• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipertensi dengan Kejadian Stroke di Sulawesi Selatan Tahun 2013

BAB VI PEMBAHASAN

B. Hipertensi dengan Kejadian Stroke di Sulawesi Selatan Tahun 2013

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hipertensi dengan kejadian stroke di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu peneliti menggunakan data sekunder skala Provinsi pada penelitian Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Penelitian akan melakukan analisis lanjut berupa analisis univariat dan bivariat. Analisis bivariat dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama untuk melihat hubungan hipertensi dengan stroke, tahap kedua untuk melihat hubungan hipertensi dengan stroke berdasarkan karakteristik individu (usia, jenis kelamin, status merokok).

1. Stroke Menurut Hipertensi di Sulawesi Selatan Tahun 2013

Proporsi individu hipertensi yang mengalami stroke mempunyai proporsi lebih besar dibandingkan dengan tidak hipertensi. Hasil penelitian menujukkan bahwa kejadian stroke terjadi pada penderita hipertensi (88,3%) lebih besar dibandingkan kejadian stroke pada penderita tidak hipertensi (11,7%). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa sebagian besar individu hipertensi mengalami stroke (Sofyan, 2015).

Hipertensi akan memacu munculnya timbunan plak pada pembuluh darah besar (aterosklerosis). Timbunan plak akan menyempitkan lumen/diameter pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah pecah dan terlepas. Plak yang terlepas meningkatkan risiko tersumbatnya pembuluh darah otak yang lebih kecil. Bila ini terjadi maka, timbul stroke (Rizaldy, 2010). Oleh karena itu, hasil analisis

menunjukkan individu hipertensi mempunyai proporsi lebih besar pada individu yang mengalami stroke dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami stroke. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan proporsi individu hipertensi yang mengalami stroke lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mengalami stroke (Sofyan, 2015).

Individu hipertensi cenderung mengalami stroke dikarenakan hipertensi adalah faktor risiko paling berpengaruh terhadap kejadian stroke. Hal tersebut sesuai dengan Luecknotte dan Meiner (2006), bahwa faktor risiko yang paling berkontribusi terhadap kejadian stroke adalah hipertensi. Hipertensi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh darah di otak, maka terjadi pendarahan di otak yang dapat berakibat kematian. Stroke dapat terjadi akibat sumbatan dari gumpalan darah yang tidak mengalir lancar di pembuluh yang sudah menyempit (Vitahealth, 2004).

2. Stroke Menurut Karakteristik Individu di Sulawesi Selatan Tahun 2013

a) Jenis kelamin

Jenis kelamin perempuan maupun laki-laki mempunyai proporsi stroke hampir sama. Meskipun demikian, proporsi individu dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami stroke lebih besar (51,5%) dibandingkan individu dengan jenis kelamin laki-laki (48,5%). Hasil penelitian ini serupa dengan yang

dilakukan oleh Yenni (2011) bahwa proporsi individu yang mengalami stroke berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas yang mengalami stroke berjenis kelamin perempuan.

Penelitian serupa juga ditemukan Darmanto (2014) di Bangsal dan Poliklinik Saraf RSUD DR. SOEDARSO Pontianak berdasarkan jenis kelamin, stroke banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Estrogen dapat memberikan tambahan risiko untuk stroke iskemik. Penelitian yang dilakukan oleh women’s health initiative menemukan bahwa 16.608 perempuan (95% dari pasien tidak memiliki penyakit serebrovaskular sebelumnya) yang mendapat estrogen plus progestin meningkatkan stroke iskemik sebesar 44% (Palm dkk, 2012 dalam Darmanto, 2014).

Hal tersebut diperkuat oleh hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa mayoritas hipertensi adalah jenis kelamin perempuan sehingga meningkatkan risiko terjadinya stroke (Kemenkes, 2013). Usia harapan hidup perempuan lebih panjang dibandingkan laki-laki, sehingga jumlah penduduk perempuan lebih banyak ditemukan dibandingkan laki-laki sehingga, kemungkinan yang terambil sebagai sampel juga lebih banyak perempuan (Yenni, 2011). Stroke diderita oleh usia >40 tahun bahwa pada usia tersebut perempuan cenderung mengalami menopause (Kemenkes, 2013).

Hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Palm dkk (2012) di Jerman bahwa proporsi stroke pada jenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Serupa dengan penelitian tersebut, Marlina (2011) melakukan penelitian di RSUP. H. Adam Malik Medan bahwa proporsi stroke pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Pada penelitian Sitorus (2002) di RSU Herna Medan juga menemukan hal serupa bahwa proporsi stroke kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa proporsi stroke lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan (Sofyan, 2015). Kejadian stroke lebih besar pada jenis kelamin laki-laki karena perempuan cenderung mengalami stroke pasca menopause. Hal ini berkaitan dengan teori yang dikatakan bahwa kejadian stroke pada perempuan juga dikatakan meningkat pada usia pasca menopause, karena sebelum menopause perempuan dilindungi oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL), dimana HDL berperan penting dalam pencegahan proses aterosklerosis (Price dan Wilson, 2006).

Menurut buku stroke di usia muda oleh Holistic Health Solution (2011) bahwa laki-laki lebih berisiko terkena stroke daripada perempuan, namun penelitian menyimpulkan bahwa kematian akibat stroke lebih banyak pada perempuan. Risiko stroke 20% lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Setelah

perempuan menginjak usia 55 tahun, kadar estrogen menurun karena menopause kemudian akibatnya risiko stroke lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Untuk itu, fokus pada faktor risiko yang dapat diubah, seperti tekanan darah tinggi, merokok, kolesterol, kurang aktivitas fisik, kegemukan maupun konsumsi alkohol berlebihan. Dengan mengetahui, menjaga, dan menangani faktor-faktor di atas risiko stroke dapat dikurangi.

b) Usia

Proporsi individu yang mengalami stroke kategori usia >40 tahun lebih besar dibandingkan dengan individu dengan kategori <40 tahun. Hasil penelitian Lestari (2010) bahwa kejadian stroke pada usia >55 tahun lebih besar dibandingkan dengan usia 40-55 tahun. Hasil penelitian serupa juga ditemukan oleh Sofyan (2012) di Rumah Sakit Umum Sulawesi Tenggara bahwa kejadian stroke banyak terjadi di usia >55 tahun (67,5%) dibandingkan dengan usia 40-55 tahun (32,5%).

Telah terjadi pergeseran penyakit (transisi epidemilogi). Penyakit stroke tidak hanya menyerang kelompok usia di atas 50 tahun, melainkan juga terjadi pada kelompok usia produktif di bawah 45 tahun yang menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan dalam sejumlah kasus, penderita penyakit stroke masih berusia di bawah 30 tahun (Junaidi, 2011 dalam Adhim, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambah usia seseorang maka risiko terkena stroke juga semakin besar. Hal

tersebut didukung oleh teori yang mengatakan bahwa setelah usia 55 tahun, setiap pertambahan usia 10 tahun maka risiko stroke meningkat dua kali lipat. Dua pertiga dari kasus stroke adalah usia 65 tahun. Angka kematian stroke yang lebih tinggi banyak dijumpai pada golongan usia lanjut (Genis, 2009).

Perubahan struktur pembuluh darah yang terjadi mulai dapat dilihat ketika seseorang memasuki umur 40 tahun (Usrin, 2013). Peningkatan frekuensi stroke seiring dengan peningkatan usia berhubungan dengan proses penuaan, dimana semua organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk pembuluh darah otak. Pembuluh darah menjadi tidak elastis terutama bagian endotel yang mengalami penebalan pada bagian intima, sehingga mengakibatkan lumen pembuluh darah semakin sempit dan berdampak pada penurunan aliran darah otak (Kristiyawati dkk, 2009).

c) Status merokok

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas individu dengan status tidak merokok mengalami stroke. Hal tersebut bisa saja terjadi karena adanya faktor lain yang menyebabkan stroke seperti hipertensi, kadar kolestrol tinggi, DM, PJK dan lain-lain. Pada tahun 2007 (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa sebanyak 40,5% populasi Indonesia adalah perokok pasif. Sumber yang sama menyebutkan bahwa 78,4% perokok pasif terpapar asap rokok di rumah, dan 85,4% terpapar asap rokok di

tempat makan umum (Gumilang, 2015). Menurut buku rahasia dan cara empatik berhenti merokok oleh dr. Aiman Husaini (2007) individu yang tidak merokok atau perokok pasif dikenal dengan nama involuntary smoking adalah istilah yang diberikan bagi mereka yang tidak merokok namun, mereka seolah dipaksa untuk menghirup asap rokok dari perokok aktif.

Perokok pasif lebih berbahaya 3 kali lipat dibandingkan dengan menghisap rokok sendiri (perokok aktif). Hal tersebut disampaikan oleh Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan bahwa 25% zat yang berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75% beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang disekelilingnya (Gumilang, 2015).

Kandungan rokok terdiri dari nikotin dan tar. Semakin meningkat kandungan nikotin dan tar maka semakin meningkat pula bahaya dari asap yang dihasilkan yang dihirup oleh perokok pasif. Perokok pasif mereka lebih rentan berbagai bahaya rokok bila menghirup asap sidestream yakni, asap yang dihasilkan dari rokok yang menyala bukan dari hisapan sendiri dibandingkan dengan mereka yang menghirup asap mainstream yakni, asap yang dihasilkan oleh perokok aktif (Husaini, 2007).

Meskipun hasil penelitian menujukkan bahwa mayoritas individu yang mengalami stroke berstatus tidak merokok, individu yang mengalami stroke dengan status merokok lebih besar

dibandingkan dengan individu status pernah merokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kirtania dkk (2010) yang menunjukkan mayoritas individu yang mengalami stroke berstatus merokok.

Hasil penelitian didukung oleh teori bahwa serangan stroke bagi perokok dikarenakan pada rokok terdapat bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan antara lain nikotin, karbon monoksida, nitrogen oksida, dan hidrogen sianida. Nikotin menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah serta menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Dengan demikian, merokok akan menaikkan fibrinogen darah, menambah agregasi trombosit, menurunkan HDL kolestrol yang percepat aterosklerosis (Mahendra dkk, 2004).

3. Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke di Sulawesi Selatan Tahun 2013

Hipertensi yaitu terjadinya peningkatan tekanan darah secara abnormal dan terus menerus yang disebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahanan tekanan darah secara normal (Hayens, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu hipertensi mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian stroke. Individu dengan status hipertensi mempunyai risiko lebih besar terkena stroke dibandingkan dengan individu dengan status tidak hipertensi. Individu hipertensi mempunyai

risiko 17,92 kali terkena stroke dibandingkan individu tidak hipertensi dengan nilai 95% CI (14,05-22,86) menyimpulkan bahwa hasil temuan ini signifikan secara statistik karena batas bawah kepercayaan 14,05 berada jauh di atas 1,0.

Pada penelitian ini tidak membedakan stroke berdasarkan jenisnya. Hal tersebut karena pada kuesioner Riskesdas 2013 hanya menanyakan kepada responden terkait mengalami atau tidak mengalami stroke dan tidak dibedakan berdasarkan jenis stroke. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh Sukmawati (2011) individu hipertensi berisiko 20 kali lebih besar terkena stroke dibandingkan dengan individu tidak hipertensi. Penelitian lain juga mengatakan bahwa individu hipertensi mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar terkena stroke dan mempunyai hubungan signifikan (Zhang, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Juan dkk tahun 2010 di Kota Havana dan Provinsi Matanzas, Kuba bahwa individu yang mempunyai riwayat hipertensi 2 kali lebih berisiko terkena stroke. Berdasarkan hasil penelitian Sorganvi dkk di India tahun 2014 hipertensi meningkatkan risiko 3,80 kali terkena stroke. Hal tersebut karena tekanan darah diastolik diatas 100mmHg akan meningkatkan risiko terkena stroke 2,5 kali dibandingkan tekanan diastolik yang normal (Mahendra dkk, 2004).

Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa hipertensi dengan stroke berbanding lurus artinya individu dengan status hipertensi akan semakin berisiko terkena stroke. Hipertensi

menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah karena adanya tekanan darah yang melebihi batas normal dan pelepasan kolagen. Endotel yang terkelupas menyebabkan membran basal bermuatan positif menarik trombosit yang bermuatan negatif, sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu terdapat pelepasan trombokinase sehingga menyebabkan gumpalan darah yang stabil dan bila pembuluh darah tidak kuat lagi menahan tekanan darah yang tinggi akan berakibat fatal pecahnya pembuluh darah pada otak maka terjadilah stroke (Burhanuddin, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian oleh Sukmawati di Rumah Sakit Umum Pusat DR. KARIADI Semarang tahun 2011 menunjukkan bahwa antara hipertensi dengan kejadian stroke menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara signifikan. Hal ini berdasarkan teori yang menyebutkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Seseorang yang mengalami hipertensi akan menimbulkan aneurisma serta disfungsi endotelial pembuluh darah, jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama maka akan menimbulkan emboli dan trombus sehingga berisiko tinggi menimbulkan stroke (Jenie, 2011 dalam Sukmawati, 2011).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2002) di RSU Prof. Margono Soekarjo Purwokerto bahwa tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian stroke iskemik. Penelitian tersebut menyatakan bahwa individu dengan

tekanan darah sistolik ≥140 mmHg mempunyai risiko 5,12 kali lebih besar terkena stroke iskemik dan individu dengan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg mempunyai risiko 3,10 kali lebih besar untuk terkena stroke iskemik (Prasetya, 2002 dalam Darmanto, 2014).

Hipertensi yang berlangsung kronik dapat menyebabkan disfungsi endotel. Endotel yang sehat akan mengeluarkan Nitrit Oxide (NO) yang nantinya berperan mengatur dilatasi dan konstriksi pembuluh darah secara seimbang. NO yang dihasilkan dari endotel yang mengalami disfungsi kadarnya akan berkurang sehingga akan timbul efek proinflamasi, prokoagulan, dan protrombotik yang bisa mengubah struktur pembuluh darah. Hipertensi juga akan meningkatkan stres oksidatif terhadap pembuluh darah. Kombinasi dari disfungsi endotel dan stres oksidatif ini akan mempercepat proses aterosklerosis yang selanjutnya mempersempit pembuluh darah dan menyebabkan pembentukan plak. Lumen pembuluh darah yang menyempit dapat menyebabkan gangguan perfusi di jaringan otak sehingga sel-sel neuron intraserebral lebih rentan terhadap kejadian stroke dan adanya plak berisiko untuk terlepas sebagai embolus sehingga menyebabkan stroke iskemik (Aiygari & Philip, 2011 dalam Darmanto, 2014).

4. Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke Menurut Karakteristik Individu di Sulawesi Selatan Tahun 2013

a) Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian menujukkan bahwa terdapat hubungan antara hipertensi dengan kejadian stroke menurut jenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko stroke pada individu hipertensi berjenis kelamin laki-laki 23,07 kali lebih besar terkena stroke dibandingkan dengan perempuan ditunjukkan dengan nilai 95% CI (16,44-32,39) menyimpulkan bahwa hasil temuan ini signifikan secara statistik karena batas bawah kepercayaan 16,44 berada jauh di atas 1,0.

Hasil penelitian ini didukung oleh Zhang (2008) yang menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 0,95 kali lebih besar terkena stroke dibandingkan perempuan. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspita dan Putro (2008) yang mendapatkan bahwa pada jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko sebesar 4,37 kali terkena stroke. Jenis kelamin laki-laki cenderung lebih berisiko terkena stroke karena perempuan cenderung mengalami stroke pasca menopause. Hasil studi kasus, laki-laki cenderung terkena stroke 3 kali berisiko dibanding dengan perempuan (Mahendra dkk, 2004).

Teori yang mendukung laki-laki lebih cenderung berisiko stroke karena kejadian stroke pada perempuan meningkat pada usia pasca menopause, karena sebelum menopause perempuan dilindungi oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan HDL, dimana HDL berperan penting dalam pencegahan proses aterosklerosis (Price dan Wilson, 2006). Pola hidup laki-laki lebih banyak memiliki kebiasaan merokok daripada perempuan dan kebiasaan merokok ini merupakan salah satu faktor

risiko yang dapat diperbaiki pada individu stroke. Insiden stroke pada perempuan diperkirakan lebih rendah dibandingkan laki-laki, akibat dari adanya estrogen yang berfungsi memberikan proteksi pada proses aterosklerosis. Dilain pihak, pemakaian hormon estrogen dengan dosis tinggi pada laki-laki dapat mengakibatkan peningkatkan kematian akibat kardiovaskuler (Japardi, 2002). b) Usia

Hubungan antara hipertensi dengan kejadian stroke menurut usia menunjukkan bahwa usia ≥40 tahun berisiko 10,46 kali terkena stroke sedangkan, usia <40 tahun berisiko 24,05 kali terkena stroke ditunjukkan dengan nilai 95% CI (8,05-71,79) menyimpulkan bahwa hasil temuan ini signifikan secara statistik karena batas bawah kepercayaan 8,05 berada jauh di atas 1,0. Confidence Interval yang lebar dikarenakan jumlah penderita stroke pada usia <40 tahun sedikit.

Hal tersebut menunjukkan bahwa individu hipertensi pada usia <40 tahun mempunyai risiko lebih besar terkena stroke dibandingkan usia ≥40 tahun. Hal tersebut didukung oleh Woro Riyadina dan Ekowati Rahajeng (2011) di Kelurahan Kebon Kalapa, Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor bahwa usia 35-44 tahun mempunyai risiko lebih besar terkena stroke dibandingkan dengan usia 55-65 tahun.

Telah terjadi pergeseran penyakit (transisi epidemilogi). Penyakit stroke tidak hanya menyerang kelompok usia di atas 50

tahun, melainkan juga terjadi pada kelompok usia produktif di bawah 45 tahun yang menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan dalam sejumlah kasus, penderita stroke masih berusia di bawah 30 tahun (Junaidi, 2011 dalam Adhim, 2013). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan gaya hidup terutama orang muda di perkotaan modern. Ketika era globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah diperoleh, negara berkembang dapat segera mungkin meniru kebiasaan negara barat yang dianggap cermin pola hidup modern. Sejumlah perilaku seperti mengkonsumsi makanan siap saji yang mengandung kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kurang berolahraga dan stress, telah menjadi gaya hidup seseorang terutama di perkotaan padahal perilaku tersebut merupakan faktor-faktor risiko penyakit stroke (Sitorus, 2008).

Adanya perubahan gaya hidup seperti mengkonsumsi makanan tinggi lemak, kurang berolahraga dan stres mengakibatkan pergeseran usia risiko terkena stroke yaitu usia muda <40 tahun. Hipertensi yang timbul saat usia muda (≤ 40 tahun) berisiko akan timbul komplikasi 5-10 tahun kemudian, salah satunya stroke iskemik. Proses penuaan yang terjadi, dalam kasus stroke terutama berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada pembuluh darah. Perubahan yang terjadi mulai dapat dilihat ketika seseorang memasuki umur 40 tahun (Usrin, 2013).

Reni Wulan Sari (2008) dalam buku dangerous junk food mengatakan bahwa pada usia produktif, stroke dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar mengkonsumsi makanan berlemak. Menurut Burhanuddin (2013) hadirnya stroke pada usia muda berhubungan dengan gaya hidup kaum muda pada akhir-akhir ini, seperti banyak mengkonsumsi makanan yang enak berlemak serta cenderung malas bergerak. Hal ini dapat menyebabkan lemak dalam tubuh menumpuk.

Konsumsi gula yang berlebihan alias menyukai makanan yang manis-manis, kue-kue, cemilan manis, sirup, kopi, coklat, dan sebagainya yang dapat menimbulkan penyakit diabetes mellitus. Dimana penyakit diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko stroke pada dewasa muda. Penyakit diabetes ini jika ditambah dengan kadar kolestrol tinggi, trigliserida tinggi serta tekanan darah juga tinggi, risiko terjadinya stroke 4 kali lipat lebih besar (Nightingale dkk, 2008 dan Sitorus, 2008 dalam Burhanuddin, 2013).

Menurut dr. Stephanie Pangau, MPH (2013) dalam tabloid Reformata mengatakan bahwa stroke pada usia muda dibawah 45 tahun dapat terjadi karena beberapa hal yaitu pola hidup yang kurang sehat (kurang istirahat, gila kerja, makan tidak teratur, kurang olahraga, stres), pola makan yang tidak sehat mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang konsumsi sayur dan buah, adanya kelainan bawaan seperti kelainan bentuk

anatomis arteri vena yang bisa menyebabkan terjadi gejala stroke perdarahan pembuluh otak bila tekanan darah tiba-tiba meningkat selain itu, bisa juga terjadi stroke karena adanya infeksi atau tumor otak, pemakaian napza yang sebagian besar pemakainya berusia muda.

Genis (2009) dalam buku berjudul stroke hanya menyerang orang tua mengatakan bahwa setelah usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia <40 tahun juga mempunyai risiko yang besar terkena stroke. Hasil penelitian didukung oleh Sofyan (2015) menunjukkan ada hubungan antara usia dengan kejadian stroke. Hasil penelitian Lestari (2010) bahwa proporsi usia >55 tahun lebih banyak menderita stroke dibandingkan dengan kelompok usia 40-55 tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh Puspita dan Putro (2008) yang menyatakan bahwa risiko terjadinya stroke pada kelompok usia >55 tahun adalah 3,64 kali. Peningkatan frekuensi stroke seiring dengan peningkatan usia berhubungan dengan proses penuaan, dimana semua organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk pembuluh darah otak. Pembuluh darah menjadi tidak elastis terutama bagian endotel yang mengalami penebalan pada bagian intima, sehingga mengakibatkan lumen pembuluh darah semakin sempit dan berdampak pada penurunan aliran darah otak (Kristiyawati dkk, 2009).

Setelah usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga dari kasus stroke adalah usia 65 tahun. Angka kematian stroke yang lebih tinggi banyak dijumpai pada golongan usia lanjut (Genis, 2009). Hasil penelitian yang serupa membuktikan bahwa individu berusia di atas 55 tahun mempunyai risiko terserang stroke iskemik meningkat 2 kali lipat setiap dekade (Mahendra dkk, 2004).

c) Status Merokok

Berdasarkan hasil penelitian menujukkan bahwa ada hubungan antara hipertensi dengan kejadian stroke menurut status merokok, status pernah merokok dan status tidak merokok. Hasil penelitian menujukkan bahwa individu hipertensi dengan status merokok mempunyai risiko 28,46 kali lebih besar terkena stroke dibandingkan dengan status pernah merokok dan status tidak merokok ditunjukkan dengan nilai 95% CI (17,52-46,24) menyimpulkan bahwa hasil temuan ini signifikan secara statistik karena batas bawah kepercayaan 17,52 berada jauh di atas 1,0.

Hal tersebut didukung oleh Burhanuddin (2013) kebiasaan merokok pasien akan mengakibatkan timbulnya penyakit seperti aterosklerosis dan hipertensi yang merupakan faktor risiko utama stroke. Pasien yang memiliki perilaku merokok dan memiliki riwayat hipertensi lebih berisiko dibandingkan pasien merokok namun tidak memiliki riwayat hipertensi.

Hasil penelitian didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa merokok berisiko 2,42 kali terkena stroke (Sorganvi dkk, 2014). Hasil serupa dibuktikan oleh Zhang (2008) bahwa individu dengan status merokok 2,38 kali lebih berisiko terkena stroke sedangkan, individu dengan status pernah merokok 1,6 kali lebih berisiko terkena stroke. Individu dengan kebiasaan merokok mempunyai risiko 3,90 kali terkena stroke (Mahmudah, 2012). Hasil yang mendukung juga dibuktikan oleh Setyarini (2013) ada hubungan antara status merokok pada individu hipertensi dengan risiko terjadinya stroke di Poliklinik Jantung dan Penyakit Dalam

Dokumen terkait