pangkal umbi serta akarnya dibuang dan umbinya di bersihkan dari tanah yang melekat. Masa panen talas perlu mendapat perhatian yang cermat sebab waktu panen yang tidak tepat akan menurunkan kualitas hasil. Panen yang terlalu cepat akan menghasilkan talas yang tidak kenyal dan pulen, sebaliknya jika panen terlambat akan menghasilkan umbi talas yang terlalu keras dan liat (BPTP Banten, 2009).

Talas merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat mengeluarkan getah berwarna putih seperti susu. Tanaman ini memiliki daun berbentuk perisai dan warna daun yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Pada setiap permukaan daun dan pelepah tanaman ini dilapisi oleh lapisan lilin untuk melindungi diri. Tanaman ini memiliki sistem perakaran yang relatif dangkal. Daya jangkau akar tanaman ini mencapai kedalaman 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Kulit umbi talas berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong melalui kegiatan eksplorasinya telah berhasil menginventarisasikan dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam (morfotipe) talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan terutama dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Lampung. Keanekaragaman ini menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, warna daun dan pelepah daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan warna serta ukuran pembungaan, bentuk dan ukuran umbi, warna dan tekstur serta daging umbi, umur panen, ketahanan terhadap hama/penyakit, ketahanan/toleransi terhadap kekeringan, dan lain-lain (Prana dan Kuswara, 2002).

Karakter talas lainnya terdapat batang di bawah tanah berupa cormus yang berpati dan besar. Bentuk dan ukuran cormus bervariasi tergantung dari genotipenya, macam bibit yang digunakan, faktor ekologi khususnya jenis tanah, dan ada tidaknya batuan. Cormus tipe taro daratan umumnya bulat atau sedikit memanjang, sementara yang tipe rawa/sawah umumnya sangat memanjang. Cormus terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kulit, korteks, dan daging. Kulit dapat halus, berserabut atau tertutup sisik. Serat pada daging sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi lingkungan. Untuk mengetahui bentuk cabang cormus talas yang dibedakan menjadi dua yaitu bercabang dan tidak bercabang dapat dilihat pada Gambar 1 (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Sedangkan karakterisasi bentuk cormus talas yang diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada Gambar 2 (Minantyorini dan Hanarida, 2002).

(18)

Keterangan gambar : 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan bermuka banyak), 8 (tandan)

Gambar 2. Klasifikasi bentuk cormus talas (Minantyorini dan Hanarida, 2002)

Tabel 1. Daftar kandungan gizi talas dalam 100 g umbi, daun, dan tangkai daun talas

No. Kandungan Gizi

Bagian Tanaman

Umbi Daun Tangkai Daun

a b a b a

1. Kalori (cal.) 85.00 98.00 69.00 71.00 19.00

2. Protein (g) 2.50 1.90 4.40 4.10 0.20

3. Lemak (g) 0.20 0.20 1.80 2.10 0.20

4. Karbohidrat (g) 19.10 23.79 12.20 12.30 4.60

5. Serat (g) 0.40 - 3.40 - 0.60

6. Abu (g) 0.80 - 2.00 - 1.20

7. Kalsium (mg) 32.00 28.00 268.00 302.00 57.00

8. Fosfor (mg) 64.00 61.00 78.00 47.00 23.00

9. Zat besi (mg) 0.80 1.00 4.30 8.30 1.40

10. Natrium (mg) 700 - 11.00 - 5.00

11. Kalium (mg) 514.00 - 1237.00 - 367.00

12. Vitamin A (SI) - 20.00 20385.00 10395.00 335.00

13. Vitamin B1 (mg) 0.18 0.13 0.10 0.11 0.01

14. Vitamin B2 (mg) 0.04 - 0.33 - 0.02

15. Vitamin C (mg) 10.00 4.00 142.00 163.00 8.00

16. Niacin (mg) 0.90 - 2.00 - 0.20

17. Air (g) 77.50 73.00 79.60 79.40 93.80

18. Bag. Yg dapat dimakan (%) 81.00 85.00 55.00 80.00 84.00 a. Food and Nutrition Res. Center. Handbook I, Manila (1964) dalam Rukmana (1998)

b. Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (1998) c. a dan b dikutip dari Prana dan Kuswara (2002)

(19)

Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin A, B1 (Thiamin) dan sedikit vitamin C. Umbi talas

memiliki kandungan mineral Ca, dan P yang cukup tinggi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Kandungan gizi pada talas dapat dilihat pada Tabel 1.

Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang baik, kandungan pati yang mudah dicerna, bebas gluten, kaya akan tiamin, niacin, riboflavin, dan vitamin C (Onayemi dan Nwigwe, 1978). Talas juga kaya akan getah yaitu mencapai 10.7% getah kasar. Getah tersebut diekstrak dari cormus dan umbi talas menggunakan air mendidih. Cormus

talas segar seberat 1 kg dapat menghasilkan 100 gram getah murni. Getah kasar dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan emulsifier. Pati talas juga baik digunakan sebagai bahan pengisi,

biodegradable polyethylene film, dan bahan pengganti lemak (Jane et al., 1992).

Komposisi talas yang rendah lemak dan natrium, bebas gluten dan laktosa, kaya kalsium, fosfor, vitamin B serta mudah dicerna membuat talas banyak digunakan sebagai makanan bayi di daerah Hawaii. Masyarakat daerah Pasifik, yaitu New Zealand dan Australia juga mengkonsumsi talas sebagai makanan pokok (Matthews, 2004).

B.

TEPUNG TALAS

Tepung adalah hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian. Menurut Suismono et al. (2005), tahapan pembuatan tepung umbi-umbian yang lazim dilakukan baik pada skala industri rumah tangga maupun menengah dan besar adalah meliputi proses pengupasan, pencucian, penyawutan, pengeringan, dan penggilingan.

Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering atau dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan sinar matahari. Hal ini dikarenakan suhu pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat dan merata. Pada tahap pengeringan, selain mengalami perubahan fisik, produk mengalami perubahan kadar air dan komponen kimia lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi proses, metode proses, kondisi bahan, dan perlakuan pendahuluan. Proses pengeringan juga bersifat mengawetkan dikarenakan penurunan kadar air pada bahan menyebabkan aktivitas air berkurang sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan (Winarno, 1992).

Talas dilaporkan mengandung pati 70 – 80% dengan granula yang berukuran kecil yaitu diameter 1.4 – 5 µm. Bentuk granula kecil pada pati talas menyebabkan talas mudah dicerna sehingga diindikasikan sebagai bahan pangan yang mampu mengatasi masalah pencernaan. Penduduk di beberapa daerah di Hawaii dan kepulauan Pasifik, menggunkan talas dalam bentuk tepung sebagai bahan makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992). Selain itu, talas juga sering dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi orang-orang yang alergi terhadap biji-bijian tertentu yang mengandung gluten terutama gandum (Lee, 1992).

C.

OKSALAT

Oksalat (C2O42-) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air (asam oksalat) dan

(20)

bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut terdapat baik dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam tanaman lebih besar daripada hewan (Noonan dan Savage, 1999).

Menurut Noonan dan Savage (1999), asam oksalat membentuk garam larut air bersama ion Na+, K+, dan NH4+ serta berikatan pula dengan Ca2+, Fe2+, dan Mg2+ menyumbangkan

mineral-mineral yang tidak tersedia pada hewan. Oksalat terdapat dalam bentuk ion oksalat (C2O4

2-) pada beberapa spesies tumbuhan dari famili Goosefoot dengan cairan sel mendekati pH 6. Ion oksalat yang ditemukan biasanya dalam bentuk natrium oksalat yang dapat larut serta kalsium oksalat dan magnesium oksalat yang tidak dapat larut.

Oksalat dapat ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil pada banyak tumbuhan. Bahan pangan yang kaya dengan oksalat biasanya hanya merupakan komponen minor dalam diet manusia, tetapi menjadi penting dalam diet di beberapa wilayah di dunia. Colocasia (talas) dari famili Aroid merupakan salah satu tanaman dengan level kadar oksalat paling tinggi, yaitu 470 mg/100 g (Noonan dan Savage, 1999).

Peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi (Ma dan Miyasaka, 1998). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk kristal padat non volatil, bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam asam kuat (Schumm, 1978). Secara umum terdapat lima jenis bentuk dasar kalsium oksalat yang terdapat dalam berbagai tanaman, diantaranya berbentuk raphide (jarum), rectangular dan bentuk pinsil, druse (bulat), prisma, dan rhomboid (Horner dan Wagner, 1995). Bentuk umum kristal kalsium oksalat yang banyak ditemukan pada tumbuhan monokotil dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk kristal oksalat pada tanaman monokotil (Horner dan Wagner, 1995) a. Raphide (bentuk jarum)

b. Rectangular dan bentuk pinsil c. Druse (bentuk bulat)

Bradbury dan Nixon (1998) menyatakan bahwa efek gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil yang berbentuk jarum halus yang disebut raphide.

Raphide adalah struktur berbentuk jarum yang tersusun atas kristal-kristal kalsium oksalat di dalam vakuola sel tumbuhan. Raphide umumnya memliki panjang sekitar 50 – 200 µ m, diameter 2 – 4 µm, dan dapat berpenetrasi pada kulit (Bradbury dan Nixon, 1998).

(21)

akan masuk ke dalam kapsul melalui dinding sel. Tekanan air terhadap dinding sel meningkat sehingga kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum terdesak ke luar.

Gambar 4. Raphide yang bergerombol dalam sel idioblas (Aboubakar et al., 2008)

Asam oksalat bersama dengan kalsium dan zat besi di dalam tubuh manusia membentuk kristal yang tak larut sehingga dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh (Noonan dan Savage, 1999). Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Metabolisme oksalat tidak dapat dilakukan di dalam tubuh sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Individu yang memiliki kerentanan khusus dengan oksalat, yaitu penderita kelainan ginjal, encok, dan radang persendian atau osteoporosis harus membatasi asupan asam oksalat, sedangkan orang yang sehat mungkin tidak perlu, dengan tetap menjaga agar konsumsi bahan pangan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang. Jenis paling umum dari batu ginjal adalah batu kalsium dengan komposisi mencapai 80% dan paling banyak ditemukan dalam bentuk kalsium oksalat (Mariani, 2008).

Asam oksalat dan garamnya tergolong senyawa yang berbahaya karena bersifat toksik. Senyawa oksalat dengan dosis 4 – 5 gram dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa, tetapi dosis yang dilaporkan dapat menyebabkan pengaruh fatal biasanya adalah 10 – 15 gram (Noonan dan Savage, 1999). Proses pencernaan asam oksalat dapat mengakibatkan korosi pada mulut dan sistem pencernaan serta gagal ginjal. Gejala pada pencernaan yaitu abdominal kram dan muntah-muntah yang dengan cepat diikuti kegagalan peredaran darah dan pecahnya pembuluh darah inilah yang dapat menyebabkan kematian (Mariani, 2008).

D.

REDUKSI OKSALAT

Banyak cara dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal akibat kandungan oksalat pada talas. Salah satunya dengan cara pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dilakukan melalui penjemuran, pemanasan (Lee, 1999); perebusan, perendaman dalam air hangat, pemanggangan (Iwuoha dan Kalu, 1994); dan pengeringan (Nur, 1956). Proses pemanasan dapat mengurangi kelarutan oksalat, namun proses pemanasan tidak dapat menghilangkan keseluruhan kandungan oksalat dalam makanan. Perebusan hanya mengurangi kadar oksalat terlarut, namun tidak untuk garam oksalat. Perebusan dapat mengurangi kadar oksalat dengan cara membuang air rebusan. Penurunan kadar oksalat dengan perebusan disebabkan oleh pelarutan dan degrasi panas (Iwuoha dan Kalu, 1995). Perebusan dapat menurunkan kadar oksalat total talas dari Jepang hingga 77%, sedangkan pemanggangan meningkatkan kadar oksalat hingga dua kali lipat (Catherwood et al., 2007).

(22)

karena fermentasi dapat mendekomposisikan kalsium oksalat menjadi asam karboksilat yang kemudian terdehidrasi menjadi alkohol.

Perlakuan kimia juga dapat dilakukan untuk menghilangkan kalsium oksalat. Penghilangan kalsium oksalat dapat dihilangkan dengan cara melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat. Asam klorida dapat bereaksi secara sempurna dengan kalsium oksalat, disamping asam kuat lainnya seperti asam sulfat (Schumm, 1978). Reaksi antara asam klorida dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan kalsium klorida dan asam oksalat yang dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi sebagai berikut:

2 HCl (l) + CaC2O4(s) CaCl2(s) + H2C2O4(l)

Reaksi tersebut tergolong reaksi metatesis, yaitu reaksi yang berlangsung antara asam dan garam. Reaksi metatesis ditandai dengan terbentuknya endapan, gas atau zat yang langsung terurai menjadi gas (Schumm, 1978). Perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk mengurangi efek gatal pada talas. Garam terbentuk dari hasil reaksi asam dan basa yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa muatan). NaCl akan terionisasi di dalam air menjadi ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat dan endapan kalsium diklorida yang larut dalam air dengan reaksi sebagai berikut:

CaC2O4 + 2 NaCl → Na2C2O4 + CaCl2

E.

PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian reduksi oksalat yang dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987), menunjukkan bahwa perendaman menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dan lama perendaman 3 jam mampu menurunkan kadar oksalat umbi hingga 80%, akan tetapi waktu perendaman yang terlalu lama dinilai kurang efisien disamping dapat mengurangi tingkat kesukaan konsumen terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa.

Penelitian yang berkaitan dengan talas telah dilakukan oleh Kurdi (2002) yang mereduksi oksalat dengan menggunkan asam klorida. Pada penelitiannya, Kurdi merendam irisan talas pada HCl dengan konsentrasi 0.05; 0.15; dan 0.25% selama 2; 4; dan 6 menit. Hasil optimum yang didapat pada penelitian Kurdi adalah perendaman HCl dengan konsentrasi 0.25% selama 4 menit. Perendaman talas dengan asam klorida menyebabkan kalsium oksalat bereaksi dengan asam. Konsentrasi yang tinggi mempunyai jumlah partikel yang lebih banyak sehingga mempunyai kemampuan lebih banyak untuk mereduksi oksalat pada talas. Akan tetapi persen reduksi oksalat yang diteliti oleh Kurdi (2002) tidak cukup tinggi, yaitu 32% sehingga oksalat tidak direduksi secara optimal.

Perendaman dalam larutan NaCl dilakukan oleh Prabowo (2010) pada umbi porang, dimana umbi porang dengan talas masih satu keluarga dalam suku talas-talasan (Araceae). Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl 4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi.

(23)

larutan garam yang digunakan adalah NaCl. Konsentrasi larutan asam sitrat dan asam klorida yang digunakan adalah 0.1; 0.3; dan 0.5 M dengan lama perendaman 5 dan 10 menit. Sedangkan konsentrasi larutan garam NaCl yang digunakan adalah 5; 7.5; dan 10% dengan lama perendaman 30 dan 60 menit. Hasil optimum yang didapat oleh penelitian Mayasari (2010) adalah perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit dapat mereduksi oksalat sebesar 93.62%.

(24)

III. BAHAN DAN METODE

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah batang talas yang diperoleh dari Pandeglang, Banten yang berumur 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah HCl 2 M, HCl 3%, NaOH 40%, larutan Luff Schrool, H2SO4

25%, KI 20%, indikator kanji, dan Na2SO3 0.1 N.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, cawan aluminium, oven, desikator, pisau, waterbath, tray dryer, discmill, slicer, sentrifuse, HPLC (High Performance Liquid Chromatograph), hotplate, pendingin tegak, dan alat-alat gelas.

B.

METODE PENELITIAN

1.

Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen)

Penentuan umur panen didasari pada karakterisasi fisik talas yang meliputi panjang, diameter, dan bobot talas serta analisa kimia pada tepung talas yang dilakukan pada tahap karakterisasi tepung talas yang meliputi kadar air, kadar oksalat, dan kadar pati. Parameter yang dipakai untuk mengetahui waktu panen talas Banten adalah ukuran panjang, diameter, dan bobot batang talas Banten yang besar serta kandungan oksalat yang rendah dan kandungan pati yang tinggi pada talas Banten. Dengan parameter tersebut, maka akan didapatkan informasi waktu panen yang tepat untuk talas Banten. Metode karakterisasi fisik talas sampai penentuan umur panen talas Banten merupakan penelitian 1 yang secara ringkas ditampilkan pada Gambar 5. Penelitian 1 bertujuan untuk mengetahui ukuran bobot, panjang, dan diameter batang talas serta kandungan air, oksalat, dan pati pada talas Banten yang didasari pada perbedaan umur panen serta bagian batang talas sehingga dapat dijadikan acuan untuk penentuan waktu panen yang tepat bagi talas Banten.

a.

Karakterisasi Fisik Talas

Talas yang telah dikelompokkan menurut umur panen 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan dibagi tiga potongan batang yaitu ujung, tengah, dan pangkal. Ujung merupakan batang yang letaknya dekat dengan pelepah daun dan pangkal merupakan batang yang paling dalam saat ditanam. Sedangkan bagian tengah merupakan batang yang teletak diantara ujumg dan pangkal. Talas yang sudah dikelompokkan berdasarkan umur panen dan bagian batang kemudian dianalisis penampakan fisiknya yang meliputi bobot batang, tinggi batang, panjang diameter batang. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar air batang berdasarkan bagian batang yang telah dipotong. Karakterisasi fisik talas dilakukan untuk mengetahui penampakan fisik talas serta mengetahui ukuran bobot, panjang, dan diameter batang talas Banten.

b.

Pembuatan Tepung Talas Berbagai Umur Panen

(25)

60°C. Talas yang telah kering (keripik talas dapat dipatahkan) kemudian dihancurkan dengan discmill dengan menggunakan pengayak 100 mesh. Pembuatan tepung talas diperlukan untuk menghasilkan tepung talas yang dapat dipakai untuk sampel pengujian.

c.

Karakterisasi Tepung Talas

Tepung talas yang telah jadi kemudian dianalisa untuk mengetahui karakteristiknya. Tepung talas yang didapat merupakan tepung talas dari berbagai umur panen dan bagian batang. Analisa yang dilakukan pada karakterisasi tepung talas meliputi kadar air, kadar oksalat, dan kadar pati. Karakteristik tepung talas digunakan untuk mengetahui kandungan air, oksalat, dan pati pada tepung talas berbagai umur panen dan bagian batang.

Gambar 5. Diagram alir penelitian 1 (penentuan umur panen) Talas Banten

Pengeringan, 60°C; 2 x8 jam Pengirisan tipis Pengupasan

Karakterisisasi penampakan fisik talas : bentuk, bobot, panjang, warna, diameter

Kulit dan pelepah daun

Penentuan umur panen talas Banten Analisis: kadar air, kadar

oksalat, kadar pati Penggilingan (pengayak 100 mesh)

(26)

2.

Penelitian 2 (Reduksi Oksalat)

Talas Banten memiliki kandungan oksalat yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan batu ginjal. Sehingga perlu penanganan untuk mereduksi kandungan oksalat yang ada di dalam talas Banten. Salah satunya dengan cara perendaman talas Banten pada larutan NaCl. Konsentrasi larutan NaCl yang digunakan adalah 10% dan 5 % dengan taraf waktu perendaman yang digunakan ada lima yaitu 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Talas yang telah direndam dengan larutan NaCl kemudian direndam dengan air pada suhu kamar dengan waktu perendaman adalah 180 menit. Hal ini untuk mengurangi rasa asin akibat perendaman dengan larutan NaCl. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar oksalat. Metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir penelitian 2 (reduksi oksalat) Batang talas Banten

Pengeringan, 60°C; 2 x8 jam Perendaman dalam air

(25°C), 3 jam Penirisan Pengirisan tipis

Pengupasan

Reduksi oksalat (NaCl 5% dan 10%) (30’; 60’; 90’; 120’; dan 150’)

Analisis kadar oksalat Penggilingan (pengayak 100 mesh)

Penirisan

(27)

C.

RANCANGAN PERCOBAAN

1.

Rancangan Percobaan Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen)

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian 1 adalah rancangan acak kelompok faktorial. Faktor yang diamati adalah umur panen dan bagian batang talas dengan kelompoknya adalah ulangan. Faktor umur panen yang diamati ada empat yaitu umur panen 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Sedangkan faktor bagian batang yang diamati ada tiga adalah batang bagian ujung, tengah, dan pangkal. Model linier dari rancangan percobaan untuk penelitian 1 adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk

Keterangan :

i = 1,2,3,4,; j = 1,2,3; k = 1,2

Yijk = nilai pengamatan pada faktor umur taraf ke-i, faktor bagian batang taraf ke-j,

kelompok ke-k µ = rataan umum

αi = pengaruh utama faktor umur ke-i

βj = pengaruh utama faktor bagian batang ke-j

ρk = pengaruh aditif dari kelompok dan diasumsikan tidak berinteraksi dengan

perlakuan

εijk = galat percobaan

Hipotesis :

a. Pengaruh faktor umur panen (A)

H0 : α1 = … = αi = 0 (faktor umur tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1 : paling sedikit ada satu i dimana αi≠ 0

b. Pengaruh faktor bagian batang (B)

H0 : β1 = … = βj = 0 (faktor batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1 : paling sedikit ada satu j dimana βj≠ 0

c. Pengaruh interaksi faktor A dengan faktor B

H0 : (αβ)11 = (αβ)12 = … = (αβ)ab = 0 (interaksi dari faktor A dengan faktor B tidak

berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (αβ)ij≠ 0

d. Pengaruh pengelompokkan

H0 : ρ1 = … = ρk = 0 (blok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1 : paling sedikit ada satu k dimana ρk≠ 0

2.

Rancangan Percobaan Penelitian 2 (Reduksi Oksalat)

(28)

Yijk = µ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan :

i = 1,2,3,4,5; j = 1,2; k = 1,2

Yijk = nilai pengamatan pada faktor α taraf ke-i, faktor β taraf ke-j, dan ulangan ke-k

µ = rataan umum

αi = pengaruh utama faktor α ke-i

βj = pengaruh utama faktor β ke-j

(αβ)ij = komponen interakasi dari faktor α dan faktor β

δik = galat percobaan dari petak utama

εijk = galat percobaan dari anak petak

Hipotesis :

a. Pengaruh petak utama (faktor konsentrasi NaCl (A))

H0 : α1 = … = αi = 0 (faktor konsentrasi larutan tidak berpengaruh terhadap respon

yang diamati)

H1 : paling sedikit ada satu i dimana αi≠ 0

b. Pengaruh anak petak (faktor waktu perendaman (B))

H0 : β1 = … = βj = 0 (faktor waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap respon

yang diamati)

H1 : paling sedikit ada satu j dimana βj≠ 0

c. Pengaruh interaksi faktor konsentrasi larutan yang digunakan dan waktu perendaman (αβ)ij

H0 : (αβ)11 = (αβ)12 = … = (αβ)ij = 0 (interaksi dari faktor A dengan faktor B tidak

(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KARAKTERISASI TALAS

Penelitian ini diawali dengan karakterisasi talas Banten yang meliputi penampakan fisik tanaman talas. Talas yang diamati adalah talas yang telah dikelompokkan berdasarkan umur panen. Umur panen talas yang diamati adalah 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Talas Banten ini berasal dari daerah Gunung Karang, Desa Juhut, Kabupaten Pandeglang. Habitat penanaman talas Banten ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang

Talas Banten mempunyai keunikan yaitu mempunyai batang yang terdapat di dalam tanah. Batang yang tertanam di bawah tanah merupakan cormus yang berpati dan besar (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Cormus yang terdapat pada talas Banten bentuknya memanjang dan mempunyai kecenderungan bertambah panjang setiap pertambahan umur tanaman. Cormus talas Banten mempunyai bentuk yang bercabang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cabang dari

cormus diduga merupakan umbi talas Banten. Umbi talas Banten berukuran kecil bila dibandingkan dengan batang (cormus) talas tersebut. Bentuknya seperti tandan yang menempel pada cormus. Penampakan cormus talas Banten ditunjukkan pada Gambar 9 sedangkan penampakan umbi talas Banten pada Gambar 10.

(30)
[image:30.595.144.526.85.208.2]

Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten

Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten

Talas Banten yang tumbuh di daerah Juhut belum mempunyai kepastian umur panen yang tepat sehingga warga Juhut memanen talas apabila tanaman talas sudah terlihat besar dan tingginya sudah melebihi tinggi manusia. Penelitian ini berupaya untuk mengkarakteristik talas Banten berdasarkan umur panen sehingga diharapkan mampu mengetahui kepastian umur panen yang tepat. Karakterisasi penampakan fisik talas Banten dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen

Karakteristik talas Umur Panen (bulan) Talas Bogor

(Nurafriani, 2010)

6 8 10 12

Bentuk batang memanjang memanjang memanjang memanjang membulat

Warna kulit batang coklat coklat coklat coklat merah

Warna daging batang kuning kuning kuning kuning putih

Panjang batang (cm) 34.81 40.56 54.13 66.95 10.3

Diameter batang (cm) 8.49 9.21 10.65 10.8 19

Bobot kotor batang (kg) 1.7 2.46 4.04 5.98 1.38

Bobot bersih batang (kg) 1.43 2.02 3.73 5.56 0.98

Batang (cormus) talas Banten mempunyai bentuk memanjang dengan setiap pertambahan umur tanaman akan bertambah panjang. Dengan bentuk yang memanjang maka mempermudah dalam pengupasan kulit batang sebelum dimasak. Selain itu, batang talas Banten permukaan kulit luarnya rata sehingga mudah dikupas. Hal tersebut merupakan keuntungan yang dimiliki oleh talas Banten. Namun bagian pangkal batang (batang yang letaknya paling dalam saat ditanam) memiliki sedikit kesulitan saat dikupas karena banyaknya akar yang menempel pada batang dan adanya umbi yang tumbuh disekitar pangkal batang.

[image:30.595.99.533.460.590.2]
(31)

kategori 6 yaitu bentuk memanjang sedangkan talas Bogor masuk ke dalam kategori 2 yaitu membulat yang ditampilkan pada Gambar 2.

Warna kulit batang talas Banten yang diamati memiliki warna coklat untuk semua talas Banten berbagai umur panen. Bila dibandingkan dengan talas Bogor yang memiliki warna kulit merah, talas Banten memiliki penampakan kulit yang lebih gelap sehingga penampakannya adalah warna coklat. Warna daging batang talas Bogor yang diamati memiliki warna kuning berbeda dengan talas Bogor yang warna dagingnya adalah putih. Talas Bogor mempunyai warna kulit dan daging buah yang sesuai dengan penjelasan Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa talas memiliki kulit berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh.

Warna daging talas dapat mempengaruhi selera konsumen. Seorang konsumen akan memilih talas dengan warna daging yang segar dan cerah warnanya. Karena daging talas yang menarik (segar dan cerah warnanya) tidak memerlukan bahan pewarna sehingga aman untuk dikonsumsi. Daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang berwarna putih dan kuning sehingga talas Banten memiliki potensi untuk dipasarkan karena memiliki warna kuning pada dagingnya. Penampakan warna kuning pada talas Banten merupakan daya tarik karena pada talas yang segar, warna kuningnya terlihat cerah.

Panjang batang pada talas Banten menunjukkan peningkatan setiap kenaikan umur panen. Pada umur panen 6 bulan panjang batang adalah 34.81 cm, kemudian pada umur panen 8 bulan panjang batangnya mencapai 40.56 cm. Panjang batang talas umur panen 10 bulan adalah 54.13 cm dan talas Banten umur panen 12 bulan mencapai 66.95 cm. Selisih paling besar dijumpai pada saat talas mencapai usia 10 bulan karena perbedaan panjangnya mencapai 13.57 cm bila dihitung dari usia sebelumnya yaitu 8 bulan. Hal ini dimungkinkan karena talas Banten sedang mengalami fase pemanjangan sel yang optimum. Dikatakan pemanjangan sel yang optimum karena saat mencapai usia 12 bulan peningkatan panjang batang hanya sebesar 12.82 cm. Pertumbuhan panjang batang disebabkan oleh adanya kerja hormon pertumbuhan di dalam tanaman. Pada kasus ini hormon pertumbuhan yang berperan adalah sitokinin. Sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan memacu pembesaran sel.

Batang talas Banten memiliki panjang batang yang lebih besar daripada talas Bogor yang hanya memiliki 10.3 cm seperti yang diteliti oleh Nurafriani (2010). Talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani (2010) hanya ⅓ panjang batang talas Banten umur panen 6 bulan. Bila merujuk pada klasifikasi yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) terhadap panjang batang talas maka talas Banten masuk kedalam kategori 9 karena panjang batang mencapai lebih dari 18 cm. Klasifikasi panjang batang yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi

panjang batang menjadi empat kategori yaitu : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan 9 (>18 cm).

(32)

Selain itu menurut Hidajat (1980), ukuran batang yang bertambah seiring dengan bertambahnya umur juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel parenkima korteks akibat pembelahan sel secara periklinal di sekitar berkas pembuluh yang selanjutnya melebar ke arah radial dan tangensial, serta terjadinya pembelahan sel yang tersebar pada batang.

Bobot batang pada talas Banten memiliki bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan talas Bogor. Talas Bogor hanya memiliki bobot sebesar 1.38 kg (Nurafriani, 2010) padahal talas Bogor tersebut dipanen pada usia tanaman 8 bulan. Dengan adanya informasi tersebut, maka menanam talas Banten mempunyai kelebihan dari segi bobot karena pada umur panen 6 bulan saja sudah didapat bobot batang sebesar 1.7 kg berbeda dengan talas Bogor yang harus menunggu sampai 8 bulan untuk mendapatkan bobot batang sebesar 1.38 kg.

Klasifikasi bobot batang talas Banten bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002), maka talas Banten umur panen 6 bulan masuk pada kategori 2, talas Banten umur panen 8 bulan masuk pada kategori 3, dan talas Banten umur panen 10 bulan dan 12 bulan masuk pada kategori 99. Klasifikasi Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi kategori bobot talas menjadi 4 yaitu kategori 1 (<0.5 kg), 2 (0.5 – 2.0 kg), 3 (2.0 – 4.0), dan 99 (>4.0).

Hasil yang didapat dari karakterisasi fisik batang talas Banten menunjukkan adanya peningkatan untuk setiap parameter seperti panjang batang, bobot batang, dan diameter batang. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan umur panen. Hasil karakteristik fisik tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan umur panen yang terbaik pada talas Banten.

[image:32.595.226.480.514.644.2]

Karakterisasi yang dilakukan tidak terbatas pada karakterisasi berdasarkan umur panen, melainkan dilakukan juga karakterisasi per bagian batang. Bagian batang yang diamati adalah ujung batang, tengah batang, dan pangkal batang. Ujung batang dilihat dari batang yang paling dekat dengan pelepah daun talas. Bagian pangkal batang adalah bagian batang yang paling dalam ditanam di tanah atau bagian yang paling dekat akar. Sedangkan bagian tengah batang adalah batang yang menghubungkan ujung batang dengan pangkal batang. Pembagian batang menjadi tiga potongan diawali dari pengukuran panjang batang secara keseluruhan kemudian hasil pengukuran dibagi menjadi tiga bagian yang sama panjang. Pembagian batang menjadi tiga potongan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten

Karakterisasi penampakan fisik batang per bagian juga diamati agar dapat diketahui sebaran bagian batang yang memiliki kapasitas bobot dan diameter terbesar serta melihat pola pertumbuhan yang terjadi pada batang talas Banten. Pada potongan per bagian batang, sebaran terbesar untuk bobot kotor, bobot bersih, dan diameter batang ditemukan pada bagian tengah batang untuk setiap umur panen. Karakterisasi fisik per bagian batang dapat dilihat pada Tabel 3.

(33)
[image:33.595.131.509.97.310.2]

Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian batang

umur panen (bulan) bagian batang bobot kotor (kg) bobot bersih (kg) diameter (cm)

6

ujung 0.51 0.42 7.94

tengah 0.63 0.58 8.79

pangkal 0.53 0.44 8.37

8

ujung 0.81 0.63 9.08

tengah 0.93 0.77 9.29

pangkal 0.81 0.62 9.07

10

ujung 1.34 0.98 9.76

tengah 1.71 1.44 10.81

pangkal 1.31 1.05 10.54

12

ujung 1.52 1.53 10.54

tengah 2.04 1.96 11.12

pangkal 1.91 1.70 11.23

Bagian batang talas Banten merupakan bagian yang sering dimanfaatkan oleh warga setempat karena bobot batang lebih besar dari daripada umbi talas tersebut. Masyarakat setempat menyebut umbi sebagai kimpul. Berdasarkan penelitian kali ini, kimpul baru ada saat talas Banten mencapai umur tanaman 10 bulan. Hal ini diduga karena belum berkembangnya sel-sel pertumbuhan kimpul. Oleh karena itu, pemanfaaatan batang pada talas Banten lebih diutamakan daripada kimpul talas Banten. Karakteristik bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil karakterisasi bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten

umur panen (bulan) 6 8 10 12

bobot kotor (kg) - - 0.37 1.17

Karakteristik fisik yang dilakukan tidak cukup untuk dijadikan sebagai acuan untuk penentuan umur panen talas Banten terbaik maka itu perlu dilakukan analisis kimia. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar air batang. Pada pengukuran kadar air ini, selain talas dibedakan berdasarkan umur panen, talas juga dibedakan berdasarkan bagian batang. Kadar air talas Banten berdasarkan umur panen ditampilkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten 78.03 78.30 76.23 77.40 76.0 76.5 77.0 77.5 78.0 78.5

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

[image:33.595.183.472.582.739.2]
(34)

Berdasarkan sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap

respon yang diamati (kadar air batang). Kadar air batang tertinggi ditemukan pada talas umur panen 8 bulan yaitu 78.3% sedangkan kadar air terendah ditemukan pada talas dengan umur panen 10 bulan yaitu 76.23% namun tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar air batang umur panen tersebut.

Hasil serupa juga didapatkan pada faktor bagian batang bahwa sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor bagian batang tidak

[image:34.595.161.492.270.482.2]

berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Berdasarkan grafik pada Gambar 13, kadar air tertinggi ditemukan pada bagian pangkal batang dan terendah ditemukan pada bagian tengah. Tidak adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena bagian batang berasal dari batang yang sama.

Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten

Interaksi antara faktor umur dan bagian batang pun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima. Pengaruh blok pun

tidak ada karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) dan hipotesis H0 diterima yaitu blok tidak

berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air batang.

Kandungan air yang terdapat pada batang talas berpengaruh pada jumlah rendemen tepung yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi pada batang akan menghasilkan rendemen tepung yang sedikit namun sebaliknya bila kadar air rendah pada batang maka akan mendapatkan rendemen tepung yang lebih banyak. Kadar air suatu bahan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kadar air suatu bahan juga memepengaruhi umur simpan bahan pangan tersebut. Semakin rendah kadar air suatu bahan maka akan semakin awet bahan pangan tersebut. Hal ini karena semakin rendah nilai kadar air maka semakin rendah nilai aktifitas airnya. Nilai aktifitas air ini berkaitan dengan mikroba. Aktifitas air dapat didefinisikan sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk mendukung pertumbuhannya (Winarno, 1997). Bahan pangan dengan aktifitas air rendah maka air yang terdapat pada bahan tersebut tidak dapat digunakan mikroba untuk melakukan pertumbuhan sehingga bahan pangan akan lebih awet.

77.68

75.41

79.38

74 75 76 77 78 79 80

ujung tengah pangkal

k

a

d

a

r

a

ir

(

%)

(35)

B.

KARAKTERISASI TEPUNG TALAS BERBAGAI UMUR PANEN

1.

Kadar Air Tepung

Kadar air tepung talas Banten yang didapat menunjukkan hasil bahwa pada umur panen 8 bulan terjadi peningkatan kadar air namun kemudian terjadi penurunan pada umur panen 10 bulan terjadi penurunan begitu juga dengan tepung umur panen 12 bulan. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen

Hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yang menjelaskan bahwa

faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Pengaruh bagian batang pun tidak ada karena hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk bagian batang (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima.

Interaksi antara umur panen dan bagian batang yang didapatkan dari sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk

interaksi antara umur panen dan bagian batang yang menyatakan bahwa interaksi dari faktor umur panen dengan faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air tepung. Hasil serupa juga didapatkan untuk pengelompokkan yaitu Pvalue > α (0.05) (Lampiran 3) untuk hasil sidik ragam. Sehingga blok tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung.

Kadar air tepung paling tinggi ditemukan pada tepung talas Banten umur panen 8 bulan yaitu sebesar 6.42% sedangkan kadar air tepung yang terendah ditemukan pada tepung talas umur panen 12 bulan yaitu 5.11%. Namun hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar air tepung Banten telah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu dibawah 14%, sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno et al., 1980). Kadar air juga berpengaruh terhadap keawetan produk pangan karena bahan yang berkadar air tinggi akan lebih cepat busuk akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Richana dan Sunarti (2002), menambahkan bahwa jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga.

Pada Gambar 15, grafik tersebut menunjukkan bahwa batang bagian tengah mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 6.25% sedangkan yang terendah ditemukan pada bagian pangkal batang yaitu 5.41%. Hasil yang didapat tidak berpengaruh pada kadar air tepung yang didapat

5.92 6.42 5.89 5.11 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

(36)

sehingga pemanfaatan batang dapat maksimal tidak tergantung pada bagian batang tertentu saja.

Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten

Kadar air tepung talas mempunyai nilai yang berbeda dengan kadar air batang talas. Hal ini dikarenakan pada tepung talas terjadi proses pengeringan sehingga air yang terkandung di dalam batang menguap. Nilai kadar air pada tepung talas menunjukkan pola grafik yang sama dengan kadar air batang talas. Hanya satu umur saja yang mempunyai pola grafik berbeda yaitu pada umur panen 12 bulan. Pada batang, kadar air yang didapat meningkat sedangkan pada tepung hasilnya menurun. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh suhu dan lama pengeringan serta kondisi saat pengeringan berlangsung. Selain itu tidak adanya parameter yang jelas untuk mengetahui kekeringan keripik. Biasanya indikator keripik sudah kering adalah keripik dapat dipatahkan sehingga keripik dapat langsung ditepungkan. Namun kendalanya adalah keripik dipatahkan hanya beberapa sampel saja sehingga tidak semua keripik dapat diketahui keseragaman kekeringannya.

Suhu yang kurang merata pada tray merupakan faktor penyebab ketidakseragaman kekeringan keripik. Selain itu juga waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap kekeringan keripik. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan maka penguapan air yang terjadi akan lebih banyak sehingga kadar airnya juga lebih rendah. Walaupun demikian, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kegosongan pada bahan yang dikeringkan. Waktu yang terlalu lama juga akan menyebabkan ketidakefisienan proses pengeringan, karena pada awal pengeringan kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu adalah tetap, tetapi kemudian terjadi penurunan penghilangan air tidak akan terlalu banyak lagi (Winarno, 1997).

2.

Rendemen Tepung

Rendemen tepung talas didapatkan dari hasil tepung dibandingkan dengan bobot bersih (daging) batang talas. Rendemen tepung talas yang didapat menunjukkan peningkatan pada umur panen 10 bulan. Rendemen tepung pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 24.39% sedangkan rendemen terendah ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 20.16%. Hubungan antara rendemen tepung talas ditunjukkan pada Gambar 16.

Hasil sidik ragam menunjukkan Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4) untuk faktor umur panen sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yaitu faktor umur tidak berpengaruh

terhadap rendemen tepung talas Banten. Interaksi yang terjadi juga tidak ada antara umur 5.85 6.25 5.41 5.2 5.4 5.6 5.8 6.0 6.2 6.4

ujung tengah pangkal

(37)

panen dan bagian batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4). Blok pun tidak berpengaruh untuk rendemen tepung talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4).

Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen

[image:37.595.188.481.128.307.2]

Rendemen tepung talas umur panen 10 bulan mempunyai nilai rendemen tepung terbesar. Hal ini karena didukung oleh kadar air batang paling kecil yaitu 76.23% dan juga nilai kadar air tepung yang rendah yaitu 5.89%. Hal ini terbukti bahwa nilai kadar air mempengaruhi rendemen tepung yang dihasilkan. Bahwa semakin meningkatnya kadar air maka rendemen yang dihasilkan akan sedikit namun apabila kadar air dalam suatu bahan rendah maka rendemen produk yang dihasilkan akan meningkat.

Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas

Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa rendemen tepung talas Banten cenderung meningkat dari ujung ke bagian pangkal batang. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap rendemen tepung talas karena berdasarkan hasil sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4). Rendemen tepung talas dipengaruhi oleh proses pembuatan tepung talas seperti pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Proses tersebut dapat mengurangi rendemen tepung talas yang dihasilkan. Pada proses pengeringan, banyak komponen talas yang hilang akibat talas kering (sawut/keripik) tercecer di lantai dan menempel di tray dan sulit untuk diambil. Pada proses penepungan dan pengayakan, ada sebagian tepung yang beterbangan dan

21.50 20.16 24.39 20.43 19 20 21 22 23 24 25

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

r e n d e m e n t e p u n g ( %) umur panen 21.05 21.09 22.73 20.5 21.0 21.5 22.0 22.5 23.0

ujung tengah pangkal

(38)

menempel pada bahan penampung tepung. Hal ini semua dapat mengurangi rendemen tepung talas yang dihasilkan. Namun demikian, hal itu merupakan sesuatu yang lazim yang tidak dapat dihindari, karena setiap proses pengolahan pangan pasti akan mengalami kehilangan. Baik karena tercecer atau karena akumulasi di alat.

3.

Kadar Oksalat

Metode yang digunakan dalam menghitung kadar oksalat adalah dengan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatograph) karena memberikan hasil yang sangat akurat (Savage et al., 2000). Dengan metode HPLC, analisis yang dilakukan adalah

soluble dan total oksalat sedangkan untuk insoluble oksalat biasanya dilakukan dengan metode

by different (Hollowey et al. 1989). Pada penelitian ini dilakukan analisis oksalat terlarut dan total oksalat untuk mengetahui kandungan oksalat yang terdapat pada talas Banten. Hubungan antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Hubungan antara kndungan oksalat talas Banten dengan umur panen

Hasil sidik ragam (Lampiran 5) didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak

berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 terlihat bahwa kandungan oksalat cenderung menurun pada umur tanaman talas 10 bulan namun mengalami kenaikan saat umur tanaman 12 bulan. Namun hal tersebut bukan merupakan acuan karena berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5) bahwa umur panen tidak mempunyai pengaruh terhadap kandungan oksalat dalam talas.

Perkembangan jumlah oksalat berkaitan dengan pola pertumbuhan tanaman talas Banten. Kandungan oksalat berkaitan dengan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tanaman sehingga diduga mempengaruhi pengendapan kalsium untuk pembentukkan kristal kalsium oksalat. Seperti dijelaskan oleh Ma dan Miyasaka (1998), bahwa peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi sehingga mempunyai arti penting bagi talas dalam melindungi diri.

Pertumbuhan vegetatif tanaman talas yang maksimum sehingga menyebabkan penurunan jumlah total kristal kalsium oksalat. Pertumbuhan yang cepat membutuhkan

8525.68 7115.37 5903.00 7030.14 5000 6000 7000 8000 9000

6 bulan 8 bulan 10 bulan 12 bulan

(39)

kalsium yang tinggi untuk pertumbuhan tanaman karena fungsi kalsium pada tanaman merupakan kation dari lamela tengah suatu dinding sel, dimana kalsium pektat merupakan penyusun utamanya. Selain itu Ca memiliki andil penting dalam pengaturan membran sel dengan jalan memelihara selektivitas terhadap berbagai jenis ion (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas

Berdasarkan grafik pada Gambar 19, sebaran kandungan oksalat yang tinggi berada pada batang bagian ujung dengan rata-rata kandungan total oksalat sebesar 7,491.59 ppm. Kandungan oksalat pada batang mempunyai pola kecenderungan menurun dari ujung batang ke bagian pangkal batang. Namun berdasarkan sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5) sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor bagian batang

tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas.

Menurut Salisbury dan Ross (1995), kelebihan kalsium akan berdampak pada defisiensi kalsium. Walaupun semua titik tumbuh peka terhadap defisiensi kalsium tetapi bagian akarlah yang lebih parah. Bagian itu akan berhenti tumbuh, menjadi tidak teratur, terlihat bagai membelit dan pada defisiensi berat akan mati. Sehingga bagian batang yang dekat akar (pangkal) tidak dapat menerima kelebihan kalsium.

Interaksi antara umur panen dan bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5). Selain itu, blok pun tidak berpengaruh terhadap oksalat yang ada di dalam talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5).

Kandungan oksalat yang tinggi diduga berada di dekat daerah xilem yang terdapat di dalam batang. Pada tumbuhan monokotil, jaringan pengangkut tersebar secara acak di dalam jaringan dasar (biasanya tersusun atas sel-sel parenkim). Setiap jaringan pengangkut dikelilingi oleh pembungkus (bundle sheath) dan memiliki xilem yang mengarah ke dalam serta floem yg mengarah ke luar batang (Campbell et al., 2002). Menurut Horner dan Wagner (1995), kalsium diangkut melalui xilem, kemudian dengan oksalat terlarut membentuk kristal kalsium oksalat. Selain itu Schadel dan Walter (1980) melaporkan bahwa tanaman dapat mengurangi kelebihan kalsium dengan cara pembuangan kalsium melalui proses gutasi dan penyimpanan kelebihan kalsium dalam bentuk kristal kalsium oksalat di sekitar xilem.

Oksalat pada talas diduga kuat merupakan penyebab rasa gatal yang ditimbulkan talas. Menurut Bradbury dan Nixon (1998), Rasa yang tajam ini disebabkan oleh kalsium oksalat yang berbentuk raphide (Gambar 3) serta dapat menembus kulit lembut. Lebih lagi Bradbury dan Holloway (1988) melaporkan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan

7491.59 7032.29 6906.76 6700 6900 7100 7300 7500 7700

ujung tengah pangkal

(40)

rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek. Kemudian kristal ini menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari dari sel idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya.

4.

Kadar Pati

Kadar pati pada tepung talas Banten dengan hasil terbesar dit

Gambar

Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen
Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten
Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian batang
Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kreatifitas budidaya lebah linot merupakan suatu usaha kreatif yang melahirkan kemampuan mengembangkan ide-ide baru dalam pemecahan masalah dan menemukan

Hal ini terbukti saat guru memberikan pertanyaan mengenai gagasan bacaan tersebut, banyak siswa tidak mampu menjawab dengan baik, (3) guru dalam pembelajaran tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengindetifikasi bentuk- bentuk perubahan morfologis dan arsitektural Desa Adat Bayung Gede, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan,

Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus I akan diperbaiki pada siklus II yaitu meningkatkan interaksi siswa dengan guru, baik dalam bertanya maupun

Untuk atribut aroma, anda dipersilahkan untuk mencium aroma sampel wine buah jambu secara urut dari kiri ke kanan.. Untuk atribut rasa, cicipi sampel secara urut dari

Pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit yang dilaksanakan secara terpadu, yaitu mengkobinasikan cara manual atau mekanis, kimia dan hayati

Gambar 5 merupakan perbandingan antara nilai konduktivitas termal pada temperatur permukaan yang sama untuk hasil eksperimen dan nilai konduktivitas termal

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutawijaya yang berjudul “ Pengaruh Ekspor dan investasi terhadap Pertumbuhan