• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hata Tongka Pada Masyarakat Batak Toba : Kajian Folklor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hata Tongka Pada Masyarakat Batak Toba : Kajian Folklor"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

HATA TONGKA PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA : KAJIAN FOLKLOR

Skripsi Sarjana Dikerjakan O

l e h

NAMA : VALENTINA SIMALANGO NIM : 060703006

Pembiming I Pembimbing II

Drs.Sumurung Simorankir,S.H, M.Pd Drs.Jamorlan Siahaan M. Hum

NIP. 1956009111986101001 NIP. 19590717198702100478 Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU

Untuk melenkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Batak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK

MEDAN

(2)

Disetujui oleh

Fakultas sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Daerah Ketua,

Drs. Baharuddin M.Hum NIP. 196001011988031007

(3)

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan , untuk

Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam bidang ilmu Sastra Daerah pada Fakultas Satra Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada : Tangal : Hari :

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Dekan

NIP.19650909 199403 1004 Prof. Wan Syaifuddin, Ph.D

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Baharuddin M.Hum ……….

2. Drs. Warisman M.Hum ……….

3. Drs. Sumurung Simorangkir,S.H, M.Pd ……….

4. Drs. Jamorlan Siahaan M.Hum ……….

(4)

KATA PENGANTAR

Segala kerendahan hati dan puji syukur terhadap Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat dan Kasih- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini

sebagai tugas akhir dalam menempuh pendidikan di Fakultas Sastra USU. Dan akhirnya

pula penulis dapat mencapai cita-cita yang sangat penulis harapkan dari kecil, yaitu dapat

memberikan suatu kebangaan yang tak bisa tertandingi dengan sesuatu apapun kepada

orangtuaku tercinta yang telah bersusah paya mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi

generasi penerus bangsa yang beriman dan taat kepada Tuhan Yesus Kristus.

Untuk memperoleh gelar sarjana bukanlah hal yang gampang, selama

bertahun-tahun penulis berusaha belajar keras agar bisa tamat dari Fakultas Sastra tercinta ini

sesuai dengan target yang penulis harapkan, walaupun begitu banyak tantangan dan

rintangan yang penulis harus hadapi namun penulis tetap berusaha dan bersemangat

selalu di dalam menggapai suatu gelar yang sangat berarti sebagai suatu kebrhasilan dari

suatu usaha yang tidak sia-sia. Dan skripsi ini merupakan suatu upaya untuk

merealisasikan ilmu yang penulis dapat selama belajar di Fakultas Sastra USU khususnya

di Program Studi Bahasa dan Sastra Batak. Adapun judul yang penulis bahas dalam

penyusunan tugas akhir ini adalah ; Hata Tokka (takhyul) pada Masyarakat Batak Toba.

Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekuranganya. Oleh

sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2010 Penulis,

Valentina Simalango 060703006

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Syaifuddin,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara, Medan

2. Bapak Drs.Baharuddin Purba, M.Hum selaku ketua Departemen Sastra Daerah,

serta semua staff pengajar yang telah bersusah payah mendidik penulis selama

menyelesaikan studi.

3. Bapak Drs.Warisman Sinaga M.Hum sebagai Sekretaris DepartemenSastra

Daerah di Fakultas Sastra USU Medan.

4. Bapak Drs.Sumurung Simorangkir S.H. M.Pd sebagai dosen wali sekaligus

sebagai dosen pembimbing I yang memberikan pemikiran serta perhatian dan

sentiasa bermurah hati membimbing penulis selama belajar di Fakultas Sastra.

5. Bapak Drs.Jamorlan Siahaan M.Hum sebagai pembimbing II yang telah

memberikan masukan dan mau meluangkan waktu dan pemikiran untuk

membimbing penulis dalam studi.

6. Teristimewa kepada kedua orangtua penulis E. Simalango dan R. Sinaga yang

telah bersusah payah membesarkan penulis. Terima kasih atas nasehat-nasehat

yang telah diberikan kepada penulis serta doa-doanya.

7. Teristimewa juga kepada Tulang dan Nantulang Daniel , Pnt.Ir. Alusdin Sinaga

dan Dr. Dumaria Situmorang yang selalu mendidik, membimbing, dan juga

memberikan pengajaran akan pertumbuhan iman, sungguh pengorbanan yang

sangat mulia.

8. Keluarga besar Simalango, kakak-kakakku Ervinna dan Julia serta adek-adekku

Rut beserta keluarga, Melina, Ester, Samuel, Andreas, Gabriel, dan Pardomuan.

Terima kasih atas doa-doanya.

9. Terkhusus juga buat para sepupu-sepupuku yang menemani hari-hari penulis di

(6)

10.Untuk kakak-kakak senior yang senantiasa memberikan masukan dan dorongan

kepada penulis, stambuk ’03, stambuk’05 k’friska dll dan juga kepada adek-adek

junior stambk’07, ’ 08. dan’09. Terima kasih atas dukungannya.

11.Untuk temen-teman seangkatan satambk’ 06 Winda, Bob, Aspiner, Irwan, Elin,

dan juga anak-anak Melayu.

Akhirnya, penulis hanya dapat memohon kiranya Tuhan Yesus Kristus

melimpahkan berkat, Kasih dan Anugrah-Nya kepada mereka yang penulis sebutkan

diatas, tanpa bantuan dan doa dari mereka penulis sulit untuk berbuat.

Tuhan Beserta kita

Amin.

Medan, Juli 2010 Penulis,

Valentina Simalango 060703006

(7)

ABSTRAK

Dalam penelitian ini, membahas hata tongka (takhyul) yang terdapat di

Kabupaten Samosir, khususnya di Kecamatan Gorat pallombuan. Masalah penelitian ini,

menggunakan metode deskriptif. Peneliti mengakui bahwa masyarakat Batak toba masih

mempercayai hata tongka (takhyul) oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk

mengkaji dan menganalisisnya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi skripsi ini menjadi lima bagian

yakni: pada bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri atas, latarbelakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan anggapan dasar.

Pada bab kedua yang merupakan kajian kepustakaan yang terdiri atas pengertian hata,

kepustakaan yang relevan, dan teori yang digunakan. Pada bab ketiga merupakan

metodogi penelitian yang terdiri atas metode dasar, sumber data penelitian, lokasi

penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Pada bab keempat yang merupakan hasil dan pembahasan dan pada bab kelima terdiri

atas kesimpulan dan saran.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….... i

UCAPAN TERIMA KASIH………. ii

DAFTAR ISI………... v

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Rumusan Masalah………..…… 7

1.3 Tujuan Penelitian………...…… 7

1.4 Manfaat Penelitian……….………… 8

1.5 Anggapan dasar……… 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA………...…… 10

2.1 Pengertian Hata………….………..…….. 10

2.2 Kepustakaan yang Relevan……… ….… .12

2.3 Teori yang Digunakan………. 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 15

3.1 Metodologi Penelitian………... 15

3.2 Metode Dasar………..….. 15

a. Lokasi Penelitian……… 17

b. Sumber Data Penelitian………. 17

c. Instrumen Penelitian……….… 17

3.3 Metode Pengumpulan Data………... 17

3.4 Metode Analisis Data……… 18

(9)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………....….19

4.1 Jenis-jenis hata tongka pada masyarakat Batak Toba…………...19

4.1.1 Hata tongka tu poso-poso (Takhyul untuk anak bayi)… 19 4.1.2 Hata tongka tu dak-danak (Takhyul untuk anak-anak)... 21

4.1.3 Hata tongka tu boru-boru (Takhyul bagi Perempuan).... 25

4.1.4 Hata tongka tu baoa (Takhyul bagi Lelaki)….………. . 30

4.1.5 Hata tongka tu boru-boru nadenggan pamatangna (Takhyul bagi wanita hamil)………..………. 33

4.1.6 Hata tongka molo mangan (Takhyul saat makan)….…. 36 4.1.7 Hata tongka molo modom (Takhyul saat tidur)……... 38

4.1.8 Hata tongka di harangan (Takhyul di hutan)……….... 40

4.2 Fungsi Hata tongka pada masyarakat Batak Toba...… 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..… 46

5.1 Kesimpulan………..…… 46

5.2 Saran………...…… 49

DAFTAR INFORMAN…… ……… 50

DAFTAR PUSTAKA……… 52

(10)

Proposal Skripsi

HATA TONGKA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA :

KAJIAN FOLKLOR

Dikerjakan

O

L E H

VALENTINA SIMALANGO NIM 060703006

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK

MEDAN

(11)

ABSTRAK

Dalam penelitian ini, membahas hata tongka (takhyul) yang terdapat di

Kabupaten Samosir, khususnya di Kecamatan Gorat pallombuan. Masalah penelitian ini,

menggunakan metode deskriptif. Peneliti mengakui bahwa masyarakat Batak toba masih

mempercayai hata tongka (takhyul) oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk

mengkaji dan menganalisisnya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi skripsi ini menjadi lima bagian

yakni: pada bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri atas, latarbelakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan anggapan dasar.

Pada bab kedua yang merupakan kajian kepustakaan yang terdiri atas pengertian hata,

kepustakaan yang relevan, dan teori yang digunakan. Pada bab ketiga merupakan

metodogi penelitian yang terdiri atas metode dasar, sumber data penelitian, lokasi

penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Pada bab keempat yang merupakan hasil dan pembahasan dan pada bab kelima terdiri

atas kesimpulan dan saran.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan

masih berkisar pada sastra lisan saja. Sastra itu sebagian tersimpan didalam ingatan

orang-orang yang mempunyai keahlian khusus dalam menceritakan sastra tersebut, yang

jumlahnya semakin berkurang karena dimakan usia.

Sastra sebagian lisan merupakan bagian dari folklor. Folklor adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara macam

kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk

lisan maupun contoh-contoh yang disertai dengan gerak, isyarat atau alat pembantu

pengingat (mnemonic device), (Danandjaya. 1991: 2)

Folklor sebagian lisan, boleh dinyatakan folklor campuran. Di dalamnya ada yang

berupa lisan (verbal) dan bukan lisan (gerak, materal). Karena itu, teori penelitian yang

digunakanpun sebenarnya fleksibel. Sastra tidak dapat dilepaskan dari budaya karena

sastra merupakan suatu fenomena yang hidup berkembang dalam bermasyarakat. Untuk

kebudayaan yang secara universal meliputi: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi

sosial, sistem peralatan, dan tekhnologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan

kesenian, (Koentjaranigrat, 980 : 217). Kepercayaan rakyat, atau yang sering disebut

“takhyul” adalah tidak berdasarkan logika sehingga secara ilmiah tidak dapat

(13)

menghina, maka folklor modern lebih mempergunakan istilah kepercayaan rakyat (folk

belief). Dalam kehidupan masyarakat Batak kata takhyul ini sering diartikan dengan

kata-kata larangan yang disebut dengan hata tongka. Kebiasaan – kebiasaan masyarakat

Batak Toba adalah dengan memakai hata tongka di dalam mengucapkan sebuah larangan

yang seharusnya tidak diucapkan dan dilakukan.

Dapat dinyatakan bahwa kebudayaan meliputi segala bentuk tingkah laku, karya

manusia, pikiran dan cita-citanya yang dipelajari dan diteruskan dari generasi ke generasi

lainya. Meskipun terdapat kemampuan kreasi kebudayaan di zaman modern ini, namun

tidak dapat disangkal bahwa kebudayaan sekarang ini mempunyai koherensi yang padu

dengan kebudayaan yang leluhur masyarakat pemilik suatu kebudayaan itu sendiri.

Kebudayaan pada satu sisi dapat dilihat sebagai suatu penyelesaian kelompok atas

berbagai persoalan hidup manusia yang pola pada hubungan manusia yang satu dengan

yang lain, dan manusia pada lingkungannya. Penerusan pola dapat diungkapkan

dengan berbagai cara atau sistem transformasi budaya yang vertikal yang dapat

dilaksanakan melalui sastra sebagian lisan. Suku-suku di Indonesia pada umumnya

mempunyai nilai budaya yang tersendiri termasuk suku Batak yang mendiami daerah

Sumatera Utara.

Nilai budaya yang dimaksud dipandang suatu sistem yang hidup dan dianut oleh

masyarakat. Dalam masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia saat

ini, berbagai bentuk Sastra Daerah itu tidak mustahil akan terabaikan dan mungkin lama

kelamaan akan hilang tanpa bekas. Diakui bahwa ada diantara Sastra Daerah itu tidak

sesuai lagi dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekarang ini. Namun banyak

(14)

yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga dan sebagainya. Semuanya itu masih dapat

dimanfaatkan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang. Karya sastra dapat

berguna karena memancarkan pengalaman jiwa yang tinggi, hebat, agung sehingga dapat

bermanfaat dalam memberikan pengalaman jiwa kepada penikmatnya.

Dalam kaitan ini, kita dapat berkiblat pada pendapat Brunvand ( Suwardi Endaswara, 2009 : 20) yang memberikan ciri folklor sebagai berikut :

a. bersifat lisan ( oral ) b. bersifat tradisional

c. keberadaanya sering memiliki varian atau versi d. selalu anonim

e. cendrung memiliki formula atau rumus yang jelas

Ciri-ciri tersebut menandakan bahwa folklor memang sebuah budaya asli. Namun,

perlu diresapi bahwa ciri tersebut seringkali juga untuk menjebak. Maksudnya, jika hanya

berpegang pada aspek lisan.

Adapun ciri-ciri pengenal utama folklor menurut Danandjaya (1991:3) yaitu: a. Penyebaran dan pewarisanya biasanya secara lisan, yakni disebarkan

melalui tutur kata dari mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak,/isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi selanjutnya.

b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.

c. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh cara penyebaranya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (penambahan atau pengisisn unsur-unsur baru pada bahan folklor degan mudah dapat mengalami perubahan. d. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui

orang lagi

e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola

f. Folklor biasanya mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif.

g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.

Ciri pengenal ini terutana berlaku bagi foklor lisan dan sebagian lisan. h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini

(15)

diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.”

Sebagian kekayaan sastra berlandaskan ciri-ciri folklor yang disebutkan diatas,

sastra daerah khususnya kepercayaan rakyat tak hanya berfungsi sebagai alat hiburan

belaka, melainkan juga dapat menjadi alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, proyeksi

keinginan terpendam, dan alat untuk memelihara atau menurunkan buah pikiran suatu

suku atau bangsa pemilik sastra itu. Dalam kaitan itu, amat mungkin penelitian folklor

dalam rangka menggali budaya nusantara sebagai lambang kebudayaan nasional.

Menggali folklor Nusantara dapat dimanfaatkan sebagai upaya menemukan nilai-nilai

pemersatu budaya bangsa. Keinginan semacam ini pun boleh-boleh saja. Hal ini dilandasi

asumsi bahwa kebudayaan nasional Indonesia sudah mempunyai aspek kebudayaan yang

dapat mempengaruhi perilaku bangsa Indonesia yakni, aspek tata kelakuan .

Suatu kebudayaan dapat dilestarikan dengan menghubungkan dengan karya

sastra. Kebudayaan suatu suku bangsa dapat dilihat dari segi kesusastraanya, sebab sastra

merupakan bagian dari kebudayaan. Hal ini berkaitan dengan karya sastra sebagai

penuangan ekspresi jiwa. Sastra mampu juga sebagai wadah penyampaian, penuangan

ide-ide pengarang mengenai kehidupan manusia. Karya sastra tersebut diciptakan

berdasarkan kenyataan sosial selanjutya dituangkan dalam pemakaian bahasa-bahasa

yang indah.

Dari sekian pola atau sistem yang hidup dan berlangsung adalah sastra. Sastra

yang trampil kepermukaan adalah untuk mengisi pranata lainya. Sastra memiliki nilai

budaya yang tercermin dalam pemberian arti berbagai jenis perilaku atau tindakan antar

individu maupun golongan. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya,

(16)

manusia, misalnya berusaha untuk memahami diri sendiri, orang lain, dan kemudian

menggunakan bahasa untuk menghasilkan sebuah pemikiran. Karya sastra bukan hanya

mengungkapkan kenyataan saja, melainkan juga nilai-nilai yang lebih tinggi atau lebih

agung dari sekedar kenyataan hidup, misalnya menceritakan tentang keagungan atau

kebesaran Tuhan. Karya sastra itu sendiri bukanlah semata-mata tiruan hidup, tetapi

merupakan merupakan penafsiran tentang alam dan kehidupan

Folklor sebagian Batak Toba misalnya, sastra daerah sebagian lisan daerah Batak

Toba yang kalau dilihat dari isi dan kegunaanya sangat bermanfaat bagi masyarakat. Tapi

sangat disayangkan sekali bahwa sastra sebagian lisan yang terdapat di daerah Batak

Toba hampir punah, bukan hanya itu saja faktor penyebab punahnya sastra sebagian lisan

diantaranaya adalah masyarakat yang menceritakanya hanya orang-orang yang sudah tua

usianya dan jumlahnya sangat sedikit. Ada juga yang beranggapan bahwa sastra sebagian

lisan itu tidak perlu dikembangkan lagi karena zaman semakin berkembang.

Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala sesuatunya yang tidak

modern, apalagi yang bersifat pribumi, termasuk sastra sebagian lisan dan sastra lama

kurang mendapat perhatian. Diakui bahwa ada diantara sastra daerah itu yang tidak sesuai

lagi dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekarang ini. Namun banyak diantara

sastra daerah itu yang mengandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman

jiwa yang berharga, dan sebagainya. Semuanya itu masih dimanfaatkan pada masa

sekarang dan pada masa yang akan datang. Karya sastra dapat berguna karena

memancarkan pengalaman jiwa kepada penikmatnya. Dengam demikian fungsi karya

sastra adalah menyenangkan dan berguna (Badrun,1983:20). Harus kita ketahui juga

(17)

menentukan fungsi karya sastra adalah tergantung dari sikap kita dalam menempatkan

karya sastra sebagai karya imajinatif.

Latar belakang takhyul dapat bertahan terus sampai saat ini, dapat diberikan contoh sebagai berikut :

Disebabkan oleh cara berfikir yang salah, prelideksi (kegemaran) serta psikologi umat manusia untuk percaya kepada yang gaib-gaib ritus peralihan hidup, teori keadaan dapat hidup terus (survival), perasaan ketidaktentuan, akan tujuan yang sangat didambakan, ketakutan akan hal-hal yang tidak normal atau penuh resiko dan takut akan kematian pemodernisasian takhyul, serta pengaruh kepercayaan bahwa tenaga gaib dapat tetap hidup berdampingan dengan ilmu pengetahuan dan agama. Brunvand (dalam Danandjaya 1968:191).

Jika kita meninjau suatu masyarakat, maka akan terlihatlah pada kita di dalam

masyarakat tersebut terdapat kelompok-kelompok manusia yang dari individu-individu

sebagai anggota masyarakat, yang mana sudah tentu tiap individu itu akan saling

berhubungan satu sama lainya.

Dengan mengetahui struktur sosial dari suatu masyarakat, maka dapat pula kita

ketahui organisasi masyarakat yang berlaku di dalam suatu masyarakat pula. Baik

organisasi masyarakat tersebut maupun struktur sosial dari suatu suku bangsa akan

berlangsung hidup tidak berobah, sedangkan individu yang bergerak didalamnya sudah

tentu akan berubah dan berganti. Hubunganya dengan budaya sangat berkaitan erat

karena sebagian dari kebudayaan yang tercermin di dalam kehidupan masyarakat Batak

yang menghargai dasar filsafatnya.

Sejarah kebudayaan dan pergolakan suku bangsa Batak, jelas sekali termasuk

salah satu bagian daripada sejarah kebudayaan dan pergolakan bangsa Indonesia. Tetapi

sayang dewasa ini sejarah dan kebudayaan daripada masing-masing suku bangsa

(18)

tergali atau tersusun, diantaranya selain karena akibat politik kolonialisme Belanda dulu,

juga karena akibat revolusi kemerdekaan Indonesia pada masa-masa yang lalu.

Sejarah kebudayaan dan pergolakan masing-masing suku bangsa Indonesia,

memang mempunyai titik-titik perbedaan juga sesuai dengan asal usulnya, situasi dan

kondisi yang dialami dan dilaluinya dalam peredaran zaman beberapa abad yang telah

lampau.

Sistem sosial pada masyarakat Batak di desa Gorat Pallombuan berdasarkan

perundang-undangan formal seperti yang telah tercantum dalam Pancasila dan

Undang-Undang Dasar1945 dan juga masyarakat Batak di desa Gorat Pallombuan tentang

hukum-hukum yang ada dalam agama serta adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat

Batak Toba. Sistem sosial yang sesuai dengan perundang-undangan digunakan pada

masyarakat Batak di desa Gorat Pallombuan, setelah Indonesia menjadi sebuah Negara

yang merdeka dari penjajah pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, masyarakat

Batak Toba khususnya di desa Gorat Pallombuan, berdasarkan penelitian yang dilakukan

penulis, bahwa sosial dan budaya masih ada dan masih sampai sekarang. Manakala

sistem sosial budaya dari satu masyarakat mempunyai identitas tersendiri, yang meliputi :

a. Sistem pemerintahan

b. Sistem kepercayaan dan agama

c. Sistem kekerabatan

d. Sistem adat istiadat

1.2 Rumusan Masalah

Masalah merupakan suatu bentuk keterangan yang memerlukan suatu jawaban,

(19)

pertanyaan atau kalimat yang kiatnya menarik atau mengugah perhatian. Rumusan pokok

permasalahan sebenarnya merupakan batasan-batasan dari ruang lingkup topik yang

diteliti.

Adapun masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Jenis-jenis hata tongka pada masyarakat Batak Toba

2. Fungsi hata tongka pada masyarakat Batak Toba

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah maka tujuan yang

akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui jenis-jenis hata tongka pada masyarakat Batak Toba

2. Untuk mengetahui fungsi hata tongka pada masyarakat Batak Toba

1.4

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah informasi kepada pembaca tentang salah satu sastra

sebagian lisan yang terdapat di Samosir

2. Sebagai alternatife dalam menyampaikan ajaran-ajaran moral yang

sekarang ini sudah semakin menipis

3. Mengetahui adanya hata tongka (takhyul) di Samosir

4. Untuk menambah wawasan, khususnya mengenai kebudayaan pada

(20)

5. Mengajak segenap lapisan masyarakat Batak Toba untuk tetap sadar

bahwa suatu saat sastra daerah itu akan punah jika tidak ada kesadaran

untuk melestarikanya.

6. Bagi generasi muda khususnya suku Batak Toba, penelitian ini untuk

menggungah hati mereka dalam pengenalan kembali tentang hata

tongka sebagai suatu kebudayaan.

7. Bagi masyarakat awam (masyarakat yang kurang/tidak mengetahui

adat suku batak Toba) dengan adanya penelitian ini maka akan tertarik

untuk mengenal hata tongka pada masyarakat Batak Toba lebih dalam.

1.5

Anggapan Dasar

Anggapan Dasar ini merupakan titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu

yang sebenarnya dapat diterima tanpa perlu dibuktikan lagi ( Anwarsyah, 1993).

Anggapan dasar atau asumsi merupakan pokok pikiran yang menjadi landasan atau yang

dijadikan titik tolak dalam mendekati masalah.

Landasan ini perlu ditegakkan agar mempunyai dasar yang pokok untuk

mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang diinginkan bagi masyarakat maupun

suku-suku lain.

Salah satu pelaksanaan atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat Batak Toba dalam

kehidupan sehari-hari adalah dengan menggunakan hata tongka (kata larangan)

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Untuk mencapai hasil penelitian yang objektif penulis berusaha menjelaskan

variabel-variabel atau kata-kata kunci yang berhubungan dengan penelitian ini. Variabel

– variabel tersebut yaitu tentang pengertian hata, kepustakaan yang relevan, dan teori

yang digunakkan.

2.1 Pengertian hata

“Hata” lah yang memengang peranan yang sebesar-besarnya dalam adat istiadat

Batak. Filsafat Batak pertama tentang “hata” (kata) berbunyi :

“Tali ihot ni hoda,

Hata ihot ni jolma.”

Artinya : Tali pengikat kuda, kata pengikat manusia.

Maksudnya : Dalam peradatan harus hati-hati mengeluarkan kata, karena kata-kata

yang keluar dari mulut kita mengikat benar. Oleh sebab itu, peranan “hata” sangatlah

berpengaruh di daam kehidupan bermasyarakat. Kata itulah yang menentukan bagaimana

cara untuk tetap berbicara dengan benar dan sopan karena kata yang keluar dari mulut

manusia tidak mungkin dapat dikembalikan ketempatnya semula.

Berhubung dengan pentingnya “hata” itu dalam pekerjaan “adat” atau di dalam

kehidupan bermasyarakat Batak Toba, maka tidak banyak orang yang suka menjadi “raja

parhata”, karena disamping mempunyai kecerdasan memahami arti dan tujuan kata-kata

(22)

macam kiasan yang bukan hanya membuat kata-katnya menjadi indah, tetapi juga

mepertajam yang dikatakanya. Selain itu harus mempunyai perbendaharaan “umpama

dan umpasa” ( pepetah dan perumpamaan) yang cukup dan dapat mematahkan

perlawanan pihak lawan bicara.

Karena itu semuanya, banyak orang yang sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban

bertindak atau berfungsi sebagai “raja parhata” menyerahkan haknya itu kepada

saudaranya yang lain yang dianggapnya cukup matang dalam hal itu. Terlebih-lebih pada

zaman dahulu kala kepandaian berbicara itu sangat besar artinya dalam masyarakat Batak

yang dapat mengungkap identitas dari anggota masyarakat tersebut.

Didalam acara adat hata tongka juga dapat berperan penting didalam mengajarkan

setiap norma-norma dan ajaran moral yang berkaitan didalam kehidupan bermasyarakat.

Adakalanya sering terlontar dari raja parhata dikarenakan agar melarang seseorang itu

jangan melakukan tindakan yang semena-mena dan memperhatikan peraturan yang ada

didalam acara adat tersebut. Karena dengan mengucapkan hata tongka tersebut

masyarakat akan lebih percaya akan terjadinya sesuatu yang akan membuat dirinya

berada dalam masalah atau ketidaktenangan bagi diri.

Rasa ketidaktenangan yang dialami oleh masyarakat yang masih mempercayai akan

timbulnya berbagai konflik yang akan melanda setiap kegiatan dan aktivitas mereka

melalui kekuatan-kekuatan alam yang memaksa dirinya untuk dapat terus bertahan.

Dikarenakan juga melalui hata tongka tersebut masyarakat akan tersadar akan pentingnya

didalam menjaga kelestarian hidup dan mematuhi segala peraturan yang terdapat didalam

menjalankan sebuah upacara adat karena adat adalah salah satu bahagian dari kebudayaan

(23)

2.2 Kepustakaan yang Relevan

Pengertian Folklor:

Menurut Budiman (dalam Ginting 1979 : 13) berpendapat sebagai berikut:

“Sebagian dari kebudayaan yang tersebut dan diwariskan secara turun – temurun

dan tradisional diantara anggota – anggota kelompok apa saja, dalam versi yang

berbeda – beda baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan

perbuatan.”

Melalui folklor dapat diketahui kebudayaanya masyarakat pada waktu berkenaan

(zamanya) baik dari segi pikiran, latar belakang masyarakat, maupun konsepnya serta

keinginan mereka. Juga melalui folklor masyarakat lama menyampaikan bagaimana

leluhur nenek moyang dahulu. Pikiran dan perasaanya tidak menggambarkan secara

terbuka seperti sekarang namun disampaikan dengan cara tersirat dan halus sekali.

Begitulah pribadi masyarakat dulu yang banyak menampilkan nilai – nilai kehidupan

yang menyangkut moral dan sebagainya.

James Dananjaya (1984 : 21) memetik pendapat Jan Harold Brunvand membagi folklor dalam tiga kelompok besar yaitu: ”

a. Folklor lisan adalah folkor yang bentuknya mmang murni lisan. Contohnya; bahasa rakyat, ungkapan tradisional, prtanyaan tradisional, cerita prosa rakyat dan lain sebagainya.

(24)

c. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun pembuatanya diajarkan secara lisan. Contohnya ; arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adapt, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.”

2.3 Teori yang digunakan

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (yunani), berarti kebulatan alam

atau realitas. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keteranganya,

yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Teori merupakan prinsip dasar yang terwujud dan berlaku secara umum dan

memperoleh seorang penulis untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Teori

diperlukan untuk membimbing atau memberi arah sehingga dapat menjadi tuntutan kerja

bagi penulis.

Di dalam meneliti masalah ini dibutuhkan suatu landasan teori, yaitu landasan

berupa hasil perenungan yang mendalam, tersistem dan terstruktur terhadap gejala –

gejala alam yang berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian.Teori merupakan

landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan

jawaban terhadap masalah yang digarap. Dengan landasan teori yang kuat niscaya segala

masalah akan dapat terselesaikan dengan baik. Pemahaman tentang folklor sebahagian

lisan adalah folklor yang bukan merupakan gabungan unsur lisan dan unsur bukan lisan.

Kepercayaan rakyat atau yang sering disebut “takhyul” adalah kepercayaan yang

oleh orang berpendidikan barat dianggap sederhana bahkan pandir tidak berdasarkan

logika sehingga secara logika tidak dapat di pertanggungjawabkan.

Menurut Danandjaya (dalam Poewadarminta, 1976 : 996) mengatakan kata

(25)

modern lebih senang menggunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) atau

keyakinan berarti hanya khayalan belaka (sesuatu yang hanya diangan-angan saja yang

sebenarnya tidak ada).

Folklor mempunyai fungsi tertentu. Menurut Willam R Bascom (dalam Danandjaya 1986 : 19) fungsi folklor adalah :

a. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dalam lambang-lambang kebudayaan c. Sebagai alat pendidikan anak

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian berasal dari kata metode yang artinya cara yang tepat untuk

melakukan sesuatu, dan logis yaitu ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara

melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu

tujuan. (Naburko,1997).

Metode penelitian adalah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan dalam

penelitian. Dengan kata lain metodologi penelitian akan memberikan jawaban atau

petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau bagaimana penelitian ini dilaksanakan.

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh kebenaran atau membuktikan kebenaran

terhadap suatu objek permasalahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif, yaitu penulis akan memaparkan sesuatu dengan keadaan sebenarnya.

Sehingga pembaca dapat merasakan apa yang penulis paparkan sesuai dengan gambaran,

pemaparan penulis tentang kajian yang dilakukan.

3.2 Metode dasar

Metode dasar ialah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data,

sampai pada tahap analisis dengan mengekspletasi pada pokok permasalahan untuk

mendapatkan suatu hasil yang baik sesuai dengan apa yang diharapkan. (Simanjuntak,

(27)

Dasar pemikiran (takhyul) hata tokka ini adalah kepercayaan kepada kekuatan

sakti (Koentjanigrat, 1967:265). Hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi misalnya

persamaan waktu, persamaan wujud, totalitas dan bagian dan persamaan bunyi.

Secara harafiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud dengan

memaparkan atau mendeskripsikan secara rinci tentang kepercayaan rakyat pada

masyarakat Batak Toba secara objektif apa adanya. Metode ini mencapai penelitian

dalam upaya pengumpulan atau penganalisaan data.

Berhubung “takhyul” adalah semacam ungkapan trdisional, maka ia termasuk

juga dalam folklor, tetapi berbeda dengan ungkapan tradisional lainya (seperti bahasa

rakyat, peribahasa, teke-teki, sajak, nyanyian rakyat, cerita rakyat dan sebagainya).

Takhyul berdasarkan asumsi atas kesadaran dan bukan kesadaran mengenai

syarat(condition) dan akibat-akibat, sebab dan akibat dalam dunia kehidupan sehari-hari

walaupun asumsi itu tidak ilmiah, aspek kepercayaan takhyul dan aspek perbuatan

takhyul sangat luas persebaranya di semua lapisan masyarakat.

Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatanya

kasar terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak foklor

merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Oleh Hand (dalam Danandjaya, 1986 : 155 – 156), kepercayaan rakyat atau yang sering disebut dengan takhyul di sekitar lingkaran hidup manusia dibagi lagi kedalam tujuh kategori.

a. Lahir, masa bayi, dan masa kanak-kanak b. Tubuh manusia, dan Obat-obatan rakyat c. Rumah dan pekerjaan rumah tangga d. Mata pencaharian, dan hubungan sosial e. Perjalanan dan perhubungan

(28)

a. Lokasi Penelitian

Lokasi yang ditetapkan oleh penulis dalam meneliti adalah di desa Gorat

Pallombuan Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir. Alasan mengapa penulis memilih

lokasi ini adalah karena pada masyarakat setempat masih mempercayai hata tongka

(takhayul) tersebut, dan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian.

b. Sumber data penelitian

Sumber data yang diperoleh dalam pendeskripsian ini yang menjadi sumber data

penelitian ini adalah orang-orang tua yang masih mengingat atau mengetahui hata tongka

tersebut. Adapun syarat sebagai nara sumber penulis adalah dipilih yang berumur

minimal lima puluh tahun ke atas yang memahami hata tongka tersebut. Sumber data

yang diperoleh juga diambil dari kutipan-kutipan buku yang ada relevansinya dengan

skripsi ini.

c. Instrumen penelitian

Alat atau fasilitas yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data agar pekerjaan

lebih mudah dengan hasil yang lebih baik. Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah daftar wawancara, alat-alat tulis seperti: buku, pulpen dan daftar kuisoner.

3.3 Metode pengumpulan data

Dalam peengumpulan dan memperoleh data penulis mnggunakan beberapa metode

yaitu dari tinjauan pustaka maupun studi lapangan atau deskriptif.

1. Metode Pustaka yaitu penulis berusaha mencari buku-buku bahan acuan dari

(29)

2. Metode Lapangan/deskriptif

a. Metode Observasi atau pengamatan yaitu melakukan penelitian untuk

memperoleh data dengan langsung ke lapangan.

b. Metode Interview (wawancara) yaitu metode yang dilakukan untuk

mendapatkan keterangan lebih lanjut yang penulis perlukan. Untuk dapat

mengumpulkan data yang diperlukan menggunakan daftar wawancara

langsung.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara-cara si peneliti dalam mengolah data

yang mentah sehingga menjadi data yang cermat, atau akurat dan ilmiah.

Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat

diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan

kreatifitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.

Untuk menganalisis data penelitian ini, penulis menggunakan langkah-langkah

sebagai berikut:

• Mengidentifikasi data – data yang diperoleh dari lapangan

• Data yang diperoleh akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis – jenis hata tongka (takhyul) pada masyarakat Batak Toba

4.1.1 Hata Tongka tu Poso-poso

Hata tongka pada poso-poso ini muncul dikarenakan rasa ketakutan yang sangat

mendalam yang dialami oleh para orang tua yang masih mempercayai akan

kekuatan duniawi yang dapat mencelakakan diri sianak atau yang menganggap

kehidupan mereka yang masih berdampingan dengan ritus peralihan hidup.

1 Dang boi surion obuk ni poso-poso na baru tubu

/Tidak boleh menyisir rambut anak yang baru lahir/

Supaya kepala si bayi tidak kesakitan karena umumnya anak yang baru

lahir masih dalam keadaan lemah dan seluruh tubuhnya yang masih rentan

akan disekelilingnya. Oleh sebab itu, terutama kapala sangat tidak bisa

disentuh oleh benda keras seperti sisir karena bisa menyebabkan kesakitan

pada diri si bayi. Jadi, Mungkin ini hal yang paling ditakuti sehingga

masih diyakini sampai sekarang.

2 Dang boi jomuron abit ni poso-poso botari

/Tidak boleh menjemur pakaian anak baru lahir pada sore hari/

Dahulu diyakini akan menyebabkan sakit pada si bayi karena bisa disentuh

oleh makhluk halus padahal, karena sudah mau menjelang malam

dikwatirkan akan kehilangan atau terkena hujan yang menyebabkan

menjadi kotor kembali.

3 Dang boi dipapasson abit/lampin ni poso-poso nabaru tubu

(31)

Dulu diyakini jika dilempar-lempar akan menyebabkan kecekukan bagi si

bayi tersebut.

4 Dang boi balga soara i bege poso-poso na baru tubu

/Tidak boleh besar suara di dengar anak yang baru lahir/

Karena si bayi tersebut masih dalam keadaan lemah yang membuat dirinya

tidak terbiasa untuk mendengarkan suara-suara yang keras.

5 Dang boi marhassa poso-poso na so marngingi

/Anak yang baru lahir tidak boleh bercermin/

Karena belum mengetahui apa-apa maka dia akan terkejut melihat dirinya

sendiri di cermin itu dan merasa itu adalah temanya yang membuat dirinya

akan selalu berkhayal.

6 Dang boi di dokkon momok tu poso-poso na baru tubu, annon gabe kurus

/Pada anak bayi tidak boleh dibilang gendut, nanti menjadi kurus/

Agar tidak terjadi yang tidak diinginkan jika kelak ia akan menjadi besar

nantinya.

7 Dang boi manggotil baba ni poso-poso, annon dang olo mangan

/Tidak boleh mencubit mulut anak bayi, nanti tidak mau makan/

Peringatan juga kepada kita bahwa jika kita mencubit mulutnya takutnya

karena si bayi masih rentan akan lingkunganya mulutnya akan luka yang

menyebabkan dia merasa kesakitan untuk makan.

8 Dang boi baennon poso-poso i tot, annon marsahit

/Tidak boleh ditaro di atas lutut, nanti penyakitan/

Rasa ketakutan yang mendalam pada diri manusia jika ditaruh dilutut akan

menyebabkan dia jatuh dan akhirnya jatuh.

(32)

/Tidak boleh memakan sisa dari makanan anaknya, nanti menjadi pelawan/

Agar tidak membuang-buang makanan karena sangat sulit untuk

memperolehnya.

10 Dang boi i umma tikki modom apalagi ulu na dohot pusar, annon pendek umur

/Jika tidur tidak boleh dicium apalagi kepala dan pusatnya, nanti umurnya tidak panjang/

Agar si bayi tersebut tidak terganggu dari tidurnya yang membuat dirinya

menjadi cenggeng.

11 Dang boi mangombbus baba na, annon gabe bisu

/Tidak boleh meniup mulutnya, nanti jadi bisu/

Jika kita meniup mulut si bayi dia tidak akan tahan akan hembusan yang

membuat dirinya merasa tenggelam dan sulit untuk bicara.

12 Dang boi mamereng poso-poso sian atas ni ulu na, annon mata na juling

/Tidak boleh melihatnya dari atas kepala, nanti matanya kerong/

Ada betulnya juga jika dia keseringan melihat keatas maka matanya akan

terbiasa dengan yang aneh-aneh seperti matanya akan juling.

4.1.2 Hata Tongka tu Dakdanak

Hata tongka digunakan untuk anak-anak agar mereka lebih menghormati atau

lebih menghargai akan kehidupan dan tatakrama yang berlaku didalam kehidupan

bermasyarakat. Kemunculan hata tongka ini pada anak-anak karena

ketidakpatuhan mereka akan perintah-perintah dari orang tua mereka yang

mengharuskan si orang tua mengucapkan hata tongka agar sianak memahami dan

(33)

mempergunakan hata tongka tersebut sianak lebih takut karena berhubungan

dengan kemistikan dunia.

1. Dang boi manghunduli battal, annon baroan panggul

/Dilarang duduk di atas bantal, nanti pantat berbisul/

Supaya kita jangan menduduki bantal karena bantal tersebut tempat untuk

kepala di saat tidur.

2. Dang boi tuduon halibitongan, annon ponggol jari-jari na

/Tidak boleh menunjuk pelangi, nanti patah jari-jarinya/

Keyakinan bagi masyarakat jika menunjuk sesuatu sangat dilarang karena

diyakini disetiap tempat itu adalah keramat.

3. Dang boi mangaraut sisilon borngin, annon gelleng umurna

/Dilarang memotong kuku waktu malam, nanti jadi pendek umur/

Keterbatasan akan alat penerangan pada jaman dahulu yang menyebabkan

dilarangnya untuk melakukan sesuatu terutama dalam memotong kuku

agar tidak terjadi sesuatu hal yang dapat mencelakakan diri seperti

terpotongnya jari-jari tangan.

4. Dang boi mamiol-miol i jabu borngin, annon ro ulok

/Dilarang bersiul dalam rumah, nanti ular masuk/

Karena keusikan dari siulan tersebut yang menyebabkan ular dapat

menghampiri, karena ular sangat sensitif akan bunyi atau suara-suara yang

dapat menganggu dirinya.

5. Dang boi i pajulur dila, annon dila matappul

/Tidak boleh menjulur lidah, nanti lidah terpotong/

Supaya tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat orang lain merasa

(34)

6. Dang boi mangallang ulu ni dekke, annon gabe oto

/Tidak boleh makan kepala ikan, nanti menjadi bodoh/

Keyakinan bagi masyarakat setempat tidak diperbolehkanya memakan

kepala ikan karena dianggap dapat berpengaruh kedalam otak.

7. Dang boi manudu kuburan, annon jari bengkok

/Tidak boleh menunjuk makam, nanti jari bengkok/

Keyakinan bagi masyarakat agar jangan menunjuk-nunjuk kesembarang

tempat karena dianggap masih keramat.

8. Dang boi mangan i na golap, annon i dokkon mangan dohot begu

/Tidak boleh makan dalam gelap, nanti dikatakan makan dengan iblis/

Karena ditempat gelap itu diidentikkan sama dengan hantu-hantu yang

berkeliaran makanya dianggap sangat tidak wajar jika makan di tempat

yang gelap.

9. Dang boi marmeam manang haluar botari, annon i massuki begu

/Dilarang bermain atau keluar rumah waktu senja, nanti disurukkan hantu/

Karena diyakini pada sore hari para hantu-hantu berkeliaran dan dapat

menganggu setiap aktifitas manusia.

10. Dang boi maridi tonga arian

/Tidak boleh mandi pada tengah hari/

Karena teriknya matahari yang menyebabkan sakitnya kepala atau

membuat demam yang dapat mengundang penyakit.

11. Dang boi tangis i juma

/Tidak boleh menangis di ladang/sawah/

Keyakinan bagi masyarakat setempat yang sangat melarang anaknya untuk

(35)

12. Dang boi mangarat abit, annon ngingi margilok

/Tidak boleh mengigit baju, nanti giginya berulat/

Tanda larangan agar jangan selalu mengigit baju karena kelihatan sangat

tidak nyaman jika dipandang oleh orang lain.

13. Dang boi kossing tindang, annon i tarik begu

/Tidak boleh kencing berdiri, nanti di tarik hantu/

Karena keyakinan masyarakat akan keramatnya disetiap tempat yang

menyebabkan kewaspadaan jika melakukan sesuatu hal yang dapat

membahayakan diri.

14. Dang boi mangallang utok-utok ni babi, annon ubanon

/Tidak boleh makan otak babi, nanti ubanan/

Diyakini sangat berpengaruh jika memakan otak dari babi tersebut yang

menyebabkan munculnya keanehan didalam diri.

15. Dang boi huttion tangan, annon hatop mate natua-tuana

/Tidak boleh menjunjung tangan, nanti cepat mati orang tua/

Keyakinan bagi masyarakat setempat agar jangan mengangkat dan

menjunjung tangan karena dapat menyebabkan kematian bagi orang tua.

16. Dang boi mangan martopi

/Tidak boleh makan sambil pakai topi/

Karena sangat tidak nyaman jika makan sambil pakai topi karena

kelihatanya sangat jelek sekali.

17. Dang boi mangalakai sipanganon

(36)

Karena sangat tidak sopan jika melangkahi makanan yang membuat kita

menjadi tidak menghargai jerih payah orang tua kita.

18. Dang boi i dege topi

/Tidak boleh memijak topi/

Karena topi tersebut dipake diatas kepala maka tidak sopan jika dipijak.

4.1.3 Hata Tongka tu Boru-boru

Hata tongka pada perempuan muncul karena ketakutan para orang tua yang

mempunyai anak perempuan untuk dapat menjaga kebersihan dirinya dan

lingkunganya agar dapat memberikan citra dan warna bagi keluarganya. Karena

kebanyakan anak perempuan belum tentu bisa untuk dapat menguasai dirinya dan

masih mudah terpengaruh akan hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu,

dengan menggunakan hata tongka perempuan lebih mengerti akan kehidupan

yang sebenarnya.

1. Dang boi mancabut ngingi borgin

/Tidak boleh mencabut gigi pada malam/

Agar tidak salah cabut, karena pada jaman dahulu belum adanya listrik

karena masih menggunakan api yang dinamai teplok jadi sepenuhnya

masih gelap ditakutkan akan salah cabut oleh sebab itu, tidak

diperbolehkan untuk mencabut gigi pada malam hari.

2. Dang boi marende i pudi, annon kawin tu namatua

/Tidak boleh menyanyi di dapur, nanti menikah sama orang yang tua/

Agar kita tidak terlalu keasyikan menyanyi dan melupakan pekerjaan

(37)

bekerja seperti, masakan gosong ataupun api akan menyambar

kemana-mana yang menyebabkan kebakaran.

3. Dang boi marfoto tolu halak, annon hatop mate

/Tidak boleh berfoto tiga orang, nanti cepat meninggal/

Diyakini jika berfoto berjumlah ganjil akan menyebabkan kematian.

4. Dang boi manghunduli losung, annon baroan

/Tidak boleh duduk di lesung, nanti kurapan/

Karena lesung itu tempat untuk menumbuk makanan tarutama untuk

menumbuk beras agar menjadi tepung. Jadi lesung itu tidak boleh di

duduki.

5. Dang boi marsuri tonga borngin, annon i jonoki begu

/Tidak boleh menyisir rambut malam hari, nanti didekati hantu/

Keyakinan bagi masyarakat setempat jika suka menyisir rambut malam

hari dapat mengundang datangnya hantu untuk membantu menyisirnya

karena menurut mitos kebanyaan hantu itu mempunyai rambut panjang.

6. Dang boi mambuat suga i pat borgin

/Tidak boleh mengambil duri di kaki malam hari/

Karena jika diambil akan menjadi lebih masuk kedalam daging karena

belum adanya penerangan pada jaman dulu, walaupun ada tetapi tidak

seperti pada saat ini.

7. Dang boi simanjujung tu baba ni pittu molo modom

/Tidak boleh kepala mengarah ke pintu pada saat tidur/

Keyakinan bagi masyarakat setempat jika mengarah ke pintu akan

mendapat nasib sial didalam kehidupanya.

8. Dang boi mangalakkai ubat

(38)

Diyakini jika dilangkahi maka tidak akan berkhasiat/berguna lagi jika

dipergunakan lagi.

9. Dang boi manigat hutu borngin

/Tidak boleh mencari kutu pada malam hari/

Karena belum adanya penerangan pada saat itu yang menyebabkan

dilarangnya untuk mencari kutu karena masih keadaan gelap.

10.Dang boi manapu borgin

/Tidak boleh menyapu rumah pada malam hari/

Karena dapat menghalangi datang orang/tamu masuk ke dalam rumah dan

diyakini juga membuat rezeki akan menjauh.

11. Dang boi hundul i tangga ni jabu

/Tidak boleh duduk di tangga rumah/

Ini juga dapat menghalangi datangnya tamu yang berkunjung ke dalam

rumah karena tangga adalah perantara keluar masuknya orang.

12. Dang boi mangan huhut mardalan, annon marsahit

/Tidak boleh makan sambil jalan-jalan, nanti penyakitan/

Agar makanan tersebut tidak jatuh atau bertebaran kemana-mana yang

menyebabkan makananya jadi terbuang-buang.

13.Dang boi mamakke abit narara, annon i allang ronggur

/Tidak boleh memakai baju warna merah, nanti dimakan petir/

Mungkin karena kecerahan atau terlalu bercahanya baju merah yang

menyebabkan mudahnya untuk disambar petir.

14. Dang boi mamereng bunga na dapdap, annon olo gabe halimataon

/Tidak boleh melihat bunga yang berduri, nanti sakit mata/

Karena bunga tersebut kebanyakan duri yang akhirnya membuat mata jadi

(39)

15.Unang martukko isang, annon hatop monding natua-tua i

/Jangan bertekkuk dagu, nanti orang tua cepat meninggal/

Diyakini hingga pada saat ini dapat menyebabkan hal-hal yang tidak

diinginkan.

16.Molo makkail dang boi boanon hepeng, annon bage dang dapotan dekke

/Pada waktu memancing tidak boleh bawa uang, nanti tidak dapat ikan/

Karena mungkin tidak akan diperdulikanya lagi uang yang berada di

kantong karena keasyikan memancing, yang akhirnya membuat orang lain

dapat mengambilnya.

17.Dang boi madoltak tataring, olo ninna bage hassit ulu

/Tidak bisa memukul tungku, nanti sakit kepala/

Mungkin karena kelengkingan suara dari tungku yang kita pukul

menyebabkan kepala kita jadi terasa sakit untuk mendengarkanya.

18.Dang boi hundulan goni na marisi boras, unang hassit butuha

/Tidak boleh duduk di atas beras, nanti sakit perut/

Janganlah kita kiranya menduduki beras karena beras itu adalah makanan

yang paling pokok dan yang sangat kita butuhkan.

19.Dang boi dohonon goar ni natoras niba, olo gabe malala baba

/Tidak boleh menyebutkan nama orang tua, nanti meleleh mulut/

Seharusnya pun kita tidak boleh menyebut-nyebut nama orang tua kita,

karena kita harus menghormatinya sebagai orang tua kita.

20.Dang boi manggusting obuk borngin, olo ro begu

/Tidak boleh memotong rambut malam hari, nanti kedatangan hantu/

Karenanya agar tidak salah potong yang mengakibatkan ketidakpuasan

akan pekerjaan yang dilakukan berhubung juga karena belum didukung

(40)

21.Dang boi allangon ulu ni manuk, annon hatop ubanon

/Tidak boleh makan kepala ayam, nanti cepat ubanan/

Keyakinan masyarakat untuk tidak diperbolehkan memakan kepala ayam

agar tidak berakibat buruk.

22.Dang boi somal mamburai, annon gabe latapon

/Tidak boleh selalu menghina atau mengejek, nanti bibirnya pecah-pecah/

Agar jangan sering mengejek orang agar mulut tidak terbiasa untuk

mengucapkan kata-kata yang kotor.

23.Dang boi hossingon api na gara, annon gabe gobbung

/Tidak boleh mengencingi api, nanti perutnya gembung/buncit/

Karena api tersebut panas yang dapat menyebabkan terkenanya hawa

panas ke badan kita yang membuat jadi gembung.

24.Dang boi hundul i tonga ni jabu, annon i laosi begu

/Tidak boleh duduk di tengah-tengah rumah, nanti di hampiri hantu/

Keyakinan masyarakat setempat agar jangan duduk ditengah-tengah

rumah yang dapat menyebabkan terhalangnya orang yang akan lewat.

25. Dang boi manuri obuk huhut mardalan, annon gabe pailahon

/Tidak boleh menyisir rambut sambil berjalan, nanti mendapat malu/

Karena jika menyisir rambut diharapkan agar selalu ditempatnya karena

jika tidak dapat membuat rambut berjatuhan dan bertebaran kemana-mana

dan dapat mengenai orang.

26.Dang boi mangan i sudut meja, annon i musui simatua

/Jangan makan di sudut meja, nanti di musuhi mertua/

Karena terlihat sangat jelek sekali bila makan di sudut meja karena dapat

menjauhi orang yang berada disekitar kita.

27.Dang boi i nganggat bibir nai toru, annon marsabbor nipi

(41)

Agar jangan suka mengigit bibir yang menyebabkan keburukan bagi diri

sendiri.

28.Dang boi manggarat sisilon, annon gok utang na

/Tidak boleh mengigit kuku, nanti terlilit hutang/

Keyakinan bagi masyarakat setempat untuk tidak diperbolehkanya

mengigit kuku karena dianggap dapat menyebabkan banyak utang dan

pendirian yang tidak tetap.

29. Dang boi marsidalian tangis, annon natua-tua pogos

/Tidak boleh berpura-pura menangis, nanti orang tua dapat musibah/

Agar kita jangan suka berpura-pura didalam hidup ini yang dapat

mengakibatkan keburukan bagi diri kita.

30.Dang boi manussi piring borngin, annon gabe sega suan-suanan

/Tidak boleh mencuci piring pada malam hari, nanti gagal panen/

Diyakini bagi masyarakat setempat agar jangan melakukan aktifitas pada

malam hari terutama untuk mencuci piring karena dianggap akan

membuang-buang makanan.

4.1.4 Hata Tongka tu baoa

Hata tongka muncul karena ketakutan orang tua yang mempunyai anak laki-laki

agar dapat menjaga kebersihan dirinya dan lingkunganya. Kekuatiran orang tua

yang mendalam kepada anak-anaknya khususnya laki-laki agar dapat menjaga

nama baik keluarga dan dapat menghargai setiap anggota keluarga. Orang tua

yang masih mempercayai kekuatan-kekuatan gaib yang menganggap kehidupan

mereka yang masih diatur oleh keadaan alam dan ritus-ritus peralihan hidup yang

(42)

Makanya diucapkan hata tongka tersebut agar mereka dapat lebih memahami

akan makna dari kehidupan.

1.

Dang boi hundul i jujung ni lindung

/Tidak boleh duduk di ujung rumah/

Keyakinan pada masyarakat setempat agar jangan mendapat musibah.

2.

Namardongan saripe dang boi marbadai i juma

/Suami istri tidak boleh bertengkar di ladang/

Ketakutan agar apa yang dikerjakanya tidak akan mendapat hasil yang

baik atau panennya gagal.

3.

Molo mangoppoi jabu dang boi be tukkang i manaili tu pudi

/Jika memasuki rumah baru tukang tidak boleh melihat ke belakang/

Keyakinan jika menoleh ke belakang rumah yang dibangun tersebut tidak

akan bertahan lama yang membuat jadi hancur.

4.

Molo mangan dang boi iakkat piringna, annon dapotan ina-ina dua

/Pada saat makan tidak boleh mengangkat piring, nanti dapat isteri dua/

Karena jika diangkat nampak tidak tetapnya pendirian seseorang tersebut

yang membuat pilihanya jadi tidak menentu.

5.

Dang boi mangan margatti pinggan, annon kawin cerai

/Tidak boleh makan berganti piring, nanti kawain cerai/

Kiranya jangan suka mengganti piring agar tidak membuat bertambahnya

pekerjaan.

6.

Dang boi mekkel botarian, annon ro begu

/Tidak boleh tertawa sore hari, nanti datang hantu/

Pada sore hari itu para hantu berkeliaran dimana-mana yang dapat

menggangu setiap orang terlebih kepada orang yang tertawa karena dapat

(43)

7.

Dang boi manilik na maridi, annon matana bilokkon

/Tidak boleh mengintip orang mandi, nanti mata ketumbit/

Karena keseringan mengintip maka matanya akan sering mengeluarkan

airmata yang menyebabkan mata jadi ketumbit.

8.

Dang boi mamiol-miol i jabu, annon ro ulok

/Tidak boleh bersiul-siul di dalam rumah, nanti datang ular/

Karena dapat mengusik ular tersebut karena dianggapnya tempat untuk dia

berteduh, karena biasanya ular suka dengan bunyi.

9.

Dang boi kossing i bara ni api, annon malala urena

/Tidak boleh kencing di api, nanti buruk kemaluanya/

Karena api tersebut panas yang dapat menyebabkan terkenanya hawanya

panansnya sehingga membuat jadi buruk.

10.

Dang boi marsalimut rere, annon i mauppon aek i tao

/Tidak boleh berselimut tikar, nanti digulung ombak di laut/

Kemiripan akan berselimutkan tikar seperti yang digulung ombak

makanya ditakutkan akan terjadi yang demikian.

11.

Dang boi mangalap bohi pake baju, annon i sogo i jolma

/Tidak boleh mengusap muka dengan baju, nanti dibenci orang/

Karena kita memakai baju yang kita kenakan dan dengan tiba-tiba

mengusapkanya ke muka kita sangat terlihat jelek sekali makanya dapat

dibenci orang.

12.

Dang boi leleng i kamar mandi, annon hatop matua

/Tidak boleh lama-lama di kamar mandi, nanti cepat tua/

Agar jangan berlama-lama di kamar mandi karena masih banyak orang

yang akan menggunakanya.

(44)

Karena akan terlihat tidak nyaman jika diihat dan dapat menganggu orang

yang akan masuk kedalam rumah.

4.1.5 Hata Tongka tu boru-boru nadeggan pamatangna

Hata tongka muncul pada wanita hamil dikarenakan kejadian yang berakibat

buruk yang akan terjadi kepada anak yang dikandungnya juga kepada dirinya.

Ketakutan yang amat mendalam yang dipercayai wanita hamil yang dapat

menganggu ketentraman jiwanya dan anaknya. Kemunculan hata tongka ini juga

agar dapat memelihara ketentraman hidup dan melakukan hal-hal yang sangat

bemanfaat bagi kelancaran persalinan yang akan dilakukan dikemudian hari.

1.

Nadeggan pamatangna dang boi mangallang pisang dempet, annon gellengna

/Wanita hamil tidak boleh makan pisang dempet, nanti anaknya kembar/

Kebiasaan wanita hamil sangat banyak pantanganya terutama untuk makan pisang

dempet yang akan menyebabkan terjadi pada hal yang sama pada anaknya yang

akan lahir. Dan juga ancaman kematian ketidaksempurnaan yang dapat melanda

diri seorang perempuan hamil yang dapat berakibat dan berpengaruh kepada bayi

yang dikandungnya sehingga mereka lebih mempercayai akan

perkataan-perkataan terdahulunya.

2.

Dang boi modom tonga arian, annon balga ulu ni gelleng na

/Tidak boleh tidur waktu tengah hari, nanti kepala anak akan menjadi besar/

Agar jangan suka tidur dan dapat melakukan aktifitas-aktifitas atau kegiatan untuk

(45)

3.

Dang boi maradi i toru ni jomuran, annon gelleng na oto

/Tidak boleh beristirahat di bawah jemuran, nanti anak akan bodoh/

Keyakinan bagi masyarakat setempat tidak diperbolehkanya seorang wanita hamil

untuk beristirahat dibawah jemuran karena bisa menyebabkan pengaruh kepeda

anak yang dikandungnya tersebut.

4.

Dang boi mangalakkai huting na modom, annon bilokkon mata ni gelleng na

/Tidak boleh melangkahi kucing yang sedang tidur, nanti mata anak selalu di penuhi kotoran/

Suatu keyakinan bagi masyarakat setempat agar jangan melakukan hal-hal yang

tidak diinginkan termasuk melangkahi kucing karena kucing masih dianggap

sebagai perantara dari roh-roh halus.

5.

Dang boi haluar tonga borgin, annon i jonoki begu

/Tidak boleh keluar tengah malam, nanti di dekati hantu/

Kebiasaan pada masyarakat juga jika sudah malam akan berkeliaranya roh-roh

halus yang dapat menganggu seseorang termasuk wanita hamil.

6.

Dang boi marbadai dohot inang si matua, annon maol haluar anak na

/Tidak boleh cekcok dengan ibu mertua, akan mengalami kesulitan ketika melahirkan anak/

Janganlah kiranya kita suka cekcok dengan mertua kita yang dapat menyebabkan

tidak direstuinya kita dan akhirnya membuat kesulitan untuk bersalin.

7.

Dang boi manappul manuk, annon gelleng na roa

/Tidak boleh memukul ayam, nanti anak menjadi jelek/

Suatu keyakinan bagi masyarakat setempat agar jangan melakukan hal-hal yang

aneh agar tidak terjadi kepada anak yang di kandungnya.

8.

Dang boi manihasi jolma na i bereng, annon gelleng na tubu songon na di tihasi nai
(46)

Suatu keyakinan bagi masyarakat setempat agar jangan melakukan hal-hal yang

aneh agar tidak berakibat/berpengaruh kepada anak yang dikandungnya.

9. Dang boi lungunon, annon gelleng na murah tangison

/Tidak boleh bersedih, nanti anaknya cengeng/

Sebaiknya didalam kehidupan jangan melakukan sesuatu yang dianggap

pura-pura agar jangan terjadi didalam kehidupan yang sebenarnya.

10.Dang boi manuruk sibbur, annon marsahit-sahit

/Tidak boleh kena gerimis, nanti sakit-sakitan/

Karena memang air hujan itu tidak baik bagi kehidupan karena air hujan tersebut

mengandung zat-zat asam yang membuat sakit.

11.Dang boi hundul i jolo tangga, annon maol partus

/Tidak boleh duduk di depan tangga, nanti akan sulit melahirkan/

Agar tidak terhalang orang yang akan masuk ke dalam rumah, karena rumah

masyarakat dahulu itu mempunyai tangga yang disebut dengan rumah panggung.

12.Amang-amang na dang boi manappul bona ni pisang, annon mate ianakkon na

/Seorang suami tidak boleh memotong pohon pisang, nanti anaknya mati/

Karena jaman dulu terjadi kisah yang saling bersamaan kejadianya diwaktu si

isteri melahirkan ketepatan suaminya menebang pohon pada saat itu pula si bayi

tersebut meninggal oleh karena itu dianggap sebagai keyakinan yang benar-benar

terjadi.

13.Dang boi mardalani i joloni jabu, annon ihuthon begu

/Tidak boleh jalan-jalan di depan rumah, nanti diikuti hantu/

Biasanya roh-roh halus itu sangat berkeliaran di rumah-rumah yang dapat

menganggu setiap para penghuninya.

14.Dang boi mamereng/magihuthon pesta ni na monding

(47)

Suatu ketakutan bagi wanita hamil yang akan mengikuti upacara-upacara

pemakaman karena dikwatirkan akan berakibat pada perkembangan pada anak

yang di kandung.

15.Unang langkai abor marduri

/Jangan melangkahi tanda larangan yang berduri/

Pada jaman dulu masyarakat setempat jika ingin membuat wilayah kekuasaan

sendiri sering membuat perbatasan dan kebanyakan yang dibuatnya adalah yang

berduri sambil membuat mantra pada perbatasan tersebut yang membuat orang

lain tidak berani untuk melewatinya.

4.1.6 Hata Tongka molo mangan

Hata tongka ini muncul disebabkan oleh ketidakpatuhan terkhusus kepada

anak-anak yang agar dapat mengahargai jerih payah orang tua yang sudah bersusah

payah untuk mendapatkan sesuap nasi. Karena sering kali jika sudah merasa

kenyang maka nasi yang sisa akan terbuang sia-sia. Hata tongka ini juga

mengajarkan agar kita dapat menghargai setiap apa yang kita peroleh didalam

hidup seperti makanan, tempat tinggal,dan lain sebagainya, juga untuk

mengajarkan sopan santun agar lebih menghargai dan menghormati orang yang

bersusah payah mendapatkanya dan terkhusus kepada orang tua.

1. Dang boi mangan indahan sian toru ni rere

/Tidak boleh memakan nasi dari bawah tikar/

Karena tikar itu termasuk yang kotor yang sering dipijak dan diduduki jadi jika

ada sisa makanan yang terjatuh tidak diperbolehkan untuk memakanya kembali

(48)

2. Dang boi mangan huhut modom, annon maol ro pangarahutna

/Tidak boleh makan sambil tidur, nanti payah dapat rezeki/

Seharusnya memang kita pun makan jangan sambil tertidur karena akan

menyebabkan kemalasan bagi diri kita yang akhirnya akan membuat rejeki

menjauh dari kita.

3. Dang boi mangan sian balanga, annon dapotan gelleng songon na matua

/Tidak boleh makan dari kuali, nanti dapat anak berparas seperti orang tua/

Karena terlihat sangat jelek bila kita makan dari kuali karena kuali itu tempat

untuk memasak makanan.

4. Dang boi mangan pinggan matupik, annon dapotan gelleng babana peol)

/Tidak boleh makan dalam pinggan sumbing, nanti dapat anak yang sumbing/

Janganlahlah kita makan pakai piring yang sudah buruk termasuk yang sudah

sumbing yang akhirnya akan membuat makanan jadi berjatuhan.

5. Dang boi mangan pinggan dua, annon marsaripe dua

/Tidak boleh makan dalam pinggan dua, nanti akan beristri dua/

Keterbatasan jumlah piring pada waktu dulu yang membuat tidak terbaginya

untuk yang lain, akhirnya dikatakan jangan berpiring dua agar tidak mendapat

isteri dua.

6. Dang boi mangan i seddok, annon maol pangarahutan

/Tidak boleh makan di senduk, nanti payah rejeki/

Seharusnya tidak boleh makan di sendok karena tidak akan mendapat kepuasan

dalam memakan makanan tersebut.

7. Dang boi mangan huhut tiddang, annon gabe marsahit-sahit

/Tidak boleh makan sambil berdiri, nanti penyakitan/

Seharusnya juga jika kita makan haruslah duduk dengan sopan agar makanan

(49)

8. Dang boi sae mangan tor modom, annon butuha na balga

/Tidak boleh tidur selepas makan, nanti perut buncit/

Karena kebiasaan orang yang sudah kenyang akan mengundang untuk tidur yang

menyebabkan perut akan cepat besar karena tidak ada pergerakan.

9. Dang boi i allang indahan na tinggal, annon gelleng na darangon

/Tidak boleh makan nasi sisa, nanti anaknya akan kudisan/

Peringatan agar kita memakan habis makanan kita karena memperoleh makanan

tersebut sangat sulit diperoleh.

10.Dang boi mangan botari, annon i rimppu mangan dohot begu

/Tidak boleh makan pada sore hari, nanti disangka makan dengan hantu/

Pada masyarakat tradisional yang masih mempercayai ilmu-ilmu gaib pada sore

hari waktunya mereka untuk memberi makan roh-roh halus tersebut jadi mereka

tidak boleh bersamaan makan dengan roh-roh tersebut.

11.Molo mangan dang di basuh pinggan, annon leleng mandapot rokkap

/Bila makan, pinggan tidak dicuci, nanti lama dapat jodoh/

Keyakinan masyarakat dahulu tidak boleh mencuci piring sesudah makan karena

dianggap akan menjauh rejekinya dan akan selalu bernasib sial.

12. Dang boi di allang rungkung ni manuk, annon tundu-tuduon

/Tidak boleh dimakan leher ayam, nanti tukang ngantuk/

Kebiasaan masyarakat dahulu tidak memperbolehkan untuk memakan leher ayam

karena dianggap berbahaya bagi keselamatan jiwa yang memakanya.

4.1.7 Hata Tongka molo modom

Hata tongka ini muncul dikarenakan ketidaktentuan didalam melakukan suatu

kegiatan atau pekerjaan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Agar

(50)

untuk mengajarkan etika dan sopan santun agar tidak melakukan hal-hal yang

dapat mencelakakan dirinya sendiri. Ajaran juga agar dapat memahami arti dari

sebuah letak dimana kita sering selalu lalai akan keberadaan kita sendiri. Pada

saat tidur pun kita dituntut untuk dapat mengerti akan posisi kita dan jika kita

salah dapat menyebabkan ketidaktenangan didalam hidup dan selalu ditimpa

berbagai masalah atas keyakinan yang dianut oleh setiap masyarakat yang masih

mempercayainya.

1. Dang boi modom i jolo ni pittu, annon ilakkai begu

/Tidak boleh tidur di depan pintu, nanti di langkahi hantu/

Karena pintu itu sebagai perantara keluar masuknya orang-orang atau tamu, jadi

sangat dilarang untuk tidur di depan pintu karena dapat menyebabkan

terhalangnya tamu masuk ke dalam rumah.

2. Dang boi modom i hau, annon i dongani begu

/Tidak boleh tidur di atas pohon, nanti di temani hantu/

Pada masyarakat tradisional masih meyakini bahwa di dalam pohon besar

bersemayam roh-roh halus yang masih mereka sembah sebagai pemberi berkat

bagi mereka yang meyakininya jadi, sangat dilarang untuk tidur di pohon agar

roh-roh tersebut tidak terganggu.

3. Dang boi ti

Referensi

Dokumen terkait

istrinya diberi nama “Nai Horas” ‘Ibu si Horas’. Nama tersebut akan berubah.. juga apabila si anak tersebut telah memiliki cucu. Hal demikian disebut jenis nama

Orangtua tunggal dapat disebabkan beberapa hal antara lainadalah : (1) Perceraian, (2) Kematian, (3) Kehamilan diluar nikah, (4) Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak

Orangtua tunggal dapat disebabkan beberapa hal antara lainadalah : (1) Perceraian, (2) Kematian, (3) Kehamilan diluar nikah, (4) Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak

Seperti pada upacara kematian keluarga Tumanggor daerah saentis pada tanggal 21 Maret 2012 (gambar peta 3), istri dari yang meninggal tidak bisa mangandungi dengan menggunakan

DOKUMENTASI SAAT MELAKUKAN WAWANCARA PADA INFORMAN.. Universitas

Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan

marunjuk masyarakat Batak Toba. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahap-tahap upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba, bentuk wacana, bentuk kohesi dan

Pada data 12 menjelaskan bahwa performansi yang di tunjukkan dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba pemberian ulos saput terakhir kepada yang