• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Hasil Uji Sitotoksisitas Fraksi n-heksana, Fraksi KCV

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan

pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna. Pada uji ini digunakan garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsick, 2011).

Hasil pengujian sitotoksik larutan uji terhadap sel MCF-7 memberikan nilai IC50 66,815 µg/ml untuk fraksi n-heksana di mana pada konsentrasi ini fraksi n-heksana sudah dapat menghambat 50% pertumbuhan sel MCF-7. Ekstrak dinyatakan poten jika mempunyai nilai IC50 kurang dari 100 µg/ml (Ueda, et al., 2002). Dari hasil pengujian dan perhitungan nilai IC50 fraksi n-heksana, maka dapat dikategorikan poten karena memiliki nilai IC50

Menurut Yadav, et al., 2010, triterpenoid/ steroid memiliki aktivitas untuk mengatasi inflamasi, proliferasi sel, apoptosis, invasi, metastasis dan angiogenesis. Karena banyak dari senyawa ini menunjukkan potensi yang baik dalam menangani kanker dengan berbagai mekanisme, seperti mengatur regulasi dari faktor transkripsi (contoh: nuclear factor-kappaB [NF-κB], protein anti-apoptotik (contoh: bcl-2, bcl-xL), pencetus dari proliferasi sel metalloproteinases [MMPs], intraseluler adhesi molekul-1 (ICAM-1) dan protein angiogenik (vascular endothelial growth factor (VEGF).

dibawah 100 µg/ml. Sebelumnya telah dilakukan penentuan golongan senyawa kimia terhadap fraksi n-heksana dan hasilnya terdapat golongan senyawa kimia yang diduga bersifat antikanker yaitu triterpenoid/steroid.

Hasil pengujian sitotoksik dari fraksi hasil KCV terhadap sel MCF-7 memberikan nilai fraksi KL I IC50 122.391,863 µg/ml, KL II IC50 45,392 µg/ml,

KL III IC50 144,774 µg/ml, KL IV IC50 285,723 µg/ml, KL V IC50 214,890 µg/ml. Hasil pengujian sitotoksik larutan uji dari isolat dari fraksi KCV KL II terhadap sel MCF-7 memberikan nilai IC50 22,082 µg/ml sedangkan doksorubisin sebagai kontrol positif memberikan nilai nilai IC50

Kolesterol merupakan salah satu jenis sterol yang banyak ditemukan pada hewan, karena merupakan komponen penyusun membran sel. Menurut Bharat, dkk., (2013), beberapa jenis senyawa sterol seperti dibromostigmasterol, stigmast-5-en-3-ol, stigmasta-5,22-dien-3β-ol, cholest-5-en-3-ol (kolesterol), ergost-5-en-3-ol, stigmast-5-en-3-il-9-oktadekanoat diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antijamur dan sitotoksik. Doksorubisin merupakan salah satu obat antitumor golongan antibiotik antrasiklin yang bekerja dengan cara menyisip pada DNA dan mengakibatkan pemotongan DNA dan dapat menghasilkan radikal-radikal bebas pada jaringan normal maupun kanker yang dapat menyerang DNA dengan cara mengoksidasi basa-basa DNA (Serrano, et al., 1999).

sebesar 7,875 µg/ml.

4.4 Hasil Uji Sitotoksisitas Isolat Kuda Laut terhadap sel Vero dan Selectivity Index (SI).

Untuk mengetahui nilai selectivity index (SI), perlu diketahui IC50 sel vero dan IC50

SI mengindikasikan selektivitas sitotoksik (keamanan) dari isolat KL I terhadap sel kanker versus sel normal, yang dihitung dengan membandingkan IC

sel MCF-7 dengan menggunakan metode MTT. Selectivity index dihitung menggunakan persamaan di bawah ini:

���������������� = IC50 Sel Vero

IC50 Sel MCF−7

Nilai IC50 isolat KL I terhadap sel vero adalah 982,365 µg/ml, sedangkan nilai IC50

4.5 Hasil Uji Penghambatan Siklus Sel dengan Flow cytometer

isolat KL I terhadap sel MCF-7 adalah 22,082 µg/ml. Sehingga diperoleh nilai SI yaitu 44,49. Isolat KL I dikatakan memiliki selektivitas yang tinggi apabila nilai SI > 3 (Machana, 2011). Dengan demikian, isolat KL I selektif terhadap sel kanker MCF-7.

Dari hasil pengujian penghambatan siklus sel dengan menggunakan reagen propidium iodide dengan alat flow cytometer diperoleh persentase penghambatan pada masing-masing fase yaitu.

Tabel 4.1 Persentase akumulasi pada tiap fase dalam siklus sel Perlakuan Fase dalam Siklus Sel (%)

Sub-G1 G0-G1 S-Phase G2-M Kontrol 9,59 31,22 19,68 15,21 Doksorubisin ½ x IC50 13,13 36,34 17,02 13,20 Doksorubisin 1 x IC50 16,86 33,53 14,76 13,05 Isolat KL I ½ x IC50 7,65 29,04 18,38 15,68 Isolat KL I 1 x IC50 7,04 31,93 18,68 15,57 Isolat KL I 2 x IC50 12,38 21,41 20,17 14,39

Dengan adanya fluorochrome yang memiliki kemampuan berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propidium iodide maka tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka intensitas fluoresensi akan semakin besar. Alat yang digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi tiap sel pada penelitian ini adalah FACS (Fluorescence Activated Cell Sorting) atau flow cytometer (Givan, 2001).

Hasil pengukuran penghambatan siklus sel MCF-7 dengan berbagai perlakuan dapat dilihat bahwa pada kontrol sel MCF-7 ditemukan 9,59% sel

mengalami pemacuan apoptosis pada perlakuan dengan doksorubisin ½ dan 1x IC50 yang ditunjukkan terjadinya peningkatan persentase penghambatan pada fase sub-G1 yaitu 13,13% dan 16,86%, sedangkan untuk perlakuan dengan pemberian isolat KL I dengan ½ dan 1x IC50 tidak menunjukkan peningkatan apoptosis yaitu 7,65% dan 7,04%, sedangkan pemberian isolat KL I 2x IC50 menunjukkan peningkatan apoptosis yang ditunjukkan adanya peningkatan persentase penghambatan siklus sel pada fase sub-G1 yaitu 12,38%. Hal ini dapat terjadi karena adanya penghambatan sintesis DNA pada sel MCF-7 dan pemacuan ekspresi caspase 9,8 dan 7 pada sel MCF-7 yang dapat meningkatkan terjadinya apoptosis seperti halnya yang terjadi pada beberapa turunan senyawa kolesterol (oxysterol) (Vejux, et al., 2008).

GO-G1 S-phase G2-M GO-G1 S-phase G2-M GO-G1 S-phase G2-M GO-G1 S-phase G2-M GO-G1 S-phase G2-M GO-G1 S-phase G2-M Kontrol sel Isolat 2x IC50 Isolat 1x IC50 Isolat ½ x IC50 Doksorubisin 1x IC50 Doksorubisin ½ x IC50

dan isolat KL I

Untuk fase G0-G1 terjadi peningkatan yang signifikan oleh pemberian doksorubisin ½ dan 1x IC50 yaitu dari 31,22% (kontrol sel) menjadi 36,34% dan 33,53% yang berarti bahwa sel mengalami penghambatan dalam persiapan materi DNA yang akan disintesis untuk memasuki fase S, sedangkan pada sel yang diberi perlakuan ½ dan 1x IC50 tidak mengalami perubahan yang besar, akan tetapi untuk perlakuan dengan 2x IC50

Untuk fase S dan G2-M persentase tertinggi terdapat pada perlakuan dengan pemberian isolat KL I 2x IC

dari isolat menunjukkan penurunan persentase penghambatan pada fase G0-G1 yaitu sebesar 21,41%.

50

Salah satu kelemahan dari flow cytometry dalam analisa siklus sel adalah pengukuran yang bersifat subjektif, yaitu operator dapat menginterpretasi data dengan beberapa cara yang berbeda. Pada analisa siklus sel dengan metode flow cytometry, tidak ada aturan baku untuk menetapkan rentang intensitas fluoresensi untuk menentukan fase-fase dalam siklus sel, sehingga terdapat kesulitan dalam menentukan dimana 2n (fase G0/G1) berakhir dan dimana mulainya fase S. Begitu pula untuk menentukan dimana akhir dari fase S dan dimulainya fase yaitu 20,17% dan 14,39% tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol sel yaitu 19,68% dan 15,21%, sedangkan untuk doksorubisin tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Peningkatan penghambatan pada fase S menunjukkan bahwa isolat mencegah terjadinya sintesa DNA sel, sedangkan peningkatan penghambatan pada fase G2-M menunjukkan ada perbaikan DNA yang rusak (DNA repair), apabila kerusakan DNA dapat diperbaiki maka siklus sel dapat berlangsung dimana setelah melewati fase M sel akan memasuki fase G0 dan G1 (Dipaola, 2002).

G2/M (4n). metode yang paling sederhana untuk menentukan range intensitas fluoresensi disebut peak reflect method, dimana puncak dari G0/G1 diasumsikan terdistribusi simetris disekitar puncak tertinggi. Berdasarkan asumsi ini, lebar dari puncak G0/G1, dari puncak tertinggi kearah kiri (fluoresen rendah) dikopi ke kanan (fluoresen tinggi). Hal yang sama dilakukan pada puncak G2/M. selanjutnya area yang berada ditengah-tengah antara kedua wilayah tersebut (antara G0/G1 dan G2/M) dianggap sebagai fase S (Givan, 2001).

Kemungkinan terjadinya agregat atau pengelompokan sel mungkin saja terjadi, dua sel pada fase G1 yang berkumpul saat penyinaran akan memantulkan fluoresen dua kali DNA content normal dan tampak seperti satu sel yang berada pada fase G2/M. Salah satu cara mendiagnosa adanya dua sel yang bergabung dengan melihat (angka 600 pada sumbu x histogram) sangat rendah, ini menunjukkan bahwa sel MCF-7 yang digunakan sangat sedikit mengalami double cell atau sel yang berkelompok, sehingga data yang didapatkan cukup valid

Gambar 4.2 Histogram siklus sel MCF-7 yang menunjukkan sedikit sel yang mengalami agregat (double cell) ditunjukkan oleh tanda panah 4.6 Hasil Analisis Ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 dengan Imunositokimia

Pengamatan ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 terhadap sel MCF-7 dengan pemberian larutan uji menunjukkan bahwa pemberian larutan uji isolat mempengaruhi ekspresi kaspase 9 sebagai eksekutor terjadinya apoptosis selain kaspase 3 dan penghambatan ekspresi siklin D1 yang merupakan indikator

M1

GO-G1 S-phase

terjadinya pembelahan sel. Ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 ditunjukkan pada Gambar berikut ini.

Kontrol sel MCF-7 siklin D1 Kontrol sel MCF-7 kaspase 9

Doksorubisin siklin D1 Doksorubisin kaspase 9

Isolat KL I siklin D1 Isolat KL I kaspase 9 Gambar 4.3 Ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 pada sel MCF-7 yang diberi doksorubisin dan isolat KL I

Pada siklus pembelahan sel siklin D1 diperlukan untuk berikatan dengan CDK-4 dan CDK-6 dengan membentuk kompleks yang berperan pada fase G-1. CDK-siklin D1 yang mana kompleks ini akan memfosforilasi protein retinoblastoma (p-RB) yang semula memblokir aktivitas faktor transkripsi (seperti E2F dan ABL). Proses fosforilasi ini mengakibatkan p-RB menjadi inaktif. Ketidakinaktifan dari p-RB mengakibatkan faktor transkripsi menjadi aktif, sehingga disintesis beberapa protein seperti CDC-6p, Dbf-4p, CDC-7p,MCM-p dan beberapa jenis enzim, antara lain polymerase, primase, helikase, ligase maupun topoisomerase (gyrase), sehingga ketika terjadi penghambatan ekspresi siklinD 1 maka transkripsi tidak akan terjadi. Siklin disintesa pada masa interfase dan dihancurkan pada akhir mitosis (Aman, dkk., 2010; Sudiana, 2008).

Sel MCF-7 mengekspresikan sekitar 40% siklin D1, sehingga pada kontrol sel normal ditemukan banyak sel yang menunjukkan ekspresi siklin D. penghambatan ekspresi siklin D1 ditunjukkan oleh pemberian isolat KL I yang ditandai dengan hanya terserapnya warna dari hematoxilin pada sel. Adanya pengurangan/penghambatan ekspresi siklin D1 menunjukkan bahwa isolat KL I memiliki efek antiproliferasi (Lukyanova, dkk., 2009).

Kaspase 9 merupakan salah satu dari kaspase inisiator (kaspase-8, kaspase-10, kaspase-9 dan kaspase-2), kaspase efektor/eksekusioner (antara lain kaspase-3, kaspase-6, dan kaspase-7) dan kaspase yang berperan dalam maturasi sitokin (antara lain kaspase-1 dan kaspase-5). Kaspase 9 yang merupakan kaspase inisiator yang pada regulasi apoptosis dari jalur intrinsik yang dapat mengaktifkan kaspase efektor (kaspase-3 atau -7) yang akan memotong substrat yang terdapat di dalam sel untuk mengeksekusi apoptosis (Aman, dkk., 2010).

4.7 Hasil Analisis Fraksi n-heksana dengan Cara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Hasil analisis KLT fraksi n-heksana menggunakan fase diam silika gel GF254 dan penampak bercak LB , diperoleh fase gerak yang memisahkan noda dan yang paling baik adalah n-heksana – etilasetat (8:2) pada Gambar 4.1.

Berdasarkan hasil KLT di atas dengan fase gerak n-heksana:etilasetat (80:20) diperoleh 3 noda yang terpisah dengan harga Rf masing-masing ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Harga Rf hasil KLT Fraksi n-heksana kuda laut fase gerak

n-heksana-etilasetat (8:2) Visual Harga Rf Fraksi n-heksana Tidak

berwarna

0,38 (mc) 0,87 (mc) 0,96 (mu) Keterangan : mc = merah coklat, mu = merah ungu

Gambar 4.4 Kromatogram hasil analisis fraksi n-heksana dengan KLT

a b c d e f Keterangan: a. n-heksana: etilasetat (100:0) b. n-heksana: etilasetat (90:10) c. n-heksana: etilasetat (80:20) d. n-heksana: etilasetat (70:30) e. n-heksana: etilasetat (60:40) f. n-heksana: etilasetat (50:50)

Noda yang memiliki harga Rf tertinggi (0,96) relatif bersifat kurang polar dibandingkan dengan noda yang mempunyai harga Rf yang lebih rendah. Hal ini didasarkan pada polaritas sampel, eluen dan fasa diam yang digunakan. Sampel yang digunakan adalah fraksi n-heksana yang bersifat non polar sedangkan fasa diam yang digunakan adalah silika gel GF254

4.8 Hasil Pemisahan Fraksi n-heksana dengan Kromatografi Cair Vakum bersifat polar dan fasa gerak yang digunakan cenderung bersifat kurang polar lebih mudah larut dalam fasa gerak yang digunakan sehingga senyawa-senyawa yang bersifat kurang polar akan lebih mudah larut dalam fase gerak yang digunakan dan akan cepat terpisahkan dengan nilai Rf yang lebih tinggi karena senyawa yang kurang polar diikat lemah oleh fase diam. Dugaan senyawa yang diperoleh dari hasil KLT adalah steroid/triterpenoid bebas (non glikosida) dengan harga Rf (0,96) (0,87) dan (0,33).

(KCV).

Pada kromatografi cair vakum, pemisahan senyawa-senyawa yang terdapat dalam fraksi n-heksana dengan cara elusi landaian (gradient elution) dimulai dengan eluen yang bersifat non polar sampai eluen yang lebih polar. Perlakuan ini merupakan pemisahan tahap awal untuk mempermudah proses pemisahan selanjutnya, sehingga dapat diperoleh isolat tunggal. Sejumlah 2 gram fraksi n-heksana dicampur dengan silika gel 60H dan dilakukan elusi landaian sehingga diperoleh 12 fraksi, kemudian dari 12 fraksi dilakukan analisis KLT dan diperoleh 5 fraksi yang sama yaitu (dengan fase gerak n-heksana:etilasetat) fraksi KL I (100:0), KL II (90:10; 80:20 dan 70:30), KL III (60:40; 50:50; dan 40:60), KL IV (30:70; 20:80; 10:90 dan 0:100) dan KL V (fraksi metanol). Diperoleh sejumlah 1,02 gram fraksi KL II yang kemudian dilanjutkan dengan kromatografi kolom.

Bagan kerja ekstraksi Kromatografi Cair Vakum (KCV), yang dilanjutkan dengan kromatogarafi kolom ditunjukkan pada Gambar 4.5.

100:0 90:10 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 30:70 20:80 10:90 0:100 me 100 (*)

Digabung (kromatogram sama)

(*) masing-masing fraksi diuji sitotoksisitasnya

4.9 Hasil Pemisahan Fraksi n-heksana dengan Kromatografi Kolom

Pada kromatografi kolom gravitasi, pemisahan senyawa-senyawa yang terdapat dalam fraksi aktif adalah didasarkan pada daya ikat molekul-molekul sampel oleh fasa diam dan fasa gerak yang mengalir. Aliran yang terjadi disebabkan oleh adanya gravitasi. Zat berkhasiat diserap secara sempurna oleh adsorben berupa pita sempit pada puncak kolom. Dengan mengalirkan pelarut, masing-masing senyawa akan turun dengan laju yang berbeda-beda hingga terjadi pemisahan dalam kolom yang disebut kromatogram (Gritter, dkk., 1991). Hasil elusi fraksi 90:10; 80:20 dan 70:30 dari kromatografi cair vakum dengan

Fraksi n-heksana

12 fraksi

difraksinansi dengan KCV dengan fase gerak n-heksana-etilasetat secara gradien dan fase diam silika gel 60H

di kromatografi kolom dengan fase gerak n-heksan:etilasetat (gradien) dan fase diam silika gel Fraksi-fraksi (82 vial)

kromatografi kolom gravitasi sejumlah 1,02 g diperoleh eluat yang ditampung dalam 82 vial, kemudian komposisi kandungan kimia dari 82 vial dipantau dengan KLT dengan fase gerak n-heksana-etilasetat (80:20), dan fraksi yang sama digabungkan. Bagan kerja fraksinasi kolom kromatografi tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.6. Fraksi KL II Fraksi KL II 3

4.10 Hasil Analisis KLT dari Hasil Pemisahan dengan Kolom Kromatografi Terhadap fraksi yang ada di dalam 82 vial masing-masing di KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak n-heksana-etilasetat (80:20) dan penampak bercak Liebermann-Burchard, ditunjukkan pada Gambar 4.7. Vial yang mempunyai pola kromatogram yang sama digabung menjadi satu fraksi. Dari hasil pemantauan dengan KLT diperoleh satu fraksi yang memungkinkan dapat dilanjutkan proses isolasi yang disebut dengan fraksi KL II3 (54,5 mg) vial 18-22

Fraksi-fraksi (82 vial) F1-11 F12-17 F18-22 F23-43 F44-52 F53-63 F71-73 F74-82 kristal Satu noda Isolat murni Spektrum

dicuci dengan metanol dingin

KLT dua arah

UV, IR, MS dan NMR

Gambar 4.6 Bagan kerja fraksinasi dengan kolom kromatografi Setiap fraksi di KLT dan fraksi yang sama digabung

(5 fraksi) dan dilakukan pencucian kristal dengan menggunakan metanol dingin dan diperoleh kristal sebanyak 22,9 mg.

4.11 Hasil KLT Isolat

Terhadap isolat tersebut di atas dilakukan kromatografi lapis tipis dengan fase gerak n-heksana:etilasetat (80:20), penampak bercak dengan penyemprot Liebermann-Burchard dalam metanol. Hasil KLT isolat KL I diperoleh 1 noda berwarna merah ungu dengan Rf 0,45 yang diduga golongan senyawa steroid bentuk bebas. Pemurnian selanjutnya dilakukan terhadap isolat KL I. Uji kemurnian isolat KL I dilakukan dengan KLT menggunakan beberapa eluen, yaitu: I. n-heksana:kloroform (50:50), II. kloroform:etanol (60:40), III. Kloroform: metanol (70:30), IV. kloroform (100), dari hasil elusi terdapat masing-masing satu noda pada masing-masing-masing-masing fase gerak yang digunakan, diduga bahwa isolat telah murni, kromatogram ditunjukkan pada Gambar 4.7.

4.12 Hasil Pemeriksaan Kemurnian dengan Kromatografi Lapis Tipis Dua Arah

Gambar 4.7 Kromatogram uji kemurnian dengan empat jenis fase gerak yang berbeda

I II III IV Keterangan:

I. n-heksana: kloroform (50:50) II. Kloroform: etanol (60:40) III.Kloroform: metanol (70:30) IV. Kloroform (100)

Hasil KLT isolat KL I di atas, dilanjutkan dengan KLT dua arah dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak I n-heksana:etilasetat (80:20) dengan Rf 0,46 sedangkan fase gerak II adalah toluena:etilasetat (90:10) dengan Rf 0,53 dengan penyemprot Liebermann-Burchard dalam metanol. Dari perlakuan ini dihasilkan satu noda berwarna merah ungu (22,9 mg), kromatogram KLT dua arah ditunjukkan pada Gambar 4.8.

4.13 Hasil Karakterisasi Isolat KL I dengan Spektrofotometri Sinar Ultra Violet

Hasil analisis spektrofotometri ultraviolet terhadap isolat murni KL I menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang λmax 205,8 nm menunjukkan gugus kromofor yang memiliki ikatan rangkap non konyugasi. Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa senyawa isolat KL I diduga golongan steroid yang mengandung ikatan rangkap (Supratman, 2010). Spektrum ultraviolet isolat KL I pada Gambar 4.9.

Gambar 4.8 Kromatogram KLT dua arah isolat KL I Noda KLT setelah

4.14 Hasil Karakterisasi Isolat KL I dengan Spektrofotometri Infra Merah Pengukuran dengan spektrofotometri infra merah dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi dari suatu senyawa. Dengan menyinari sebuah molekul dengan sinar infra merah yang berbeda-beda frekuensi atau bilangan gelombangnya maka gugus-gugus fungsi dari tingkatan energi yang sesuai akan bergetar (Supratman, 2010). Gugus fungsi tersebut akan menyerap sinar infra merah dengan bilangan gelombang yang akan direkam dalam puncak sebuah spektrum seperti pada Gambar 4.10.

Tabel 4.3 Interpretasi spektrum IR Isolat terhadap serapan dan bilangan gelombang

Gambar 4.9 Spektrum ultraviolet isolat KL I

Bilangan gelombang (cm-1) Bentuk pita Intensitas Interpretasi

3387 Melebar Sedang Gugus OH

2939,52 Tajam Kuat CH3

1589,34 Tajam Sedang C=C non konjugasi

1450,47 Tajam Sedang C-H pada CH2

1373,32 Tajam Sedang C-H pada CH3

1049,28 Tajam Sedang C-O

Hasil analisis spektrum infra merah dari isolat murni KL I menunjukkan adanya serapan melebar pada bilangan gelombang 3387,00 cm-1 yang diduga adalah serapan uluran (stretching) dari gugus OH (3200-3500 cm-1) dan dugaan ini diperkuat oleh adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1049,28 cm-1 yang menunjukkan adanya uluran C-O (990-1060 cm-1), adanya pita pada daerah bilangan gelombang ini memberikan gambaran bahwa senyawa isolat merupakan senyawa siklik yang mengandung gugus OH. Adanya pita yang tajam dan kuat pada bilangan gelombang 2939,52 cm-1 adalah merupakan uluran C-H dari CH3

dan pita serapan dengan bilangan gelombang 1373,32 cm-1 yang menunjukkan adanya tekukan C-H dari CH3 (rocking, 1350-1370 cm-1) dan pita serapan pada bilangan gelombang 1450,47 cm-1 menunjukkan adanya tekukan C-H dari CH2

(scissoring, 1450-1470 cm-1). Pita serapan pada bilangan gelombang 1589,34 cm-1 yang tajam menunjukkan adanya uluran C=C non konjugasi (1500-1900 cm-1

Berdasarkan interpretasi data di atas dapat disimpulkan bahwa isolat KL I ) (Silverstein, et al., 2005 dan Supratman, 2010).

mengandung inti siklik, gugus hidroksi, alkil (CH3 dan CH2

Tabel 4.4 Korelasi Frekuensi C-O dengan Stereokimia

) dan ena non konjugasi. Adanya ikatan C-OH yang mempunyai kedudukan beta (β, ekuatorial) dijelaskan sebagai berikut:

Struktur Konformasi Uluran C-O, cm-1 Steroid Alkohol Steroid Metoksi Steroid Asetat A/B trans, 3 β Ekuatorial 1037-1040 1100-1102 1025-1031 A/B trans, 3 α Aksial 996-1002 1086 1013-1022 Δ5 Ekuatorial C=C, 3 β 1050-1052 1104 1030 Δ5 Aksial C=C, 3 α 1034

A/B trans, 2 α Ekuatorial 1030-1035 A/B trans, 2 β Aksial 1010 A/B trans, 4 α Ekuatorial 1040 A/B trans, 4 β Aksial 1000 (Cole, 1963).

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dikatakan bahwa gugus OH pada kolesterol adalah berkedudukan β-ekuatorial, hal ini didukung oleh adanya puncak pada serapan 1049,28 (serapan ini lebih besar dari 1037-1040). Adanya substitusi gugus pada atom C-3, sehingga berada pada posisi ekuatorial, agar posisinya jauh dari ring (cincin), sedangkan jika berada dalam kedudukan aksial akan mengalami tolak menolak dengan atom H aksial, yang disebut dengan antaraksi 1,3-diaksial (Ahmad, 1987).

4.15 Spektrum NMR Karbon-13

Karakterisasi dengan spektroskopi NMR karbon-13 (75 MHz, CDCl3) dari isolat KL I

Berdasarkan data spektrum

memberikan informasi tentang jumlah atom karbon berdasarkan harga pergeseran kimia, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.12 dan data pergeseran kimianya ditunjukkan pada Tabel 4.5.

13

C-NMR teknik broad band proton noise decoupled spectrum (bebas gandengan atom H) dapat diketahui bahwa senyawa

Gambar 4.11 Orientasi gugus OH yang mempunyai orientasi β-ekuatorial

C3 C5

HO

isolat mengandung minimal 26 atom karbon. Dari data spektrum menunjukkan adanya gugus hidroksil (δC = 71,8205 ppm) dan dua karbon ikatan rangkap (δC

121,7245 ppm dan δC 140,7589 ppm). Dari spektrum dijelaskan bahwa terdapat dua atom karbon yaitu atom C-4 dan C-13 memiliki geseran kimia yang sama yaitu δ 42,3222 ppm (pada spektrum terdapat dua puncak yang memiliki geseran kimia yang sama.

Puncak Resonansi Pergeseran Kimia (ppm) Puncak Resonansi Pergeseran Kimia (ppm) 1 11,8559 16 36,5036 2 18,7116 17 37,2509 3 19,3910 18 39,5164 4 21,0842 19 39,7832 5 22,5521 20 42,3222 6 22,8076 21 50,1360 7 23,8213 22 56,1555 8 24,2902 23 56,7684 9 28,0107 24 71,8205 (C-OH) 10 28,2256 25 121,7245 (=CH2) 11 29,6884 26 140,7589 (=C-R) 12 31,6638 13 31,9074 14 35,7823 15 36,1869 CDCl3 77,0031

Gambar 4.12 Spektrum 13

C-NMR isolat KL I

Gambar 4.13 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (δ 71,8205 – 121,7245 ppm) 3

5

Gambar 4.14 Spektrum 13C NMR Isolat KL I (42,3222 ppm)

Gambar 4.15 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (11,8559-19,3919 ppm)

Spektrum 13C-NMR isolat KL I di atas menunjukkan adanya puncak karbon pada δ 11,8559 ppm sampai dengan 19,3910 ppm. Puncak-puncak ini (dimulai dari geseran paling kecil ke besar) diberikan oleh C-18, C-21 dan C-19 di dalam senyawa kolesterol.

1

9 21

18 Terdapat dua puncak

pada geseran kimia 42,3222 ppm yang menunjukkan adanya 2 atom karbon dengan geseran kimia yang sama

Gambar 4.16 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (21,0842-24,2902 ppm)

Spektrum 13C-NMR isolat KL I di atas menunjukkan adanya puncak karbon pada δ 21,0842 ppm sampai dengan 24,2902 ppm. Puncak-puncak ini (dimulai dari geseran paling kecil ke besar) diberikan oleh C-11, C-26, C-27, C-23 dan C-15 di dalam senyawa kolesterol.

Gambar 4.17 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (28,0107 – 31,9074 ppm) 11 26 27 15 23 2 16 7 2 8

Spektrum 13C-NMR isolat KL I di atas menunjukkan adanya puncak karbon pada δ 28,0107 ppm sampai dengan δ 31,9074 ppm menunjukkan atom dari senyawa kolesterol C-25, C-16, C-7, C-2 dan C-8 di dalam senyawa kolesterol (dimulai dari geseran paling kecil ke besar).

Gambar 4.18 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (δ 35,7823 – 37,2509 ppm)

Spektrum 13C-NMR isolat KL I di atas menunjukkan adanya puncak karbon pada δ 35,7823 ppm sampai dengan δ 37,2509 ppm. Puncak-puncak ini (dimulai dari geseran paling kecil ke besar) diberikan oleh C-22, C-20, C-10 dan C-1 di dalam senyawa kolesterol.

22 20

10 1

Gambar 4.19 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (δ 39,5164 – 42,3222 ppm)

Spektrum 13C-NMR isolat KL I di atas menunjukkan adanya puncak karbon pada δ 39,5164 ppm sampai dengan δ 42,3222 ppm. Puncak-puncak ini (dimulai dari geseran paling kecil ke besar) diberikan oleh 24, 12, 4 dan C-13 di dalam senyawa kolesterol.

Gambar 4.20 Spektrum 13C-NMR Isolat KL I (δ 50,1360 – δ 56,7684 ppm) 4;1

3

12 24

Spektrum 13C-NMR isolat KL I di atas menunjukkan adanya puncak pada δ 50,1360 ppm sampai dengan δ 56,7684 ppm. Puncak-puncak ini (dimulai dari geseran paling kecil ke besar) diberikan oleh C-9, C-17 dan C-14 di dalam senyawa kolesterol.

Gambar 4.21 Spektrum dari pelarut CDCl3

Spektrum

(δ 77,0002 ppm)

13

C-NMR pada δ 76,5797 ppm sampai dengan δ 77,4264 ppm, merupakan puncak pelarut CDCl3

Tabel 4.6 Perbandingan data

yaitu δ 77,0002 ppm.

13

kolesterol (Tesemma, et al., 2013; Brown, et al., 1981).)

C- NMR hasil penelitian dan data literatur untuk

Puncak Resonansi

δ (ppm) Literatur

δ (ppm) Dugaan Resonansi Puncak

δ (ppm) Literatur δ (ppm) Dugaan 1 11,8559 11,872 C-18 16 36,5036 36,511 C-10 2 18,7116 18,787 C-21 17 37,2509 37,252 C-1 3 19,3910 19,420 C-19 18 39,5164 39,610 C-24 4 21,0842 21,089 C-11 19 39,7832 39,773 C-12 5 22,5521 22,570 C-26 20 42,3222 42,289 C-4: C13 6 22,8076 22,790 C-27 21 50,1360 50,122 C-9 7 23,8213 23,930 C-23 22 56,1555 56,044 C-17 8 24,2902 24,313 C-15 23 56,7684 56,767 C-14 9 28,0107 28,030 C-25 24 71,8205 71,823 C-3 10 28,2256 28,250 C-16 25 121,7245 121,740 C-6 11 29,6884 29,719 C-7 26 140,7589 140,752 C-5 12 31,6638 31,651 C-2 13 31,9074 31,902 C-8 14 35,7823 36,310 C-22 15 36,1869 36,156 C-20 CDCl3 77,0002 77,0000

4.16 Spektrum Proton NMR

Spektrum proton NMR (300 MHz, CDCl3) isolat murni KL pada gambar 4.22 menunjukkan terdapat dua puncak singlet pada δH 1.0264 ppm dan δH 0.6966 ppm yang diduga merupakan gugus metil pada C-19 dan C-18. Puncak doublet pada δH.0.8953 ppm; 0.8732 ppm diduga merupakan CH3-26 dan CH3-27.

Spektrum 1H-NMR dengan puncak multiplet pada geseran δ 3,4908 - 3,5956 ppm yang menunjukkan adanya proton H-3. Hal ini merupakan ciri dari

Dokumen terkait