• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Hati

3. Hepatotoksin

Obat dan senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai dapat diramalkan (hepatotoksik intrinsik) atau tidak dapat diramalkan (hepatotoksik idiosinkratis).

(1.) Hepatotoksisitas intrinsik. Hepatotoksisitas jenis ini hampir selalu didasarkan pada dosis pemberian. Contoh dari senyawa yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas intrinsik adalah acetaminophen, karbon tetraklorida dan alkohol.

(2.) Hepatotoksisitas idiosinkratik. Hepatotoksisitas jenis ini terjadi secara tidak diprediksi kemungkinan disebabkan karena pengobatan. Beberapa terjadi karena dosis pemberian. Contoh agen yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas idiosinkratik adalah isoniazid, sulfonamide, valproate dan phenytoin.

(Friedman dan Kieffe, 2012).

4. Aminotransferase (alanine transferase aspartate transferase)

Aminotransferase (AST dan ALT) digunakan sebagai penanda cederanya hepatoseluler. Enzim-enzim ini terutama terletak di dalam hepatosit dimana mereka membantu berbagai macam metabolit. Mereka dirilis menjadi serum dalam jumlah yang banyak ketika ada kerusakan hepatosit. AST dan ALT sangat sensitif dan dapat naik bahkan dengan cedera kecil dari kerusakan hepatosit.

AST dan ALT memiliki waktu paruh masing-masing 17 dan 47 jam, jadi mereka merefleksikan kerusakan hepatosit aktif dan bukan kerusakan hepatosit yang terjadi berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sebelumnya.

Perbandingan dari AST dan ALT memungkinkan untuk mendiagnosis hepatitis pada orang-orang alkoholik, dimana AST secara umum dua kali lebih besar daripada ALT dan AST sangat jarang berada diatas 300 international Units/L. Pada kerusakan hati yang disebabkan oleh alkohol, isoform mitokondrial dari AST dengan waktu paruh yang cukup panjang (87 jam) dilepaskan dari hepatosit, menaikkan perbandingan rasio AST/ALT.

AST tidak hanya terletak di dalam hepatosit namun juga ditemukan pada otot jantung, otot, ginjal, otak, paru-paru, usus dan eritrosit. Secara umum, level

AST dapat naik karena berbagai macam situasi termasuk penyakit muskoskeletal, myocardial infraction, renal infraction atau renal failure, brain trauma, hemolysis, pulmonary embolism, necrotic tumors, luka bakar dan celiac sprue.

ALT secara lokal lebih terdapat di hati dibandingkan dengan AST sehingga ALT lebih spesifik untuk kerusakan hati. Kenaikan dari AST tanpa kenaikan dari ALT atau tes abnormalitas hati lainnya menyatakan kerusakan jantung atau otot (Lee, 2009).

C. Karbon Tetraklorida

Karbon tetraklorida merupakan suatu cairan jernih yang mudah menguap, tidak berwarna, dan dengan bau khas, BM 153,82 dan sangat sukar larut dalam air. (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995). Karbon tetraklorida adalah senyawa yang mudah larut dalam lemak dan merupakan model hepatotoksik yang dapat menimbulkan nekrosis sentrilobular hepatik dan perlemakan hati (Wahyuni, 2005). Hati menjadi target utama dari ketoksikan karbon tetraklorida karena ketoksikan senyawa ini tergantung pada metabolisme aktivasi oleh sitokrom P-450 (CYP2E1) (Timbrell, 2008). Kerusakan sitokrom P- 450 sebagai akibat pemberian senyawa dosis rendah, terutama terjadi di sentrilobular dan daerah tengah hati. Senyawa ini selektif terhadap isoenzim tertentu, diketahui pada tikus senyawa selektif terhadap isoenzim CYP2E1, sehingga tidak berpengaruh terhadap isoenzim lain seperti CYP1A1. Kerusakan CYP2E1 tergantung pada ketersediaan jumlah oksigen, yang mana ketika lebih banyak oksigen tersedia maka kerusakan yang terjadi menjadi lebih besar (Timbrell, 2008). Toksisitas yang ditimbulkan senyawa karbon tetraklorida ini bersifat toksik sebagai akibat adanya reaksi reduksi dehalogenasi membentuk

radikal anion (bebas) yang menghilangkan klorin kemudian terbentuknya radikal triklormetil (•CCl3) dan klorida (Halliwell dan Gutteridge, 1984). Radikal bebas yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen kemudian membentuk radikal triklorometil peroksi (•OOCCl3) (Gambar 4) yang lebih reaktif

(Rechnagel Glende, Dolak, dan Waller, 1989).

Gambar 4: Mekanisme biotransformasi dan oksidasi karbon tetraklorida (Timbrell, 2008)

Radikal bebas juga akan menyebabkan peroksidasi lipid yaitu senyawa menginisiasi terjadinya radikal lipid sehingga menyebabkan terbentuknya lipid hidroperoksidase (LOOH) dan radikal lipid alkoksil (LO•). Radikal lipid alkoksi tersebut diubah menjadi malondialdehid melalui proses fragmentasi (Gregus dan Klaaseen, 2001). Senyawa aldehid inilah merupakan faktor penyebab kerusakan pada membran plasma dan meningkatkan permeabilitas membran (Bruckner dan Warren, 2001). Selain itu, juga mengakibatkan kerusakan pada organela lain yang

akan menyebabkan nekrosis (Zimmerman, 1999).

D. Carboxymethyl Cellulose (CMC)

CMC (Karboksimetil selulosa) atau dengan nama kimia Sodium salt of carboxymethyl ether of cellulose merupakan polisakarida linear anionik yang berasal dari selulosa alami yang telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai tambahan pada bahan makanan. CMC adalah polimer penting yang sering digunakan karena memiliki viskositas yang tinggi, tidak beracun, dan non alergi (Tomgdeesoontom, Mauer,Wongruong, Sriburi, & Rachtanapunn, 2011). Di dalam dunia farmasi, CMC (Sodium karboksimetil selulosa) merupakan eksipien farmasi yang sangat baik karena memiliki film-ability yang baik, mucoadhesivity, dan bind-ability (Ojha, Madhav & Singh, 2012).

Secara umum, CMC digunakan sebagai thickening agent, stabilizer, suspending agent. Dilihat dari pemeriannya, CMC berwarna Putih atau agak kekuningan, berbentuk butiran higroskopis, hampir tidak berbau, struktur serbuk atau serat halus. CMC memiliki formula kimia [C6H7O2(OH)x(OCH2COONa)y]n dengan “n” sebagai derajat polimerasi dan memiliki pH 6.0-8.5. CMC hidrogel memiliki kandungan air yang tinggi, biodegradabilitas baik, sehingga banyak digunakan di berbagai aplikasi (Tomgdeesoontom, Mauer, Wongruong, Sriburi & Rachtanapunn, 2011).

E. Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan sediaan pekat yang didapat dengan cara mengekstraksi zat aktif yang berasal dari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah di tetapkan (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Metode ekstraksi dapat dibedakan menjadi infundasi, maserasi, perlokasi, dan penyarian berkesinambungan. Cairan penyari yang dapat digunakan adalah air, eter atau campuran etanol dan air (Departemen Kesehatan RI, 1979). Metode maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada suhu kamar dan terlindungan dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung benzoin, stiraks, dan lilin (Sudarmaji, Haryono, dan Suhardi, 1989).

Dalam penelitian ini, pelarut yang digunakan untuk maserasi adalah etanol 50%. Menurut Wijesekera (1991), etanol 50% sangat berguna untuk menghindari klorofil, senyawa resin atau polimer yang biasanya tidak mempunyai aktivitas berarti tetapi seringkali menimbulkan masalah-masalah farmasetis seperti misalnya terjadinya pengendapan yang sulit untuk dihilangkan. Selain itu semakin kecil konsentrasi etanol semakin bersifat non-polar sehingga diharapkan dapat menarik zat-zat penting seperti flavonoid pada tanaman.

F. Landasan Teori

Hati merupakan organ metabolism yang memiliki peranan penting di dalam tubuh manusia yang salah satunya adalah mensintesis senyawa-senyawa toksik yang masuk ke dalam tubuh (Forrest,2006). Jika terjadi kerusakan pada organ hati maka fungsi hati akan terganggu.

Herba Sonchus arvensis L. memiliki berbagai macam kandungan kimia, bahkan tanaman ini terkenal di masyarakat sebagai obat tradisional untuk menghancurkan batu ginjal (Winarto, 2004). Tanaman ini mengandung senyawa flavonoid yang diduga berperan dalam efek hepatoprotektif. Pada penelitian ini digunakan sediaan ekstrak etanol 50% karena diharapkan senyawa flavonoid herba Sonchus arvensis L. yang bersifat polar dapat tersari.

Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang digunakan untuk mengetahui efek hepatoprotektif ekstrak etanol 50%. Senyawa ini dipilih karena dapat menyebabkan steatosis (Hodgson, 2010). Pada saat terjadi steatosis di hati, aktivitas ALT dan AST akan meningkat. Pemberian ekstrak etanol 50% herba Sonchus arvensis L. yang mengandung senyawa flavonoid diharapkan dapat memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum ALT dan AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida.

G. Hipotesis

Ekstrak etanol 50% herba Sonchus arvensis L., memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas serum AST-ALT pada tikus jantan yang terinduksi karbon tetraklorida.

19

Dokumen terkait