• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.6 Hasil Wawancara Mendalam ( Indepth Interview )

Peneliti juga melakukan indepth interview terhadap 6 (enam) orang informan. Informan terpilih tersebut adalah informan yang dapat memberikan informasi secara mendalam mengenai pengetaahuan, sikap, dan dukungan anggota keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.

4.6.1. Karakteristik Informan

Karakteristik informan meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, status dalam keluarga/masyarakat, dan lama tinggal di desa. Umur informan bervariasi mulai dari 28-65 tahun, 2 orang informan adalah wanita sedangkan 4 lainnya adalah pria. Pada umumnya tingkat pendidikan informan adalah tingkat menengah (SLTP dan SLTA), hanya 1 informan dengan tingkat pendidikan S-1. Lima orang informan memiliki pekerjaan swasta yang didominasi oleh nelayan. Jumlah anggota keluarga berkisar antara 3-5 orang. Status

informan dalam keluarga pada umumnya adalah kepala keluarga, hanya 1 informan sebagai anggota keluarga. Sedangkan status dalam masyarakat, 3 informan adalah anggota masyarakat, 2 informan adalah perangkat desa yang terdiri atas kepala desa dan kepala dusun, serta 1 informan adalah tokoh masyarakat. Semua informan merupakan penduduk asli Desa Deyah Raya yang sejak lahir tinggal di desa ini, sedangkan 2 informan wanita adalah istri dari suami yang juga penduduk asli desa ini, salah satu diantara informan wanita tersebut menjadi kepala keluarga karena telah bercerai dengan suami. Semua informan merupakan korban bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2004, yang telah merasakan dahsyatnya bencana tersebut. Karakteristik informan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15. Karakteristik Informan di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh

Sumber: Hasil penelitian (2011)

No Nama Usia (thn) Jenis Kela- min Pendi- dikan Peker- jaan Lama Tinggal di Desa Jumlah Anggota Keluarga Status dlm Kelg/Masy

1. Ernawati 32 PR SLTA Baby

Sister 17 th 3 orang

KK/Angota Masyarakat

2. Ida

Rosnita 29 PR SLTA IRT 12 th 5 orang

Anggota Kelg/Angota

Masyarakat

3. Zainun 50 LK SLTP Nelayan 50 th 4 orang KK/Kepala

Dusun

4. M.

Thalib 50 LK SLTP Nelayan 50 th 3 orang

KK/Anggota Masyarakat 5. M. Irfan

Khadafi 39 LK S-1 Honorer 39 th 5 orang

KK/Kepala Desa 6. Abdul Wahid 65 LK SLTA Pensiu- nan PNS 65 th 5 orang KK/Tokoh Masyarakat

4.6.2. Pengetahuan Informan

Hasil indepth interview menunjukkan bahwa pada umumnya informan memahami arti kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi hanyalah sebagai suatu pengetahuan mengenai cara penyelamatan diri saat terjadi gempa dan menyiapkan peralatan yang sangat diperlukan untuk mempercepat proses penyelamatan diri tersebut. Sedangkan mengenai peralatan dan perlengkapan yang seharusnya disiapkan di rumah untuk menghadapi gempa sebelum terjadinya gempa, pada umumnya informan kurang mengetahui. Informan berpendapat bahwa hanya kendaraanlah perlengkapan yang perlu disiapkan, seperti ungkapan salah satu informan berikut:

“Siapsiaga itu artinya kita tahu melakukan apa saat terjadi gempa” “Cara menyelamatkan diri saat terjadi gempa”

“Artinya siap menghadapi gempa”

“Peralatan apa maksudnya….? kalau saya hanya menyiapkan sepeda motor saja, supaya cepat untuk lari, jadi minyak saja yang saya kontrol selalu, saya isi penuh selalu. Yang lainnya kain saja 2 buah, kalau ada uang ya dibawa uang juga atau barang berharga lainnya…..” “Ya kendaraanlah, agar cepat untuk lari, itu saja, yang lain tidak ada…”

“Sepeda motor saja, lain tidak ada…”

“Kalau kesiapan khusus untuk peralatan tidak ada, karena kejadian itu tidak pasti, jadi ya sepeda motor saja…”

“Yang paling penting ya kendaraan…”

Hasil indepth interview mengenai pengetahuan informan tentang tindakan penyelamatan diri saat terjadi gempa, peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan informan mengenai cara penyelamatan diri juga tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan pada umumnya informan segera berlari meninggalkan lokasi tempat tinggal, setelah keluar dari rumah saat terjadi gempa, dengan alasan bahwa lokasi

tempat tinggal berada di wilayah pesisir, sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelamatkan diri jika terjadi tsunami, seperti ungkapan informan berikut:

“…kalau gempa saya dan keluarga langsung keluar rumah, tidak mungkin tetap didalam rumah, karena rumah ini tidak kuat. Kami berdiri di tempat yang tidak ada pohon, tiang listrik, atau bangunan, takut tertimpa kalau roboh…”

“….begitu gempa sedikit reda, saya langsung menghidupkan sepeda motor, lari dengan sepeda motor. Makanya kendaraan selalu harus siap, sepeda motor selalu saya isi minyak penuh. Pokoknya setiap terjadi gempa, saya tetap lari ke luar desa, nanti kalau kira-kira sudah aman, baru balik lagi ke rumah”

“…kalau kira-kira sudah bisa lari, ya langsung lari keluar dari desa ini, karena kan sangat dekat dengan laut”

Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga memperoleh informasi mengenai sebagian kecil informan yang tetap bertahan di lokasi tempat tinggal sebelum memastikan ada atau tidaknya tanda-tanda tsunami dengan melihat kondisi air laut. Jika air laut kering sampai kira-kira 200 m dari pantai setelah terjadi goncangan gempa yang kuat, maka gempa berpotansi tsunami, karena dapat diperkirakan sekitar 20 menit kemudian akan terjadinya gelombang besar (tsunami) dan meruntuhkan semua yang dilaluinya, seperti ungkapan informan berikut:

“….kalau gempa, saya dan keluarga langsung ke luar rumah, duduk di depan rumah, lihat air laut, kalau tidak kering, saya tidak lari. Tapi orang-orang banyak juga yang langsung lari”. “Kalau gempa, saya tidak langsung lari, berdzikir saja, apalagi kalau gempanya tidak terlalu

kencang, cukup ke luar rumah saja, tidak sanggup lari, saya sudah tua, badan tidak kuat lagi. Biasanya kami lihat air laut dulu, kalau tidak kering berarti kan tidak terjadi tsunami, untuk apa lari, kalau gempa itu kan dimana-mana juga gempa”

Hasil indepth interview menunjukkan bahwa meskipun tindakan yang dilakukan setelah terjadi gempa sedikit reda berbeda, namun semua informan mengatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman masing- masing informan saat terjadi gempa bumi dan tsunami 2004. Berikut adalah kutipan

wawancara dengan sebagian informan yang tidak langsung berlari setelah gempa sedikit reda:

“Dari pengalaman 2004. Setelah gempa kuat itu, tidak langsung naik air laut, ada kira-kira 20 menit setelah gempa baru naik air laut. Sebelum air laut itu naik, saya sempat lihat laut itu kering 200 meter dari pantai, baru kemudian ombaknya sangat besar dan naik ke darat, habis semuanya. Saya bersama anak yang kedua waktu itu di laut, seperti biasa memasang jaring ikan. Saya lihat sendiri kejadian itu, tapi saya sudah tahu, waktu lihat air laut kering, saya dan anak langsung mengayuh perahu ke tengah laut, sedangkan perahu-perahu yang berada agak ke tepi, semua digulung ombak. Jadi kalau gempa-gempa lagi sekarang, saya tidak langsung lari, tapi lihat air laut dulu”

“Ingat kejadian gempa dan tsunami 2004, air laut itu naik kan kalau gempanya sangat kuat, dan tidak langsung naik juga, ada selang waktu beberapa menit. Makanya kalau gempa- gempa lagi, saya ke simpang jalan saja, untuk jaga-jaga. Saya sempat digulung ombak juga waktu itu, semua keluarga meninggal, ini keluarga kedua”.

Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga memperoleh informasi mengenai sebagian informan lain yang mengatakan langsung berlari jika gempa sudah sedikit reda, hal ini juga berdasarkan pengalaman dan kondisi emosi (perasaan takut/trauma) akibat gempa dan tsunami tahun 2004, seperti kutipan wawancara berikut dengan salah seorang informan tersebut:

“Dari pengalaman gempa dan tsunami 2004, saya digulung ombak karena tidak tahu sama sekali air laut naik, makanya sekarang kalau gempa, begitu bisa lari…ya kami lari saja terus, takut, teringat tsunami 2004…”

4.6.3. Sikap Informan

Berdasarkan hasil indepth interview, diperoleh informasi bahwa menurut semua informan peralatan yang paling penting disiapkan untuk menghadapi gempa bumi sebelum terjadi gempa adalah kendaraan, dengan alasan bahwa kendaraan merupakan satu-satunya alat yang dapat mempercepat penyelamatan diri, seperti ungkapan informan berikut:

“Kalau kesiapan khusus untuk peralatan tidak ada, karena kejadian itu tidak pasti, jadi ya sepeda motor saja…”

“Yang paling penting ya kendaraan…”

“Tidak ada, ya paling kalau anak saya ya sepeda motor saja”

Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti juga berasumsi bahwa sikap informan yang kurang setuju tersebut juga dapat disebabkan oleh anggapan informan yang pada umumnya mengganggap gempa bumi adalah musibah dari ALLah SWT (takdir Allah SWT), seperti ungkapan informan berikut:

“Gempa bumi adalah musibah yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk menyadari perbuatannya, itu takdir dari Allah SWT,….kalau kesiapan khusus untuk peralatan tidak ada, karena kejadian itu tidak pasti, jadi ya kendaraan saja…”

Berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa alasan informan yang pada umumnya tidak setuju menyediakan peralatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan seperti kotak P3K dan tidak menyediakan baterai cadangan, adalah karena pendapatan keluarga yang tidak mencukupi untuk menyediakan peralatan khusus menghadapi kondisi darurat, sehingga informan hanya menyediakan peralatan- peralatan yang benar-benar dibutuhkan saja dalam kondisi apapun, seperti ungkapan informan berikut:

“Tidak ada persediaan apa-apa untuk obat-obat, kotak P3K juga tidak ada, kalau sakit-sakit baru berobat ke puskesmas atau ya beli saja di warung secukupnya”

“Obat-obat ringan sedikit saja yang ada, lain tidak ada….pendapatan saya pas-pasan, jadi yang dibeli, ya yang penting-penting saja….”

“… kalau baterai cadangan tidak ada karena kami pakai lampu cas, ya…saya pikir sudah cukuplah berhubung pendapatan juga pas-pasan”

“Hanya lampu cas saja yang ada di rumah, karena sekalian untuk keperluan belajar anak saya,…kalau senter dan baterai tidak ada…”

Peneliti juga memperoleh informasi mengenai sikap informan yang kurang setuju untuk menyimpan nomor telepon penting (nomor telepon PMI, RS, polisi,

pemadam kebakaran, PLN) yang dapat dihubungi dalam kondisi darurat, berdasarkan hasil indepth interview peneliti menyimpulkan bahwa alasan informan kurang setuju yakni karena merasa tidak terlalu membutuhkan nomor-nomor tersebut, karena informan tidak begitu yakin dalam kondisi darurat pihak-pihak tersebut akan dapat memberikan pertolongan secara cepat, keyakinan informan ini berdasarkan pengalamannya ketika tejadi gempa dan tsunami tahun 2004, seperti ungkapan informan berikut:

“Tidak ada nomor-nomor telepon itu, hanya nomor saudara saja, nomor keponakan dan abang istri saya itu ada juga, yang saya katakan tadi, kalau ngungsi mungkin kami ke situ…, ya tidak tahu juga ya, tapi belum tentu juga mereka angkat Hp kalau ditelepon, pastilah sibuk menyelamatkan diri dan keluarga sendiri…, apalagi seperti gempa dan tsunami 2004 itu…”

Hasil indepth interview juga menunjukkan bahwa pada umumnya informan menunjukkan sikap tidak setuju jika seharusnya mendengarkan informasi terlebih dahulu tentang kondisi air laut berpotensi tsunami atau tidak, sebelum berlari meninggalkan lokasi tempat tinggal setelah terjadi gempa. Adapun alasan informan adalah pada umumnya mereka masih trauma dengan kejadian gempa dan tsunami tahun 2004, seperti ungkapan informan berikut:

“Ah tidak, saya tidak setuju…masih trauma…,karena pengalaman gempa dan tsunami 2004 dulu, saya digulung ombak sebab tidak tahu sama sekali air laut naik, makanya sekarang kalau gempa, begitu bisa lari…ya kami lari saja terus, takut, teringat tsunami 2004…”

Peneliti juga memperoleh informasi lain mengenai sistem peringatan bencana local, berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa perangkat desa tidak pernah memberikan pengumuman melalui pengeras suara setelah terjadi gempa bumi. Oleh karena itu, sebagai tanda peringatan bencana warga berpedoman pada air laut,

warga sudah memahami bahwa salah satu tanda akan terjadinya tsunami setelah gempa, yakni apabila air laut kering, dan tsunami tidak langsung datang, kira-kira 20 menit setelah terjadi gempa yang kuat. Informasi inilah yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh sesama warga, sebagai sistem peringatan dini bencana gempa bumi dan tsunami, seperti kutipan wawancara berukut:

“Tidak ada apa-apa dari pemimpin desa. Untuk peringatannya, saya memang lihat sendiri air laut, kemudian saya sampaikan ke warga yang lain”

“Tidak ada apa-apa dari perangkat desa, seringnya dari sesama warga saja. Kadang-kadang informasinya dari warga yang lihat air laut setelah gempa, itulah yang disampaikan ke warga yang lain. Tapi untuk keputusan lari atau tidak, itu tergantung pada pribadi masing- masing, yang takut-takut ya lari, ada juga yang berani, tidak lari…”

Peneliti juga memperoleh informasi senada berdasarkan hasil indepth interview dengan informan yang mewakili perangkat desa (kepala desa). Kepala desa mengakui bahwa pihaknya tidak pernah memberikan pengumuman melalui pengeras suara kepada warga setelah terjadi gempa, dengan alasan situasi tidak memungkinkan karena kondisi darurat, sehingga semua orang lebih memfokuskan pada tindakan penyelamatan diri masing-masing keluarga. Selain itu, informan juga yakin bahwa setiap warga telah memahami kondisi darurat ini, warga sudah tahu bahwa salah satu tanda akan terjadinya tsunami setelah gempa adalah dengan berpedoman pada air laut, seperti kutipan wawancara berikut:

“Kami memang tidak memberikan tanda peringatan apapun setelah gempa, karena tidak sempat lagi, paling ya informasi dari mulut ke mulut saja. Saya yakin warga sudah tahu melakukan apa karena sudah pengalaman saat gempa dan tsunami 2004”

4.6.4. Dukungan Anggota Keluarga

Hasil indepth interview mengenai dukungan anggota keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi, yakni sebagian besar informan mengatakan bahwa persediaan peralatan dan perlengkapan rumah tangga disediakan oleh kepala keluarga, demikian juga pemberian informasi dan bimbingan kepada anak mengenai gempa jarang dilakukan, seperti kutipan wawancara dengan informan (kepala keluarga) berikut ini:

“Tidak ada, apa yang menurut saya bisa saya kerjakan, ya saya kerjakan sendiri saja…” “Jarang, anggota keluarga hanya kadang-kadang memberikan informasi tentang bencana,

kalau persediaan peralatan untuk di rumah, apa yang saya rasa perlu ya saya saja yang beli...”

“Hmmm…tidak ada sepertinya, diskusi pun jarang, paling hanya bicara sekali saja ya sudah, informasi-informasi dari anggota keluarga kadang-kadang ada…, persediaan peralatan di rumah juga saya beli sendiri, istri ya terima saja apa yang saya bawa, tapi kadang-kadang kalau ada yang kurang dibeli juga sama istri saya di warung….kalau mengingatkan, seringnya hanya mengingatkan Hp selalu aktif, itu saja…”

“Kalau mengenai peralatan-peralatan tadi, ya memang tidak ada, baik istri maupun anak-anak tidak pernah menyiapkan rutin, ya kadang-kadang saja kalau perlu istri saya beli di warung,…tapi kalau lampu memang saya yang siapkan sendiri, paling istri mengingatkan saja kalau baterainya habis…”

Berdasarkan hasil indepth interview peneliti menyimpulkan bahwa alasan utama kurangnya dukungan atau keterlibatan anggota keluarga dalam menyediakan peralatan dan perlengkapan untuk menghadapi kondisi darurat bencana gempa bumi yaitu pendapatan keluarga yang tidak mencukupi. Suami sebagai kepala keluarga adalah satu-satunya pencari nafkah untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga, sedangkan istri semua ibu rumah tangga. Sehingga segala kebutuhan rumah tangga pada umumnya disediakan oleh kepala keluarga sesuai dengan pendapatannya dan

tingkat kebutuhan keluarga, seperti kutipan wawancara dengan informan yang mewakili anggota keluarga (istri):

“Ya …memang suami saya yang sediakan semua, karena beliau yang kerja, jadi apa-apa yang perlu ya beliau beli langsung saja, saya paling hanya mengingatkan Hp saja selalu aktif, kalau ada apa-apa agar mudah dihubungi…..”

Begitu pula dengan alasan utama kurangnya dukungan anggota keluarga dalam menyisihkan uang sebagai tabungan, yakni pendapatan kepala keluarga yang tidak mencukupi, seperti ungkapan salah satu informan berikut:

“Kalau tabungan jarang, kadang-kadang kalau ada lebih uang ya ada, tapi kalau tidak lebih, apa yang disimpan…, kalau dikatakan perlu ya perlu juga, tapi kalau memang ada yang lebih perlu ya tidak bisa disimpan juga…”

“Kadang-kadang saya menyimpan uang, istri juga jarang, karena pendapatan saya pas- pasan…”

Berdasarkan hasil indepth interview juga diketahui bahwa kurangnya dukungan anggota keluarga dalam memberikan informasi dan bimbingan kepada anak tentang gempa, disebabkan anggapan dari anggota keluarga bahwa setiap orang sudah mengetahui cara menyelamatkan diri bila terjadi gempa, karena semua sudah memiliki pengalaman gempa dan tsunami tahun 2004. Sedangkan untuk anak-anak yang kecil, anggota keluarga (ibu) khawatir anak akan semakin takut bila diberitahukan tentang gempa, sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu tidak berani membicarakan masalah gempa bumi kepada anak, karena ibu masih memiliki rasa trauma terhadap peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004, dan ibu juga meyakini bahwa anak juga akan merasa takut apabila hal tersebut dibicarakan, seperti kutipan wawancara berikut:

“Diskusi atau bimbingan dalam keluarga secara khusus tidak ada, semua kan sudah tahu, saya, suami dan adik semua sudah merasakan tsunami 2004, jadi ya sudah tahulah….Sama anak-anak juga saya tidak mengatakan apa-apa, kalau gempa anak-anak nangis”

Begitu pula menurut informan (kepala keluarga), berikut kutipan wawancaranya:

“…Anak yang besar sudah tahu sendiri, kalau untuk anak yang kecil, saya tidak mengatakan apa-apa, karena dia selalu bersama saya, kalau saya kerja dia saya titip sama kakak saya di Lambuk. Saya takut juga nanti kalau saya katakan dia pasti lebih takut lagi, karena kalau gempa dia selalu nangis, berartikan dia sangat takut”

“Istri dan anak-anak jarang juga diskusi tentang gempa, kadang-kadang sih ada, saya pikir masing-masing sudah tahu lah..”

4.6.5. Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menghadapi Bencana Gempa Bumi

Hasil indepth interview mengenai tindakan menyediakan peralatan pertolongan pertama di rumah, yakni sebagian informan tidak menyediakan peralatan obat-obatan apapun di rumah, baik kotak P3K maupun obat-obatan ringan yang biasa digunakan keluarga, seperti kutipan wawancara berikut:

“Tidak ada apa-apa, kalau sakit-sakit kepala…ya beli saja obat di warung, belinya ya cukup untuk saat itu saja…tidak disediakan khusus, kalau sekarang tidak ada…”

“Tidak ada persediaan apa-apa untuk obat-obat, kotak P3K juga tidak ada, kalau sakit-sakit baru berobat ke puskesmas atau ya beli saja di warung secukupnya”

Hasil indepth interview mengenai tindakan menyediakan alat pemenuhan kebutuhan dasar untuk kondisi darurat di rumah, yakni sebagian besar informan tidak menyediakan makanan praktis (tidak perlu dimasak dan tahan lama), hanya air minum dalam botol di rumah, seperti kutipan wawancara berikut:

“Tidak ada apa-apa yang saya siapkan, hanya air minum saja ada saya isi dalam botol agar mudah dibawa, tapi kalau makanan-makanan tambahan lain tidak ada, kadang-kadang saja ada kalau ada lebih uang, maklumlah kondisi ekonomi saya pas-pasan”

“Kalau sekarang tidak ada makanan-makanan ringan apapun di rumah, air minum ada saya isi dalam botol aqua…, makanan-makanan ringan hanya kadang-kadang saja ada, ya karena uangnya pas-pasan”

Hasil indepth interview mengenai tindakan menyediakan alat penerangan alternatif, yakni semua informan menyediakan lampu. Bahkan sebagian informan juga menyediakan senter dan baterai cadangan, seperti kutipan wawancara berikut:

“Hanya lampu cas saja yang ada di rumah, karena sekalian untuk keperluan belajar anak saya,…kalau senter dan baterai tidak ada…”

Hasil indepth interview mengenai tindakan menyediakan alat komunikasi keluarga, yakni semua informan menyediakan handphone (Hp) rata-rata lebih dari satu buah, seperti kutipan wawancara berikut:

“Hp, semua anggota keluarga punya Hp, karena anak-anak sudah besar, ada 4 buah Hp di rumah kami…”

“HP, ada 3 buah di rumah, Hp saya, suami dan adik saya yang tinggal sama kami di sini, kalau anak-anak masih kecil, ya tidak pakai Hp…”

Namun terdapat pula informan yang menyediakan Hp satu buah dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, seperti kutipan wawancara berikut:

“Kami pakai Hp, tapi hanya 1 punya anak saya, kalau Hp saya dulu ada, sekarang sudah rusak, belum ganti yang baru, belum cukup uang…”

“Hp, tapi hanya 1, biasanya sama istri kalau saya ke laut…”

Hasil indepth interview mengenai tindakan menyimpan nomor telepon penting, yakni pada umumnya informan tidak menyimpan nomor telepon penting yang dapat dihubungi dalam kondisi darurat, hanya nomor saudara/kerabat saja yang disimpan. Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu informan tersebut:

“Tidak ada, hanya nomor saudara saja, nomor keponakan dan abang istri saya itu ada juga, yang saya katakan tadi, kalau ngungsi mungkin kami ke situ…”

Hasil indepth interview mengenai tindakan menyisihkan uang sebagai tabungan yang dapat digunakan dalam kondisi darurat, yakni sebagian besar informan mengatakan tidak mempunyai tabungan karena pendapatan yang pas-pasan, namun

adapula yang menyisihkan uang kadang-kadang, tergantung penghasilannya. Berikut

Dokumen terkait