• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.2 Pengaruh Sikap terhadap Kesiapsiagaan Rumah

Syiah Kuala Kota Banda Aceh

Sikap kepala keluarga mengenai kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi berdasarkan hasil penelitian terhadap 71 responden, diketahui bahwa persentase terbesar berada pada kategori kurang baik, yaitu sebanyak 60 KK (84,5%), selebihnya berada pada kategori baik sebanyak 11 KK (15,5%). Hasil analisis Chi Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap kepala keluarga dengan kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi (p=0,005<0,05. Hasil analisis Regresi Linear Berganda menunjukkan bahwa secara statistik variabel sikap merupakan variabel yang paling dominan, serta mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh (p=0,0001<0,05).

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu (Sunaryo, 2004). Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

Menurut Notoatmodjo (2003), sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sesuai dengan hasil penelitian, sikap merupakan faktor yang paling dominan (berpengaruh secara positif dan signifikan) terhadap kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi. Sehingga dapat dijelaskan bahwa semakin baik sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan maka semakin baik pula tindakan kesiapsiagaan yang dilakukan dalam rumah tangga untuk menghadapi bencana gempa bumi, dan begitu pula sebaliknya.

Menurut Notoadmodjo (2005), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Sedangkan pada sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak

menyukai objek tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kepala keluarga menunjukkan sikap negatif atau kurang baik (84,5%). Sikap kepala keluarga yang kurang baik terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi, berdasarkan hasil penelitian tampak dari sebagian besar kepala keluarga kurang setuju jika kotak P3K seharusnya disediakan di rumah dan nomor telepon penting (nomor telepon PMI, rumah sakit, polisi, pemadam kebakaran, kerabat/saudara) seharusnya disimpan, tidak setuju jika seharusnya menyediakan baterai cadangan di rumah dan kurang setuju jika seharusnya mendengarkan pengumuman melalui pengeras suara sebagai tanda peringatan bencana atau melihat kondisi air laut saat tejadi gempa sebelum berlari meninggalkan lokasi tempat tinggal (daerah pantai).

Berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa alasan informan yang pada umumnya tidak setuju untuk menyediakan peralatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan seperti kotak P3K dan menyediakan baterai cadangan, adalah karena pendapatan keluarga yang tidak mencukupi untuk menyediakan peralatan khusus menghadapi kondisi darurat, sehingga informan hanya menyediakan peralatan- peralatan yang benar-benar dibutuhkan saja dalam kondisi apapun. Sedangkan mengenai tindakan pada umumnya tidak menyimpan nomor telepon penting (nomor telepon PMI, RS, polisi, pemadam kebakaran, PLN) yang dapat dihubungi dalam kondisi darurat, peneliti menyimpulkan bahwa informan merasa tidak terlalu membutuhkan nomor-nomor tersebut, karena informan tidak begitu yakin dalam kondisi darurat pihak-pihak tersebut akan dapat memberikan pertolongan secara

cepat, keyakinan informan ini berdasarkan pengalamannya ketika tejadi gempa dan tsunami tahun 2004.

Menurut Pieter dan Lumongga (2010), pembentukan perilaku manusia adalah akibat adanya kebutuhan-kebutuhan dalam diri yang dimulai dari kebutuhan fisiologis, rasa aman, harga diri, sosial, dan aktualisasi diri. Menurut Sajogyo (1985), besarnya pendapatan seseorang atau keluarga mempunyai hubungan yang erat dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Kurangnya pendapatan akan dapat menghambat materialistis maupun non materialistis seperti pendidikan, kesehatan dan rekreasi, disamping kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku kesiapsiagaan informan menghadapi bencana gempa bumi sangat ditentukan oleh pendapatan dan kebutuhan keluarga.

Berdasarkan hasil indepth interview, diperoleh informasi bahwa menurut semua informan peralatan yang paling penting disiapkan untuk menghadapi gempa bumi sebelum terjadi gempa adalah kendaraan, dengan alasan bahwa kendaraan merupakan satu-satunya alat yang dapat mempercepat penyelamatan diri, jadi peralatan yang sangat dibutuhkan adalah kendaraan. Selain itu, peneliti juga berasumsi bahwa sikap informan yang kurang setuju tersebut, juga dapat disebabkan oleh anggapan informan yang pada umumnya mengganggap gempa bumi adalah musibah dari Allah SWT (takdir Allah SWT).

Triutomo (2007) menyatakan masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya masyarakat percaya

bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga merasa tidak perlu lagi berusaha untuk mempelajari langkah- langkah pencegahan. Sesuai dengan hasil indepth interview, akibat adanya anggapan tersebut, maka informan memandang bahwa peralatan-peralatan khusus untuk menghadapi gempa sebelum terjadi gempa tidak begitu perlu disiapkan kecuali kendaraan. Oleh karena itu menurut Nashir (2008), ilmu pengetahuan didukung oleh teori dan teknologi yang canggih sangat diperlukan untuk dapat menjelaskan bencana secara objektif, rasional, dan berdasarkan pada perilaku alam apa adanya (faktual).

Hasil indepth interview juga menunjukkan bahwa pada umumnya informan menunjukkan sikap tidak setuju jika seharusnya mendengarkan informasi terlebih dahulu tentang kondisi air laut berpotensi tsunami atau tidak, sebelum berlari meninggalkan lokasi tempat tinggal setelah terjadi gempa. Adapun alasan informan adalah pada umumnya mereka masih trauma dengan kejadian gempa dan tsunami tahun 2004.

Peneliti juga memperoleh informasi mengenai sistem peringatan bencana lokal, berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa perangkat desa tidak pernah memberikan pengumuman melalui pengeras suara setelah terjadi gempa bumi. Oleh karena itu, sebagai tanda peringatan bencana warga berpedoman pada air laut, warga sudah memahami bahwa salah satu tanda akan terjadinya tsunami setelah gempa, yakni apabila air laut kering, dan tsunami tidak langsung datang, kira-kira 20 menit setelah terjadi gempa yang kuat. Informasi inilah yang disampaikan dari mulut

ke mulut oleh sesama warga, sebagai sistem peringatan dini bencana gempa bumi dan tsunami.

Informasi senada diperoleh peneliti berdasarkan hasil indepth interview

dengan informan yang mewakili perangkat desa (kepala desa). Kepala desa mengakui bahwa pihaknya tidak pernah memberikan pengumuman melalui pengeras suara kepada warga setelah terjadi gempa, dengan alasan situasi tidak memungkinkan karena kondisi darurat, sehingga semua orang lebih memfokuskan pada tindakan penyelamatan diri masing-masing keluarga. Selain itu, informan juga yakin bahwa setiap warga telah memahami kondisi darurat ini, warga sudah tahu bahwa salah satu tanda akan terjadinya tsunami setelah gempa adalah dengan berpedoman pada air laut.

Berdasarkan informasi tersebut, maka peneliti berasumsi bahwa kepala desa yakin meskipun tanpa pengumuman dari perangkat desa, warga telah mendapatkan informasi dari mulut ke mulut yang disampaikan oleh sesamanya, sebagai sistem peringatan dini bencana gempa bumi dan tsunami. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa adanya sebagian warga yang terus berlari menjauhi pantai setelah gempa meskipun kondisi air laut tidak menunjukkan tanda akan terjadi tsunami, hal ini lebih didasarkan pada kondisi emosi masing-masing warga. Sesuai dengan pendapat Pieter dan Lumongga (2010), perubahan perilaku manusia juga dapat timbul akibat kondisi emosi. Bentuk-bentuk emosi yang berhubungan dengan

perubahan perilaku yaitu rasa marah, gembira, bahagia, sedih, cemas, takut dan sebagainya.

Menurut Green, et al (1989), sikap merupakan salah satu faktor predisposisi utama untuk terjadinya perilaku. Hal senada diungkapkan oleh Rotter dalam Feist dan Feist (2008), menyatakan bahwa sikap merupakan faktor kognitif (personal) setiap individu yang dapat memengaruhi perilaku. Kwick dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan dipelajari. Selanjutnya Azwar (2006) menyatakan kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu tentang seberapa sulit atau mudah dalam melakukan tindakan.

Berdasarkan hasil indepth interview, peneliti dapat menyimpulkan bahwa sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi di desa turut pula dipengaruhi oleh pengalaman, kondisi emosi, kebutuhan, dan pendapatan keluarga. Hal inilah yang menyebabkan hasil analisis Regresi Linear Berganda menunjukkan bahwa secara statistik sikap kepala keluarga merupakan faktor yang paling dominan, dengan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.

5.3. Pengaruh Dukungan Anggota Keluarga terhadap Kesiapsiagaan Rumah

Dokumen terkait