• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba

RITUS-RITUS DAUR HIDUP 2.1 Teori Van Gennep

3. Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan berziarah, misalnya Muslim dan Muslimah

2.3 Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba

kehidupan bertuhan. Shin adalah Tuhan atau Dewa, kemudian To adalah jalan, atau dapat diterjemahkan sebagai konsep cara ber Tuhan. Oleh karena itu dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah Kami (dewa) sangat banyak

2.3 Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba

Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba (Merliana, 2010)

Dalam upacara adat Batak tampak sekali perasaan komunal berdasarkan prinsip DALIHAN NA TOLU, dan kalau tidak berdasarkan adat Dalihan Na Tolu bukanlah upacara adat Batak. Pihak pengundang, baik suami maupun isteri, dinamai suhut, dinamai hal itu sisada hasuhuton sehingga untuk membedakan disebutlah tuan rumah itu suhut tangkas (baca: suhut takkas) atau suhut sihabolonan. Pasif saja peranan suhut dalam mengatur acara-acara. Ia hanya diberi kesempatan mangampu (baca: mangappu), yaitu mengucapkan terima kasih kepada para hadirin sebelum berakhir upacara itu. Yang mewakilinya terhadap dongan sabutuha dinamai suhut paidua. Dalam pesta adat yang diadakan di rumah, dia itu boleh saudara semarga yang masih turunan satu kakek dengan tuan rumah, sedang dalam pesta kawin atau upacara kematian biasanya yang lebih jauh lagi hubungan darahnya dengan tuan rumah. Sahabat karib dari tuan rumah, yang

29

bukan kerabat semarga, tidak boleh mewakili tuan rumah dalam upacara adat Batak, baik ke dalam maupun ke luar ialah dongan sabutuha (dongan tubu)

Dalam pesta adat di rumah hanya satu pihak pengundang, yaitu tuan rumah. Pihak mertua tidak hanya mengajak dongan sabutuha dari pihaknya untuk menyertainya, tetapi selalu turut juga boru dari pihaknya. Di rumah tempat upacara itu dilakukan duduk di atas tikar dua pihak berhadap-hadapan. Pada satu baris panjang duduk suhut, diapit oleh dongan sabutuha serta boru dari pihaknya. Dihadapan mereka ini duduk berderet pihak mertua tadi yang juga diapit oleh dongan sabutuha dari pihaknya, kesemuanya merupakan hula-hula dari tuan rumah, dan selain itu lagi boru dari pihak mertua tersebut.

Dalam pesta kawin ada pengecualian, ada dua pihak pengundang, yaitu orang tua mempelai pria. Di sini juga selalu duduk terpisah para tamu yang diundang oleh parboru (orang tua siputeri) dari para tamu yang diundang oleh paranak (orang tua siputera). Mertua beserta rombongannya, dan ada kalanya juga beberapa pihak hula-hula lainnya beserta rombongan masing-masing, kalau datang ke upacara adat dari boru selalu membawa beras. Di bona pasogit setiap rombongan itu berbaris mulai dari gerbang kampung menuju ke rumah pengundang tersebut, dan biasanya disambut di depan rumah itu oleh pihak boru tersebut sambil berdiri. Kaum wanita dalam rombongan tadi semuanya menjunjung semacam sumpit yang dinamai tandok berisi beras. Beras ini digelar boras sipir ni tondi, artinya “beras penguatkan jiwa”, sengaja beras itu diberi diatas kepala supaya mengandung kekuatan magis.

30

Ada lagi yang disodorkan oleh mertua dalam suatu acara khusus kepada sang menantu, yaitu ikan emas di atas baki, yang dinamai dekke sitio-tio (artinya: ikan jernih). Ikan itu melambangkan kesuburan karena banyak telurnya. Masyarakat Batak mendambakan berkembang biak keturunan dan berbuah apa yang hendak dikerjakan untuk hidup sehari-hari, yang dapat disimpulkan dengan satu kata, yaitu gabe. Ulos juga dari pihak hula-hula, yang dililitkannya pada tubuh boru untuk menghangatkan tubuh dan jiwa, merupakan perlambang dari totalitas kosmos, semua itu yang disampaikan oleh hula-hula dalam setiap upacara adat adalah sesuai dengan semboyan yang berbunyi horas jala gabe, yang dapat kiranya di terjemahkan dengan “selamat serta sejahtera” dalam bahasa Indonesia. Pihak tuan rumah sebagai boru tidak hanya tahu menerima saja, tetapi harus memberi juga, yaitu daging, yang bermakna (namargoar). Di perantauan pada umumnya, binatang yang dipotong bukan kerbau tetapi substitutnya, yakni “kerbau pendek” (babi) di kalangan orang Batak yang beragama Kristen atau kambing di kalangan orang Batak yang beragama Islam. Walaupun demikian untuk dapat memahami makna yang dalam dari na margoar tadi kita harus bertolak dari binatang kerbau, kerbau dalam upacara bius dan kerbau sajian untuk memuja arwah leluhur di zaman animisme; dalam hal yang disebut terakhir ini kepala kerbau disajikan di tempat kuburan leluhur itu. Selain itu merupakan tradisi juga di zaman dulu menanam kepala kerbau di suatu tempat sebagai sajian kepada dewa tanah. Memang kepala adalah bagian tubuh yang paling mulia, digunakan juga oleh manusia untuk menyembah orang lain dengan cara menundukkan kepala. Sudah jelas kiranya mengapa kepala kerbu disajikan oleh boru untuk menghormati hula-hula. Yang diterimanya ini dinamai jambar. Selain

31

untuk hula-hula ada juga jambar-jambar untuk dongan sabutuha (dongan tubu), boru dan lainnya.

Jambar ialah bagian yang harus diterima oleh setiap kelompok kerabat berdasarkan peranan komunal sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu. Selain jambar daging tersebut ada lagi jambar hata, yaitu hak angkat bicara. Sebagai acara penutup dalam setiap upacara adat ialah marhata, yaitu dialog resmi diantara boru di satu pihak dan hula-hula di pihak lain. Tanpa ada acara marhata tersebut bukanlah upacara adat namanya. Dialog resmi itu sudah standar tata tertibnya dari zaman ke zaman.

Sering kali terdengar dalam setiap upacara adat Batak semboyan yang berbunyi MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA, artinya “Hendaklah berhati-hati bicara dengan teman semarga, jangan suka bertengkar! Terhadap boru jangan suka memerintah untuk dilayani, sopanlah bicara! Berhadapan dengan hula-hula haruslah dengan sikap menyembah!”

Setiap orang Batak digelari raja dalam upacara adat. Kadang-kadang raja ni hula-hula, dan Kadang-kadang pula raja ni dongan sabutuha. Hal itu tergantung pada statusnya di suatu upacara adat, apakah ia boru atau hula-hula atau dongan sabutuha. Biar pangkatnya jenderal tetapi hal ini tidak berlaku dalam suatu upacara adat, tetapi statusnya yang disebut tadi

Prinsip yang masih dimuat dalam masyarakat adat batak toba adalah sisolisoli do adat, artinya sebagai salah satu unit gotong-royong dalam upacara-upacara adat maka masing-masing anggotanya haruslah rajin berpartisipasi. Orang

32

yang rajin berpartisipasi akan dibalas demikian kalau ia pada suatu waktu mengadakan pesta adat, akan tetapi orang yang malas berpartisipasi, walaupun ia kaya raya atau tinggi pangkatnya, pestanya akan sepi. Lain halnya kalau ada kesedihan, misalnya rumahnya terbakar atau anaknya meninggal atau orang yang belum mempunyai cucu meninggal (pria atau wanita). Dalam hal ini berlaku pepatah pajumpang di tano rara, jadi hendaklah turut menunjukkan perhatian walaupun orang yang ditimpa kesedihan tadi malas berpartisipasi dalam upacara-upacara adat atau pernah timbul perselisihan yang gawat dengan orang yang bersangkutan, semoga orang tersebut berubah kelakuannya.

Pesta perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan lain sebagainya adalah sesudah pesta kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin lelaki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.

Hal ini disebabkan karena perkawinan bagi orang Batak bukanlah merupakan persoalan pribadi suami isteri melulu, termasuk orangtua serta saudara saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga

33

orangtua suami dengan marga orang tua isteri, ditambah lagi dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami isteri maka putus pulalah ikatan diantara dua kelompok tadi. Kesimpulannya ialah perkawinan orang batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah perlengkapan belaka. Perkawinan orang Batak yang hanya di absahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na Tolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga yang demikian, maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Pada saat kelahiran sudah merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya anak pertama, orang tua dari si isteri disertai rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya; salah satu istilah untuk kunjungan ini ialah mangirdak, yang artinya membangkitkan “semangat”. Adapula lagi yang melilitkan selembar ulos yang dinamai ulos tondi, artinya “ulos untuk menguatkan jiwa” ke tubuh si putri dan suaminya dalam acara sesudah makan. Tentu saja tuan dan nyonya rumah didampingi kaum kerabat dalm upacara sederhana tadi.

Sesudah lahir anak yang dinanti-nantikan itu adakalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu, dinamai mangharoani, artinya “menyambut tibanya (sang anak)”. Ada juga yang menyebutnya mamboan aek si unte, karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu.

34

Pada zaman animisme di bona pasogit mengikuti suatu upacara yang dinamai martutuaek, yakni dipermandikan sang bayi ke mata air. Pada hari yang telah ditentukan oleh datu (dukun), pagi-pagi waktu matahari baru terbit, sang ibu yang menggendong anaknya beserta rombongan para kerabat menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka itu. Kemudian datu (dukun) menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh sianak, yang terkejut karenanya dan menjerit terhiba-hiba. Pada umur belasan tahun, yaitu pada pada waktu seorang pemuda atau pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus lagi menempuh ujian mental yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon, sesudah memeluk agama kristen gereja mengharuskan pemuda dan pemudi menempuh ujian setelah mendapat pelajaran agama selama kira-kira satu tahun.

Pada saat meninggal, orang Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi (menyulangi orang yang akan mati), hamatean (kematian), mangongkal holi

35

(menggali tulang belulang), dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya upacara adat.

Upacara-upacara di atas pada hakekatnya merupakan upacara agama hasipelebeguon yang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang-orang kristen dalam masyarakat Batak sekarang. Sebagian dari mereka melakukannya mungkin saja mengerti akan makna dari upacara tersebut, namun sebagian besar mungkin tidak memiliki pengertian akan latar belakang dan tujuan upacara adat (Gultom, 1992).

36 BAB III

ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA

Dokumen terkait