HATA PINSANG-PINSANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA KAJIAN: PRAGMATIK
SKRIPSI
DIKERJAKAN OLEH :
MONA LUCIANE SIMANJUNTAK 140703016
PROGRAM STUDI SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
▸ Baca selengkapnya: mandok hata sian dongan sahuta
(2)(3)ABSTRAK
Mona Luciane Simanjuntak, 2014. Judul skripsi Hata Pinsang-pinsang pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Pragmatik.
Pragmatik adalah telaah mengenai makna tuturan, yang menggunakan makna yang terikat konteks. Apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau yang dimaksudkan penutur berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam suatu percakapan (Grice dalam Gunawan, 2007:247). Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis maksim dalam Hata Pinsang- pinsang pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Pragmatik dan menjelaskan fungsi maksim tersebut dalam Hata Pinsang-pinsang pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Pragmatik.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Analisis data dilakukan dengan mengeliminasi data yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan, mengklasifikasikan data, menganalisis data sesuai dengan kajian secara seksama.
Hasil penelitian mendapati bahwa: (1) ada 4 (empat) jenis maksim prinsip
kerjasama dalam hata pinsang-pinsang di masayarakat Batak Toba, yaitu: maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan. (2) Dalam hata pinsang-pinsang terdapat 4 (empat) fungsi maksim yaitu: deklarasi, ekspresif, direktif dan komisif.
Kata kunci : maksim dalam hata pinsang-pinsang, fungsi maksim, kajian pragmatik
KATA PENGANTAR
Segala kerendahan hati dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan Kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dalam penyusunan skripsi ini adalah “Hata Pinsang- pinsang pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Pragmatik”.
Untuk memudahkan gambaran yang jelas dalam isi skripsi ini, penulis memaparkan rincian sistematika penulisan skripsi sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
Bab II membahas tentang tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan.
Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, metode penelitian, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV merupakan pembahasan.
Bab V merupakan kesimpulan dan saran.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini sangat sederhana dan masih jauh dari kata sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, dan penulisan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan-masukan berupa kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata semoga skripsi ini bermamfaat bagi pembaca,
Medan, 17 September 2018 Penulis,
Mona Luciane Simanjuntak 140703016
ii
HATA PATUJOLO
Mandok Mauliate ma hu pasahat tu Amanta Debata pardenggan basa i, disiala asi dohot holong ni rohaNa na mangalehon hahipason, hagogoon, dohot pangurupion, laho pasaeon skripsi on di Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatara Utara. Adong pe judulni skripsi on ima Hata Pinsang- pinsang pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Pragmatik.
Asa hatop pangantusion tu isi ni skripsi on, patorangon ni panurat ma ruhut- ruhut na adong di bagasan skripsi on na dibagi tu 5 (lima) bindu, ima:
Bindu I ima pendahuluan na patoranghon latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian.
Bindu II ima kajian pustaka na patoranghon kepustakaan na relepan dohot teori na dipangke.
Bindu III ima metode penelitian na marisi metode dasar, metode penelitian, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bindu IV ima pembahasan taringot hata pinsang-pinsang di masyarakat Batak Toba.
Bindu V marisi hasimpulon dohot poda.
Patut do ongkuon ni panurat ia skripsi on dang na haru singkop, ala ni i sian serep ni roha dihalashon roha ma adong angka hata poda sian saluhutna laho parimpashon skripsi on. Panurat mandok mauliate godang nang manang aha pe na dipatorang di skripsi on gabe pangantusion ma dihita saluhutna.
Medan, 17 September 2018 Panurat,
Mona Luciane Simanjuntak 140703016
htpTjolo
mn\dko\ mUliate m H psht\ T amn\t debt or\de^gn\
bs I disial asi dohto\ holo^ ni rohn n m<lehno\
hhipsno\ hgogowno\ dohto\ p<Urpiwno\ lho psIhno\ s\k\rpi\si ano\ di p\rog\rm\ s\Tdi ss\t\r btk\ phL\ts\ ali\M Bdy Unipre\sits\
Smter Utr ado^ pe JdL\ni s\k\rpi\si ano\ im ht pni\s^ pni\s^ pd ms\yrkt\ btk\ tob kjiyn\
p\rg\mtki\
ashtpo\p<n\Tsiano\TIsinis\k\rpi\siano\ptor
<no\nipNrt\mRhT\RhT\nado^dibgsn\s\k\rpi\si ano\ndibgiTlimbni\DIm
bni\DsdImpne\dHLan\nptor^hno\ltr\bElk^mslh
\Tjan\penelitian\bni\DdaImkjian\pS\thnpto r^hno\kepS\tkan\nrelepn\dohto\teaorindip^kebni\
DtoLImmetodepenelitian\nmrisimetodedsr\metodepenel itian\sM\bre\dtIn\s\tR\mne\penelitian\metodepe<
M\Pln\dtdn\mEtodeanlissi\dtbni\Daopt\Impme\
bhsn\tri<to\htpni\s^pni\s^dims\yrkt\btk\to bbni\Dlmmrisihsmi\Plno\dohto\pod
ptT\doa<o\Kano\nipNrt\Ias\k\rpi\siano\d^nh Rsi^kpo\alniIsian\serpe\nirohdohls\hno\rohma do^a^khtpodsian\sLhT\nlhoprmi\ps\hno\s\k\r pi\siano\pNrt\mn\dko\mUliategod^n^mn^ahpendip tor^dis\k\rpi\siano\gbEp<n\Tsiano\mdihitsLh T\n
medn\ 17 spe\tme\bre\ 2018 peNlsi\
monLsianesimn\jN\tk\
140703016
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Tiada hentinya mengucapkan puji dan syukur serta berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sudah membantu penulis dalam memberi arahan, motivasi, bimbingan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Sastra Batak dan sekaligus penguji I yang telah banyak memberikan masukan- masukan yang bermamfaat dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Sastra Batak , penguji II, dan sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Asriaty R Purba, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.
5. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua dosen dan staf Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen-dosen Program Studi Sastra Batak yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat.
6. Yang teristimewa kepada orang tua tersayang, ayahanda S. Simanjuntak dan Ibunda H. Sibarani, A.Md yang sangat penulis hormati dan sayangi yang telah membesarkan dan mendidik penulis , memberikan perhatian baik moril maupun materil, doa, serta nasehat bahkan dalam proses pengerjaan skripsi ini hingga selesai.
7. Yang terkasih kakanda Elisabeth Novitasari yang selalu memberikan motivasi serta dukungan selama penulis kuliah dan sampai dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Buat adikku yang kucintai dan kubanggakan Feny Febrianty dan Hanna Yolanda, yang membantu penulis secara moril untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Kepada yang terkasih Josua Siburian yang turut memberi semangat dan penghiburan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabatku Rianta Simanjuntak, Selly Ginting, Ando Silitonga, Torus Simatupang, David Hutasoid, Iqbal Ritonga, dan teman-teman seperjuangan lainnya stambuk 2014 Sastra Batak dan Sastra Melayu yang turut memberikan semangat dan dorongan serta penghiburan kepada penulis dari awal PKMB hingga proses penyelesaian skripsi ini.
vi
11. Abang/kakak senior dan juga junior, penulis mengucapkan terima kasih untuk dukungan yang diberikan
12. Teman-teman semuanya yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu penulisan skripsi ini, kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan teman-teman kepada penulis.
Terima kasih atas kritik dan saran yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis, hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya. Semoga skripsi ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Medan, 17 September Penulis,
Mona Luciane Simanjuntak 140703016
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
HATA PATUJOLO ... iii
htpTjolo ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Keputusan yang Relevan ... 7
2.1.1 Pragmatik ... 9
2.1.2 Implikatur ... 12
2.1.3 Hata Pinsang-pinsang ... 14
2.2 Teori yang Digunakan ... 15
2.2.1 Maksim Aturan Percakapan Kualitas ... 18
2.2.2 Maksim Aturan Percakapan Kuantitas ... 19
2.2.3 Maksim Aturan Percakapan Relevansi ... 20
2.2.4 Maksim Aturan Percakapan Pelaksanaan ... 21
BAB III. METODE PENELITIAN ... 23
viii
3.1 Metode Dasar ... 23
3.2 Lokasi penelitian ... 23
3.3 Sumber Data ... 24
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 24
3.5 Instrumen Penelitian ... 25
3.6 Metode Analisis Data ... 25
BAB IV HAIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27
4.1 Maksim-maksim pada Prinsip Kerjasama yang Terdapat dalam Hata Pinsang-pinsang di Lingkungan Keluarga masyarakat Batak Toba ... 27
4.1.1 Maksim Aturan Percakapan Kualitas ... 27
4.1.2 Maksim Aturan Percakapan Kuantitas ……… 33
4.1.3 Maksim Aturan Percakapan Relevansi ………... 36
4.1.4 Maksim Aturan Percakapan Pelaksanaan ……… 40
4.2 Fungsi Maksim yang Terdapat Dalam Hata pinsang-pinsang di lingkungan Keluarga Masyarakat Batak Toba ………. 43
4.2.1 Fungsi Deklaratif ………..……..………... 44
4.2.2 Fungsi Ekspresiv ………..……….…….. 50
4.2.3 Fungsi Direktif ………..……….. 53
4.2.4 Fungsi Komisif ………..………. 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….……….……… 67
5.1 Kesimpulan ………….……….. 67
5.2 Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa yang beragam.
Keanekaragaman tersebut disebabkan oleh perbedaan ras, perbedaan lingkungan geografis , latar belakang sejarah, perkembangan daerah, dan perbedaan agama serta kepercayaan. Jumlah suku bangsa juga ada yang mayoritas dan minoritas.
Selain suku bangsa yang begitu beranekaragam, Indonesia juga salah satu negara yang bangsa atau masyarakatnya memiliki kebudayaan yang berbeda dari suku lainnya.
Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki beraneka ragam adat dan budaya. Salah satu adalah adat budaya Batak yang memiliki lima sub-etnis yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Angkola Mandailing. Kelima sub suku tersebut memiliki kebudayaan bahasa yang hampir sama.
Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetiya dalam bukunya yang berjudul Ilmu Budaya Dasar (2004) bahwa arti kebudayaan sangat luas, yang meliputi kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan manusia yang harus didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Penggunaan hata pinsang-pinsang adalah salah satu contoh kebudayaan yang hingga saat ini masih digunakan, meskipun kegunaannya tidak lagi dipercayai kebenarannya dan sulit untuk diterima oleh masyarakat moderen masa kini. Kegunaannya kini hanya sebagai larangan saja berbeda dengan fungsi hata pinsang-pinsang yang digunakan pada zaman dahulu yang berperan penting didalam mengajarkan setiap norma-norma dan ajaran moral yang terdapat didalam kehidupan di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Marbun dan Hutapea dalam bukunya yang berjudul Kamus Budaya Batak Toba (1987) menjabarkan hata adalah bahasa; kata, perkataan atau ucapan. Hata lah yang memegang peranan yang sebesar-besarnya dalam adat istiadat Batak.
Sedangkan pinsang atau pinsang-pinsang adalah larangan atau kalimat perintah yang melarang untuk tidak melakukan sesuatu yang dianggap tidak baik, karena pada dasarnya larangan atau aturan diperbuat untuk membatasi diri agar tetap berada didalam norma-norma yang berlaku.
Masyarakat Batak Toba sudah lama mengenal hata pinsang-pinsang.
Kegunaannya sama seperti hata poda, yaitu untuk mengajarkan nilai baik namun cara penyampaiannya memiliki tingkat kesopan santunan dan kewibawaan yang lebih rendah. Masyarakat Batak Toba zaman dahulu menggunakan hata pinsang- pinsang untuk melarang anak agar tidak melakukan tindakan yang semena-mena dan mematuhi peraturan yang berlaku di masyarakat. Apabila anak tersebut melanggar hata pinsang-pinsang dipercaya akan mendapat hukuman berupa bala atau kesialan. Hukuman yang dimaksud berasal dari alam atau sesuatu yang bersifat mistis, yang membuat pendengarnya enggan untuk melanggar atau tidak
pinsang-pinsang tersebut. Karena dengan berbuat semena-mena dalam bertingkah laku mengakibatkan terjadinya sesuatu yang akan membuat dirinya berada dalam masalah atau ketidaktenangan bagi diri sendiri.
Masyarakat Batak Toba mempercayai timbulnya berbagai konflik yang akan melanda setiap kegiatan dan aktivitas mereka melalui kekuatan-kekuatan alam apabila mereka menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Melalui hata pinsang-pinsang tersebut masyarakat akan tersadar akan pentingnya menjaga kelestarian hidup dan mematuhi segala peraturan yang terdapat didalam kelompok masyarakat.
Nilai budaya suatu masyarakat tutur dikemas sedemikian rupa dan menghasilkan varian-varian yang mencerminkan kedinamisan dalam kehidupan bermasyarakat dan menunjukkan cara pandangnya terhadap realita dunia, seperti yang dikatakan oleh Wijana (2004:109) dan Kramsch (1998:6) bahwa cara pandang anggota kelompok masyarakat akan selalu tercermin pada sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai.
Menurut Oktavianus (2006:111-118) kata-kata yang digunakan oleh suatu masyarakat tutur akan mencerminkan perilaku, sudut pandang dan keyakinan yang dianut penuturnya. Selain itu, kata-kata yang digunakan juga selalu mengacu pada objek, peristiwa, dan segala sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik.
Selanjutnya, Oktavianus menjelaskan bahwa bentuk dan makna yang dimiliki oleh suatu budaya masyarakat akan membentuk suatu worldview. Menurut Liliweri (2009:12), worldview merupakan merupakan cara pandang suatu masyarakat tutur dan merupakan system kepercayaan yang terbentuk akibat
pengaruh nilai budaya yang dimiliki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa mencerminkan nilai budaya sebagai identitas suatu masyarakat tutur.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasikan diri (Kridalaksana, 1984:19). Bahasa memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan manusia terutama fungsi komunikatif. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa dalam berbagai bentuk guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan berkomunikasi, manusia dapat memenuhi keinginannya sebagai mahluk sosial yang saling berhubungan untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya serta bekerja sama.
Dalam sebuah percakapan, untuk dapat memahami makna tersirat suatu ujaran pemahaman mengenai implikatur sangat diperlukan. Makna yang tersirat dalam suatu percakapan disebut juga sebagai implikatur percakapan. Dengan kata lain, implikatur percakapan adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau yang dimaksudkan penutur berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam suatu percakapan (Grice dalam Gunawan, 2007:247). Implikatur suatu ujaran ditimbulkan akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan. Prinsip percakapan adalah prinsip yang harus diperhatikan dan yang harus dipatuhi oleh pengguna bahasa agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar.
Hal tersebutlah yang melatar belakangi penulis mengangkat hata pinsang- pinsang sebagai objek dalam penulisan skripsi ini. Eksistensi hata pinsang- pinsang yang hampir ditinggalkan karena kebenarannya tidak
berterima lagi dalam pemikiran masyarakat moderen saat ini. Selain itu, perkembangan agama juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi berkurangnya penggunaan hata pinsang-pinsang di masyarakat Batak Toba.
Penulis bertujuan untuk memperkenalkan kembali kebudayaan lokal masyarakat Batak Toba yang sudah mulai ditinggalkan dengan penulisan skripsi ini. Penulis juga mengkaitkannya dengan ilmu pragmatik dengan pengkajian yang menggunakan implikatur dan prinsip kerja sama yang terdapat di dalam implikatur tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang penulis ingin teliti ialah:
1. Maksim-maksim apa saja yang digunakan dalam prinsip kerjasama pada hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga masyarakat Batak Toba?
2. Apa fungsi maksim dalam prinsip kerjasama yang terdapat pada hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga masyarakat Batak Toba?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan-tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan maksim-maksim yang digunakan dalam prinsip kerja sama pada hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga masyarakat Batak Toba.
2. Menjelaskan fungsi maksim dalam prinsip kerjasama yang terdapat pada hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga masyarakat Batak
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun mamfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang bagaimana cara mengkaji hata pinsang-pinsang menggunakan kajian implikatur dalam prinsip kerjasama .
2. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memotifasi ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inofatif di masa yang akan datang.
3. Penelitian ini merupakan sarana untuk meningkatkan wawasan dan kreatifitas peneliti yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi implikatur percakapan dalam hata pinsang-pinsang di lingkungan rumah pada masyarakat Batak Toba, serta maksim-maksim apa saja yang dilanggar dalam prinsip kerjasama dalam hata pinsang-pinsang di lingkungan rumah pada masyarakat Batak Toba.
4. Menyukseskan program pelestarian Sastra Daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
5. Sebagai bahan bacaan dan kepustakan Departemen Sastra Daerah, Program Studi Sastra Batak, Fakultas Ilmu budaya, Universitas Sumatera Utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah haruslah dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan, dan harus disertai data-data yang akurat serta ada hubungannya dengan yang akan diteliti.
Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Jika hanya mengandalkan teori atau pemahaman semantik saja, makna suatu tuturan atau ujaran tidak bisa dipahami dan dimengerti dengan tepat. Istilah
„implikatur‟ dipakai oleh Grice untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur.
Yule (2006:62) mengemukakan bahwa implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Implikatur merupakan bagian dari informasi yang disampaikan namun tidak dikatakan.
Noviati (2010) dalam skripsinya meneliti “Jenis-Jenis Implikatur Percakapan Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kerjasama dalam Talk Show “Bukan Empat Mata” di Trans 7” menjelaskan bahwa terdapat 4 bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam talk show “Bukan Empat Mata”. Pelanggaran itu meliputi pelanggaran maksim kuantitas, pelanggaran maksim kualitas, pelanggaran maksim hubungan (relevansi), dan pelanggaran maksim cara
(pelaksanaan). Persamaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti mengenai implikatur percakapan. Hanya saja peneliti memilih menggunakan pendekatan teori kerja sama dalam hata pinsang-pinsang di masyarakat Batak Toba.
Shalima (2013) dalam tesisnya meneliti “Implikatur Percakapan di Radio:
Studi Kasus Program Permintaan Hot di Geronimo Radio Yogyakarta”.
Berdasarkan hasil penelitian Shalima diketahui bahwa peserta sering melanggar prinsip-prinsip kerja sama Grice. Melanggar dengan prinsip-prinsip kerjasama melalui berbagai pola pasangan adjacency. Selain itu, pelanggaran prinsip kerja sama Grice karena pengaruh budaya. Persamaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan adalah sama-sama mengkaji implikatur yang muncul dalam sebuah percakapan dianalisis menggunakan teori pragmatik. Hanya saja penelitian Shalima menghasilkan implikatur percakapan dalam sebuah stasiun radio, sementara peneliti lebih memfokuskan pada pencapaian implikatur percakapan dalam hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga pada masyarakat Batak Toba.
Suyamti (2012) dalam skripinya meneliti “Jenis-Jenis Implikatur Percakapan Berdasarkan Pelanggaran Prinsip dalam Talk Show "Hitam Putih" di Trans 7” . Berdasarkan hasil penelitian Suyamti dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam talk show “Hitam Putih”.
Pelanggaran itu meliputi pelanggaran maksim kuantitas, pelanggaran maksim kualitas, pelanggaran maksim hubungan (relevansi), dan pelanggaran maksim cara (pelaksanaan). Persamaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti implikatur percakapan. Hanya saja penelitian Suyamti lebih mengarah pada jenis-jenis implikatur percakapan yang melanggar maksim kerja
sama di sebuah acara talk show “Hitam Putih”. Sementara, peneliti lebih memfokuskan pada implikatur percakapan yang dikaji menggunakan prinsip kerja sama dalam hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga pada masyarakat Batak Toba.
2.1.1 Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini walaupun kira-kira dua dasawarsa silam ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa (Wijana dan Rohmadi, 2011:6).
Pragmatik adalah language in use, studi terhadap makna ujaran dalam situasi tertentu. Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat.
Austin adalah orang yang pertama kali mengungkapkan gagasan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui peredaan antara ujaran konstantif dan ujaran performatif. Ujaran konstantif mendeskripsikan atau melaporkan bahwa peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Dengan demikian ujaran konstantif dapat dikatakan benar atau salah. Ujaran performatif tidak mendeskripsikan atau melaporkan atau menyatakan apapun, tidak benar atau salah. Selanjutnya, pengujaran kalimat merupakan merupakan bagian dari melakukan tindakan, yang sekali lagi tidak dideskripsikan sebagai atau hanya sebagai tindak untuk mengatakan sesuatu (Austin dalam Louise Cumings, 2007:8).
Austin dalam bukunya yang berjudul How to Do Things with The Words (1962) lebih jelas mendeskripsikan tentang tindak tutur kedalam 3 bagian yaitu, lokusi, ilokusi, perlokusi.
a) Tindak lokusi (Locutionary act)
Tindak lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk mengatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something, Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
b) Tindak ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak menggunakan sesuatu The Act of To Do Something . Berbeda dari lokusi tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. c) Tindak perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seorang penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962:101) dinamakan tindak perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan tindak perlokusi.
Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics juga memberikan lima klasifikasi mengenai tindak tutur performatif, klasifikasi tersebut yaitu:
a) Deklarasi
Tindak tutur deklarasi adalah salah satu jenis tindak tutur yang mampu merubah dunia memalui tuturan dari penutur. Contohnya adalah ucapan dari seorang pendeta, dan keputusan dari wasit pertandingan. b) Representatif
Tindak tutur representatif merupakan salah satu tindak tutur yang disampaikan oleh penutur, dan bisa dipercaya atau tidak dipercaya oleh mitra tutur. Contohnya adalah pernyataan tentang kenyataan atau fakta, tuturan, kesimpulan, dan deskripsi atau pemaparan. c) Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan salah satu tindak tutur yang berkaitan dengan apa yang sedang dirasakan oleh penutur. Penutur mengekspresikan keadaab psikologinya ketika melakukan pembicaraan dengan mitra tutur. Contoh tindak tutur ini adalah memberikan pernyataan tentang kesenangan, suka dan tidak suka, dan berbelasungkawa.
d) Direktif
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang digunakan untuk mempengaruhi mitra tutur melakukan sesuatu sesuai yang diharapkan oleh penutur. Contoh verba tindak tutur direktif adalah perintah, memesan, meminta, dan saran atau anjuran.
e) Komisif
Tindak tutur komisif merupakan salah satu tindak tutur yang dilakukan oleh penutur yang berdampak pada tindakan pada mita tutur atau berdampak tindakan untuk menutur dan mitra tutur. Bisa dikatakan bahwa tindak tutur
komisif merupakan tindak tutur yang menyatakan janji antara penutur dan mitra tutur. Contoh verba tindak tutur komisif yaitu berjanji, ancaman atau mengancam dan penolakan.
2.1.2 Implikatur
Grice dalam bukunya menuliskan implikatrur “apa yang terimplikasi” dan
“apa yang dikatakan” yang keduanya merupakan bagian dari makna pembicara.
“Apa yang dikatakan” merupakan bagian dari arti kondisi kebenaran secara semantik, sedangkan “apa yang terimplikasi” merupakan bagian dari arti yang bukan dari kondisi kebenaran (secara semantik) dan ini merupakan bagian dari pragmatik.
Mey dalam FX Nadar menyatakan bahwa “implikatur “implicature”
berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold “melipat” sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, implikatur dihasilkan atau produk dari sebuah tuturan atau “apa yang dikatakan” dan untuk mengetahui implikatur dari sebuah tuturan maka seseorang harus “membukanya”. Untuk membuka, tentunya melibatkan konteks. Sebagai contoh perhatikan percakapan dibawah ini :
(1) Kontek Tutur
Sondang dan Ibu sedang melipat kain adiknya yang masih berusia 2 (dua) bulan. Saat sedang asik melipat kain, Ibu menegur sondang.
Bentuk Tuturan
Sondang melihat semut di pakaian adiknya yang sedang ia lipat, lantas dia menghempaskan pakaian tersebut.
Ibu : “Tarsunggul-sunggul ma anon adek mi, dang renges be modom.”
Sondang melanjutkan pekerjaannya dan tidak menghempaskan kain lagi.
Terjemahan :
Ibu : “Terkejut-kejutlah nanti adikmu, ngak nyenyak lagi tidurnya.
Dalam kasus di atas, jika memakai rumus Grice “apa yang dikatakan”
maka yang dikatakan Ibu hanyalah sebuah informasi yang memberitahukan bahwa
“Terkejut-kejutlah nanti adikmu, ngak nyenyak lagi tidurnya.” Ketika melihat atau melibatkan konteksnya maka sebenarnya ada yang “disimpan” atau “dilipat” oleh Ibu melalui tuturannya tersebut atau dengan kata lain “apa yang diimplikasikan”
oleh Ibu dalam tuturan tersebut. Sondang pun “membuka” apa yang “disimpan”
atau “dilipat” oleh Ibu dengan melibatkan konteks, sehingga ia menghentikan perbuatannya dan melanjutkan melipat kain. Seperti yang dinyatakan oleh Leech dalam FX Nadar sebagai berikut:
Menginterpretasikan suatu tuturan sebenarnya merupakan usaha-usaha untuk menduga bahasa lain yang lebih terhormat dalam suatu pembentukan hipotesa.
Lebih lanjut Nadar menjelaskan bahwa “menduga “guessing” tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta pertuturan dan latar belakang penutur dan lawan tuturnya. Jadi bisa disimpulkan implikatur merupakan bagian dan ada dalam setiap tuturan yang untuk mengetahuinya dengan jalan yang melibatkan konteks tuturan tersebut.
2.1.3 Hata Pinsang-pinsang
Marbun dan Hutapea dalam bukunya yang berjudul Kamus Budaya Batak Toba (1987) menjabarkan hata adalah bahasa; kata, perkataan atau ucapan.
“Hata” lah yang memengang peranan yang sebesar-besarnya dalam adat istiadat Batak
Pinsang atau pinsang-pinsang adalah larangan atau kalimat perintah yang melarang untuk tidak melakukan sesuatu yang dianggap tidak baik, karena pada dasarnya larangan atau aturan diperbuat untuk membatasi diri agar tetap berada didalam norma-norma yang berlaku.
Hata pinsang-pinsang berperan penting didalam mengajarkan setiap norma-norma dan ajaran moral yang berkaitan didalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Batak Toba zaman dahulu menggunakan hata pinsang-pinsang untuk melarang anak agar tidak melakukan tindakan yang semena-mena dan mematuhi peraturan yang berlaku di masyarakat, dan apabila anak tersebut melanggar hata pinsang-pinsang dipercaya akan mendapat hukuman berupa bala atau kesialan.
Hukuman yang dimaksud berasal dari alam atau sesuatu yang bersifat mistis, yang membuat pendengarnya enggan untuk melanggar atau tidak patuh terhadap hata pinsang-pinsang tersebut. Karena dengan berbuat semena-mena dalam bertingkah laku mengakibatkan terjadinya sesuatu yang akan membuat dirinya berada dalam masalah atau ketidaktenangan bagi diri sendiri.
2.2 Teori yang Digunakan
Teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori yang mengacu pada pendapat H. Paul Grice dan Yule. Yule (2006:62) mengemukakan bahwa implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Implikatur merupakan bagian dari informasi yang disampaikan namun tidak dikatakan. Sedangkan menurut H. Paul Grice implikatur adalah apa yang mungkin diartikan, disarankan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur. Implikatur percakapan dalam kaitannya dengan pragmatik lisan merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan penting untuk menghasilkan bentuk-bentuk atau ragam bahasa yang sesuai dengan konteksnya.
H. Paul Grice (dalam Soemarno, 1998:170) yang disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Yang terdiri dari dua pokok kaidah yaitu (1) prinsip kooperatif yang menyatakan dalam percakapan, sumbangkanlah apa yang diperlukan pada saat terjadi percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu, dan (2) empat maksim percakapan yang meliputi maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Implikatur percakapan adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau yang dimaksudkan penutur berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur dalam suatu percakapan (Grice dalam Gunawan, 2007:247). Prinsip kerjasama pada dasarnya hanya merupakan titik awal untuk menjelaskan apa yang dikatakan, untuk tidak
membingungkan, mempermainkan atau menyembunyikan informasi yang relevan satu sama lain. Dasar dalam prinsip kerja sama ( cooperative principles), yaitu:
2.2.1. Maksim aturan percakapan kualitas 2.2.2. Maksim aturan percakapan kuantitas 2.2.3. Maksim aturan percakapan hubungan 2.2.4. Maksim aturan percakapan pelaksanaan
Adapun indikator yang ditetapkan berdasarkan rumusan prinsip kerja sama berikut :
Indikator
No Nama Maksim Rumusan Maksim Pelanggaran
Maksim 1. Sumbangan Berikan jumlah informasi informasi yang yang tepat, yaitu: diberikan tidak 1. Sumbangan informasi seinformatif yang Anda harus seinformatif yang dibutuhkan 1 Maksin Kuantitas dibutuhkan.
2. Sumbangan 2. Sumbangan informasi informasi yang Anda jangan melebihi yang diberikan melebihi
dibutuhkan. dari yang
dibutuhkan.
informasi Anda benar,yaitu: suatu hal yang 1. Jangan mengatakan suatu salah.
yang Anda yakini bahwa itu
tidak benar. 2. Mengatakan
suatu hal yang bukti 2. Jangan mengatakan suatu kebenarannya yang bukti kebenarannya kurang.
tidak meyakinkan.
Mengatakan suatu hal yang tidak ada kaitannya atau Usahakan agar perkataan hubungannya 3 Maksim Relevansi
Anda ada relevansinya. dengan perkataan sebelumnya (perkataan oleh kawan bicaranya) Usahakan agar mudah 1. Mengatakan dimengerti, yaitu: pernyataan yang 1. Hindarilah pernyataan- samar
pernyataan yang samar.
4 Maksim Pelaksanaan
2. Mengatakan 2. Hindarilah ketaksaan. pernyataan yang
menimbulkan 3. Usahakan agar ringkas ketaksaan
(hindarilah pernyataan- 3. Mengatakan pernyataan yang panjang pernyataan yang lebar dan bertele-tele). panjang lebar dan
bertele-tele 4. Usahakan agar Anda
berbicara dengan teratur. 4. Berbicara tidak teratur (tidak sistematis/runut)
2.2.1. Maksim Aturan Percakapan Kualitas
Maksim kualitas menyatakan usahakan agar informasi Anda benar.
Maksim ini juga terdiri atas dua prinsip sebagai berikut: jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa hal itu tidak benar; jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Dengan maksim ini seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Berikut contoh hata pinsang-pinsang yang melanggar maksim kualitas:
(2) Konteks Tuturan
Seorang ibu menyuruh anak balitanya untuk berhenti menangis karena hari sudah malam.
Bentuk Tuturan
“unang be tangis molo nga borngin, ro anon begu.”
Tuturan tersebut dikatakan melanggar maksim kualitas karena mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Akan merupakan suatu kejanggalan apabila dikaitkan menangis dimalam hari akan mendatangkan hantu. Namun pada zaman dahulu di masyarakat Batak Toba khususnya di desa Sibarani Nasampulu, tuturan tersebut dipercaya dan ditaati oleh masyarakat penuturnya.
2.2.2 Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menyatakan berikan informasi dalam jumlah yang tepat.
Maksim ini terdiri atas dua prinsip khusus. Satu prinsip berbentuk pernyataan positif dan yang lainnya berupa pernyataan negatif. Kedua prinsip itu adalah (1) buatlah sumbangan informasi yang Anda berikan sesuai dengan yang diperlukan;
(2) janganlah Anda memberikan sumbangan informasi lebih daripada yang diperlukan.
Maksim kuantitas ini memberikan tekanan pada tidak dianjurkannya pembicara untuk memberikan informasi lebih daripada yang diperlukan. Hal ini didasari asumsi bahwa informasi lebih tersebut hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Lebih dari itu, kelebihan informasi tersebut dapat dianggap sebagai sesuatu yang disengaja untuk memberikan efek tertentu,.
(3) Bentuk Tuturan
1 “unang manghatai molo lagi mangan, pantang!”
“jangan berbicara sambil makan, pantang!”
2 “unang manghatai molo lagi mangan”
“jangan berbicara sambil makan”
Tuturan 1 dan 2 sama-sama dituturkan oleh ayah kepada anaknya saat sedang makan bersama. Namun tuturan 2 lebih ringkas dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran. Semua orang juga tahu bahwa tidak baik jika kita berbicara saat sedang makan. Namun pada tuturan 1 termaksud berlebihan dan menyimpang dari maksim kuantitas, karena tidak ada hubungan makan sambil berbicara adalah pantang. Kata pantang berarti sesuatu yang melanggar kaedah atau aturan yang dapat dianggap sebagai kesalahan besar, yang mengakibatkan pelaku mendapat hukuman dari sesuatu yang bersifat mistis atau hukuman yang berasal dari arwah nenek moyang.
2.2.3 Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan bahwa setiap peserta pembicaraan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Dalam maksim ini dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur , masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.
(4) Konteks Tututan
Rudi dan Apoan hendak pergi marguru atau pendalaman rohani ke gereja, langit terlihat sangat mendung.
Bentuk Tuturan
Rudi : “Ro do nuaeng udan on?”
Apoan : “unang pake bajum na rara, sotung di sintak ronggur ho”
Terjemahan :
A : “Datang ngak yah hujan?”
B : “Jangan pakai baju mu yang berwarna merah, nanti kau disambar petir” Dalam percakapan di atas, tampak jelas bahwa tuturan Apoan tidak
memiliki relevansi dengan apa yang ditanyakan oleh Rudi. Ia malah memberitahukan kepada Rudi untuk tidak menggunakan baju yang berwana merah.
Contoh percakapan di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerjasama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan khususnya apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud- maksud yang khusus sifatnya.
2.2.4 Maksim Pelaksanaan
Maksim cara menyatakan usahakan agar Anda berbicara dengan teratur, ringkas, dan jelas. Secara lebih rinci maksim ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Hindari ketidakjelasan/ kekaburan ungkapan;
2. Hindari ambiguitas makna;
3. Hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu;
4. Anda harus berbicara dengan teratur.
Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.
(5) Konteks Tuturan
“dang boi anak boru mangan di tangga, gabe so boi anon maranakon .”
“anak gadis tidak boleh duduk didepan pintu, nanti ngak bisa punya anak.”
Pada percakapan diatas, Ibu menegur anak gadis nya yang sedang makan didepan pintu, namun tampak bahwa tuturan yang disampaikan Ibu relatif kabur maksudnya. Maksud sebenarnya dari tuturan Ibu adalah tidak baik makan didepan pintu, karena menghalangi orang yang hendak keluar atau masuk kedalam rumah.
Ibu sebenarnya menginginkan Lisbet untuk tidak makan didepan pintu dan setelah Lisbet berpindah tempat, Mamak menyakini bahwa Lisbet mengerti apa yang dikasudnya.
Maksim-maksim dalam prinsip kerja sama yang dinyatakan oleh Grice tersebut bukanlah hukum ilmiah tetapi hanyalah sebuah norma yang digunakan dalam memperoleh tujuan percakapan. Tujuan percakapan tersebut tidak akan terlalu berarti apabila salah satu maksim tersebut tidak terpenuhi secara maksimal.
Levinson menyatakan bahwa maksim-maksim tersebut digunakan untuk mnunjukkan kepada para partisipan apa yang harus mereka lakukan agar nantinya terdapat informasi yang efektif, efisien, rasional, dan memenuhi sifat kerja sama dalam percakapan. Apabila terdapat tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak diikuti atau dipatuhi maka ujaran tersebut mempunyai implikatur (Siregar, 1997:30).
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar
Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data, sampai tahap analisa dengan mengaplikasikan pada pokok permasalahan untuk mendapatkan suatu hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.
Metode dasar yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data yang ada, juga menyajikan data dan menginterpresikan data. Dan perlu dicatat bahwa penelitian deskriptif ini tidak mempertimbangkan benar dan salahnya penggunaan bahasa oleh penuturnya sehingga data bahasa tersaji apa adanya.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Sibarani Nasampulu, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Lokasi ini dianggap tepat oleh peneliti karena masyarakat setempat masih mempergunakan dan mempercayai hata pinsang- pinsang dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu masyarakat Desa Sibarani Nasampulu masih banyak yang menganut sistem kepercayaan Parmalim yang masih memiliki nilai adat budaya yang masih kental mengenai Habatahon.
3.3 Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini diperoleh dari:
1. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penulis mencari buku buku yang berhubungan dengan judul proposal skripsi ini.
2. Penelitian lapangan (field research) yaitu penulis melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke objek penelitian guna mendapatkan informasi.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode observasi , dalam metode ini penulis langsung turun ke lapangan melakukan pengamatan terhadap objek penelitian. Metode ini digunakan oleh peneliti untuk mengamati secara langsung penggunaan hata pinsang- pinsang dilingkungan keluarga pada masyarakat Batak Toba.
2. Metode kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data melalui buku buku yang berhubungan dengan penelitian. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan sumber acuan penelitian, agar data yang didapatkan dari lapangan dapat di analisis semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan yang di gariskan. Dalam metode ini penulis mencari buku buku pendulung yang berkaitan dengan masalah penelitian.
3. Metode lapangan (field research) yaitu dengan melakukan wawancara kepada informan yang dianggap dapat memenuhi syarat sebagai informan untuk dapat memberikan informasi data yang dibutuhkan.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasil yang lebih baik.
Alat bantu yang digunakan adalah :
1. Alat rekam (tape recorder): dengan keterbatasan daya ingat,penulis tidak dapat menghasilkan data dengan sempurna. Oleh karena itu penulis harus membawa alat perekam yang dapat merekam apa yang disampaikan oleh informan.
2. Buku tulis dan pulpen: sebelum terjun ke lapangan, penulis harus mempersiapkan buku tulis dan pulpen untuk mencatat pertanyaan- peranyaan yang benar- benar urgen untuk judul yang tengah diteliti.
3. Kamera : untuk mengambil foto pada saat mewawancarai informan di lapangan untuk melengkapi data yang diperoleh. Tujuannya adalah bukti bahwa si peneliti benar-benar turun ke lapangan untuk mengambil data.
3.6 Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan cara dalam pengolahan data, fakta, atau fenomena yang sifatnya mentah dan belum dianalisis. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sehingga menjadi data yang cermat, akurat, dan ilmiah.
Metode analisis data juga merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar. Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga data diperoleh untuk mendapat kebenaran yang diperlukan dalam pengolahan hasil penelitian. Dimana dalam penelitian diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga
dapat diuji kemampuan peneliti dalam mengkaji sesuatu. Dalam penelitian ini data yang telah diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif .
Adapun langkah langkah metode analisis data ini adalah:
1. Mengeliminasi data yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan.
2. Mengklasifikasikan data yang sesuai dengan pokok permasalahan.
3. Menganalisis data sesuai dengan kajian pokok pemasalahan.
4. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Maksim-maksim pada Prinsip Kerjasama yang Terdapat dalam Hata Pinsang-pinsang di Lingkungan Keluarga masyarakat Batak Toba
H. Paul Grice (dalam Soemarno, 1998:170) yang disebut kaedah penggunaan bahasa yaitu peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Peraturan ini terdiri dari dua pokok kaedah yaitu (1) prinsip kooperatif yang menyatakan dalam percakapan, sumbangkanlah apa yang diperlukan pada saat terjadi percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu, dan (2) empat maksim percakapan yang meliputi maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Dalam hata pinsang-pinsang di lingkungan keluarga masyarakat Batak Toba, peneliti menemukan klasifikasi wujud maksim pada prinsip kerjasama sebagai berikut :
4.1.1. Maksim Aturan Percakapan Kualitas
Maksim kualitas menghendaki agar peserta komunikasi hendaknya mengatakan sesuatu yang sebenarnya, yang sesuai dengan fakta, kecuali jika ia tidak tahu. Jadi, peserta tutur jangan mengatakan apa yang diyakin salah, jangan mengatakan sesuatu yang belum cukup buktinya (Wijana, 1996: 48).
Dalam hata pinsang-pinsang, contoh tuturan yang melanggar maksim kualitas adalah sebagai berikut :
(6) Konteks Tuturan
Seorang nenek yang sedang menemani cucunya makan, namun cucunya tersebut sangat lasak berlari kesana-kemari dan sesekali terlihat melangkahi piring makannya.
Bentuk Tuturan Ompung
Cucu Ompung
: “Bah, bah. Boha do. Boasa nilangkaan mu sipanganon. Pantang ito!”
: “Boasa pantang Ompung?”
: “Tangis anon indahan i. Dang boi songon i ito. Patang do i, hundul...hundul”
Terjemahannya :
Ompung : “Bah, bah. Bagaimana kamu ini, kenapa melangkahi makanan.
Pantang nak!”
Cucu : “Kenapa pantang Ompung?”
Ompung : “Nanti nangis nasinya. Jangan begitu yah nak. Pantang, duduk...duduk”
Dalam percakapan di atas seorang nenek ingin memberitahukan kebenaran bahwa tidak boleh melangkahi nasi. Sebab nasi telah memberi kehidupan, dan kita harus mensyukurinya. Namun dalam percakapan di atas sang nenek melanggar maksim kualitas dengan menambahi kalimat “nanti nangis nasinya”. Bagaimana mungkin nasi dapat menangis. Penambahan kalimat tersebut hanya ingin menegaskan kepada sang anak agar lebih menghargai nasi sebagai rejeki yang telah diberikan Tuhan. Begitupun dengan penambahan kata “pantang”, masyarakat batak jaman dahulu sangat taat akan tradisi dan norma yang berlaku.
Kata “pantang” memiliki kaitan erat dengan larangan yang apabila dilanggar atau tidak ditaati akan mendapat hukuman dari arwah leluhur atau dari sesuatu yang tidak tampak mata. Maka dari itu apabila sesorang melarang dengan mengucapkan kata pantang, maka akan ada balasan atau konsekuensi yang akan di terima apabila menghiraukan larangan tersebut. Namun untuk masyarakat Batak Toba sekarang ini kata “pantang” hanya sebagi larangan karena telah berbuat sesuatu yang tidak sopan atau jelek dilihat mata. Namun tidak berarti apa-apa, hanya larangan semata.
(7) Konteks Tuturan
Seorang anak yang nagis dan sedang dibujuk oleh ibunya. Namun bukannya diam, tangis sang anak semakin menjadi, sambil menangis sang anak menyatakan kekesalannya karena ibunya tidak membelikannya mobil-mobilan.
Saat percakapan ibu dan anak itu berlangsung, seorang nenek melihat dan menegur sang anak yang menangis karena tidak dibelikan mobil-mobilan tersebut.
Bentuk Tuturan
: “Nungga, nungga. Unang be tangis. Nga godang motor-motor mu di jabu. I ma jo pakke ito. Sogot ma hita tuhor museng dah ito!”
: “Torus do ho sogot. Alai dang hea jadi di tuhor ho. Na pargabusan do ho”.
: “Olo, sogot ta tuhor. Eta ma mulak ito. Nga be i, nga be i!”
: “Dang olo au oma, ikon dituhor do motor-motor i.”
Anak
Ibu Anak
Anak menangis Ibu
Ompung : “Bah, molo ho dipaltap begu nama ho! Sai mangalo-alo ma ho tu natua-tuam.”
Anak kemudian diam.
Ibu : “Ido kan Opung, dang boi mangalo iba tu natua-tua niba.
Pantang do i.”
Ompung : “Ido, pantang do i. Unang sai mangalo tu natua-tua. Di paltap begu anon.”
Terjemahan : Anak menangis
Ibu : “Sudah, sudah. Jangan menangis lagi. Kamu sudah punya banyak mobil-mobilan di rumah. Pakai itu dulu yah nak. Besok kita belik lagi.”
Anak : “Selalu saja kamu bilang besok. Tapi tidak pernah jadi dibeli.Ibu pembohong sekali.”
Ibu : “Ia, besok kita beli. Ayo kita pulang nak. Sudah, sudah yah!”
Anak : “Aku tidak mau, harus dibeli mobil-mobilan itu.”
Ompung : “Bah, kalau kau memang ditampar hantu lah nanti. Melawan saja kepada orang tua.”
Anak kemudian diam
Ibu : “Betul Opung, tidak boleh melawan kepada orang tua. Pantang seperti itu kan Opung.‟
Ompung : “Ia, pantang itu. Jangan selalu melawan orang tua. Ditampar hantu nanti.”
Dalam percakapan di atas, seorang nenek memberitahukan bahwa tidak boleh melawan orang tua. Pernyataan nenek tersebut juga dibenarkan oleh Ibu.
Pernyataan yang benar adalah tidak boleh melawan orang tua sebab orang tua sudah merawat dan membesarkan kita. Namun pernyataan Ompung mengenai
“nanti ditampar hantu” melanggar maksim kualitas karena tidak memenuhi kaedah yaitu memberitahukan kebenaran. Namun tradisi yang berlaku dan menjadi pedoman hidup masyarakat Batak Toba sangat ditaati keberadaannya sehingga setiap larangan-larangan yang dibubuhi kata pantang, begu, atau tokka sangat ditakuiti dan menjadi batasan dalam bertingkah laku.
(8) Konteks Tuturan
Langit sudah hampir gelap namun sekelompok anak masih bermain di lapangan. Seolah tidak mempedulikan matahari telah tenggelam mereka asik marsiteka. Kemudian datanglah seorang ibu yang ingin memanggil anaknya.
Bentuk Tuturan
Anak-anak sedang asik bermain
Ibu : “Na so marmulahan dope hamu! Mulak ho Edu. Nga borngin.”
Edu ` : “Tokin nai oma.”
Ibu :“Meret ho sian i. Sotung di tangko begu ho. Dang boi dakdanak marmeam diluar molo nga borngin.”
Anak-anak menghentikan kegiatan mereka
Mamak : “Marmulahan tu jabu na be. Unang be kaluar, sotung ditabunihon begu hamu. Mulak ho Anjel!”
Anjel :: “Olo bou.”
Anak-anak membubarkan diri lalu pulang kerumah masing-masing.
Terjemahan :
Anak-anak sedang asik bermain
Mamak : “kenapa kalian belum pulang? Edu pulang! Ini sudah malam.”
Edu : “Bentar lagi Bu”
Mamak : “Cepat pulang. Nanti kamu dicuri hantu. Anak-anak tidak boleh main diluar kalau sudah malam.”
Anak-anak menghentikan kegiatan mereka.
Mamak : “Pulang ke rumahnya masing-masing. Jangan keluar lagi, nanti disembunyikan hantu kalian. Anjel pulang!”
Anjel : “ia bou.”
Anak-anak membubarkan diri lalu pulang kerumah masing-masing.
Dalam percakapan di atas seorang ibu menyuruh anaknya pulang yang masih asik bermain di lapangan sedangkan hari sudah hampir malam. Sebagian dari pernyataan ibu di atas adalah benar, bahwa anak-anak jangan bermain diluar lagi jika sudah malam. Mereka seharusnya membersihkan diri, makan, kemuadian belajar. Yang melanggar maksim kualitas dalam percakapan di atas ketika ibu menyatakan “nanti dicuri hantu”. Pernyataan tersebut untuk menekankan kepada anak-anak agar lebih takut dan segera pulang kerumah masing-masing.
Masyarakat Batak Toba pada zaman dahulu menganggap benar atas keadaan itu.
4.1.2. Maksim Aturan Percakapan Kuantitas
Sesuai dengan ketetapan dari maksim kuantitas yaitu berikan jumlah informasi yang tepat, yang kemudian dijabarkan kedalam dua poin yaitu:
(a)sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan; (b)sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.
(9) Konteks Tuturan
Malam hari, Pesta dan Ria sedang asik bercerita sambari menyisir rambut didalam rumah. Ompung datang kemudian menasehati mereka.
Bentuk Tuturan
Dua orang anak gadis sedang bercerita sambil berias dan menyisir rambut.
Ompung : “Unang sai manuri obuk hamu molo nga borngin.”
Ria : “Boa haroa Ompung?”
Ompung : “Molo nga di dokkon unang, bah unang ma.”
Pesta : “Olo, boha haroa Opung molo disuri obuk borngin-borngin?”
Ompung : “Pantang!”
Dua orang anak gadis sedang bercerita sambil berias dan menyisir rambut.
Ompung : “Jangan menyisir rambut lagi kalau sudah malam.”
Ria : “Kenapa Ompung?”
Ompung : “Kalau sudah dibilang jangan, yah jangan.”
Pesta : “Ia, emangnya kenapa Pung kalau menyisir rambut malam hari?”
Ompung : “Pantang!”
Ompung meninggalkan pintu.
Ompung dalam hal ini melakukan pelanggaran terhadap maksim kuantitas karena memberi informasi tidak seinformatif yang dibutuhkan oleh Ria dan Pesta.
Hal itu bisa terlihat saat Pesta menanyakan kembali kepada Ompung kenapa tidak boleh menyisir rambut malam hari. Ompung terlihat sungkan memberitahukan alasan mengapa tidak boleh menyisir rambut malam hari. Masyarakat Batak Toba dahulu mempercaryai bahwa menyisir rambut malam hari dapat mengundang begu atau hantu.
(10) Konteks Tuturan
Anak-anak sedang bermain di dalam rumah sambil memainkan payung.
Kemudian abangnya datang untuk menghentikan keasikan mereka.
Bentuk Tuturan
Devi dan Tohonan berebutan payung.
Radot : “Ahai? Ribut ma hamu.”
Devi : “Ahu jo satokin. Nga ho sian nangkiningan.”
Radot : “Palua i, palua!
Unang mamake payung di jabu, ro anon begu. Molo hamu bereng ma, di harat begu i ma hamu anon borngin. Torushon hamu ma!”
Tohonan : “Nah, simpan on. Ho do nangkin parjolo na mambuat on.”
Radot : “Ada apa ini? Kenapa ribut sekali.”
Devi : “Aku dulu sebentar. Dari tadi kan kamu yang pakai.”
Radot : “Lepaskan, lepas!”
Jangan pakai payung di rumah, nanti datang hantu. Lihat saja nanti, digigit hantu kalian nanti malam. Teruskan lah!”
Tohonan : “Nah, simpan. Tadi kamu yang mengambilnya deluan.” Devi langsung menyimpan payung.
Pada data di atas terdapat pelanggaran pada maksim kuantitas, yaitu submaksim memberikan data yang berlebihan. Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Radot “Jangan pakai payung di rumah, nanti datang hantu. Lihat saja nanti, di gigit hantu kalian nanti malam. Teruskan lah!” Tuturan tersebut dituturkan oleh Radot kepada mitra tuturnya Devi dan Tohonan yang jika dilihat dari konteks yang melingkupinya tuturan yang disampaikan Radot bermaksud untuk melarang kedua orang adiknya yang sedang asik bermain payung di dalam rumah. Masyarakat Batak Toba mempercai bahwa memakai atau membuka payung di rumah dapat mengundang hantu. Kepercayaan ini bahkan masih dipercayai oleh masyarakat Batak Toba hingga saat ini terutama dikalangan anak- anak hingga remaja.
Data lain yang menunjukkan pelanggaran maksim kuantitas adalah sebagai berikut :
(11) Konteks Tuturan
Dua orang kakak beradik yang masih berusia belia sedang asik manisipi hutu atau mencari kutu. Sang kakak melihat sehelai uban di rambut adiknya.
Bentuk Tuturan
Duma : “Bah... bah... Bereng ma, adong uban mu.”
Risis : “Ah, nga biasa i. Sering do adong uban hu. Alai sada-sada.”
Duma : “Bereng ma neh, bontar hian. Ho antong, sai dialangi ho do ulu ni manuk dohot dekke. Halak na lomo roha na mangallang utok-utok apalagi utok-utok ni babi, godang uban na. Hurangi ma kedan na mangallang ulu ni manuk i.”
Riris : “Olo.”
Terjemahan
Duma : “Bah... bah... Lihat ini, ada uban mu.”
Riris : “Ah, sudah biasa. Sering aku dapat uban. Tapi satu satu.
Duma : “Lihat ini, putih sekali. Kamu sih selalu makan kepala ayam dan ikan.
Orang yang suka makan otak apalagi otak babi pasti banyak ubannya.
Kamu harus mengurangi makan kepala ayam.”
Riris : “Ia.”
Dalam teks percakapan di atas Duma sebagai penutur memberikan informasi yang berlebihan kepada mitra tutur Riris. Masyarakat Batak Toba memang mempercayai bahwa makan otak atau utok-utok dapat membuat ubanan walaupun masih belia. Tuturan yang disampaikan Duma menjadi berlebihan karena dia menyampaikan “orang yang suka makan otak apalagi otak babi pasti banyak ubannya” yang merupakan penanda lingual pelanggaran maksim kuantitas. Jika dilihat dari konteks yang melingkupinya, tuturan yang disampaikan Duma bermaksud untuk memberitahu penyebab uban dirambut Riris.
4.1.3 . Maksim Aturan Percakapan Relevansi
H. Paul Grice telah menetapkan bahwa partisipan harus mengusahakan
dengan tidak memberikan memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak memetuhi atau melanggar prinsip kerja sama.
(12) Konteks Tuturan
Bonar dan kedua adiknya sedang bersih-bersih rumah, tapi si bungsuh sedang tidak tidak bersemangat dan bermalas-malasan. Sambil duduk dia menopang dagu dengan tangannya.
Bentuk Tuturan Ganda
Bonar
Tangkas
Ganda
: “Hancit uluku.” Sambil menopang dagu.
: “Ai na manjaan ho, songon i ma ho torus. Mate ma anon bapa dibahen ho. Unang songon i bahen gaya mi. Karejoi on na!”
: “Hatop ma pudan, nga naeng borngin on. Dang boi be anon manapu jabu. Pantang inna.”
: “Holan na iba do disuru hamu.”
Terjemahan : Ganda Bonar
Tangkas
Ganda
: “Sakit kepala ku.” Sambil menopang dagu.
: “Kamu manja sekali, selalu saja begitu. Mati nanti Bapak karena perbuatan mu. Jangan seperti itu tangan mu. Ayo kerjakan lah ini.”
: “Cepat dek, ini sudah mau malam. Kalau malam tidak boleh lagi menyapu rumah. Pantang katanya.”
: “Selalu saja aku yang kalian suruh.”
Tuturan (12) di atas merupakan tuturan yang melanggar maksim relevansi karena tuturan tersebut dinilai memberikan informasi yang tidak relevan dengan apa yang dibicarakan dan berbelit-belit. Dikatakan tidak relevan karena ketika
Ganda mengeluh sedang sakit kepala, Bonar memberikan pernyataan “Mati nanti bapak karena perbuatan mu. Jangan seperti itu tangan mu.” Pernyataan itu mungkin untuk mendesak adiknya yang malas agar segera bergerak. Seolah membela sang kakak, tuturan Tangkas “Cepat dek, ini sudah mau malam. Kalau malam tidak boleh lagi menyapu rumah” dianggap tidak relevan dengan keluhan yang disampaikan oleh Ganda “Sakit kepala ku.” Hal itulah yang dimaksudkan dengan Bonar dan peserta tutur lainnya dianggap memberikan informasi yang tidak relevan dengan apa yang dibicarakan. Dalam masyarakat Batak Toba dipercayai bahwa menopang dagu dengan tangan akan membuat orang tua kita mati.
(13) Konteks Tutur
Suhar dan Adiknya hendak pergi ke onan atau pasar. Namun langit terlihat mendung.
Bentuk Tuturan
Suhar : “Ro do nuaeng udan on?”
Edo : “Ganti baju mi. Unang pake bajum na rara, sotung di sintak ronggur.”
Terjemahan :
Suhar : “Datang hujan ngak ini yah?”
Edo : “Ganti bajumu. Jangan pake baju yang merah, nanti disambar petir.”
Suhar melakukan pelanggaran maksim relevansi karena memberikan jawaban yang tidak relevan dengan yang ditanyakan oleh adiknya Edo. Implikatur yang muncul yaitu Suhar tidak menjawab pertanyaan Edo bahwa apakah akan datang hujan atau tidak. Jawaban Suhar malah menyuruh adiknya untuk segera ganti baju karena baju yang digunakan adiknya berwarna merah. Masyarakat
Batak Toba bahkan hingga saat ini mempercayai bahwa petir akan menyambar seseorang yang menggunakan baju berwarna merah. Itulah sebabnya Suhar langsung menyuruh adiknya untuk mengganti baju. Agar saat diperjalanan menuju ke onan atau pajak adiknya tidak di sambar petir. Karena memang hal biasa hujan disertai petir.
Kepercayaan ini terus-menerus disampaikan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah folklore yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Batak Toba bahkan yang sudah berada di kota. Terkadang apabila sudah memakai baju yang berwarna merah dan sedang berada di luar rumah, muncul rasa ketakutan didalam diri pribadi karena terpengaruh hata pinsang-pinsang ini.
(14) Konteks Tutur
Duma yang sedang sibuk menyuci piring di sore hari, kemudian suaminya yang baru saja pulang dari ladang datang menghampiri. Setelah melakukan percakapan singkat Duma menghampiri anak bayinya di dalam kamar.
Bentuk Tuturan
Suami : “Mak butet, oh mak butet.”
Duma sedang menyuci piring.
Suami : “Bah, na marhua dope ho? Nga jam piga on?”
Duma : “Bah, boru ku hape.”
Dengan sigap meninggalkan suaminya.
Terjemahan :
Suami : “Mak butet, oh mak butet.”
Duma sedang menyuci piring.
Suami : “Bah, kamu sedang apa? Ini sudah jam berapa?”
Duma : “Bah, anakku lagi.”
Dengan sigap meninggalkan suaminya.
Dalam tuturan (14) di atas, jawaban yang diberikan oleh sang Duma tampak melanggar maksim relevansi karena jawaban yang diberikan tidak relevan dengan pertanyaan sang suami. Jawaban Dumai “bah, anakku lagi” merupakan penanda lingual pelanggaran maksim relevansi karena tidak merupakan jawaban yang seharusnya dari pertanyaan sang suami “bah, kamu sedang apa? Ini sudah jam berapa?”. Implikatur yang muncul dari pertanyaan sang suami adalah mengapa sang istri masih sibuk bekerja padahal hari sudah mulai malam dan anak bayi mereka masih tertidur. Meskipun jawaban yang diberikan Duma tidak relevan dengan pertanyaan suaminya namun terlihat bahwa Duma paham dengan maksud yang ingin disampaikan oleh suaminya. Masyarakat Batak Toba mempercayai bahwa anak bayi tidak boleh tidur petang hari atau menjelang pukul 6 sore samapai jam 7 malam. Apabila bayi tertidur harus segera dibangunkan. Ada larangan orang tua terdahulu yang mengatakan ikon ni dungoan do molo modom poso-poso botari, anon di gugai begu (bayi yang masih tidur petang hari harus dibanguni, nanti diganggu hantu). Hata pinsang-pisang ini menjadi peringatan atau larangan bagi masyarakat Batak Toba yang memiliki bayi atau namar poso- poso bahkan hingga saat ini baik yang ada di kota ataupun di desa.
4.1.4 . Maksim Aturan Percakapan Pelaksanaan
Maksim cara menyatakan usahakan agar Anda berbicara dengan teratur, ringkas, dan jelas. Secara lebih rinci maksim ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hindari ketidak jelasan/ kekaburan ungkapan;
2. Hindari ambiguitas makna;
3. Hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu;
4. Anda harus berbicara dengan teratur.
Bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.
(15) Konteks Tutur
Tengah malam Tiur meminta kakaknya Paskah untuk menemaninya buang air kecil di luar rumah. Hal biasa bagi keluarga Tiur buang air kecil di halam rumah malam hari, karena mereka belum memiliki kamar mandi di rumah dan jarak yang terlalu jauh dari rumah ke sungai atai tempat pemandian umum.
Bentuk Tuturan
Tiur : “Dongani jo au kosing kak.”
Keduanya menuju halaman rumah.
Paskah : “Tu san ho saotik nai.”
Tiur : “Dang boi lomo niba konssing manang didia, anon di jama begu gabe bongkak. Na so hea do di bege ho songon i? Jala molo naeng kosing di alaman ikon marsantabi do, asa unang muruk Oppu i.”
Paskah : “Hatop, nga sae ho?”
Tiur : “Hea do dibege ho molo domu konssing niba dohot dongan, anon gabe rempet ulu ni anakon niba? Makana molo domu kosing niba dohot dongan ikon di tijuri do kosing i jala di langkai tolu hali.