• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT DAN DI PERANTAUAN - Sulim Batak Toba: Sebuah Kajian Kontinuitas Dan Perubahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT DAN DI PERANTAUAN - Sulim Batak Toba: Sebuah Kajian Kontinuitas Dan Perubahan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT DAN DI

PERANTAUAN

2.1 Konsep Adat

Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya

kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya

kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap

dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan

merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak

itu sendiri.

Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi

berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan

kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang

mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.

Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na

Bolon9

Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang

dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada

suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara

turun temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi

hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan

untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

9

(2)

atau dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon sebagai perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan

oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada

masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba

meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut

dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat

tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat).

Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat

merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang

bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan

orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa

sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat

mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme, yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan

dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek

ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti

dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai

dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami

dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos

dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan

(Pasaribu, 1986:61).

Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang

diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang

kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner,

(3)

pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara,

dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi

masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.

Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa

kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian

dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat

Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat

yang telah dilakukan.

Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat

masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,

dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis

menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang

membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.

Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam

masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak

mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil

peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.

Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah

membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat

(4)

Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami

perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga

mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan

informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat

pendukungnya.

Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.

Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat

disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang

dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga

(incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner

1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi

yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun

yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan

sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan

selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari

keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang

menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.2 Religi atau Kepercayaan

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan

(5)

Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa

masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan

manusia (Situmorang, 2009:21).

Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang

diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam

tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi

Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata

Asi-asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi

ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat.

(Tampubolon, 1978:9-10).

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke

mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.

Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki

dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri

sendiri (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh

Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik

(6)

kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam

tonggo-tonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan

berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep

bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.

Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah

meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.

Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk

ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama

jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya

setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.

(ibid. 1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa

orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu

yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi

dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia

(7)

Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk

mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar

pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus

mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,

kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan,

kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan

oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap

pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah

wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.

Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting

dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa

diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada

nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan)

dan hasangapon (kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang

Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian

menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan

orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga

sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan

ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga

(8)

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih

dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak

yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang

Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon

digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik

dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan

mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok

bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,

masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki

gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.3 Konsep Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang

Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)

Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba

berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat.

Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih

(9)

pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada

perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik

(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan

keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini

berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga

Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas

jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar

jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan

tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin

dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah

berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau

berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah

berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2.4 Konsep Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal

dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan

mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang

disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang

secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau

laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam

sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis

(10)

organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang

Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka

membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal

merupakan masyarakat yang patriakal10

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa

pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga

Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih

tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga

yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah

memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih

tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari . Dalam masyarakat tradisional, posisi

perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak

laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak

melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari

anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat

mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan

laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa

kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering

memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara

orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

10

(11)

satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang

pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga

yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari

filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang

laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu

yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.

Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing

memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat

hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan

hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang

kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari

tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak

laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki,

termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu

(12)

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara

perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari

menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua

laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di

dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di

dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan)

atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki

dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai

dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan

terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang

mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya

hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan

(13)

harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga

golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran

artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap

jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai

debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati

dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan

saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak

dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi

masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis

berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.5 Sistem mata pencaharian

Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya

adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah

berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola

hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas

desa-desa kecil yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya.

(14)

yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di

sekelilingnya.

Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam

tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat

tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman,

hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada

beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan

marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang

teguh hukum adat tersebut.

Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang

didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan

persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang

relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang

lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian

besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering,

sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar

masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut

penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang

merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit

seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan

sayur-sayuran.

Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata

pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi,

kambing, ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan

(15)

mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal

dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap

ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah

ikan mas dan ikan mujair. Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang

pinggiran Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota

Pangururan, hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti

ini. Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan

sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh

dari kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun

wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun,

anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.

Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di

Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,

wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang

banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha

penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga

yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

2.6 Batak Toba di Bona Pasogit

Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di

sekitar Danau Toba, Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang

menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung

konotosi penyebutan ini terarah pada Batak Toba.

Batak Toba merupakan istilah yang sering digunakan untuk mengkaji

(16)

pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini

dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.

Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur

Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur

(Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun

sebagian dari mereka menerima akan hal ini.

Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona

pasogit11

Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari

kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah

tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami

oleh orang Batak di bona pasogit yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten

Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Toba Holbung), dan Kabupaten

Samosir.

, sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli.

Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya Danau

Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-orang Batak). Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak

Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar

tepian Danau Toba.

12

11

Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan, hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya. Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir” kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba” kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.

12

(17)

Gambar-1:

Daerah Pemukiman Orang Batak Toba Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97

2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk

ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama

menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu

kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan

lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak

Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan

melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya

minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok.

Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah

Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia

(18)

kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk

mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.

Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,

membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu

yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil

akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru

lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan

lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah

mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari

pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur

(penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera),

orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus

dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras

dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera

Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat

dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan

internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini

pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah

Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat

dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun

(19)

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui

beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari

tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal

(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.

Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir

timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru

dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,

Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan

dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain

semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga

Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.

Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat

perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang

berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan

semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung

halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah

kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar

pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan

rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah

pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)

Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah

parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu

(20)

mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang

daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu

dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka.

Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di

bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara adat Batak mereka.

Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati

hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di

Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah

Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah

Jawa, Parapat dan daerah lain.

Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.

Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil

pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas

mereka.

Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga

menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan

pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang

yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun

orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat

berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan.

(lihat Hasselgren, 2008:48)

Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar

tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama

(21)

seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung

yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di

Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus

orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan

sendiri.

Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan

Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan

sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak

yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke

daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan

membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang

Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang

Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat

hingga saat ini.

Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923,

mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau

Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti

ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai

pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan

Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer

Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.

Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di

luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876

bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian

(22)

Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu

dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H

Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge

Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak

yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah

Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari

pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah

ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.

Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba

dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau

Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370).

Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung

Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126

jiwa.13

2.8 Budaya Musikal Batak Toba

2.8.1 Musik vokal

Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian

besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat

Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional, pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat

dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian

terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :

13

(23)

1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby).

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang

saat menjelang pernikahan.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,

biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring

tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada

malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan

seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita

tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan pemberkatan, dan

berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya

dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.

7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metricspeech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya

dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih

(24)

8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah

disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan

terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting

untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok

musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Endenamarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara

namarhadodoan (resmi)

2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari.

3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada

masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail

terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold

Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Nyanyian kelonan (lullaby), yakni musik vokal yang mempunyai irama halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang

sehingga dapat membangkitkan rasa kantuk bagi sianak yang

(25)

2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan

rasa gairah untuk bekerja. Contoh : luga-luga solu.

3. Nyanyian permainan (playsong), yakni musik vokal yang mempunyai irama

gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.

Contoh : sampele-sampele.

4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang

teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau

pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : metmet ahu on

5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang

bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : siboruadi.

6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal

yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang

bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : madekdek

ma gambiri.

2.8.2 Musik instrumental

Musik instrumental masyarakat Batak Toba dibagi menjadi dua kategori

berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk

ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam

kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan. Secara

umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yakni

(26)

2.8.2.1 Gondang hasapi

Komposisi instrumen pada gondanghasapi terdiri dari :

1. Hasapi ende (plucked lute), atau kadang kala disebut dengan hasapi inang atau hasapi taganing, yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang

dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini

merupakan pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam

ensambel gondanghasapi.

2. Hasapi doal (plucked lute), instrumen ini sama bentuknya dengan hasapi ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi

doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.

3. Sarune etek (shawn), yakni sejenis alat tiup berlidah tunggal (single reed) yang juga berfungsi sebagai pembawa melodi. Instrumen ini tergolong ke

dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di atas dan satu di bawah),dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa

(meniup secara sirkular tanpa berhenti) yang dalam istilah musiknya disebut

dengan circularbreathing.

4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu dan

umumnya memiliki lima buah bilah nada. Selain berperan sebagai pembawa

melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu.

Dimainkan dengan cara mamalu.14

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.

14

(27)

Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil. Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh

lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada

praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim 15, sarune etek

kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang

pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang hasapi

yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan

orang.16

2.8.2.2 Gondangsabangunan

Ensambel gondangsabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering

digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :

1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed)

yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulakhosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.

2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka

satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa

melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu.

Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing,

15

Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama suku Batak Toba yang berkembang di Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.

16

(28)

yakni odap-odap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting. Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.

3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa

ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari

ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada kelompok membranophone.

4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan,

ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah.

Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo.

Instrumen ini tergolong kepada idiophone.

6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini

biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini

tergolong kepada kelompok membranophone.

Gondang sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara vertikal)

dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)17

17

Lihat, Martogi Sitohang, 1998 hal 23.

(29)

Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan jarang ditemukan saat ini. Beberapa musisi tradisional Batak seperti Marsius Sitohang, Guntur

Sitohang, dan S.Sinurat mengatakan bahwa penggunaan alat ini sangat terbatas dan

hanya diperuntukkan dalam upacara-upacara tertentu, dan biasanya hanya

parmalim yang masih tetap melestarikan instrumen tersebut. Namun, berkaitan dengan peran dan bunyi musikalnya, pada zaman sekarang ini teknik permainan

odap sudah banyak ditransformasikan oleh taganing yang juga mampu berperan sebagai pembawa ritem variabel. Mungkin hal ini juga menjadi salah satu faktor

yang mengakibatkan odap sudah semakin jarang dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari.

Ensambel gondang sabangunan pada umumnya dimainkan oleh tujuh orang, yakni satu orang memainkan sarune bolon, satu orang memainkan taganing

dan odap, satu orang memainkan gordang bolon, satu orang memainkan ogung oloan dan ihutan, satu orang memainkan ogungdoal, satu orang memainkan ogung

panggora, dan satu orang memainkan hesek. Namun, formasi dan jumlah pemusik ini sedikit berbeda dengan apa yang terdapat di dalam upacara parmalim. Dalam konteks tersebut, umumnya pemusik berjumlah delapan orang, dimana alat musik

ogungoloan dan ihutan masing-masing dimainkan oleh satu orang. Kadang-kadang juga bisa ditemukan pemain sarune bolon berjumlah dua orang pada beberapa

(30)

2.8.2.3 Instrumen tunggal

Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal diartikan sebagai

instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh digabungkan ke dalam

ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya

sudah ditetapkan berbagai instrumen tertentu yang boleh dimainkan ke dalam kedua

ensambel tersebut. Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua

ensambel tersebut karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel

dalam musik adat masyarakat Batak Toba yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Instrumen tunggal biasanya hanya digunakan pada waktu senggang

untuk mengisi kekosongan atau menghibur diri. Instrumen ini juga tidak pernah

dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya

instrumen-intrumen yang ada pada ensambel gondang sabangunan atau gondang hasapi.

Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai musik

Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya

instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan saja, melainkan juga pada berbagai ensambel atau format musik yang lain.

Selain sulim, ada berbagai intrumen Batak Toba yang termasuk ke dalam instrumen tunggal seperti :

1. Saga-saga (jew’s harp) yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara

menggetarkan lidah instrument tersebut dengan bantuan hentakan tangan dan

rongga mulut berperan sebagai resonator. Instrumen ini tergolong ke dalam

(31)

2. Jenggong (jew’s harp) yang terbuat dari logam dan mempunyai konsep yang sama dengan saga-saga. Juga termasuk ke dalam kelompok ideophone.

3. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut dengan salohat atau tulila, yaitu alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara meniup dari

samping. Mempunyai empat lobang nada yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi

kanan, sedangkan lobang tiupan berada di tengah. Instrumen diklasifikasikan ke

dalam kelompok aerophone.

4. Sordam (up blown flute) yang terbuat dari bambu, dan dimainkan dengan cara meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung instrumen yang

diposisikan secara diagonal. Instrumen ini memiliki lima lobang nada, yakni

empat di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lobang tiupan berada

pada ujung atas nya. Instrumen ini juga termasuk ke dalam kelompok

aerophone.

5. Tanggetang (bamboo ideochord), yaitu alat musik yang terbuat dari batang

bambu besar dan memiliki senar yang dibentuk dari badan bambu itu sendiri dan

badan bambu tersebut berperan sebagai resonator. Prinsip pembuatan, cara

memainkan dan karakter bunyi instrumen ini hampir sama dengan keteng-keteng

yang ada pada masyarakat Batak Karo, dimana instrumen ini bersifat ritmis dan

gaya permainannya seakan mengimitasikan karakter bunyi ogung (gong Batak

Toba). Instrumen ini termasuk kelompok yang dipadukan antara ideophone dengan chordophone sehingga disebut dengan ideochordophone

6. Mengmung juga merupakan instrumen sejenis ideochordophone yang mirip

(32)

Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,

sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga pada saat ini. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sulim merupakan instrumen tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih

luas dibandingkan instrumen tunggal yang lainnya, sehingga berbagai jenis lagu

atau repertoar dapat dimainkan pada instrumen tersebut.

Sementara instrumen tunggal yang lain sudah sangat jarang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa beberapa

di antaranya sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga, jenggong,

tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini sudah sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan

mungkin hanya satu dua orang yang masih melestarikan instrumen ini, dan itu pun

kemungkinan jika siempunya masih hidup atau instrumen tarsebut masih tetap

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan angka BOD disebabkan adanya proses aerasi yang merupakan pengolahan tahap pertama, di bak aerasi tersebut kapasitas baknya besar dan terdapat 6 bak aerasi selain di bak

Monopoli Keamanan Pangan adalah suatu permainan yang digunakan sebagai media pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan santri tentang bahan tambahan

Radar backscatter data (i.e. HH, HV, VH and VV), SAR polarimetric decomposition features (i.e. alpha angle, entropy and anisotropy), ratio of volume – ground scattering

Dengan adanya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa konsumsi tinggi protein nabati bisa memberikan kualitas penyembuhan luka perineum yang baik, agar para

Untuk ubahan motivasi luar diperoleh skor terendan. 20 tertinggi

Rasa aman merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan peserta didik, terutama rasa aman di dalam kelas dan sekolah.Setiap siswa yang datang

hidup, dimana pada lansia telah mengalami degenaratif atau fungsi penurunan struktur tubuh, yang banyak terjadi yaitu osteoarthritis knee menyebabkan lansia

Oral malodorous compound triggers mitochondrial-dependent apoptosis and causes genomic DNA damage in human gingival epithelial cells. Hydrogen sulfide inhibits cell proliferation