• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya. dikarenakan adanya unsur kebudayaan di dalamnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya. dikarenakan adanya unsur kebudayaan di dalamnya."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia mengalami hal atau proses yang disebut daur hidup, yaitu proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Tetapi ada beberapa perbedaan yaitu menyangkut cara dan proses yang terjadi di berbagai daerah ataupun suku di setiap negara, keseluruhan hal ini dikarenakan adanya unsur kebudayaan di dalamnya.

Manusia adalah mahluk yang memiliki akal dan pikiran serta kebudayaan, kebudayan tersebut adalah hasil dari aplikasi akal dan pikiran manusia itu sendiri yang didasari oleh ide ataupun gagasan. Koentjaraningrat (1976:28) mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

Menurut koentjaraningrat dalam Takari,dkk (2008:5), konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Sehingga, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh karenanya, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan.

Pendapat lain mengatakan, budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak kentara atau bersifat laten. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang konkret. Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2006:2-3) membedakan pengertian kebudayaan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga

(2)

menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Jepang dikenal sebagai bangsa yang homogen, homogen dibidang bahasa dan kebudayaannya. Artinya bahwa cara hidup masyarakat di Utara tidak begitu berbeda dengan masyarakat di Selatan, walaupun tantangan alam di selatan Jepang berbeda dengan tantangan alam di daerah Utara, (Situmorang, (2006:2)

Reischauer (1982:192) menyatakan bahwa sifat bangsa Jepang adalah menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsa. Pemeliharaan kebudayaan ini berlanjut dan dilaksanakan sejak seseorang dilahirkan bahkan sampai ia mati.

Dalam kehidupan masyarakat Jepang mengenal istilah daur hidup. Van Gennep dalam Oktolanda (2005:34) menyatakan bahwa daur hidup merupakan perubahan manusia dari suatu tahap ke tahap lainnya menuju kedewasaan melalui proses inisiasi. Sejak orang jepang dilahirkan, ia sudah menjalankan budayanya dalam ritual shussan iwai atau syukuran kelahiran. Melalui ritual shussan iwai

anak mendapatkan status sebagai anggota baru dalam suatu lingkungan keluarga dan masyarakat.

Situmorang (2006 : 59) menjelaskan: “Shussan iwai merupakan acara selamatan pertama yang ditujukan kepada si bayi. Dimana kedua orang tua si bayi

(3)

ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan juga pada tetangga-tetangga mereka”. Kemudian selanjutnya diikuti oleh proses pendewasaan sampai proses pendewaan. Dimana beberapa ritual yang dilakukan dalam setiap daur kehidupan orang Jepang itu menunjukkan status orang Jepang tersebut dalam kehidupan lingkungannya.

Begitu rumit dalam hal menunjukkan status seseorang dalam kehidupan lingkungan masyarakat Jepang khususnya masyarakat tradisional Jepang, seseorang harus menjalankan begitu banyak ritus sepanjang hidupnya, bahkan sampai ia mati pun masih saja orang melakukan ritus baginya.

Ritus itu menjadi sangat penting bagi orang Jepang tradisional karena berhubungan dengan rasa tabu dan ucapan syukur. Ada ritus yang sengaja dilakukan untuk menunjukkan status seseorang itu dalam lingkungan kehidupannya, namun tidak dipungkiri juga ada ritus yang dilakukan karena ada ketabuan sehingga secara tidak langsung menunjukkan jati diri seseorang.

Masyarakat Indonesia di beberapa kebudayaan juga mengenal siklus daur hidup, proses pengenalan anggota keluarga baru melalui proses inisiasi, salah satunya pada masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba mengenal adanya daur hidup yang melalui proses inisiasi yang dilakukan sejak lahir bahkan sampai setelah ia mati.

Selain itu, yang senantiasa efektif penggunaanya dalam adat Batak adalah mengenai urusan siriaon dan siluluton. Siriaon adalah kegiatan yang berkenaan dengan upacara adat bercorak kegembiraan seperti pesta perkawinan, mendirikan dan memasuki rumah baru, sedangkan siluluton adalah kegiatan adat yang bersifat duka cita seperti kematian. Dua macam peristiwa tersebut dipandang tidak dapat

(4)

terlaksana dengan baik tanpa partisipasi seluruh komponen adat DNT. (M.D. Harahap 1986:93) dalihan-na-tolu.html).

Hidup masyarakat Batak didominasi ritual. Setiap perilakunya diliputi sifat ritual, baik terhadap tuhan maupun terhadap alam, manusia, waktu, ilmu pengetahuan dan pekerjaan. Orang Batak memuliakan Tuhan bukan sekedar untuk dirinya sendiri tetapi demi turunannya. Orang Batak menghargai alam, tidak merusak alam itu bukan demi dirinya tetapi adalah untuk turunannya. Orang Batak menghargai waktu, belajar untuk menuntut ilmu dan melakukan segala pekerjaan yang baik adalah demi masa depan turunannya. Anakhon hi do naumarga di ahu yang artinya bahwa anaknya itulah harta yang paling berharga pada suku Batak.

Salah satu sikap perilaku dari hikmad keturunan itu, diwujudkan pada saat menyambut kelahiran anak pertama. Keluarga akan selalu peka mendengar berita apakah putrinya itu telah dibenahi turunan, dan mereka akan selalu meminta nasehat dari boru sibasosemacam bidan yang erat kaitannya dengan spiritual. Pertama-tama jalan pikiran mereka tertuju pada kehidupan spiritual, apakah

tondimereka sekeluarga tidak sejajar dengan pengharapan sekeluarga. Oleh sebab itu roh atau tondi mereka diupa,agar ada ketulusan tondi meminta berkat dari Tuhan. Upacara ketulusan tondi ini agar sejajar dengan pengharapan mereka disebut mardengke nilaean.

Hal serupa juga terlihat pada perkawinan, pada dasarnya, adat perkawinan Batak mengandung nilai sakral. Pernikahan Batak dikatakan sakral karena dalam pemahaman pernikahan Batak, bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak

(5)

pengantin perempuan) karena ia "berkorban" memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak pengantin pria), yang menjadi besannya nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/adat perkawinan itu.

Sebagai bukti bahwa santapan/makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekornya masih melekat, hati, jantung dll). Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan /kehadiran mereka di dalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.

Sebelum misionaris/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini (waktu itu belum ada

pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda/simbol penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi/kerbau dan disaksikan parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual), paranak sendiri yang menggiring lembu/kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru. Daging hewan inilah yang menjadi makanan

(6)

pokok parjuhut dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan/juhut itu tetap paranak yang membawa/mempersembahkan.

Mungkin sekarang sudah banyak paket pernikahan Batak. Namun kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya

namargoar/tudu-tudu sipanganon tanpa juhutnya bukan namargoar tetapi

namargoar rambingan yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat

paranak bermakna paranak telah melecehkan parboru, dan kalau ditempat

parboru (dialap jual) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri.

Berikut ini adalah gambaran perbandingan daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba, dimana terdapat perbedaan maupun persamaan diantara keduanya.

Pada masyarakat Jepang ritus-ritus yang terjadi mulai dari kelahiran sampai perkawinan disebut ritus-ritus pendewasaan. Ritus pendewasaan ini terdiri

Daur hidup Jepang Daur hidup Batak

Kawin

Lahir

Menjadi dewa

Mati Mati Lahir

Kawin

Mangokkal holi

(7)

dari obi iwai, shussan iwai, okuizome, shichigosan, seijinshiki, sampai pada ritus

kekkonshiki menunjukkan tahap-tahap perubahan dari anak-anak menjadi orang dewasa. Konsep dewasa bagi orang Jepang tercermin pada ritus seijinshiki. Pada masa tua juga dilakukan beberapa ritus, ritus ini dapat dikatakan ritus ulang tahun. Namun, perayaan ulang tahun tersebut dirayakan pada ulang tahun tertentu saja yang dianggap usia paling rawan dan usia yang sangat lanjut. Yaitu pada saat usia 61 tahun melakukan perayaan kanreki (還暦), usia 70 merayakan koreki (古希),

usia 77 melakukan perayaan kiju (喜寿), usia 80 merayakan sanju (傘寿), usia 88

tahun merayakan beiju iwai (米寿), usia 90 merayakan sotsuju (卒儒), dan usia 99

disebut dengan perayaan hakuju (白寿). Pada saat mati dan sampai menjadi dewa,

orang Jepang juga melakukan berbagai ritus diantaranya; hatsunanoka,

sanjugonichi, shijukunichi, hyakanichi, isshuki, sankaiki, nanakaiki, jusankaiki, junanakaiki, sanjusannenki.

Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai ritus menyangkut hubungan timbal balik dengan alam dan keyakinan. Pada saat lahir ada beberapa ritus yang dilakukan yaitu, manghuti pagar, ulos tondi, esek-esek, robo-roboan, mamboan aek unte, tardidi, sidi. Begitu juga pada kematian, ritus yang dilakukan yaitu,

mate,mangongkal holi patangkokhon saring-saring.

Berbagai perbedaan dan persamaan dari kedua budaya tersebut membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti apa saja proses daur hidup dalam kedua kebudayaan tersebut melalui skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA”.

(8)

1.2 Perumusan Masalah

Daur hidup merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti. Hal ini dapat dilihat dari ritus-ritus yang terjadi di dalalamnya dan apa yang melatar-belakangi proses tersebut dan bagaimana perbandingan kedua kebudayaan, yaitu antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba.

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji perbandingan konsep daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba yang ditinjau dari segi ritus-ritus yang dilaksanakan.

Beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut: 1) Seperti apa ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Jepang? 2) Seperti apa ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Batak Toba?

3) Bagaimanakah perbandingan kedua konsep pemikiran masyarakat jepang dan masyarakat Batak Toba dalam hal ritus daur hidup?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka penelitian ini hanya akan dibatasi pada perbandingan konsep daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba saja. Adapun untuk mendukung pembahasan akan di uraikan juga tentang ritus yang terjadi dalam proses daur hidup masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba, sehingga dapat mengantarkan penulis untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana proses daur hidup yang terjadi di dalam kedua kebudayaan tersebut. Dalam hal ini, ritus yang akan dibahas disempitkan pada ritus daur hidup saja.

(9)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Di dalam proses menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat, orang Jepang melakukan ritus-ritus dalam kehidupannya. Dalam proses menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat, suku Batak Toba juga melakukan ritus ritus dalam kehidupannya. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan sendirinya akan terikat satu dengan yang lainnya dan akan saling mempengaruhi.

Masyarakat luas merupakan seluruh manusia yang hidup bersama di suatu tempat pada suatu waktu, yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok, golongan-golongan lainnya yang dinamakan keluarga, kelas, mungkin juga ada sedikit kasta, dimana terdapat aksi-reaksi dan kesadaran akan adanya anggota-anggota lain yang menyebabkan orang-orang itu berhati-hati dalam kepentingan-kepentingan sesamanya di dalam kelompok itu masing-masing dan terhadap masyarakat luas (Shadily, 1993 : 47).

Ritus-ritus itu dilaksanakan sejak seseorang itu lahir sampai ia mati dan menjadi leluhur. Sedangkan ritus merupakan tata cara di upacara keagamaan (Moeliono, 1989 : 751). Sementara itu, orang Jepang dalam melaksanakan ritual-ritualnya berbeda-beda prosesi dan aturan menurut agama yang dipakainya pada saat melakukan ritus itu. Dalam kehidupan orang jepang, mereka bisa menggunakan lebih dari satu agama, dalam ritus kelahiran dilaksanakan secara Shinto, pada saat menikah secara Kristen, dan pada saat meninggal ritusnya dilaksanakan secara Budha.

(10)

Pada masyarakat Batak Toba prosesi dan aturan yang dipakai pada saat melakukan ritus-ritus kelahiran, pernikahan, kematian adalah aturan Ugamo. Gultom, 1992 mengatakan bahwa Ugamo adalah pandangan Suku Batak terhadap alam spiritual yang dipergunakan menjadi pedoman hidupnya sehari-hari.

2. Kerangka Teori

Dalam melakukan dan menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadap jalannya suatu penelitian (Bungin, 2001). Dengan melihat judul yang diangkat penulis, maka teori yang digunakan adalah analisis komparatif.

Dalam ilmu sosial, penelitian komparatif adalah cara penelitian dengan membandingkan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, untuk mengetahui perbedaan dan persamaan, juga untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi masyarakat tersebut (Malo Manase, 1985). Selain menggunakan teori analisis komparatif, penulis juga menggunakan konsep religi daam menjawab pokok permasalahan penelitian.

Menurut Koentjaraningrat dalam Bungin 2001, konsep religiadalah sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan yang bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

(11)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan

1) Mendeskripsikan bagaimana ritus daur hidup dalam dua masyarakat yang berbeda (Jepang dan Batak Toba)

2) Mendeskripsikan konsep pemikiran kedua masyarakat (Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritus daur hidup

3) Membandingkan pandangan masyarakat Jepang dan Batak Toba akan ritus daur hidup

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1) Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai konsep pemikiran kedua masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritus daur hidup. 2) Menambah wawasan penulis dan pembaca dalam memahami proses yang

terjadi di dalam daur hidup kedua masyarakat Jepang dan batak Toba. 3) Dapat dijadikan sebagai informasi untuk penelitian lain yang berhubungan

dengan ritus-ritus daur hidup.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan suatu gejala sosial tertentu (Bungin, 2001). Dalam hal ini Penulis mencoba menggambarkan perbedaan konsep daur hidup melalui ritus yang terjadi pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai

(12)

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis komparatif, dengan membandingkan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konssep, kesimpulan serta saran. Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006:13).

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book dilakukan diberbagai perpustakaan,seperti : Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, Perpustakaan USU, dan beberapa perpustakaan lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui terminal yang sama pengguna juga dapat mengetahui berbagai jenis informasi yang berkaitan dengan perpustakaan antara lain buku-buku baru minggu atau bulan terakhir, status

Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan pegangan oleh pemerintah, akademisi maupun produsen bahan bangunan untuk dapat memanfatkan bahan bangunan pengganti hasil penelitian

47 Data sumur yang digunakan berisikan top dari setiap formasi yang berfungsi sebagai marker dan digunakan sebagai petunjuk pada saat interpretasi horizon pada penampang

Pada tabel 4.3 bisa dilihat bahwa manajemen laba dan ukuran perusahaan memiliki nilai VIF yang sama yaitu 1,204 yang lebih kecil dari 10 sehingga kedua variabel independen dalam

Hasil studi menunjukkan terdapat sembilan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penataan dan pembangunan menara BTS di Kota Bandung.. Faktor-faktor tersebut lebih

Kestasioneran data merupakan merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model, sehingga jika data tidak stasioner maka

Pada kegiatan tatap muka ke-3 (TM-3), peserta akan melaporkan hasil pembelajaran Guru Pembelajar moda daring mulai dari awal hingga akhir dengan membawa

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa instrumen tingkat keterlaksanaan penilaian otentik siswa SMA untuk mata pelajaran Fisika yang telah dikembangkan sudah valid