• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Konsep Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang Dan Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Perbandingan Konsep Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang Dan Batak Toba"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

NIHON TO BATAKKU NO TSUKAGIREI NO HIKAKU SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu persyaratan mengikuti ujian

sarjana bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh

Victor Julianto Simanullang 060708035

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

2

PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

NIHON TO BATAKKU NO TSUKAGIREI NO HIKAKU

OLEH

VICTOR JULIANTO SIMANULLANG 060708035

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Hamzon Situmorang, MS,Ph.D

NIP: 19580704 1984 12 1 001 NIP: 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

3 Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua

(4)

4 PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada : Pukul 14. 00 Wib Tanggal : 12 September 2012

Hari : Rabu

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M. A NIP : 19511013 1976 03 1 001

Panitia

No. Nama TandaTangan

(5)

5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyeleseaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA.”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A,selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing II saya. 3. Bapak Prof.Hamzon Situmorang, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing I

yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

(6)

6

5. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membantu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini. 6. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materil

selama masa pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku Randy Simanjuntak, Hyantez Pasaribu, Freddy Walis Sembiring, Ferdian Pardede, Frida Winata Togatorop, Friska Sagala, Novaria Tampubolon, Jessi Mega Simanjuntak terimakasih udah jadi kelurga dan sahabat terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan. 8. Teman-teman seangkatan di Departemen Sastra Jepang USU, terima kasih

atas motivasi dan sarannya kepada penulis.

9. Terima kasih juga buat seseorang yang tidak bisa disebutkan namanya yang telah banyak memberikan waktu, tenaga, dan motivasi kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini, yang telah banyak melungkan waktu untuk membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini.

10. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

(7)

7

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, Agustus 2012

(8)

8 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Metode Penelitian ... 11

BAB II RITUS-RITUS DAUR HIDUP ... 13

2.1. Teori Van Gennep ... 13

2.2. Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang ... 15

2.3. Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba ... 19

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA ... 27

3.1. Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang ... 27

3.1.1. Ritus-Ritus Kelahiran-Pendewasaan ... 27

3.1.2. Ritus-Ritus Perkawinan ... 35

3.1.3 Ritus-Ritus Kematian ... 40

3.2. Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Batak Toba ... 46

(9)

9

3.2.2. Ritus-Ritus Perkawinan ... 51

3.2.3. Ritus-Ritus Kematian ... 54

3.3. Analisis Perbandingan ... 69

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 72

4.1. Kesimpulan ... 72

4.2. Saran ... 74

(10)

87 ABSTRAK

Setiap manusia mengalami hal atau proses yang disebut daur hidup, yaitu proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Daur hidup dalam masyarakat Jepang disebut Tsuka Girei. Tsuka yang artinya bertahap atau tahapan sedangkan Girei artinya upacara atau perayaan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian dari Tsuka Girei adalah perayaan-;perayaan yang dilakukan secara bertahap mulai dari proses kelahiran sampai menjadi dewa.

Daur hidup dalam masyarakat Jepang berhubungan dengan pandangan akan roh orang Jepang, yaitu pandangan tradisional yang di pengaruhi oleh Shinto dan Budha. Adapun acara yang dilakukan yaitu seperti acara-acara menuju kedewasaan yang disebut Shussan (acara kelahiran), Nazuke Iwai (pemberian nama) Okuizome (pemberian makan pertama) yaitu setelah anak berusia seratus hari, Hattanjou (ulang tahun pertama) di sini dilakukan pemilihan masa depan anak, Shichigosan (acara 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun) yaitu acara untuk mendatangi kuil pada tanggal 15 November bagi anak umur 3, 5 dan 7 tahun, dan acara kedewasaan (20 tahun) pada tanggal 15 Januari bagi semua anak yang berusia 20 tahun pada tahun tersebut.

(11)

88

Iwai bagi orang yang berusia 66 tahun (Gareki), usia 70 tahun (Kouki), usia 88 (Maiju), dan usia 99 (Hakuju).

Kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi meninggalkan tubuhnya untuk selamanya. Untuk memastikan apakah seseorang telah mati atau hanya pingsan (hansi), masyarakat tradisional melakukan upacara pemanggilan roh agar kembali lagi ke jasad (tamayobai). Tamayobai disebut juga Mogari, yaitu suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari adalah manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum terlalu jauh, maka masih dapat dipanggil kembali.

Kemudian setelah acara tamayobai dilakukan, tetapi orang yang telah pergi rohnya itu tidak hidup lagi, maka orang tersebut dipastikan telah mati. Setelah dipastikan seseorang itu mati, maka diumumkan kepada seluruh keluarga, kerabat dan tetangga bahwa orang tersebut telah meninggal.

Setelah seluruh upacara kematian selesai dilaksanakan, keluarga yang diitinggalkan melakukan ritus peringatan terhadap orang yang telah meninggal yaitu pada hari ke-7 (hatsunanoka), upacara hari ke-35 (sanjugonichi), sampai upacara hari ke-49 (shijukunichi).

(12)

89

dilakukan pemberian kuyou kepada roh leluhur yang telah meninggal sampai roh yang telah meninggal dipercaya telah menjadi sousen yaitu pada usia kematian 33 tahun dalam konsep budha atau 50 tahun pada konsep Shinto.

Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba.

Pada saat kelahiran sudah merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya anak pertama, orang tua dari si isteri disertai rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya; salah satu istilah untuk kunjungan ini ialah mangirdak, yang artinya membangkitkan “semangat”.

Sesudah lahir anak yang dinanti-nantikan itu adakalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu, dinamai mangharoani, artinya “menyambut tibanya (sang anak)”. Ada juga yang menyebutnya mamboan aek si unte, karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu.

(13)

90

Pada umur belasan tahun, yaitu pada pada waktu seorang pemuda atau pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus lagi menempuh ujian mental yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon, sesudah memeluk agama kristen gereja mengharuskan pemuda dan pemudi menempuh ujian setelah mendapat pelajaran agama selama kira-kira satu tahun.

Pada saat meninggal, orang Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi (menyulangi orang yang akan mati), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya

(14)
(15)
(16)

93

アニミズムの時代の時には『Bona Pasogit』という場所で『Martutu

(17)

94

死亡した場合は、キリスト教のバタク人が葬式に大きな興味を与え

る。バタクトバの人々にとって、葬式とは世界で生きてから、他の世界に

まだ他の生活があるそうである。バタクトバの人々の信用で、全世界は3

類に『Banua』という分割があり、それは『Banua Ginjang

(上)』、じゅんけつ,純潔な れい

,霊

生きているものと死亡した人との関係に対してバタクトバの人々の

信用では死亡する人と死亡した人に対してよく行われている伝統儀式から

見られる。例えば、『Manulangi』という儀式で、『手でもうすぐ死亡す

る人に食物をあげること』という意味であり、『Hamatean』、『死亡す

ること』という意味であり、それで、『Mangongkal Holi 』、『死亡した

人の骨をお

が住んでいる『Mulajadi na bolon』という一

番いい場所であり、『Banua Tonga(中)』、人間や他の生き物が住んで

いる場所であり、『Banua Toru(下)』、悪い霊が住んでいる場所という

ことである。

はか

,墓に

ほうむ

,葬ること』という意味であり、最後

はしぼうきねんとう,死亡記念塔を建てる儀式と とうぞく

,塔族の建ての儀式である。こ

のすべては、バタクトバの人々にとって伝統儀式を行うために基本的な考

(18)

10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia mengalami hal atau proses yang disebut daur hidup, yaitu proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Tetapi ada beberapa perbedaan yaitu menyangkut cara dan proses yang terjadi di berbagai daerah ataupun suku di setiap negara, keseluruhan hal ini dikarenakan adanya unsur kebudayaan di dalamnya.

Manusia adalah mahluk yang memiliki akal dan pikiran serta kebudayaan, kebudayan tersebut adalah hasil dari aplikasi akal dan pikiran manusia itu sendiri yang didasari oleh ide ataupun gagasan. Koentjaraningrat (1976:28) mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

Menurut koentjaraningrat dalam Takari,dkk (2008:5), konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Sehingga, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh karenanya, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan.

(19)

11

menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Jepang dikenal sebagai bangsa yang homogen, homogen dibidang bahasa dan kebudayaannya. Artinya bahwa cara hidup masyarakat di Utara tidak begitu berbeda dengan masyarakat di Selatan, walaupun tantangan alam di selatan Jepang berbeda dengan tantangan alam di daerah Utara, (Situmorang, (2006:2)

Reischauer (1982:192) menyatakan bahwa sifat bangsa Jepang adalah menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsa. Pemeliharaan kebudayaan ini berlanjut dan dilaksanakan sejak seseorang dilahirkan bahkan sampai ia mati.

Dalam kehidupan masyarakat Jepang mengenal istilah daur hidup. Van Gennep dalam Oktolanda (2005:34) menyatakan bahwa daur hidup merupakan perubahan manusia dari suatu tahap ke tahap lainnya menuju kedewasaan melalui proses inisiasi. Sejak orang jepang dilahirkan, ia sudah menjalankan budayanya dalam ritual shussan iwai atau syukuran kelahiran. Melalui ritual shussan iwai anak mendapatkan status sebagai anggota baru dalam suatu lingkungan keluarga dan masyarakat.

(20)

12

ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan juga pada tetangga-tetangga mereka”. Kemudian selanjutnya diikuti oleh proses pendewasaan sampai proses pendewaan. Dimana beberapa ritual yang dilakukan dalam setiap daur kehidupan orang Jepang itu menunjukkan status orang Jepang tersebut dalam kehidupan lingkungannya.

Begitu rumit dalam hal menunjukkan status seseorang dalam kehidupan lingkungan masyarakat Jepang khususnya masyarakat tradisional Jepang, seseorang harus menjalankan begitu banyak ritus sepanjang hidupnya, bahkan sampai ia mati pun masih saja orang melakukan ritus baginya.

Ritus itu menjadi sangat penting bagi orang Jepang tradisional karena berhubungan dengan rasa tabu dan ucapan syukur. Ada ritus yang sengaja dilakukan untuk menunjukkan status seseorang itu dalam lingkungan kehidupannya, namun tidak dipungkiri juga ada ritus yang dilakukan karena ada ketabuan sehingga secara tidak langsung menunjukkan jati diri seseorang.

Masyarakat Indonesia di beberapa kebudayaan juga mengenal siklus daur hidup, proses pengenalan anggota keluarga baru melalui proses inisiasi, salah satunya pada masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba mengenal adanya daur hidup yang melalui proses inisiasi yang dilakukan sejak lahir bahkan sampai setelah ia mati.

(21)

13

terlaksana dengan baik tanpa partisipasi seluruh komponen adat DNT. (M.D. Harahap 1986:93) dalihan-na-tolu.html).

Hidup masyarakat Batak didominasi ritual. Setiap perilakunya diliputi sifat ritual, baik terhadap tuhan maupun terhadap alam, manusia, waktu, ilmu pengetahuan dan pekerjaan. Orang Batak memuliakan Tuhan bukan sekedar untuk dirinya sendiri tetapi demi turunannya. Orang Batak menghargai alam, tidak merusak alam itu bukan demi dirinya tetapi adalah untuk turunannya. Orang Batak menghargai waktu, belajar untuk menuntut ilmu dan melakukan segala pekerjaan yang baik adalah demi masa depan turunannya. Anakhon hi do naumarga di ahu yang artinya bahwa anaknya itulah harta yang paling berharga

pada suku Batak.

Salah satu sikap perilaku dari hikmad keturunan itu, diwujudkan pada saat menyambut kelahiran anak pertama. Keluarga akan selalu peka mendengar berita apakah putrinya itu telah dibenahi turunan, dan mereka akan selalu meminta nasehat dari boru sibasosemacam bidan yang erat kaitannya dengan spiritual. Pertama-tama jalan pikiran mereka tertuju pada kehidupan spiritual, apakah tondimereka sekeluarga tidak sejajar dengan pengharapan sekeluarga. Oleh sebab

itu roh atau tondi mereka diupa,agar ada ketulusan tondi meminta berkat dari Tuhan. Upacara ketulusan tondi ini agar sejajar dengan pengharapan mereka disebut mardengke nilaean.

(22)

14

pengantin perempuan) karena ia "berkorban" memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak pengantin pria), yang menjadi besannya nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/adat perkawinan itu.

Sebagai bukti bahwa santapan/makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekornya masih melekat, hati, jantung dll). Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan /kehadiran mereka di dalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.

Sebelum misionaris/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini (waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu.

(23)

15

pokok parjuhut dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan/juhut itu tetap paranak yang membawa/mempersembahkan.

Berikut ini adalah gambaran perbandingan daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba, dimana terdapat perbedaan maupun persamaan diantara keduanya.

Mungkin sekarang sudah banyak paket pernikahan Batak. Namun kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya namargoar/tudu-tudu sipanganon tanpa juhutnya bukan namargoar tetapi

namargoar rambingan yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat

paranak bermakna paranak telah melecehkan parboru, dan kalau ditempat

parboru (dialap jual) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri.

Pada masyarakat Jepang ritus-ritus yang terjadi mulai dari kelahiran sampai perkawinan disebut ritus-ritus pendewasaan. Ritus pendewasaan ini terdiri

Daur hidup Jepang Daur hidup Batak

Kawin

Lahir

Menjadi dewa

Mati Mati Lahir

Kawin

(24)

16

dari obi iwai, shussan iwai, okuizome, shichigosan, seijinshiki, sampai pada ritus kekkonshiki menunjukkan tahap-tahap perubahan dari anak-anak menjadi orang

dewasa. Konsep dewasa bagi orang Jepang tercermin pada ritus seijinshiki. Pada masa tua juga dilakukan beberapa ritus, ritus ini dapat dikatakan ritus ulang tahun. Namun, perayaan ulang tahun tersebut dirayakan pada ulang tahun tertentu saja yang dianggap usia paling rawan dan usia yang sangat lanjut. Yaitu pada saat usia 61 tahun melakukan perayaan kanreki (還暦), usia 70 merayakan koreki (古希), usia 77 melakukan perayaan kiju (喜寿), usia 80 merayakan sanju (傘寿), usia 88 tahun merayakan beiju iwai (米寿), usia 90 merayakan sotsuju (卒儒), dan usia 99 disebut dengan perayaan hakuju (白寿). Pada saat mati dan sampai menjadi dewa, orang Jepang juga melakukan berbagai ritus diantaranya; hatsunanoka, sanjugonichi, shijukunichi, hyakanichi, isshuki, sankaiki, nanakaiki, jusankaiki,

junanakaiki, sanjusannenki.

Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai ritus menyangkut hubungan timbal balik dengan alam dan keyakinan. Pada saat lahir ada beberapa ritus yang dilakukan yaitu, manghuti pagar, ulos tondi, esek-esek, robo-roboan, mamboan aek unte, tardidi, sidi. Begitu juga pada kematian, ritus yang dilakukan yaitu,

mate,mangongkal holi patangkokhon saring-saring.

(25)

17 1.2 Perumusan Masalah

Daur hidup merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti. Hal ini dapat dilihat dari ritus-ritus yang terjadi di dalalamnya dan apa yang melatar-belakangi proses tersebut dan bagaimana perbandingan kedua kebudayaan, yaitu antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba.

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji perbandingan konsep daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba yang ditinjau dari segi ritus-ritus yang dilaksanakan.

Beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut: 1) Seperti apa ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Jepang? 2) Seperti apa ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Batak Toba?

3) Bagaimanakah perbandingan kedua konsep pemikiran masyarakat jepang dan masyarakat Batak Toba dalam hal ritus daur hidup?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

(26)

18 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Di dalam proses menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat, orang Jepang melakukan ritus-ritus dalam kehidupannya. Dalam proses menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat, suku Batak Toba juga melakukan ritus ritus dalam kehidupannya. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan sendirinya akan terikat satu dengan yang lainnya dan akan saling mempengaruhi.

Masyarakat luas merupakan seluruh manusia yang hidup bersama di suatu tempat pada suatu waktu, yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok, golongan-golongan lainnya yang dinamakan keluarga, kelas, mungkin juga ada sedikit kasta, dimana terdapat aksi-reaksi dan kesadaran akan adanya anggota-anggota lain yang menyebabkan orang-orang itu berhati-hati dalam kepentingan-kepentingan sesamanya di dalam kelompok itu masing-masing dan terhadap masyarakat luas (Shadily, 1993 : 47).

(27)

19

Pada masyarakat Batak Toba prosesi dan aturan yang dipakai pada saat melakukan ritus-ritus kelahiran, pernikahan, kematian adalah aturan Ugamo. Gultom, 1992 mengatakan bahwa Ugamo adalah pandangan Suku Batak terhadap alam spiritual yang dipergunakan menjadi pedoman hidupnya sehari-hari.

2. Kerangka Teori

Dalam melakukan dan menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadap jalannya suatu penelitian (Bungin, 2001). Dengan melihat judul yang diangkat penulis, maka teori yang digunakan adalah analisis komparatif.

Dalam ilmu sosial, penelitian komparatif adalah cara penelitian dengan membandingkan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, untuk mengetahui perbedaan dan persamaan, juga untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi masyarakat tersebut (Malo Manase, 1985). Selain menggunakan teori analisis komparatif, penulis juga menggunakan konsep religi daam menjawab pokok permasalahan penelitian.

(28)

20 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan

1) Mendeskripsikan bagaimana ritus daur hidup dalam dua masyarakat yang berbeda (Jepang dan Batak Toba)

2) Mendeskripsikan konsep pemikiran kedua masyarakat (Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritus daur hidup

3) Membandingkan pandangan masyarakat Jepang dan Batak Toba akan ritus daur hidup

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1) Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai konsep pemikiran kedua masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritus daur hidup. 2) Menambah wawasan penulis dan pembaca dalam memahami proses yang

terjadi di dalam daur hidup kedua masyarakat Jepang dan batak Toba. 3) Dapat dijadikan sebagai informasi untuk penelitian lain yang berhubungan

dengan ritus-ritus daur hidup.

1.6 Metode Penelitian

(29)

21

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis komparatif, dengan membandingkan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konssep, kesimpulan serta saran. Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006:13).

(30)

22 BAB II

RITUS-RITUS DAUR HIDUP 2.1 Teori Van Gennep

Van Gennep (1960) observed that important role transitions generally consist of three phases:

1) separation, in which a person disengages from a social role or status,

2) transition, in which the person adapts and changes to fit new roles, and

3) incorporation, in which the person integrates the new role or status into the self.

Van Gennep (1960) mengamati bahwa transisi peran penting umumnya terdiri dari tiga fase:

1) pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau status sosial,

2) transisi, di mana seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran baru, dan

3 ) penggabungan, dimana orang tersebut mengintegrasikan peran baru atau status ke dalam diri.

(31)

23

musim dan fase-fase bulan, masa-masa tanam dan buah pertama serta panen, saat pentahbisan dan pelantikan, semuanya itu menyajikan tatanan yang sama. Pertama ada pemisahan dari yang keadaan yang lama atau situasi sosial sebelumnya, kemudian suatu masa ‘marginal’ dan akhirnya tahap ‘penyatuan’ kepada kondisi yang baru atau penyatuan kembali dengan kondisi yang lama.

Van gennep dalam Dhavomony (1995:179) menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap : perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap pemisahan, individu dipisahkan dari satu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan ke pada suatu tempat, kelompok atau status baru.

(32)

24

Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk mengontrol, secara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan.

Selanjutnya, ritus merupakan suatu kegiatan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat seremonial dan bertata. Ritus terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:

1. Ritus peralihan, umumnya mengubah status sosial seseorang, misalnya: pernikahan, pembabtisan, atau wisuda.

2. Ritus peribadatan, di mana suatu komunitas berhimpun untuk beribadah bersama-sama, misalnya: umat Muslim shalat berjamaah, umat Yahudi di sinagoga dan umat Kristen menghadiri Misa.

3. Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan berziarah, misalnya Muslim dan Muslimah menunaikan ibadah haji

ritus bagi orang Jepang pada umumnya dilakukan secara Budha.

2.2 Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang

(33)

25

perayaan-;perayaan yang dilakukan secara bertahap mulai dari proses kelahiran sampai menjadi dewa.

Daur hidup dalam masyarakat Jepang berhubungan dengan pandangan akan roh orang Jepang, yaitu pandangan tradisional yang di pengaruhi oleh Shinto dan Budha. Tsuboi, Yobumi dalam Situmorang (2000 : 30) mengatakan adalah suatu kepercayaan dalam kerangka agama Budha yang disesuaikan dengan kondisi alam Jepang.

Tsuboi menjelaskan pemikiran-pemikiran Yanagita Kunio (1875-1962) yang mengatakan bahwa manusia memiliki roh, dan roh tersebut masuk kedalam tubuh manusia pada waktu lahir dan meninggalkan tubuh manusia pada waktu meninggal. Roh itu mengalami proses perjalanan seperti arah jarum jam terbalik. Dalam setiap kondisi, roh tersebut mengalami perubahan, perubahan tersebut adalah perubahan dari kekotoran menuju kesucian dengan bantuan acara-acara dan persembahan (kuyo). Proses perjalanan roh manusia tersebut dimulai pada masa kelahiran.

(34)

26

Adapun acara yang dilakukan yaitu seperti acara-acara menuju kedewasaan yang disebut Shussan (acara kelahiran), Nazuke Iwai (pemberian nama) Okuizome (pemberian makan pertama) yaitu setelah anak berusia seratus hari, Hattanjou (ulang tahun pertama) di sini dilakukan pemilihan masa depan anak, Shichigosan (acara 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun) yaitu acara untuk mendatangi kuil pada tanggal 15 November bagi anak umur 3, 5 dan 7 tahun, dan acara kedewasaan (20 tahun) pada tanggal 15 Januari bagi semua anak yang berusia 20 tahun pada tahun tersebut (Situmorang, Hamzon, 2000 : 31)

Setelah masa kekotoran berlalu seseorang tersebut memasuki kehidupan perkawinan. Pada masa ini, roh seseorang tersebut berada dalam keadaan stabil. Kemudian ada acara khusus setelah memasuki kehidupan dalam pernikahan misalnya, Yakudoshi yaitu acara bagi orang yang memasuki usia bahaya pada tahun tersebut, misalnya usia 42 pada laki-laki dan usia 33 bagi wanita. Toshi Iwai bagi orang yang berusia 66 tahun (Gareki), usia 70 tahun (Kouki), usia 88 (Maiju), dan usia 99 (Hakuju) (Suzuki dalam Situmorang, 2000 : 32)

Menurut Situmorang, Hamzon (2000 : 28) masyarakat Jepang berkepercayaan majemuk. Mereka menyembah banyak dewa atau tuhan. Sistem kepercayaan Jepang hanya bersifat dasar saja, yaitu hanya yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari- hari.

(35)

27

dengan roh orang hidup, sedangkan roh alam disebut juga dengan animisme dimana semua roh-roh di atas dipercaya memiliki kekuatan misterius.

Menurut Suzuki, Iwayumi dalam situmorang (2000 : 29) mengatakan bahwa pandangan hidup dan mati orang Jepang berada dalam suatu circle (lingkaran). Manusia semenjak lahir hingga menikah berada dalam posisi tidak tenang, atau berada dalam posisi kekotoran. Oleh karena itu perlu diadakan upacara selamatan (ritus) supaya mereka beroleh selamat. Upacara-upacara tersebut misalnya, upacara sushan, okuizome, hattanjo, shichigosan, dan sebagainya. Dalam acara okuizome, atau makan pertama diadakan juga mono erabi, yaitu memilih benda-benda yang dibuat sebagai simbol masa depan. Jika si

anak memilih benda tersebut, diramalkan bahwa masa depan si anak sesuai dengan benda yang dipilih tersebut. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat Jepang masih kental dengan unsur-unsur tahayul.

Menurut Sasaki dalam Situmorang (2006 : 45), dalam kepercayaan masyarakat Jepang, yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran dan keluar darah. Oleh karena itu ibu yang sedang melahirkan juga karena mengeluarkan darah maka berada dalam kondisi tercemar.

(36)

28

kehidupan bertuhan. Shin adalah Tuhan atau Dewa, kemudian To adalah jalan, atau dapat diterjemahkan sebagai konsep cara ber Tuhan. Oleh karena itu dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah Kami (dewa) sangat banyak

2.3 Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba

Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba (Merliana, 2010)

Dalam upacara adat Batak tampak sekali perasaan komunal berdasarkan prinsip DALIHAN NA TOLU, dan kalau tidak berdasarkan adat Dalihan Na Tolu bukanlah upacara adat Batak. Pihak pengundang, baik suami maupun isteri, dinamai suhut, dinamai hal itu sisada hasuhuton sehingga untuk membedakan disebutlah tuan rumah itu suhut tangkas (baca: suhut takkas) atau suhut sihabolonan. Pasif saja peranan suhut dalam mengatur acara-acara. Ia hanya

(37)

29

bukan kerabat semarga, tidak boleh mewakili tuan rumah dalam upacara adat Batak, baik ke dalam maupun ke luar ialah dongan sabutuha (dongan tubu)

Dalam pesta adat di rumah hanya satu pihak pengundang, yaitu tuan rumah. Pihak mertua tidak hanya mengajak dongan sabutuha dari pihaknya untuk menyertainya, tetapi selalu turut juga boru dari pihaknya. Di rumah tempat upacara itu dilakukan duduk di atas tikar dua pihak berhadap-hadapan. Pada satu baris panjang duduk suhut, diapit oleh dongan sabutuha serta boru dari pihaknya. Dihadapan mereka ini duduk berderet pihak mertua tadi yang juga diapit oleh dongan sabutuha dari pihaknya, kesemuanya merupakan hula-hula dari tuan rumah, dan selain itu lagi boru dari pihak mertua tersebut.

(38)

30

(39)

31

untuk hula-hula ada juga jambar-jambar untuk dongan sabutuha (dongan tubu), boru dan lainnya.

Jambar ialah bagian yang harus diterima oleh setiap kelompok kerabat berdasarkan peranan komunal sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu. Selain jambar daging tersebut ada lagi jambar hata, yaitu hak angkat bicara. Sebagai acara penutup dalam setiap upacara adat ialah marhata, yaitu dialog resmi diantara boru di satu pihak dan hula-hula di pihak lain. Tanpa ada acara marhata tersebut bukanlah upacara adat namanya. Dialog resmi itu sudah standar tata tertibnya dari zaman ke zaman.

Sering kali terdengar dalam setiap upacara adat Batak semboyan yang berbunyi MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA, artinya “Hendaklah berhati-hati bicara dengan teman semarga, jangan suka bertengkar! Terhadap boru jangan suka memerintah untuk dilayani, sopanlah bicara! Berhadapan dengan hula-hula haruslah dengan sikap menyembah!”

Setiap orang Batak digelari raja dalam upacara adat. Kadang-kadang raja ni hula-hula, dan Kadang-kadang pula raja ni dongan sabutuha. Hal itu tergantung pada statusnya di suatu upacara adat, apakah ia boru atau hula-hula atau dongan sabutuha. Biar pangkatnya jenderal tetapi hal ini tidak berlaku dalam suatu upacara adat, tetapi statusnya yang disebut tadi

Prinsip yang masih dimuat dalam masyarakat adat batak toba adalah sisolisoli do adat, artinya sebagai salah satu unit gotong-royong dalam

(40)

32

yang rajin berpartisipasi akan dibalas demikian kalau ia pada suatu waktu mengadakan pesta adat, akan tetapi orang yang malas berpartisipasi, walaupun ia kaya raya atau tinggi pangkatnya, pestanya akan sepi. Lain halnya kalau ada kesedihan, misalnya rumahnya terbakar atau anaknya meninggal atau orang yang belum mempunyai cucu meninggal (pria atau wanita). Dalam hal ini berlaku pepatah pajumpang di tano rara, jadi hendaklah turut menunjukkan perhatian walaupun orang yang ditimpa kesedihan tadi malas berpartisipasi dalam upacara-upacara adat atau pernah timbul perselisihan yang gawat dengan orang yang bersangkutan, semoga orang tersebut berubah kelakuannya.

Pesta perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan lain sebagainya adalah sesudah pesta kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin lelaki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.

(41)

33

orangtua suami dengan marga orang tua isteri, ditambah lagi dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami isteri maka putus pulalah ikatan diantara dua kelompok tadi. Kesimpulannya ialah perkawinan orang batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah perlengkapan belaka. Perkawinan orang Batak yang hanya di absahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na Tolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga yang demikian, maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Pada saat kelahiran sudah merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya anak pertama, orang tua dari si isteri disertai rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya; salah satu istilah untuk kunjungan ini ialah mangirdak, yang artinya membangkitkan “semangat”. Adapula lagi yang melilitkan selembar ulos yang dinamai ulos tondi, artinya “ulos untuk menguatkan jiwa” ke tubuh si putri dan suaminya dalam acara sesudah makan. Tentu saja tuan dan nyonya rumah didampingi kaum kerabat dalm upacara sederhana tadi.

(42)

34

Pada zaman animisme di bona pasogit mengikuti suatu upacara yang dinamai martutuaek, yakni dipermandikan sang bayi ke mata air. Pada hari yang telah ditentukan oleh datu (dukun), pagi-pagi waktu matahari baru terbit, sang ibu yang menggendong anaknya beserta rombongan para kerabat menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka itu. Kemudian datu (dukun) menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh sianak, yang terkejut karenanya dan menjerit terhiba-hiba. Pada umur belasan tahun, yaitu pada pada waktu seorang pemuda atau pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus lagi menempuh ujian mental yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon, sesudah memeluk agama kristen gereja mengharuskan pemuda dan pemudi menempuh ujian setelah mendapat pelajaran agama selama kira-kira satu tahun.

Pada saat meninggal, orang Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

(43)

35

(menggali tulang belulang), dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya

upacara adat.

Upacara-upacara di atas pada hakekatnya merupakan upacara agama hasipelebeguon yang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang-orang kristen

(44)

36 BAB III

ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKATJEPANG DAN BATAK TOBA

3.1 Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang 3.1.1 Ritus-Ritus Kelahiran-Pendewasaan

Daur hidup orang jepang dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu ritus pendewasaan yang dimulai sejak masih janin berusia 5 bulan sampai seseorang itu menikah, dan ritus kematian sejak seseorang meninggal sampai ia menjadi Hotoke di usia kematian yang ke-33 tahun. Tsuboi Yobumi dalam Situmorang (2007:148).

Ritus pendewasaan yang terdiri dari obi iwai, shussan iwai, okuizome, shichigosan, seijinshiki, sampai pada ritus kekkonshiki menunjukkan tahap-tahap perubahan dari anak-anak menjadi orang dewasa. Konsep dewasa bagi orang jepang tercermin pada ritus seijinshiki. Berikut ini ritus-ritus pendewasaan yang dilakukan orang Jepang.

a. Obi Iwai

Pada saat kehamilan 5 bulan diadakan obi iwai(acara memakai stagen) pada wanita yang sedang hamil. Ritus obi iwai ini bukan ditujukan kepada ibu yang sedang hamil, kepada janin yang berusia 5 bulan. Ini merupakan ritus pertama yang dilaksanakan dalam lingkaran hidup orang Jepang.

(45)

37

kelompok suatu masyarakat. Untuk itu, dilakukan penyambutan karena ada rasa suka cita terhadap anggota baru yang akan lahir.

Obi iwai merupakan salah satu ritus konstitutif karena mengungkapkan

hubungan janin yang merupakan anggota baru yang akan disambut kedatangannya dalam kelompoknya. Obi iwai merupakan ritus penerimaan dalam tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada dan dilakukan penyucian dalam penyambutannya.

b. Shussan Iwai

Shussan adalah kelahiran. Shussan atau kelahiran disini bukan dilihat

dari kedudukan anak yang dilahirkan, melainkan ibu yang melahirkan. Sedangkan untuk anak disebut tanjou. Dalam pemikiran masyarakat Jepang, shussan adalah suatu keadaan yang sangat rawan bagin perempuan. Hal ini dikarenakan adanya pendarahan pada saat persalinan yang mengakibatkan ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Terlebih lagi pada saat teknologi kedokteran yang belum maju. Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan sepanjang hidup perempuan.

(46)

38 c. Okuizome

Ketika bayi berusia 100 hari, dilaksanakan ritus kuizome atau makan pertama. Dulunya perayaan ini dilaksanakan ketika bayi berumur 120 hari. Ketika bayi berumur 100 hari, bayi berhenti menggunakan kimono putih, dan selanjutnya dikenakan kimono berwarna. Baru pada usia 120 hari dilakukan ritual menyulang makanan ke mulut bayi untuk pertama kalinya. Pada umumnya ritual ini disebut kuizome, namun pada keluarga Bushi disebut hashizome. Maknanya bisa sebagai

upacara memberi makan pertama kali atau upacara memperkenalkan sumpit pertama kali kepada bayi. Namun, sekarang ini kedua upacara itu disatukan, pada usia ke-100 hari atau ke-120 hari menjadi upacara okuizome.

Pada upacara okuizome, meminta orang tertua di daerah itu untuk menerima kewajiban orang tua asuh. Kalau bayi itu laki-laki maka meminta orang tertua yang laki-laki, dan kalau bayi itu perempuan akan meminta orang tertua perempuan. Hal ini dilakukan dengan harapan bayi ini akan berumur panjang seperti orang tertua di daerahnya itu.

Makanan yang akan diberikan kepada bayi disusun di meja sajian khusus (ozen) untuk satu orang. Makanan yang disusun adalah beras merah, sup bening, ikan bekukung, plum yang dilumuri garam, dan yang lainnya. Di sekeliling ozen itu diletakkan batu kerikil. Kerikil ini katanya adalah jimat untuk menguatkan gigi bayi. Kerikil ini diambil dari dekat sungai atau pantai. Ada satu ozen lain lagi, di atasnya diletakkan 5 kue mochi merah dan putih.

(47)

39

ke mulut bayi. Dengan melakukan ritus ini, mendoakan agar tidak ada kesulitan makanan seumur hidup bayi dan agar bayi itu panjang umur.

Okuizome ini dilaksanakan untuk mendoakan agar pertumbuhan bayi

dapat berjalan dengan baik sampai ia besar dan agar bayi panjang umur. Perayaan ini dilakukan orang tua dan bayi menjadi tuan dalam ritus ini. Orang tua memberi bayi makan makanan lezat dan mendoakannya kepada dewa.

Dalam ritus ini anak yang menjadi tuan, dan orang tua melakukan setiap upacara dengan tujuan membahagiakan bayinya. Karena tujuannya agar bayi mendapat umur yang panjang dan hidup sejahtera, maka ritus ini merupakan ritus faktitif, yaitu ritus yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan.

d. Hattanjou

(48)

40

Selanjutnya di depan anak laki-laki diletakkan sempoa, kuas, dan yang lainnya, sementara itu di depan anak perempuan diletakkan penggaris, kotak menjahit, dan yang lainnya. Kemudian anak akan menggenggam barang-barang yang ada di sekitarnya itu. Barang-barang itu menunjukkan suatu pekerjaan di masa mendatang. Ini dimaksudkan apabila bayi tersebut meraih benda tertentu maka profesinya di masa mendatang diramalkan akan berhubungan dengan benda yang diraihnya tersebut.

Ritus ini dilakukan pada anak yang berusia 1 tahun, karena anak yang berusia 1 tahun sudah dapat bergerak bahkan sudah ada yang dapat berjalan, bayi yang berusia 1 tahun masih polos, belum tahu barang apa yang diraihnya dan belum memikirkan masa depan. Sehingga dapat melaksanakan ritual meramal masa depan pada ritus hattanjou ini. Tujuan ritus ini mendoakan agar bayi mendapat masa depan yang baik. Bayi yang berulang tahun yang pertama tersebut menjadi tuan dalam ritus ini, dan orang tua menjadi pelaksana ritus ini. Ritus ini merupakan perayaan sukacita yang dilaksanakan secara Shinto. Hattanjou juga merupakan ritus faktitif, karena mengharapkan produktivitas yang terbaik bagi anak di masa mendatang.

e. Shichigosan

(49)

41

kemudian perayaan 5 tahun berasal dari perayaan hakamaginoiwai (upacara memakai hakama) untuk anak laki-laki, upacara ini bermakna pertama kali memakai hakama pada tempat-tempat resmi, sedangkan perayaan 7 tahun adalah perayaan obitoki (memakai obi) bagi anak perempuan. Masing-masing perayaan tersebut awalnya dilaksanakan pada hari yang berbeda-beda. Kemudian disatukan menjadi tanggal 15 November. Sebutan untuk perayaan ini berbeda di setiap daerah.

Usia 3, 5, dan 7 dipilih karena ketiganya merupakan angka ganjil yang dipercaya membawa keberuntungan. Pada hari ini orang tua mendoakan kesehatan dan pertumbuhan anak. Anak-anak tersebut akan mendapat permen khusus yang disebut chitose ame, yang dimasukkan ke dalam kantong yang bergambar bangau dan kura-kura. Chitose berarti seribu tahun, bangau dan kura-kura juga merupakan lambang panjang umur.

Selain merupakan angka keberuntungan ritus shichigosan dilakukan pada usia 3 tahun, karena anak-anak pada usia seperti itu sudah bisa mendapat pengajaran mengenai bersosialisasi secara sederhana dan sudah dapat berkomunikasi, sehingga bisa diajari untuk berdoa dan bersembahyang kepada Tuhan.

(50)

42

acara. Ini merupakan ritus konstitutif yang menunjukkan keadaan hubungan seseorang dalam kelompoknya.

f. Seijin Shiki

Seijin shiki merupakan upacara kedewasaan, dan meninggalkan masa

kanak-kanak. Seijin shiki dilakukan untuk orang-orang yang telah genap berusia 20 tahun. Kebiasaan ini dimulai pada tanggal 22 November 1946 di Siatama. Kemudian Hukum Jepang menetapkan ritus kedewasaan ini menjadi acara nasional. Dan dirayakan setiap tanggal 15 Januari.

Pada perayaan seijin shiki, biasanya laki-laki berpakaian ala barat, dan wanita memakai pakaian tradisional Jepang (kimono). Ini adalah suatu sikap dan kebiasaan yang perlu ditiru. Terlihat jelas kebanggaan generasi muda Jepang dengan budaya tradisionalnya melalui perayaan seijin shiki ini. Mereka tidak malu dan canggung menggunakan pakaian tradisional mereka.

(51)

43

(kanmuri), ada kekhususan bagi bushi pada umumnya yang menggunakan topi pada bangsawan dan samurai (ebashi), sejak zaman Muromachi mencukur rambut depan menjadi populer di antara para bushi, hasilnya rambut depan menjadi tanda genpuku. Pada zaman Edo, bentuk rambut ini juga terkenal di antara para petani

dan pedagang dan menjadi zaman jambul.

“Kokumin no iwaijitsu ni kansuru houritsu” menetapkan bahwa hari

pendewasaan adalah tanggal 15 Januari ditetapkan sebagai Seijin no hi. Melalui seijin shiki ini seseorang berhak memilih dalam pemilihan umum. Kemudian usia

20 tahun menjadi sangat perlu karena telah menjadi batas yang jelas untuk dewasa secara hukum. Orang yang berusia di bawah 20 tahun, tidak diberikan izin mengemudi, tidak boleh menikah, dan tidak boleh bekerja.

Seijin shiki dilakukan untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa

seseorang telah dewasa karena telah genap berusia 20 tahun. Batas kedewasaan di usia 20 tahun ini menjadi kesepakatan dalam masyarakat Jepang dan menjadi ketetapan dalam hukum Jepang. Orang yang melakukan ritus ini keluar dari kelompok anak-anak dan memasuki kelompok dewasa. Dan telah mendapatkan hak dan kewajiban sebagai orang dewasa. Berhak mengeluarkan pendapat, memilih dan dipilih, tetapi kewajibannya pun telah diterimanya begitu ia berusia 20 tahun. Orang yang telah berusia 20 tahun diharapkan bersikap mandiri. Ritus ini adalah ritus yang terus dilaksanakan setiap tahunnya. Karena itu, setiap orang yang telah genap berusia 20 tahun wajib melakukannya.

Seijin shiki merupakan ritus konstitutif yang menunjukkan status dewasa

(52)

44

mendapatkan prosedur-prosedur perubahan, berubah cara berpikir, perlakuan hukum, bersikap, dan akhirnya bergabung dengan kelompok dewasa.

3.1.2 Ritus-Ritus Perkawinan

Dulunya, upacara pernikahan biasanya dilaksanakan di rumah, tapi sekarang, banyak orang yang menggunakan gedung khusus untuk resepsi pernikahan dan hotel. Pesta pernikahan orang Jepang biasa diadakan di awal dan akhir musim panas, sekitar bulan Juni dan Oktober. Pada bulan-bulan tersebut suhu udara tidak terlalu panas dan dingin, paling nyaman dalam setahun.

Selain musim, tanggal pernikahan juga ditentukan oleh penanggalan Jepang. Seperti kalender Jawa yang memiliki siklus Wetonan untuk tiap hari dalam seminggu, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon, kalender mingguan Jepang ditandai dengan siklus Rokuyou, Senshou, Tomobiki, Senbu, Butsumetsu, Taian dan Shakkou. Masing-masing menunjukkan kadar keberuntungan hari

tersebut. Pesta pernikahan biasa diadakan pada hari Taian, dimana satu hari penuh dipercaya membawa keberuntungan. Oleh karena itu di Jepang banyak pesta pernikahan diadakan pada hari Taian di musim panas.

Pertunangan dan acara pernikahan selang waktunya biasanya 9 bulan. Pernikahan ada yang dilaksanakan secara Shinto, Kristen dan Budha. Pernikahan secara Shinto menjadi pernikahan secara Kristen dimulai sejak Meiji tahun 33 (1990).

(53)

45

pernikahan di hadapan dewa. Setelah itu pengantin melakukan sansankudo atau bertukar cawan pengantin (bersulang). Mempelai pria, mempelai wanita dan orang tua mempelai pria bertukar cawan kecil sebanyak 3 kali yang dibawakan oleh seorang biarawati. Kemudian giliran mempelai wanita, mempelai pria dan orang tua mempelai wanita bertukar cawan yang berukuran sedang, cawan yang paling besar adalah giliran mempelai pria, mempelai wanita dan mempelai pria saling bertukar dan segera meminum arak suci. Setelah itu keduanya telah menjadi suami istri. Kemudian kedua mempelai bersulang sake yang menandakan kedua keluarga telah bersatu.

Setelah upacara pernikahan selesai, dilanjutkan dengan pesta resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan disebut juga kekkon hiroen. Resepsi selain dilaksanakan di gedung khusus upacara pernikahan, ada juga yang melaksanakan resepsi pernikahan di hotel. Resepsi pernikahan biasanya dihadiri 50 orang. Orang Jepang dalam memilih tamu yang akan diundang untuk menghadiri pesta pernikahannya sangat hati-hati dan memilih-milih. Biasanya yang diundang hanya kerabat amat dekat dan beberapa orang saja dari petinggi di tempat kerja, jarang sekali mengundang teman, bahkan teman akrab sekalipun sering tidak termasuk nominasi undangan. Pernikahan di Jepang sudah dibilang besar kalau dihadiri seratus orang.

(54)

46

Hal ini dimaksudkan agar tuan rumah tidak salah menyediakan jumlah kursi yang akan disiapkan pada hari H, dimana kursi-kursi tersebut dicantumkan nama-nama para undangan yang telah menyatakan siap hadir. Karena biasanya pesta pernikahan di Jepang biayanya sangat mahal, bisa menghabiskan 50.000 yen perorang (tamu).

Resepsi pernikahan dimulai dengan pidato dari comblang, ucapan selamat dari tamu kehormatan, setelah bersulang (kanpai), kemudian memotong kue pernikahan. Dilanjutkan dengan memakan hidangan, tetapi selagi makan ada teman yang memberikan pidato pendek. Di tengah resepsi, pasangan pengantin bisa meninggalkan resepsi. Ini disebut oironaoshi atau mengganti pakaian pengantin selagi resepsi. Akhirnya keluarga memberikan ucapan terima kasih (perayaan) dan menyatakan bahwa upacara pernikahan berakhir kepada para undangan. Para undangan pulang dengan membawa cindera mata (hikidemono) (Itami, 1969:18).

Pelaksanaan ritus pernikahan (kekkonshiki) ini bertujuan menunjukkan perubahan status seseorang dari status lajang menjadi seorang yang telah berkeluarga. Karena itu ritus ini termasuk ritus konstitutif. Kekkonshiki merupakan ritus penerimaan yang dilakukan dalam 3 tahap. Yaitu pemisahan dari status dan kelompok lajang, beralih menjadi orang yang telah menikah dan mengalami perubahan dalam perlakuan sosial sekaligus bergabung ke dalam kelompok orang yang telah menikah.

(55)

47

kewajiban untuk saling menjaga dan melindungi, meskipun nyatanya dalam lingkungan bangsa Jepang hal-hal seperti ini tidak mendapat kontrol dari lingkungan, tapi hal ini diatur dan terlihat jelas dalam hukum. Ada juga hak dan kewajiban pasangan yang telah menikah tersebut dalam keluarga besarnya. Pasangan tersebut mendapatkan peran baru dalam keluarga besarnya juga. Misalnya, sebagai wanita yang telah menikah tersebut, menikah dengan anak pertama dalam suatu keluarga maka, ia akan menjadi menantu sulung yang berperan sebagai pengganti ibu mertuanya jika ibu mertuanya itu telah meninggal atau tidak bisa melakukan tugasnya.

Setelah menjalani banyak hal dalam perkembangan hidupnya, di masa tua, orang Jepang pun masih tetap melakukan beberapa ritus. Ritus ini dapat dikatakan ritus ulang tahun. Namun, perayaan ulang tahun tersebut dirayakan pada ulang tahun tertentu saja yang dianggap usia paling rawan dan usia yang sangat lanjut. Yaitu pada usia 61 tahun melakukan perayaan kanreki (還暦), usia 70 merayakan koreki (古希), usia 77 tahun disebut perayaan kiju (喜寿), usia 80 tahun merayakan sanju (傘寿), usia 88 tahun merayakan beiju iwai (米寿), usia 90 tahun merayakan sotsuju (卒儒), dan usia 99 tahun disebut dengan perayaan hakuju (白寿). Berikut ini penjelasan beberapa ritus di usia lanjut.

a. Kanreki Iwai

Toshi iwai pada usia 61 tahun dilakukan karena dipercaya usia 61 tahun

(56)

48

kanrekibagi orang tuanya. Seluruh anak dan cucunya berkumpul kemudian orang

tua tersebut memakai akai cancan ko.

Namun, sekarang ini meskipun telah berusia 60 tahun, orang tua Jepang masih melakukan pekerjaan. Jadi, sekarang orang Jepang lebih banyak merayakan toshi iwai pada usia 70 tahun (koki).

b.Beijuu Iwai

Di Jepang kalau telah berusia 88 tahun akan mengadakan perayaan beiju. Kata beiju dalam huruf kanji dituliskan dengan kata kome (米) atau beras, karena kalau huruf kome (米) dalam huruf kanji dipisah-pisah, maka akan menjadi huruf 88 dalam huruf kanji (八+八) yang disebut beiju. Perayaan ini dihadiri keluarga dan teman-teman dari yang berulang tahun.

c. Hakujuu Iwai

Hakujuu Iwai merupakan upacara syukuran atas kehidupan. Hakujuu Iwai dilaksanakan ketika orang tua berusia 99 tahun atau upacara ulang tahun ke-99 tahun. Upacara ini dilakukan anak-anak kepada orang tuanya sebagai ucapan terima kasih. Dimana status orang tua yang sebelumnya merupakan kepala keluarga berubah menjadi penasihat di dalam keluarga. Pada ritus ini anak yang mengadakan upacara selamatan kepada orang tuanya.

(57)

49

keluarga dan masyarakat selama bertahun-tahun dan merayakan panjangnya usia orang tua tersebut.

Di usia pensiun sejak usia 60 tahun, orang tua menyerahkan tugas sebagai pemimpin keluarga kepada anaknya dan beralih menjadi pembimbing bagi anak-anaknya dan bergabung kepada kelompok orang yang dituakan. Orang tua tidak lagi memimpin keluarganya, tapi mengikuti segala keputusan anaknya dan hanya bertindak sebagai pembimbing. Pada usia ini orang tua tidak lagi bekerja dan hanya bersenang-senang dengan cucunya.

3.1.3 Ritus-Ritus Kematian

Inouguchi dalam Situmorang (2006:48) mengatakan, kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi meninggalkan tubuhnya untuk selamanya. Untuk memastikan apakah seseorang telah mati atau hanya pingsan (hansi), masyarakat tradisional melakukan upacara pemanggilan roh agar kembali lagi ke jasad (tamayobai). Tamayobai disebut juga Mogari, yaitu suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar

pemikiran mogari adalah manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum terlalu jauh, maka masih dapat dipanggil kembali.

(58)

50

tersebut agar kembali ke jasadnya. Ada pula yang memanggil roh orang tersebut ke dalam sumur atau atap rumah. Kemudian setelah acara tamayobai dilakukan, tetapi orang yang telah pergi rohnya itu tidak hidup lagi, maka orang tersebut dipastikan telah mati. Setelah dipastikan seseorang itu mati, maka diumumkan kepada seluruh keluarga, kerabat dan tetangga bahwa orang tersebut telah meninggal. Pemberitahuan ini disebut shirase. Shirase biasanya dilakukan oleh 2 orang. Jika dilakukan sendiri, biasanya orang tersebut membawa boneka. Untuk orang yang mendengar pemberitahuan itu, jika usianya sama dengan yang meninggal, maka orang tersebut membuat penutup telinga dari tutup periuk (mimifutagi) atau menutup telinga dengan ketan (mochi) yang disebut nejirimochi.

Ritus tamayobai atau mogari merupakan ritus yang dilakukan untuk menunjukkan status atau keberadaan seseorang telah meninggal kepada lingkungan sosialnya. Orang yang mati merupakan orang yang mendapat status baru dalam lingkungan masyarakatnya. Secara langsung kewajiban dan haknya pun berubah dalam perilaku sosial dengan lingkungannya. Yang melakukan perlakuan sosial dalam hal ini hanya satu pihak yaitu orang-orang di lingkungan sekitarnya yang masih hidup.

Melalui pemberitahuan itu masyarakat di sekitarnya langsung melakukan penghormatan terakhir sebagai tindakan sosialnya. Bagi orang yang meninggal ritual ini menunjukkan perubahan situasi sosial. Pertama, pemisahan dari keadaan hidup, kemudian suatu masa marginal (peralihan) dan akhirnya tahap penyatuan kepada kondisi yang baru yaitu situasi meninggal.

(59)

51

dalam ritus kematian tidak hanya melakukan satu ritus saja, tetapi orang yang telah meninggal tersebut akan dilakukan ritusnya sesuai dengan usia kematiannya. Perlakuan yang dilakukan dalam setiap ritus pun berbeda-beda sesuai dengan usia kematian dan tujuan ritus itu dilaksanakan. Pelaksanaan ritus kematian ini berlangsung sampai roh orang meninggal tersebut diyakini telah menjadi dewa (hotoke).

Pada saat jenazah ditangani, keluarga mengadakan tsuya (通夜), yaitu berjaga sepanjang malam atau berjaga setengah malam yang disebut dengan hantsuya (半 通 夜) dengan menghabiskan waktu terakhir bersama almarhum sambil mendoakannya. Pada saat menghadiri tsuya (通 夜), pakaian yang digunakan oleh pihak keluarga merupakan pakaian berkabung, biasanya berwarna hitam.

Setelah seluruh upacara kematian selesai dilaksanakan, keluarga yang diitinggalkan melakukan ritus peringatan terhadap orang yang telah meninggal yaitu pada hari ke-7 (hatsunanoka), upacara hari ke-35 (sanjugonichi), sampai upacara hari ke-49 (shijukunichi).

(60)

52

( 骨 壷 ) dikuburkan. Kadang-kadang houji dilakukan pada hari ke-100 (hyakanichi), dan untuk jangka waktu tertentu akan dilakukan sho-tsuki-meinichi yaitu houji yang dilakukan setiap bulan dan nenki yaitu houji yang dilakukan secara periodik (Nasution,2005:29).

Ritus ini dilakukan secara Budha dengan tujuan menenangkan roh orang yang telah meninggal. Ini merupakan ritus penghormatan terakhir bagi tubuh orang yang telah meninggal. Karena abu dari jenazah orang yang telah meninggal itu baru dikuburkan pada upacara tersebut. Selanjutnya akan dilakukan ritus peringatan dan penghormatan terhadap roh orang yang telah meninggal.

Bagi masyarakat Jepang tubuh (nikutai) , dan roh (reikon) mrupakan suatu hal yang berbeda. Nikutai dalam upacara kematian dibiarkan menghilang baik dengan cara dihanyutkan ke sungai maupun denan cara di kremasi sehingga tersisa hanya abu. Berbeda dengan tubuh, roh diperlukan sebagai sesuatu yang penting dan berharga.

Bagi masyarakat Jepang reikon disebut juga tama. Dipercaya tama ada tiga jenis yaitu ikimitama, aramitama, dan mitama. Ikimitama adalah roh orang yang masih hidup, mengacu pada roh kedua orang tua yang masih hidup. Mitama adalah roh orang mati dari leluhur yang baik sifatnya, yaitu roh leluhur, sedamngkan aramitama adalah roh orang yang abru saja meninggal. Dan masih dalam keadaan tidak stabil dan dapat berpotensi untuk menjadi pengganggu.

(61)

53

gaki secara agama budha. Agar roh-roh tersebut tidak mengganggu orang yang masih hidup.

Untuk itu dilakukan upacara penyucian roh setelah hari ke-49. Yaitu upacara peringatan kematian yang perlakuannya sama dengan upacara hari ke-49 dilakukan pada ulang tahun kematian yang pertama (isshuki), acara 3 tahun (sankaiki), acara 7 tahun (nanakaiki), acara 13 tahun (jusankaiki), acara 17 tahun (junanakaiki), kemudian 33 tahun (sanjusaikaiki). Dalam upacara penyucian roh dilakukan pemberian kuyou kepada roh leluhur yang telah meninggal sampai roh yang telah meninggal dipercaya telah menjadi sousen yaitu pada usia kematian 33 tahun dalam konsep budha atau 50 tahun pada konsep Shinto.

Dalam Situmorang (2006:52), pemberian kuyou untuk orang meninggal merupakan pertolongan supaya roh jangan terjatuh ke dunia yang buruk. Ini merupakan pemikiran untuk kebaikan orang yang hidup di dunia. Jika roh nenek moyang di dunia sana mengalami kesusahan maka nasib keturunan di dunia sini akan buruk.

Pemberian kuyou ini dihentikan ketika roh telah menjadi sousen dan tidak perlu lagi diadakan ritus khusus. Karena roh tersebut diyakini telah masuk ke dalam senzodaidi (kelompok nenek moyang). Roh tersebut dianggap pergi ke gunung mengawasi anak cucunya. Kemudian dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun baru, higan, roh tersebut dipercaya datang ke rumah anak cucunya.

(62)

54

agama budha dan kami (神) dalam agama Shinto. Ketika roh tersebut telah meninggal 33 tahun dipercaya akan lahir kembali sebagai roh cucunya. Sehingga tidak perlu lagi dilakukan ritus khusus.

Keseluruhan upacara penyucian roh tersebut merupakan ritus pemakaman (sougi) yang ditujukan bagi orang yang telah meninggal. Upacara dilakukan oleh keluarga yang telah ditinggalkan untuk ketenangan roh dari orang yang telah meninggal (leluhur) dan menunjukkan hubungan manusia dengan keluarga yang ditinggalkan (Situmorang 2006).

Sanjusankaiki merupakan ritus terakhir dari ritus penghormatan terhadap

(63)

55

3.2 Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Batak Toba 3.2.1 Ritus-Ritus Kelahiran-Pendewasaan

Bahwa manusia itu diadakan adalah untuk mewujudkan kebijakan Mulajadi Nabolon. Karena itu setiap perkawinan suku Batak dianggap ritual yang

akan membuahkan manusia sebagai penjelmaan hahomion (kebijakan) Mulajadi Na Bolon. Oleh karena itu setiap perkawinan yang hendak dilakukan pria dan

wanita harus lebih dahulu membersihkan diri keseluruhannya agar manusia yang lahir dari perkawinan itu benar-benar wujud kebijakan Mulajadi Na Bolon (Gultom, 1992).

Upacara kelahiran termasuk upacara penting bagi keluarga Batak disamping mengawinkan anak dan memasuki rumah baru. Sewaktu anak masih dalam kandungan sampai lahir hingga berumur beberapa bulan beberapa upacara yang dilakukan yaitu,

a. Manghunti Pagar (Si Ibu Hamil)

Semasa kandungan berumur antara tiga sampai empat bulan pihak perempuan (hula-hula) untuk mengupa si ibu hamil. Kepadanya diberikan makanan kesukaannya. Disamping itu diberikan juga semacam benda yang disebut pagar dengan harapan semoga siibu dan kandungannya selamat sampai si bayi lahir kelak. Pagar atau tangkal ini disebut juga sebagai pagar salusu.

(64)

56

tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada.

b. Ulos Tondi

Pada saat usia kandungan sudah mencapai 7 bulan atau lebih, maka pihak keluarga perempuan (hula-hula) datang menyampaikan ulos yang dinamai ulos tondi. Ulostondi ini dimaksudkan agar roh si calon ibu selamat dari gangguan roh

jahat. Demikian juga agar si bayi dalam kandungan sehat-sehat. Pada upacara ini hula-hula menyampaikan ikan yang diistilahkan sebagai dengke si mudur-udur

dimasak dengan cara menguapkan airnya hingga kering. Dengke simudur-udur dengan arti agar anak mereka banyak.

c. Esek-esek (Mangan Haroan)

Haroan dimaksudkan kedatangan tamu baru. Untuk manusia baru itu

diadakan pesta makan bersama yang disebut mangan indahan haroan, disingkat mangan haroan. Pesta untuk keselamatan bayi dan ibunya waktu anak lahir,

sembilu telah dipersiapkan untuk memotong tali pusat si bayi. Placenta bayi yang disebut anggi-anggi dimasukkan dalam bakul kecil lalu dikubur di kolong rumah. Maksudnya, agar jangan diambil orang untuk bahan guna-guna. Si ayah membelah kayu mentah sebagai pertanda anak telah lahir dengan selamat. Kayu dibawa dan diletakkan di rumah. Kalau seiring dengan bunyi kayu yang dijatuhkan itu, Sibaso menjawab dengan jelas : “si tatap bila perempuan atau si Bursok, bila laki-laki”. Kemudian ayah mempersiapkan tempat berdiang si ibu

(65)

57

ramalan hari (parhalaan). Yang disembelih bisa saja ayam atau babi. Sehabis makan bersama, seorang yang paling tua mengucapkan pepatah sebagai berkat bagi si bayi. Kemudian yang hadir serentak mengucapkan “olop-olop”. Jika yang lahir itu perempuan olop-olopan tiga kali, kalau laki-laki maka olop-olopan tujuh kali. Sejak saat itu keluarga yang baru kelahiran ini menjaga ketat si ibu dan si bayi siang dan malam sampai tujuh hari tujuh malam berturut-turut.

d. Robo-roboan/mangharoani

Selama tujuh hari tujuh malam itu para tetangga dan keluarga beramai-ramai datang ke tempat si bayi. Mereka itu disebut paranggap dan pekerjaan itu disebut manganggapi (melek-melekan). Hal ini dimaksudkan agar segala hantu dan setan tidak berani lagi mengganggu. Sebelumnya, sehabis si bayi dimandikan, bidan (sibaso) mengayunkan si bayi tujuh kali diatas unggun api. Kemudian sambil menghentakkan kaki kanan, dia berkata “buat begu molo so di ho di hami” yang artinya kira-kira sebagai berikut “ambillah hai hantu kalau tidak, biar untuk kami”. Kemudian barulah si bayi dibaringkan dekat ibunya. Maksudnya, agar si bayi jangan mudah terkejut sekaligus dilindungi oleh neneknya atau Tuhan, sehingga menjadi teman bagi manusia terutama keluarganya.

(66)

58 e. Mangahoni/Mamboan Aek Unte

Dengan rasa gembira pihak perempuan datang beramai-ramai mengunjungi si bayi dan keluarganya. Mereka membawa makanan dan tepung tawar bagi si bayi dan ibunya. Lauk-pauknya biasanya diresep dengan air limau. Disana mereka makan bersama dan ayah si bayi menyediakan makanan yang paling enak sebagai pertanda gembira dan hormat kepada pihak mertuanya. Kedatangan klan pemberi gadis disertai Dalihan Na Tolu dan disambut pula oleh Dalihan Na Tolu pihak klan penerima gadis.

f. Martutu Aek (turun ke air)/tardidi

Pada waktu yang dipilih datu, anak itu dibawa ibunya ke perigi, umbul tepi sungai atau tepi danau. Disana diberikan sajian kepada penghuni air itu berupa sirih, tepung beras, sekam halus didalam tempurung atau beling yang berisi bara api. Kemudian si anak dimandikan lalu pulang ke rumah. Sebenarnya pada saat inilah nama si bayi itu mulai diberikan oleh neneknya (dari laki-laki ataupun perempuan). Sesampainya di rumah, kain gendongan sang bayi disangkutkan di pintu rumah agar hantu yang mengikuti dari belakang terhalang masuk rumah. Pada upacara pemberian nama dengan mengangkat nama neneknya pada anak tersebut, diadakan pesta besar dengan memotong lembu sitio-tio dengan maksud supaya terang penglihatan dan sesuatu pekerjaan dari anak memakai nama neneknya tersebut, yang hadir sanak keluarga termasuk Dalihan Na Tolu.

Referensi

Dokumen terkait

P: Hilangnya sesuatu hal dalam proses pernikahan adat Batak Toba juga menghilangkan nilai budaya pernikahan adat Batak Toba itu sendiri, menurut anda apa yang dapat

pemasaran yang ditetapkan oleh perusahaan pada tiap tahap daur hidup produk. (Porduk

Selain itu, daur hidup dari produk itu sendiri menjadi faktor penting dalam kesuksesan sebuah usaha karena akan berkaitan langsung dengan strategi pemasaran yang harus

Piranti Works pada model alat potong kuku dengan mengintegrasikan rekayasa nilai dan analisis daur hidup bertujuan untuk memberikan nilai atau value yang lebih

Piranti Works pada model alat potong kuku dengan mengintegrasikan rekayasa nilai dan analisis daur hidup bertujuan untuk memberikan nilai atau value yang lebih

Oleh sebab itu, di mana pun orang Batak Toba tinggal, hal yang paling utama yang harus dilakukan untuk mempertahankan hidup mereka adalah adalah dengan bekerja keras, sebab tanpa

Konsep DBE pada sistem penilaian daur hidup ayam potong yang mengacu pada Djatna (2020), merupakan sistem interaksi bisnis yang terjadi secara peer to peer (P2P)

Nama kelompok dan jenis cacing yang melakukan daur hidup seperti gambar di bawah ini adalah