• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS LEGENDA BATU SAWAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN FOLKLOR SKRIPSI WIKING LUMBAN GAOL NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS LEGENDA BATU SAWAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN FOLKLOR SKRIPSI WIKING LUMBAN GAOL NIM:"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS LEGENDA BATU SAWAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN FOLKLOR

SKRIPSI

DISUSUN OLEH

WIKING LUMBAN GAOL NIM: 160703009

PROGRAM STUDI SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)
(3)

ABSTRAK

Wiking Lumban Gaol, 2021. Analisis Legenda Batu Sawan Pada Masyarakat Batak Toba : Kajian Folklor di Desa Sarimarrihit Kecamatan Sianjur Mula- Mula Kabupaten Samosir.

Dalam penelitian ini penulis membahas ANALISIS LEGENDA BATU SAWAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA. Masalah dalam penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik legenda Batu Sawan dan fungsi Batu Sawan. Legenda Batu Sawan merupakan salah satu bentuk legenda yang di miliki masyarakat Batak Toba, yang terdapat di Desa Sarimarrihit, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik legenda Batu Sawan dan mengetahui fungsi legenda Batu Sawan.

Metode yang di pergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik penelitian lapangan.

Penelitian ini menggunakan teori strurtural Burhan Nurgiyantoro dan teori fungsi Bascom. Adapun unsur-unsur instrinsik dalam legenda Batu Sawan ini yaitu : tema, alur atau plot, latar atau setting, dan penokohan atau perwatakan dan memiliki fungsi sebagai cerminan atau proyeksi angan-angan pemiliknya, alat pengesah pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan dan alat penekan atau pemaksa berlakunya perilaku masyarakat. Legenda Batu Sawan dijadikan sebagai tempat berdoa dan ritual dimana air Batu Sawan dapat menyembuhkan penyakit dan memberikan berkah bagi siapa saja yang mempercayainya.

Berdasarkan penelitian ini, hingga kini Batu Sawan masih terdapat di Desa Sarimarrihit Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir.

Kata Kunci : Analisis Legenda Batu Sawan, Folklor

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat yang telah diberikan-Nya, dan telah memberikan kesehatan dan kekuatan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Legenda Batu Sawan Pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Folklor”. Judul ini penulis ambil berdasarkan sejarah dan cerita masyarakat di Desa Sirimarrihit Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir. Sesuai dengan judul skripsi di atas maka yang dibahas adalah mengenai unsur-unsur intrinsik dan fungsi folklore yang tardapat pada legenda Batu Sawan di Desa Sirimarrihit Kecamatan Sianjur Mula-Mula.

Untuk memudahkan pembaca memahami tentang apa saja yang akan dibahas dalam skripsi ini dimulai dari :

Bab I membahas mengenai pendahuluan, yang mecakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II membahas mengenai tinjauan kepustakaan, yang mencakup kepustakaan yang relevan, pengertian folklor, pengertian legenda, dan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metode penelitian, yang terdiri dari : metode dasar, lokasi data penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

(5)

Bab IV merupakan pembahasan yang terdiri dari tahapan unsur-unsur intrinsik dan fungsi.

Bab V berisikan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

Atas segala perhatian dan kerja samanya akhir kata, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh pembaca dan semoga skripsi ini berguna bagi semua pembacanya.

Medan, Juni 2021 Penulis

Wiking Lumban Gaol Nim. 160703009

(6)

HATA PATUJOLO

Mauliate ma dipasahat panurat tu Tuhan Debata disiala asi dohot holong na dilehonna, di lean do hasehaton tu panurat dohot hagogoon umbahen boi pasaehon skripsi on.

Judul skripsi on ima “Analisis Legenda Batu Sawan Pada Masyarakat Batak Toba : Kajian Folklor”. Judul on dibahen panurat sian sarita dohot turi- turian nihalak di huta Sirimarrihit Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir. Tudos judul nadiginjang ima na mambahas struktur dohot fungsi folklor na adong di sarita Batu Sawan di huta Sarimarrihit kecamatan sianjur Mula-Mula.

Laho mamurahon panjaha mangantusi taringot tu angka aha na di hataon di skripsi on di buhai mai sian :

Bindu sada ima pendahuluan namarisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dohot manfaat penelitian.

Bindu dua ima tinjauan kepustakaan namarisi kepustakaan yang relevan, pengertian folklor, pengertian legenda, dohot teori na dipakke.

Bindu tolu mambahas metode penelitian, I ma : metode dasar, lokasi data penelitian, sumber data penelitian, instrument pen elitian, metode pengumpulan data dohot metode analisis data.

Bindu opat ima pembahasan namarisi unsur-unsur intrinsik dohot fungsi Batu Sawan.

Bindu lima ima namarisi kesimpulan dohot saran.

Tangkas do diboto panurat skripsi on hurang singkop dope, isiala ni i dohot serep ni roha ni panurat mangido kritik dohot saran na boi pasingkophon sian sude panjaha.

Di sude asi dohot holong simpol ni hata, hata mauliate di pasahat panurat tu sude na manjaha sai anggiat ma skripsi on marlapatan tu angka na manjaha.

(7)

Medan, Juni 2021 Panurat

Wiking Lumban Gaol Nim. 160703009

(8)

htpTjolo

mUliate m dipsht\ pNrt\ T Thn\ debt dosoal asi dohot\ holo<\ n dilehon\n di lehn\do hsehton\ T pNrt\

dohot\ hgogon\ Um\bhen\ boI psaehon\ s\kip\si aon\.

JDl\ s\kip\si aon\ Im “anlisis\ legen\d bT swn\ pd ms\yrkt\ btk\ tob : kjian\ fok\lor\”. JDl\ aon\ dibhen\

pNrt\ sian\ srit dohot\ Tri Trian\ ni hlk\ di Ht sian\Jr\ Ml Ml kBpten\ smosir. Tdos\ JDl\ n digin\j<\

Im n mm\bhs\ s\t\Rk\Tr\ dohot\ F<\si fol\k\lor\ n ado<\

di srit bT swn\ di Ht srimr\rihit\ kecmtn\ sian\Jr\ Ml Ml.

lho mMrhon\ pn\jh m<n\Tsi tri<ot\ Ta<\k ah n dihthon\ disik\rip\si aon\ di BhI mI sian\ :

bin\D sd Im pen\dHLan\ nmrisi ltr\ belk<\ mslh\, RMsn\ mslh\, TJan\ penelitian\ dohot\ mn\fat\

penelitian\.

bin\D Da Im tin\jUan\ kePs\tkan\ nmrisi kePs\tkan\

y<\ relefn\, pe<er\tian\ fok\lor\, dohot\ teori n dipk\ke.

bin\D toL Im nmm\bhs\ metode penelitian\ Im : metode dsr\, loksi dt penelitian\, Sm\ber\ dt

penelitian\, In\s\t\Rmen\ penelitian\, metode pe<\Um\Pln\ dt dohot\ metode anlisis\ dt.

bin\D aopt\ Im nmrisi kesim\Pln\ dohot\ srn\.

bin\D lim Im nmrisi kesim\Pln\ dohot\ srn\.

t<\ks\ do diboto pNrt\ s\k\rip\si aon\ Hr<\

si<\kop\ dope, Isial ni I dohot\ serep\ niroh ni pNrt\

(9)

m<\Ido k\ritik\ dohot\ srn\ n boI psi<\kop\hn\ sian\

Sde pn\jh.

diSde asi dohot holo<\ sim\pol\ ni ht, ht mUliate dipsht\ pNrt\ TSde n mn\jh sI a<\giat\ m s\k\rip\siaon\

mr\lptn\ T a<\k n mn\jh.

medn\,

Jni 2021

pNrt\

wiki<\ Lm\bn\ gaol\

nim\. 160703009

(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Esa yang telah

memberikan berkat dan anugerah, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan sikrpsi ini tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa tanpa adnya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud.

Oleh karena itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Dra. Tengku Thyrhaya Zein Sinar, M.A selaku Dewan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III serta semua staff maupun pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum selaku ketua program studi sastra Batak serta Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum, selaku sekretaris jurusan program studi sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis baik dalam perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang sudah memberikan waktu dan tenaganya untuk membimbing saya dalam

menyelesaikan sripsi.

4. Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum selaku dosen pembimbing II yang juga sudah memberikan waktunya untuk mendukung dan

membimbing penulis dalam menyelesaikan sripsi.

5. Ibu Dra. Asriaty R Purba, M.Hum selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan serta arahan kepada penulis dalam penyelesaian skrisi.

6. Kepada abangda Risdo Saragih, S.S selaku alumni dan Staff pegawai administrasi yang telah banyak membantu memperlancar urusan

administrasi selama penulis kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada ayahanda Alpon Lumban Gaol dan ibunda Roma Uli Lumban Batu yang selalu memberikan dukungan dan membimbing serta selalu mendoakan penulis dalam perkuliahan sampai menyelesaikan sripsi ini.

8. Kepada abang, kakak dan adik tercinta yang selaku memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis dalam perkuliahan sampai menyelesaikan sripsi.

(11)

9. Kepada ibu Fransisca Limbong selaku sekretaris Desa Sirimarrihit dan para informan yang telah memberikan waktu dan dukungan kepada penulis pada saat penelitian untuk menyelesaikan sripsi ini.

10. Kawan seperjuangan jurusan sastra Batak Stambuk 2016 penulis ucapkan terimakasih telah memberikan dukungan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan sripsi ini.

11. Untuk yang selalu melekat dihati penulis, Priska W Tampubolon penulis ucapkan terimakasih telah memberikan dukungan dan telah membantu Penulis Dalam Penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Semua orang yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih banyak semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda karena telah memberikan bantuan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Medan, Juni 2021 Penulis

Wiking Lumban Gaol Nim. 160703009

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR...ii

UCAPAN TERIMAKASIH...vii

DAFTAR ISI... ...x

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2.Rumusan Masalah...5

1.3. Tujuan Penelitian ...6

1.4. Manfaat Penelitian ...6

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...8

2.1. Kepustakaan yang Relevan...8

2.1.1. Pengertian Folklor...9

21.2. Pengertian Legenda...14

2.1.3. Pengertian Karya Sastra...17

2.2. Teori yang Digunakan ...17

(13)

BAB III METODE PENELITIAN ...23

3.1. Metode Dasar ...23

3.2. Lokasi Data Penelitian ...23

3.3. Sumber Data Penelitian ...23

3.4. Instumen Penelitian ...24

3.5. Metode Pengumpulan Data ...25

3.6. Metode Analisis Data ...26

BAB IV PEMBAHASAN ...27

4.1.Unsur-Unsur Intrinsik Legenda Batu Sawan...27

4.1.1. Tema……...27

4.1.2. Alur/plot……...28

4.1.3. Latar atau Setting……...32

4.1.4. Perwatakan/penokohan………...40

4.2. Fungsi Batu Sawan………...46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...51

5.1. Kesimpulan………...51

5.2. Saran……...………...53

DAFTAR PUSTAKA 55

(14)

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Sinopsis Batu Sawan………...57

Lampiran 2 : Terjemahan Batu Sawan…...………...62

Lampiran 3 : Gambar Batu Sawan…...………...67

Lampiran 4 : Daftar Informan…...………...72

Lampiran 5 : Daftar Pertayaan…...………...73

Lampiran 6 : Surat Penelitian.…...………...74

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku dan budaya yang hidup dalam lingkup budaya masing-masing. Budaya yang beraneka ragam ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sendiri merupakan masyarakat yang majemuk.

Kemajemukan bangsa itu ditandai oleh adanya kelempok bangsa yang mempunyai cara-cara hidup (tradisi) kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sendiri.

Salah satu upaya manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan budayanya adalah kemampuannya untuk mengembangkan sistem riligi, karena sistem religi manusia mampu beradaptasi untuk menyesuaikan diri atau hidupnya dengan alam sekitar dan di samping itu juga manusia mampu meningkatkan fungsi sosial dari adat istiadat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial. Tiap masyarakat memiliki pengetahuan tentang pengetahuan religi. Oleh karena itu masyarakat memiliki keunikan tersendiri dalam menanggapi suatu hal atau kejadian di lingkungan sekitarnya karena adanya pengetahuan yang diwariskan turun temurun oleh nenek moyang mereka sebagai pendahulu.

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai batak adalah Angkola/Mandailing, Karo, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Toba. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Utara. Namun sering kali orang

(16)

menganggap penyebutan batak hanya suku Batak Toba, pada hal Batak bukan hanya suku Toba. Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa Batak.

Suku Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara,sebagian Kabupaten Dairi dan sekitarnya.

Batak Toba suatu kesatuan kultural. Batak Toba tidak mesti tinggal diwilayah geografis Toba, meski asal-muasal adalah toba. Sebagaimana suku-suku bangsa lain, suku batak Toba pun bermigrasi ke daerah-daerah yang menjanjikan penghidupan yang lebih baik.

Suku Batak Toba memiliki banyak legenda, berbicara tentang legenda tidak akan terpisah dari mitos dan terkait keberadaan suatu tempat atau kebudayaan. Legenda adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Leganda dapat diartikan sebagai wujud ekspresi suatu budaya yang ada di masyarakat melalui tutur yang mempunyai hubungan secara langsung dengan berbagai aspek budaya serta susunan nilai sosial masyarakat itu sendiri. Leganda merupakan cerita yang benar-bernar terjadi dan dapat berdampak pada kehidupan jika manusia itu sendiri melanggar pesan-pesan atau amanat yang secara tidak langsung disampaikan lewat peristiwa dari cerita kehidupan para leluhur mereka. Hal ini merupakan kekayaan yang terdapat pada setiap kebudayaan dan etnik yang ada saat ini. Masing-masing etnik dalam kehidupan sehari-hari masih sering bercerita dalam keluarganya, upacara-upacara, maupun dalam pergaulan sehari-hari. Sebagian masyarakat saat ini masih sangat mempercayai terhadap cerita dulu sehingga masyarakat masih antusias untuk tetap melestarikan legenda. Masyarakat saat ini juga sangat melindungi peninggalan dari leluhur mereka, seperti saat ini masih banyak masyarakat yang menjaga dan merawat berupa situs, pisau, mangkok, dan masih banyak lagi. Kehidupan bermasyarakat juga sangat perlu

(17)

akan namanya pedoman, karena kurang peduli dengan sebuah legenda dahulu, sehingga legenda secara perlahan-lahan akan menghilang begitu saja, karena mengikuti perkembangan zaman yang terjadi saat ini.

Legenda merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang memiliki cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (Keduniawian). Terjadi pada masa yang belum terlalu lampau dan bertempatan di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda ditokohi manusia walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Legenda sering kali dipandang sebagai “sejarah”kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu tidak tertulis dan telah mengalami distorsi ,sehingga seringkali dapat jauh berbeda dari cerita aslinya. (Danandjaja, 1984: 66).

Leganda sebagai salah satu bentuk folklor bukan lisan dan menurut Bascom adalah prosa rakyat yang memiliki ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar- benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci, ditokohi manusia walaupun terkadang memiliki sifat-sifat dan kadang dibantu makhluk-makhluk ajaib, tempat terjadinya di dunia (Danandjaja, 1994 :50). Legenda sebagai sebuah karya sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial sebab lansung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat masyarakat pada kurung waktu tertentu (Luxemburg, 1986 :23).

Folklor termasuk salah satu unsur dan bagian dari kebudayaan. Soejanto (Soedarsono, 1996 :426) berpendapat bahwa folklor merupakan bagian dari wujud kebudayaan yaitu kesenian khususnya seni sastra). Karya sastra merupakan bagian dari folklor, karya sastra yaitu cerita rakyat, legenda, mite dan lain-lain. Terdapat sebuah simpul yang sangat erat antara karya sastra dengan folklor. Hal ini dikarenakan sastra daerah merupakan bagian dari folklor. Folklor sebagai salah satu seni sastra merupakan bagian kebudayaan suatu kolektif yang terbesar dan diwariskan

(18)

secara turun temurun, diantara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1997 :2).

Pada penelitian ini, penelitian difokuskan pada legenda masyarakat Batak Toba yang berada di Desa Simarhit Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir yaitu Legenda Batu Sawan. Legenda Batu Sawan tersebut termasuk ke dalam jenis foklor lisan, yang masuk kategori legenda. Legenda yang terdapat pada masyarakat Batak Toba, jika ditinjau dari isi teks ceritanya dapat diklasifikasikan ke dalam jenis legenda setempat (local legends). Asumsi ini didasarkan pada pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Jan Harold Brunvand (Buha Julianto 2016:5).

Legenda Batu Sawan merupakan air terjun alami yang ditemukan oleh penduduk Desa Simarihit. Kemudian, penduduk tersebut membersikan dan mengorek-mengorek punggung gunung sehingga terwujud suatu aliran air yang muncul dalam permukaan tanah dan mengalir lewat parit-parit kecil melintasi tebing batu meluncur terjun kesebuah batu berbentuk cawan besar. Ada keunikan tersendiri yang ada pada air yang jatuh di atas batu berbentuk cawan ini. Ketika diminum rasanya seperti jeruk purut, karna ketika rasa air sebelum jatuh ke batu cawan dan setelah melimbah dari batu cawan tersebut rasanya tawar seperti air gunung umumnya. Tempat ini dikeramatkan sering digunakan untuk upacara spiritual oleh masyarakat Batak Toba, masyarakat Batak Toba meyakini tempat ini merupakan pemandian si Raja Batak.

Keyakinan itu diakui oleh budayawan batak dari Desa Limbong, Ramses Limbong.

Bahwa tempat itu sakral dan suci bagi penduduk sekitarnya. Sebagian pengunjung yang datang berkunjung ke tempat ini percaya bahwa tempat ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti guna-guna, gatal-gatal dan lain-lain.

(19)

Tempat ini juga diyakini oleh masyarakat Batak Toba sebagai sumber berkah bagi mereka.

Dari hasil pengamatan peneliti, bahwa siapa saja yang datang berkunjung ke air Batu Sawan harus melapor kepada penjaga atau bapak Jonger limbong sebagai juru kunci Batu Sawan. Jika ingin berkunjung dan berjiarah ke air Batu Sawan harus membawa daun siris (Demban), jeruk purut dan telur ayam kampung. Ada beberapa larangan atau pantangan pada saat berkunjung ke air Batu Sawan yaitu, a) tidak diperbolehkan membawa daging babi ataupun daging anjing pada saat akan berkunjung kelokasi Batu Sawan, b) berbicara dan berpakaian yang sopan, c) tidak memakai barang- barang berharga seperti emas, berlian pada saat berkunjung pada Batu Sawan, d) pengunjung tidak diperbolehkan mandi di dalam air Batu Sawan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui legenda Batu Sawan yang sarat dengan kepercayaan terhadap batu sawan yang dapat meneyembuhkan penyakit dengan melakukan acara ritual. Oleh sebab itu penulis melakukan penelitian dan mengkaji struktur dan fungsi yang ada dalam legenda Batu Sawan. Maka dari itu peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Legenda Batu Sawan Pada Masyarakat Batak Toba : Kajian Folklor”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci. Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan proposal skripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh

(20)

pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan atau pernyataan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan.

Adapun masalah yang akan dibahas di sini adalah :

1. Apa sajakah unsur-unsur intrinsik pada legenda Batu Sawan di Kecamatan Sianjur Mula-mula ?

2. Apa saja fungsi pada Batu Sawan di Kecamatan Sianjur Mula-mula ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan unsur-unsur instrinsik legenda Batu Sawan di Kecamatan Sianjur Mula-mula ?

2. Untuk mendeskripsikan fungsi Batu sawan di Kecamatan Sianjur Mula-mula ?

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca berdasarkan latar belakang dan masalah yang dikemukakan, maka manfaat penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian skripsi ini adalah untuk menambah wawasan tentang masyarakat setempat tentang legenda Batu Sawan di Sianjur Mula-Mula, membantu pembaca dalam memahami legenda Batu Sawan di Sianjur Mula-Mula.

(21)

1.4.2 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis merupakan sumbangan hasil penelitian dalam mengembangkan ilmu sastra lisan. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait dengan penelitian ini, yaitu :

1. Memberikan dorongan kepada para penulis untuk memberikan perhatian dalam penelitian bidang budaya daerah Batak khususnya legenda.

2. Menunjang program pemerintah dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah sebagai pendukung kebudayaan nasional.

3. Untuk mendokumentasikan legenda tersebut agar terhindar dari kepunahan sehingga dapat diwariskan ke generasi penerus.

4. Untuk melengkapi pustaka program studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan tinjauan pustaka.

Tinjauan pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian, paparan atau konsep-konsep tersebut bersumber dari pendapat para ahli, emperisme (pengalaman penelitian), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang metodologi penelitian folklor dan folklor Indonesia.

1. Suwardi Endraswara (2009) yang berjudul Metode Penelitian Folklor.

Buku ini menjelaskan pengertian dari konsep, teori, dan aplikasi.

Kontribusi dari buku tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah untuk membantu penulis untuk memahami teori, sehingga memudahkan penulis dalam menganalisis legenda Batu Sawan.

2. Daniel Simanullang (2010) yang berjudul Analisis Sruktural dan Fungsi Terhadap Cerita Rakyat Batak Toba (Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau). Skripsi ini membahas tentang struktur dan fungsi cerita rakyat. Kontribusi skripsi ini adalah untuk membantu penulis memahami tentang struktur dan fungsi yang terdapat pada legenda Batu Sawan.

(23)

3. Nurgiyantoro (2007) yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi. Buku ini menjelaskan tentang unsur-unsur intrinsic pada sebuah karya sastra, sehingga memudahkan penulis untuk memudahkan penulis untuk memahami teori struktural untuk menganalisis legenda Batu Sawan.

4. Parningotan (2017) yang berjudul Ulaon Adat Mangongkal Holi Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Sipahutar Kajian Folklor.

Skripsi ini membahas tentang struktur dan fungsi yang terdapat pada sebuah cerita. Kontribusi skripsi ini adalah untuk membantu penulis memahami tentang struktur dan fungsi folklore yang terdapat pada legenda Batu Sawan.

5. Aulia Imam Fikri (2018) yang berjudul Analisis struktur Naratif dan Unsur Senematik Dalam Film Yakuza Apocalypse Karya Takahashi Miike. Sripsi ini membahas tentang struktur naratif dan unsur senematik. Kontribusi skripsi ini adalah untuk membantu penulis maemahami tentang struktur naratif yang terdapat dalam legenda Batu Sawan.

2.1.1 Pengertian Folklor

Kata Folklor merupakan pengindonesiakan dari bahasa Inggris folklor, berasal dari dua kata folk dan lore. Kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok- kelompok sosial lainnya. Ciri pengenal itu antara lain warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, dan sebagainya. Kata lore merupakan tradisional folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui salah satu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(24)

(1976:45), “Folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan”. Folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan atau diwariskan secara tradisional dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaya, 1986:2).

Folklor bersifat tradisional tersebar wilayah (daerah tertentu) dalam bentuk relatif tetap, disebarkan diantara kelompok tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikin dua generasi). Folklor menjadi milik bersama dari kelompok tertentu, karena pencipta pertamanya sudah tidak diketahui sehingga anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya (tidak diketahui penciptanya). Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama. Diantaranya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Alan Dundes (Danandjaya, 1986), folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.

Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat terwujud:

a) Warna kulit yang sama b) Bentuk rambut yang sama c) Mata pencaharian yang sama d) Bahasa yang sama

e) Taraf pendidikan yang sama

f) Agama yang sama namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun- menurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersamanya. Disamping itu yang paling penting adalah bahwa mereka sadarakan identitas kelompok mereka sendiri (Dundes 1965:2, 1977:17-35, 1978:7).

Folkor merupakan sebuah pola yang terbentuk dari suatu masyarakat yang awalnya

(25)

mengacu pada budaya lisan. Foklor juga adalah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan yang telah disebarkan dan diwaeiskan secara turun-temurun dan menyebar dengan luas, dalam bentuk yang berbeda beda, baik secara lisan maupun dengan alat pengingat.

Adapun jenis-jenis folklore yaitu : 1. Folklor Lisan

Merupakan folklore yang bentuk nya multilisan, yaitu diciptakan, disebarluas-kan, dan diwariskan secara lisan. Folklor jenis ini terlihat pada :

a. Bahasa rakyat adalah bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi diantara rakyat dalam suatu masyarakat atau bahasa yang dijadikan sebagai sarana pergaulan dalam hidup sehari-hari. Seperti, logat, dialek, kosa kata bahasanya, julukan.

b. Ungkapan traisional adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Peribahasa biasanya mengandung kebenaran dan kebijaksanaan. Seperti peribahasa, pepatah.

c. Pertanyaan tradisional (teka-teki) Menurut Alan dundes, teka-teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsurepelukisan, dan jawabannya harus diterka.

d. Puisi rakyat adalah kesustraan rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu.

Fungsinya sebagai alat kendali sosial, unsure hiburan, untuk memulai suatu permainan, mengganggu orang lain. Seperti pantun, syair, sajak. Cerita prosa rakyat, merupakan suatu cerita yang disampaikan secara turun temurun (dari mulut ke mulut) di dalam masyarakat. Seperti, mite, legenda, dongeng.

e. Nyanyian rakyat, adalah sebuah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang

(26)

diungkapkan melalui nyanyian atau tembang-tembang tradisional. Berfungsi rekreatif, yaitu mengusir kebosanan hidup sehai-hari maupun untuk menghindari dari kesukaran hidup sehingga dapat menjadi semacam pelipur lara. Seperti lagu- lagu dari berbagai daerah.

2. Folklor sebagian Lisan

Merupakan folklor yang bentuknya merupakan campuran unsure lisan dan bukan lisan. Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial yang termasuk dalam folklor sebagian lisan, adalah:

a. Kepercayaan rakyat (takhyul), kepercayaan ini sering dianggap tidak berdasarkan logika karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, menyangkut kepercayaan dan praktek (kebiasaan) diwariskan melalui media tutur kata.

b. Permainan rakyat, disebarkan melalui tradisi lisan dan banyak disebarkan tanpa bantuan orang dewasa. Contoh : congkak, tepiak, gelasin, bengkel, main tali, dan sebagainya.

c. Teater rakyat d. Tari rakyat e. Pesta rakyat

Terlepas dari bentuknya, folklor memiliki ciri yang dapat digunakan sebagai pembeda dengan kebudayaan lainnya. Danandjaja (1997:3) menjelaskan bahwa foklor memiliki ciri-ciri, yaitu :

a. Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan;

b. Folklor bersifat tradisional;

c. Folklor (exist) versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda ; d. Folklor bersifat anonim;

(27)

e. Folklor mempunyai bentuk berumus atau berpola;

f. Folklor mempunyai kegunaan (function) g. Folklor bersifat pralogis;

h. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu;

i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu.

3. Folklor Bukan Lisan

Folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat di bagi menjadi dua subkelompok yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat.

Ada pun fungsi folklor yaitu sebagai berikut :

a. Sebagai system proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga- lembaga kebudayaan.

c. Sebagai alat pendidik anak.

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu di patuhi anggota kolektifnya.

(28)

2.1.2 Pengertian Legenda

Legenda (bahasa latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat didunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering kali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga sering kali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karenanya, jika kita hendak menggunakan legenda segagai bahan untuk merekonstruksi sejarah suatu folk, kita harus membersihkan dahulu bagian-bagian yang mengandung sifat-sifat folklor, misalnya yang bersifat atau yang merupakan rumus-rumus tradisi lisan. Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenang luas didaerah-daerah yang berbeda. Selain itu, legenda acap kali tersebar dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus (cyele), yaitu sekelompok yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu kajian tertentu. Di Jawa misalnya legenda- legenda mengenai panji termasuk golongan legenda siklus itu.

Menurut Jan Harold Brunvand dalam buku Danandjaja (1984:67) mengegolongkan legenda menjadi empat kelompok, yakni:

a. Legenda ke Agamaan

Yang termasuk dalam golongan ini adalah legenda Orang-orang suci (saints) Nasrani. Legenda demikian itu jika telah diakui oleh Gereja Katolik Roma akan menjadi bagian kesusastraan Agama yang disebut hagiography (legends of the sains), yang berarti tulisan, karangan, atau buku mengenai penghidupan orang-orang saleh. Walaupun hagiografi sudah ditulis, namun ia masih tetap merupakan folklore, karena versi asalnya

(29)

masih tetap hidup diantara rakyat sebagai tradisi lisan, tidaklah salah jika dikatakan bahwa hagiografi sebenarnya adalah transikripsi legenda orang-orang saleh.

b. Legenda alam gaib

Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan walaupun merupakan pengalaman pribadi seseorang, namun isi “pengalaman” itu mengandung banyak motif tradisi tradisional yang khas ada pada kolektifnya.

c. Legenda perseorangan

Legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar terjadi. Di Indonesia legenda semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal adalah legenda tokoh panji. Legenda ini pernah diteliti R.M.Ng. Poerbatjaraka dan diterbitkan dalam karnagannya yang berjudul Tjerita Pandjei dalam perbandingan (1968). Panji adalah seorang Putra Raja kerajaan Kuripan (Singosari) di Jawa Timur, yang senantiasa kehilangan istrinya. Akibatnya timbulnya banyaknya cerita Panji, yang temanya selalu padahal ia mencari istrinya menyaru atau menjelma menjadi wanita lain.

d. Legenda Setempat

Yang termasuk dalam golongan legenda ini adalah cerita yang termasuk dalam suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjuang, dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan erat dengan nama suatu tempat adalah legenda Kuningan. Seperti diketahui, Kuningan

(30)

adalah nama suatu kota yang kecil yang terletak dilereng gunung Ciremai disebelah kota Cirebon, Jawa Barat.

2. Dongeng

Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak diangap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sendiri. Dalam pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai. Dalam kenyataan banyak dongeng yang tidak mengenai melainkan isi cerita atau plotnya mengenai sesuatu yang wajar.

Istilah-istilah yang sinonim dengan dongeng dalam berbagai bahasa di dunia adalah fairy tales (cerita peri), nursery tales (cerita kanak-kanak), atau wonder tales (cerita ajaib) dalam bahasa Inggris; marchen dalam bahasa Jerman; aefgnter dalam bahasa Denmark; spookje dalam bahasa belanda; siao suo dalam bahasa mandarin; satua dalam bahasa Bali, dan lain-lain

Seperti halnya Mite dan Legenda, Dongeng juga mempunyai unsur-unsur cerita yang terdapat di daerah-daerah yang letaknya berjauhan, sehingga dapat di jadikan bahan penelitian perbandingan. Pada mulanya telah diusakaan oleh ahli-ahli folklol Eropa untuk menggolongkan dongeng berdasarkan judul-judul kesatuan cerita yang terkenal dari dongeng-dongeng.

Ciri-ciri suatu legenda adalah sebagai berikut:

a. Di percaya sebagai kejadian yang benar-benar terjadi

b. Sifatnya sekuler atau keduniawian

c. Tokoh legenda biasanya manusia

(31)

d. Sejarah kolektif yakni sejarah yang sering mengalami distorsi karena berbeda dari

cerita aslinya.

e. Sifatnya Migration atau berpindah-pindah

f. Bersifat siklus, maksudnya adalah menceritakan tokoh pada zaman tertentu.

2.1.3 Pengertian Karya Sastra

Karya sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Kata sas dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petuntuk atau instruksi, dan kata tra mempunyai arti menuntuk alat, sarana. Maka sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra pembanyangan atau pelukisan kehidupan dan pikiran yang imajinatif kedalam bentuk struktur bahasa (Teww, 1984 :23). Karya sastra adalah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah karya sastra itu dianalisis, Hill (Pradopo, 1995 :108). Dalam analisis karya sastra dapat diuraiakan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya sastra dapat dipahami dan memberikan penilaian terhadap karya sastra tersebut.

2.2 Teori yang Digunakan

Secara etimologi, teori berasal dari kata Theoria (Yunani), berarti kebulatan alam atau relita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian. Teori merupakan hal yang sangat perlu didalam menganalisis suatu karya sastra yang diajukan sebagai objek penelitian, karena teori adalah landasan berpijak. Teori merupakan suatu hal yang sangat

(32)

diperlukan didalam menganalisis suatu karya sastra yang diajukan sebagai objek, karena teori adalah landasan berpijak.

2.2.1 Teori Struktur Naratif

Teori struktur naratif merupakan teori sastra dalam kelompok teori postrukturalisme naratologi. Oleh karena itu teori struktural dapat dimanfaatkan untuk penelitian folklor pada umumnya. Namun perkembangan selanjutnya teori struktural juga dapat dimanfaatkan bagi folklor pada umumnya. Hampir setiap gendre folklor memiliki struktur tertentu. Tiap struktur terkait dengan makna secara keseluruhan.

Lebih dari itu, teori struktural ini juga banyak dimanfaatkan bagi pengkaji sastra lisan yang berhubungan dengan legenda atau cerita rakyat. Aspek-aspek fiksi dan fantasi dalam prosa rakyat tersebut menjadi inti kajian. Kajian ditekankan pada unsur-unsur pembangun sebuah teks. Perkembangan selanjutnya teori struktural dapat merambah kesegala bentuk folklor. Oleh karena itu tiap foklor memiliki bentuk yang jelas, tentu strukturnyapun dapat dipahami.

Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya tema, alur, latar/setting dan perwatakan/penokohan (Nurgiantoro (2007 :38). Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping di setiap karya mempunyai ciri kompleksan dan keunikannya sendiri, dan hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain.

(33)

1. Tema

Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang–ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. Hartoko dan Rahmanto (Burhan Nurgiyantoro, 2018) Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

2. Alur atau plot

Alur atau plot adalah awal peristiwa yang ditampilkan dalam sebuah teks fiksi yang secara teoritis dapat diurutkan dan dikembangkan secara kronologis. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada diawal cerita atau di bagaian awal teks, melainkan dapat terletak dibagian mananpun. Tanpa alur kita tidak akan tau jalan cerita tersebut apakah alur maju, alur mundur atau alur bolak-balik. Aristoteles (Burhan Nurgiyantoro, 2018), megemukakan alur atau plot harus terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (end).

3. Latar atau setting

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepeda pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Latar atau setting adalah keterangan tentang tempat, waktu dan suasana terjadinya suatu peristiwa dalam suatu peristiwa. Dengan demikian, pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk

(34)

mengoperasikan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan tentang pengetahuannya dengan latar.

Unsur-unsur latar menurut (Nurgiyantoro 2007 : 227) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

a) Latar tempat

Latar tempat adalah suatu unsur latar yang mengarah pada lokasi dan menjelaskan dimana peristiwa itu terjadi. Bila latar tersebut termasuk latar tipikal, akan disebut nama dan tempat tersebut.

b) Latar Waktu

Latar waktu merupakan unsur latar yang mengarah pada kapan terjadinya suatu peristiwa didalam sebuah cerita fiksi. Waktu dalam latar dapat berupa masa terjadinya peristiwa tersebut dikisahkan, waktu dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan lain sebagainya.

c) Latar sosial

Latar sosial adalah latar yang menjelaskan tata cara kehidupan sosial masyarakat yang meliputi masalah-masalah dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tersebut. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, kenyakinan, cara berpikir dan lain sebagainya.

4. Perwatakan/penokohan

Perwatakan/penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sikap para tokoh itu. Dalam pembicaraan

(35)

sebuah cerita fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan watak dan perwatakan atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjukkan pengertian yang hampir sama. Penokohan dan karesteristik sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro 2007 :165). Perwatakan tokoh- tokoh dalam sebuah karya sastra ada beberapa watak :

a) Tokoh Protagonis

Tokoh yang dikagumkan yang salah satunya secara popular yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nialai, yang ideal bagi pembaca/penikmat karya sastra.

b) Tokoh Antagonis

Tokoh penyebab terjadinya konflik, beroperasi dengan tokoh protagonis.

c) Tokoh Trigonis

Tokoh yang memiliki sifat protagonist dan antagonis atau tokoh yang berada diluar kedua tokoh/pihak ketiga.

2.2.2 Teori Fungsi

Konsep teori fungsi folklor sebenarnya telah lama berkembang. Bahkan, dikalangan folkloris antropologis, teori fungsi telah tergolong klasik. Teori fungsionalisme Malinowski, yang menganggap budaya itu berfungsi bila terkait dengan kebutuhan dasar manusia, sebenarnya yang mendasar teori fungsi. Namun, teori ini dibantah oleh ahli-ahli lain, seperti halnya Radcliffe-Brown, yang mengemukakan agar fungsi dikaitkan dengan struktur.

Hal tersebut diakui oleh Dorson dalam buku Suwardi Endraswara (2009:124) bahwa teori fungsi folklor juga telah berkembang luas juga di Amerika. Sejak Boas

(36)

menerapkan dan Benedict menerapkan etnografi budaya, terungkap bahwa folklor mampu mencerminkan norma budaya. Hal ini semakin tampak lagi ketika Bascom mengungkap fungsi folklor dengan memperluas pandangan Malinowski. Inti dari penelitian mereka, tampak antara lain folklor ritual memiliki fungsi mimpi menentramkan hati (ego-reassurance).

Konsep fungsi folklor memang bersifat lentur. Banyak ahli yang memiliki rumusan, sesuai dengan bidang masing-masing dalam mengartikan fungsi. Hal ini juga diakui oleh Hutomo dalam buku Suwardi Endraswara (2009:125) bahwa konsep fungsi diantara para ahli ilmu-ilmu sosial belum ada kata sepakat.

Bascom dalam buku Endraswara (2009:125) folklor mempunyai empat fungsi, yakni sebagai berikut: (1) cerminan atau proyeksi angan-angan pemiliknya, (2) alat pengesah pranata dan lembaga kebudayaan, (3) alat pendidikan, (4) alat penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai masyarakat (means of social pressure) dan pengendalian perilaku masyarakat (exercisian social control). Fungsi-fungsi semacam ini, dapat dilacak berdasarkan data dilapangan. Fungsi tersebut masih dapat berkembang. Varian- varian fungsi folklor masih dapat dimungkingkan, sejauh didukung oleh data yang jelas.

Berbagai konsep teoritis fungsi folklor diatas, rupa-rupanya telah banyak diterapkan oleh peneliti di Indonesia. Peneliti-peneliti banyak yang mencoba mengangkat aspek fungsi, agar menemukan relevansi dan pragmatika folklor secara eksplisit.

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metologi berasal dari kata metode dan kata logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu ilmu pengetahuan. Penelitian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan, mencari dan menganalisis fakta-fakta mengenai sesuatu masalah.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang penulis lakukan adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Alasan penulis menggunakan metode ini karena sumber utama metode penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Metode tersebut dipilih karena data yang digarap adalah kata- kata, gambar dan bukan angka-angka. Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya mandiskripsikan data-data fakta yang terdapat didalam cerita sehingga diketahui unsur-unsur pembentuk ceritanya.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah di desa Sarimarrihit, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Tempat Batu Sawan ini terletak di bawah Kaki Dolok Pusuk Buhit. Batu Sawan bertempat di Desa Simarrihit.

3.3 Sumber Data Penelitian

Sumber data terkait dengan subjek penelitian dari mananya data diperoleh. Subjek penelitian sastra adalah teks-teks novel, cerita rakyat/ legenda, drama dan puisi. Dalam sikripsi ini adalah legenda.

(38)

Sumber data menurut (Zuldafrial 2012:46) “adalah subjek dari mana data dapat diperoleh”. Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh yang terbagi atas dua bagian, yaitu :

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data-data mentah yang diperoleh dari lapangan

dan belum pernah di analisis.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang sudah pernah diteliti dan dijadikan

acuan untuk penelitian selanjutnya dari sudut pandang orang lain.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan sumber data primer berupa hal- hal yang mencakup keterangan nilai-nilai sosial dalam legenda Batu Sawan di kecamatan Sianjur Mula-Mula.

3.4 Instrumen Penelitian

Insrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan penelitian. Alat bantu yang digunakan peneliti antara lain :

1. Alat rekam (tape recorder) penulis gunakan untuk mengumpulkan data, karena tidak semua data dapat ditulis berupa catatan-catatan lapangan mengingat waktu penelitian yang memakan waktu tidak sedikit.

(39)

2. Pulpen alat tulis digunakan untuk menulis atau mencatat data-data yang diperoleh dari lapangan.

3. Buku tulis

Catatan-catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam proses obsevasi sehingga dapat mempermudah penulis untuk mengingat dan menemukan kembali data- data yang telah diperoleh yang selanjutnya akan dituangkan dalam penulisan proposal skripsi.

4. Daftar pertanyaan (kusioner)

Merupakan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepeda informan untuk memudahkan memperoleh data-data yang akan dituangkan dalam penulisan skripsi.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah:

1. Metode Observasi

Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung tempat penelitian untuk mendapatkan informasi data yang dibutuhkan, teknik yang digunakan penulis adalah teknik mencatat.

(40)

2. Metode Wawancara

Metode ini digunakan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap tentang cerita dan penulis akan melakukan wawancara dengan beberapa informan, teknik yang digunakan adalah teknik rekam.

3. Metode Kepustakaan

Metode ini dilakukan untuk mendapat sumber acuan penelitian, agar data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai tujuan yang digariskan. Teknik yang digunakan yaitu teknik mencatat.

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasar dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreatifitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu. Metode yang digunakan penulis dalam menulis data adalah metode intrinsik dan metode etnografi dan langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam menganalisis cerita Batu Sawan adalah :

1. Mengeliminasi data yaitu membuang data yang tidak cocok dan mencocokkan data

Yang baik.

2. Menganalisis unsur-unsur instrinsik legenda Batu Sawan.

3. Menganalisis fungsi legenda Batu Sawan.

4.Membuat kesimpulan.

(41)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Unsur-unsur Intrinsik Pada Legenda Batu Sawan

4.1.1 Tema

Didalam legenda Batu Sawan, penulis menyatakan bahwa tema legenda Batu Sawan adalah: Batu Sawan merupakan sebuah tempat suci untuk berdoa untuk meminta berkat dan di mana air Batu Sawan dapat berfungsi sebagai obat bagi siapa saja yang mempercayainya.

Hal ini dapat kita lihat dari kutipan legenda Batu Sawan halaman 60 paragraf 1:

Dung disada tingki taon 1998 ro ma Oppung ta si Raja Uti marboa-boa tu parnipion ni pinomparna na margoar Jonger Limbong, na mandok “uhalma tawar pangurason ki,uhalma paridian ki Alana boe gabe ubat i” ima boa-boa ro tu nipi nai. Holan adong songoni tu parnipion nai dilului si Jonger Limbong ma inganan ni adong do dua minggu, dung dapot di elek ma akka oppung ta i sae hona elek oppung tai di korek ma lokasi batu Sawan sampe do marbulan-bulan asa dapot bentuk ni Batu Sawan i jala adong do halaki opat halak, dung sae hona paias dohot hona tata hona paboa ma mardongan napuran tu oppung tai.

Terjemahan:

„ Suatu ketika pada tahun 1998 datanglah Oppung Raja Uti memberitahukan kepada keturunanya yang bernama Jonger Limbong lewat mimpi yang mengatakan,

“galilah air suci pemandianku,karena air itu bias menjadi obat” itulah petunjuk yang

(42)

datang melalui mimpinya. Setelah kejadian itu Jonger Limbong mecari tempat itu selama dua minggu. Setelah dia menemukan tempat pemandian Oppung Raja Uti, Jonger Limbong berdoa dan memohon dengan mengapit daun sirih dikedua telapak tangannya, setelah itu mereka menggali dan mengorek-ngorek lokasi Batu Sawan bersama tiga orang temannya. Mereka menemukan bentuk Batu Sawan, setelah mereka selesai membersikan dan menata Batu Sawan, mereka berdoa untuk memberitahukan kepada Oppung Raja Uti.

4.1.2 Alur / Plot

Dalam legenda Batu Sawan penulis menyatakan bahwa Alur/plot adalah : alur maju yang merupakan jalan peristiwa yang dimulai dari awal hingga akhir. Aristoteles (Burhan Nurgiyantoro, 2018), mengemukakan alur atau plot harus terdiri dari tahap awal

(beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (end).

Alur atau plot dari legenda Batu Sawan adalah sebagai berikut :

1.Tahap Awal (beginning)

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 60 paragraf 1 :

Najolo disada huta namargoar Sianjur Mula-mula adong ma sada saripe na margoar Raja Guru Tatea Bulan ima anak ni si Raja Batak siakkangan dohot

parsondukna Si Baso Bolon. Raja Guru Tatea Bulan adong ma ianakhon na sampulu, lima baowa lima boru. Anak na lima I ima na margoar Si Raja Margeleng-geleng,

(43)

Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja. Malau Raja, dohot boruna na lima i ima namargoar Sibiding Laut, Siboru Pareme,Siboru Anting Sabungan, Siboru Nantinjo, dohot Siboru Pungga Hamuatan. Sian sude ianakhon ni Raja Guru Tatea Bulan Si Raja Margeleng-geleng ma na paling sakti/anak siangkangan.

Terjemahan:

„ Pada jaman dahulu di suatu Desa yang bernama Sianjur Mula-Mula hiduplah suatu keluarga yang bernama Raja Guru Tatea Bulan (anak si Raja Batak yang paling sulung) dan istrinya si Baso Bolon. Raja Guru Tatea Bulan memiliki sepuluh anak, lima laki-laki dan lima perempuan. Anak laki-laki bernama Si Raja Margeleng-geleng, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Malau Raja dan anak perempuan yang bernama Si Biding Laut, Siboru Pareme, Siboru Anting Sabungan, Siboru Nantinjo dan Siboru Pungga Hamuatan. Dari semua anak Raja Guru Tatea Bulan, Siraja Margeleng-gelenglah yang paling sakti (anak sulung).‟

2. Tahap Tengah (middle)

Tahap tengah cerita yang dapat sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan atau konflik yang semakain meningkat.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 60 paragraf 2 :

Si Raja Margeleng-geleng tubu sian bortian ni Si Baso Bolon dang adong simangido dohot simanjojakna gabe songon tabu-tabu ma ibana. Alani parsorion ni Raja Margeleng-geleng gabe tubu di rohana na leas rohani jolma mangida ibana.

Disada tingki ditaruhon Raja Guru Tatea Bulan dohot parsondukna Si Baso Bolon ianakhon na siakkangan na margoar Si Raja Margeleng-geleng ima tu sada batu

(44)

liang na margoar Batu Sondi. Alani ahama asa ditaruhon Raja Si Margeleng-geleng tu Batu Sondi i, ima alani siak ni bagi di baen Oppung Debata Mula Jadi Nabolon dang adong simangido dohot simanjojakna jala dang marholi-holi na gabe songon tabu-tabu.

Martaon-taon marbulan-bulan dang adong parhusoran manang pargantian ni pamatangna, jala ala ninon dapot ma ditingki na martongga ma Raja Guru Tatea Bulan dohot parsondukna Si Baso Bolon tu Oppung Debata Mula Jadi Nabolon alai ido na manompa jala ido na manongos, jala haporseaon ni nasida ikkon boe

paubaonna tompana. Dung disada tingki leleng diparlelengan lalap diparlalapan dapot ma diarina tagi ma Oppung Debata Mula Jadi Nabolon ditongos ma aek paridianna sian Dolok Pusuk Buhit ima na rot u toru manang tu joloni inganan ni Raja Si Margeleng-geleng ima Aek Batu Sawan na marlapatan sampur na pitu paranggiran manang pangurasan ni Raja Si Margeleng-geleng.

Terjemahan :

„ Si Raja Margeleng-geleng lahir dari rahim si Baso Bolon tidak memiliki tangan dan kaki seperti tidak layaknya manusia. Karena si Raja Margeleng-geleng lahir tidak sempurna maka timbullah dalam hatinya bahwa saudaranya akan sepele melihatnya.

Disuatu waktu Raja Tatea Bulan bersama istrinya si Baso Bolon mengantar anak sulungnya yang bernama Raja Si Manggeleng-geleng ke suatu Goa yang bernama Batu Sondi. Raja Si Margeleng-geleng diantar ke dalam Batu Sondi karena kondisi fisiknya yang kurang sempurna di ciptakan oleh Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) tidak memilik tangan dan tidak memiliki kaki, sehingga Raja Si Margeleng-geleng terlihat seperti labu.

(45)

Bertahun-tahun lamanya Si Raja Guru Tatea Bulan bersama istrinya Si Baso Bolon melihat tidak ada perkembangan dan pertumbuhan Si Raja margeleng-geleng. Pada saat itu tibalah waktunya Raja Guru Tatea Bulan dan istrinya Si Baso Bolon berdoa ke pada Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa), karna dialah yang menciptakan dan menitipkan, dan mereka percaya Oppung Debata Mula Jadi Nabolon mampu mengubah kekukarangan anaknya Si Raja Margeleng-geleng. Pada suatu waktu, udah lama menunggu doa mereka dikabulkan akhirnya Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) mendengarkan doa Si Raja Guru Tatea Bulan dan istrinya si Baso Bolon. Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa), mengalirkan air tempat pemandiannya dari bukit Pusuk Buhit yang mengalir didepan tempat tinggal Si Raja Margeleng-geleng yang bernama aek Batu Sawan yang berarti mata air penyucian Si Raja Margeleng-geleng.‟

3. Tahap akhir (end)

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut sebagai tahap menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.Bagian ini berisi bagaiman kesudahan cerita.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan legenda Batu Sawan halaman 64 paragraf 8:

Songon i ma turi-turian ni aek Batu Sawan jala adong do tonani oppung ta tu pinomparna ima na mandok “manang na ise pe na ro tu aek Batu Sawan on unang marsihata-hataan, sandok ise ro tuson lao mangalap pasu-pasu ma, na mangalap ubat ma, jala unang marsiadu sakti.

(46)

Terjemahan :

„ Demikianlah Legenda Batu Sawan dan Raja Uti berpesan kepada semua

keturunanya, “siapaun yang datang ke tempat pemandian air Batu Sawan ini jangan saling membicarakan satu dengan yang lain,siapapun yang datang ketempat ini hanya untuk mencari berkat dan mengambil air Batu Sawan sebagai obat, bukan untuk beradu kesaktian.‟

4.1.3 Latar atau Setting

Latar tempat dalam legenda Batu Sawan ini adalah terjadi di Sianjur Mula-Mula.

Cerita ini terjadi di bawah kaki bukit Pusuk Buhit, terletak di Desa Sarimarrihit Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir.

Dalam legenda Batu Sawan ini terdapat tiga latar, yaitu :

1. Latar Tempat

2. Latar Waktu

3. Latar sosial

a) Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Legenda Batu Sawan di latarkan pada 8 tempat yakni : Sianjur Mula- Mula, Batu Sondi, Puncak Pusuk Buhit, Air Malum, Tala-Tala, Barus, Aceh dan Pulau Jawa.

(47)

Latar tempat di Sianjur Mula-Mula dapat di lihat dalam kutipan legenda Batu sawan halaman 60 paragraf 1 :

Najolo disada huta namargoar Sianjur Mula-mula adong ma sada saripe na margoar Raja Guru Tatea Bulan ima anak ni si Raja Batak siakkangan dohot parsondukna Si Baso Bolon.

Terjemahan :

„ Pada jaman dahulu di suatu Desa yang bernama Sianjur Mula-Mula hiduplah suatu keluarga yang bernama Raja Guru Tatea Bulan (anak si Raja Batak yang paling sulung) dan istrinya si Baso Bolon.‟

Latar tempat di Batu Sondi dapat dilihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 60 paragraf 2 :

Disada tingki ditaruhon Raja Guru Tatea Bulan dohot parsondukna Si Baso Bolon ianakhon na siakkangan na margoar Si Raja Margeleng-geleng ima tu sada batu liang na margoar Batu Sondi.

Terjemahan :

„ Disuatu waktu Raja Tatea Bulan bersama istrinya si Baso Bolon mengantar anak sulungnya yang bernama Raja Si Manggeleng-geleng ke suatu Goa yang bernama Batu Sondi.‟

Latar tempat Pusuk Buhit dapat di lihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 62 paragraf 5 :

(48)

Sai diulanghin Si Raja Miak-miak ma muse maridi tu aek Batu Sawan i lam boe ma ibana pauba tompa, nga boe be ibana habang tu ianganan nai manang tu Batu Sondi jala nga boe be ibana habang tu ginjang ni Pusuk Buhit. Dung habang ibana tu pusuk buhit digoari ma paradianan na Tindoan margoar ma Si Raja Miak-miak disi gabe Raja Sisarimatua.

Terjemahan :

„ Raja Miak Miak terus mandi kedalam air Batu Sawan, kesaktiannya pun bertambah dan dia bisa terbang ketempat tidurnya yaitu Batu Sondi dan ke pucak bukit Pusuk Buhit. Ketika dia berada di puncak bukit Pusuk Buhit Raja Miak Miak bereganti nama memjadi Raja Sarimatua.‟

Latar tempat Air Malum dapat di lihat dalam kutipan legenda halaman 62 paragraf 5 :

Habang ma ibana muse tu Aek Malum goar ni Aek Malum on ima babani aek Batu Sawan. “Songon diama bonani aek Batu Sawan on na gabe paridiankon” ia maksudna.jadi dung diida ibana gabe margoar ma Si Raja Hatorusan.

Terjemahan :

„ Kemudian dia pergi ke air Malum yang merupakan sumber mata air Batu Sawan, karena dia ingin mengetahui sumber mata air yang menjadi tempat mandinya. Setelah dia melihatnya dia berganti nama menjadi Raja Hatorusan.‟

Latar tempat di Barus dapat di lihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 63 paragraf 6 :

(49)

Dung piga –piga ari nai habang ma Si Raja Uti tu Barus, dung sahat ibana di Barus dung piga-piga minggu nai borhot ma muse Si Raja Uti tu Aceh tujuan ni ibana lao mangalului angina Si Saribu Raja.

Terjamahan :

„ Selah beberapa hari kemudian Raja Uti terbang ke Barus, sesampai di Barus beberapa minggu kemudian Raja Uti pergi ke Aceh dengan tujuan mencari adiknya Saribu Raja.‟

Latar tempat di Aceh dapat di lihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 63 paragraf 6 :

Dung sahat ibana di Barus dung piga-piga minggu nai borhot ma muse Si Raja Uti tu Aceh tujuan ni ibana lao mangalului angina Si Saribu Raja.

Terjemahan :

„ Sesampai di Barus beberapa minggu kemudian Raja Uti pergi ke Aceh dengan tujuan mencari adiknya Saribu Raja.‟

Latar tempat Pulau Jawa dapat di lihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 63 paragraf 6 :

Nga leleng ibana disi lao ma muse ibana tu pulo Jawa di goari ma pareatan naon/parhabangan naon Gunung Puti alani aha ibana lao tu pulo Jawa ala adong boa-boa na mandokkon anggo ibotona Si Biding Laut manang boru siakkangan ni Guru Tatea Bulan mangalului ibotona Saribu Raja umbahen ido asa lao muse Si Raja Uti tu Jawa na lao manjumpai ibotona Si Biding Laut, hape dang jumpa nasida.

(50)

Terjemahan :

„ Setelah lama disana Raja Uti pergi ke Pulau Jawa diaman tempat

peristirahatannya yang bernama Gunung Puti, dia pergi ke Pulau Jawa karena ada petunjuk yang memberitahukan bahwa adiknya Sibiding Laut atau anak perempuan sulung Raja Guru Tatea Bulan pergi mencari adiknya Saribu Raja ke Pulau Jawa, sebab itulah Raja Uti pergi ke Pulau Jawa untuk menjumapai adiknya Sibiding Laut, tetapi mereka tidak bertemu karena adiknya Sibiding Laut telah menikah dengan Raja di Pulau Jawa.‟

b) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Latar waktu terjadi pagi hari dimana Raja Guru Tatea Bulan dan Istrinya si Baso Bolon berdoa kepada Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dan pada tahun 1998 dimana Raja Uti berpesan kepada keturunannya yang bernama Jonger Limbong dengan lewat mimpi.

Latar waktu pagi hari dapat dilihat dalam kutipan legenda Batu Sawan halaman 60 paragraf 3 :

Martaon-taon marbulan-bulan dang adong parhusoran manang pargantian ni pamatangna, jala ala ninon dapot ma ditingki na di parnakkok ni mata niari

martongga ma Raja Guru Tatea Bulan dohot parsondukna Si Baso Bolon tu Oppung

(51)

Debata Mula Jadi Nabolon alai ido na manompa jala ido na manongos, jala haporseaon ni nasida ikkon boe paubaonna tompana. Dung disada tingki leleng diparlelengan lalap diparlalapan dapot ma diarina tangi ma Oppung Debata Mula Jadi Nabolon ditongos ma aek paridianna sian Dolok Pusuk Buhit ima na rot u toru manang tu joloni inganan ni Raja Si Margeleng-geleng ima Aek Batu Sawan na marlapatan sampur na pitu paranggiran manang pangurasan ni Raja Si Margeleng- geleng.

Terjemahan :

„ Bertahun-tahun lamanya Si Raja Guru Tatea Bulan bersama istrinya Si Baso Bolon melihat tidak ada perkembangan dan pertumbuhan Si Raja margeleng-geleng.

Pada saat pagi hari tibalah waktunya Raja Guru Tatea Bulan dan istrinya Si Baso Bolon berdoa ke pada Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa), karna dialah yang menciptakan dan menitipkan, dan mereka percaya Oppung Debata Mula Jadi Nabolon mampu mengubah kekukarangan anaknya Si Raja Margeleng- geleng. Pada suatu waktu, udah lama menunggu doa mereka dikabulkan akhirnya Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) mendengarkan doa Si Raja Guru Tatea Bulan dan istrinya si Baso Bolon. Oppung Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa), mengalirkan air tempat pemandiannya dari bukit Pusuk Buhit yang mengalir didepan tempat tinggal Si Raja Margeleng-geleng yang bernama aek Batu Sawan yang berarti mata air penyucian Si Raja Margeleng-geleng.‟

Latar waktu 1998 dapat dilihat pada kutipan legenda Batu Sawan halaman 64 paragraf 8 :

Dung disada tingki taon 1998 ro ma Oppung ta si Raja Uti marboa-boa tu parnipion ni pinomparna na margoar Jonger Limbong, na mandok “uhalma tawar

(52)

pangurason ki,uhalma paridian ki Alana boe gabe ubat i” ima boa-boa ro tu nipi nai.

Holan adong songoni tu parnipion nai dilului si Jonger Limbong ma inganan ni adong do dua minggu, dung dapot di elek ma akka oppung ta i sae hona elek oppung tai di korek ma lokasi batu Sawan sampe do marbulan-bulan asa dapot bentuk ni Batu Sawan i jala adong do halaki opat halak, dung sae hona paias dohot hona tata hona paboa ma mardongan napuran tu oppung tai.

Terjemahan

„ Suatu ketika pada tahun 1998 datanglah Oppung Raja Uti memberitahukan kepada keturunanya yang bernama Jonger Limbong lewat mimpi yang mengatakan,

“galilah air suci pemandianku,karena air itu bias menjadi obat” itulah petunjuk yang datang melalui mimpinya. Setelah kejadian itu Jonger Limbong mecari tempat itu selama dua minggu. Setelah dia menemukan tempat pemandian Oppung Raja Uti, Jonger Limbong berdoa dan memohon dengan mengepit daun sirih di kedua tangannya, setelah itu mereka menggali dan mengorek-ngorek lokasi Batu Sawan bersama tiga orang temannya. Mereka menemukan bentuk Batu Sawan, setelah mereka selesai membersikan dan menata Batu Sawan, mereka berdoa untuk memberitahukan kepada Oppung Raja Uti.‟

c) Latar Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara dalam

kehudupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar sosial dalam

Referensi

Dokumen terkait