• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Hipertensi pada Kehamilan

Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding-dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan ini bervariasi sesuai pembuluh darah terkait dan denyut jantung. Tekanan darah pada arteri besar bervariasi menurut denyutan jantung. Tekanan ini paling tinggi ketika ventrikel

berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik) (Lindhermer, 1993).

Ketika jantung memompa darah melewati arteri, darah menekan dinding pembuluh darah. Mereka yang menderita hipertensi mempunyai tinggi tekanan darah yang tidak normal. Penyempitan pembuluh nadi atau aterosklerosis merupakan gejala awal yang umum terjadi pada hipertensi. Karena arteri-arteri terhalang lempengan kolesterol dalam aterosklerosis, sirkulasi darah melewati pembuluh darah menjadi sulit. Ketika arteri-arteri mengeras dan mengerut dalam aterosklerosis, darah memaksa melewati jalan yang sempit itu, sebagai hasilnya tekanan darah menjadi tinggi. Tekanan darah digolongkan normal jika tekanan darah sistolik tidak melampaui 140 mmHg dan tekanan darah diastolic tidak melampaui 90 mmHg dalam keadaan istirahat, sedangkan hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal (Lindhermer, 1993).

Menurut Jan A. Staessen dalam Bobak (2004), seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg atau tekanan darah diatolik (TDD) ≥ 90 mmHg. Beberapa tahun lalu WHO memberi batasan TDS 130 – 139 mmHg atau TDD 85 – 89 mmHg sebagai batasan normal tinggi. Dengan makin banyaknya penelitian tentang komplikasi hipertensi terhadap kardiovaskuler dan ginjal, maka ditetapkan batasan tekanan darah untuk hipertensi semakin rendah.

2.4.2. Hipertensi pada Ibu Hamil

Hipertensi dalam kehamilan dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Hipertensi dalam kehamilan (HDK) : yang terdiri atas pre-eklampsiaa dan eklampsia.

b. Hipertensi kronik sebelum kehamilan.

c. Hipertensi kronik dengan HDK superimpos (superimposed)

Defenisi HDK adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Diagnosis dibuat jika perubahan tekanan darah didapatkan pada 2 pengukuran dengan beda waktu sekurang-kurangnya 6 jam. Adanya proteinuria pada HDK membenarkan pemakaian istilah pre-eklampsia suatu keadaan yang lebih berat dari pada kelainan ini (Ben-zion, 1994).

Pada umumnya kehamilan yang sudah terdeteksi dengan risiko tinggi yang dapat menimbulkan hipertensi harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit sehingga penanganan dapat segera dilakukan (Saifudin, 2002).

Tiga hal yang perlu diperhatikan pada patofisiologi hipertensi dalam kehamilan adalah :

1. Bertambahnya tonus vasokonstriktor

Melihat adanya respon vaskuler yang didefenisikan sebagai kenaikan tekanan diastolik sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat pemberian angiotensin II yang dinyatakan dalam nanogram angiotensin perkilogram berat badan permenit. Wanita

dengan hipertensi dalam kehamilan memiliki sensitifitas terhadap angiotensin II setelah usia kehamilan 20 minggu (Ben-zion, 1994).

2. Kerja prostaglandin

Prostaglandin dapat mempengaruhi respon vaskuler terhadap zat vasoaktif, sehingga pembentukan prostaglandin dalam hal ini dianggap melindungi jaringan vaskuler terhadap vasokostriksi yang tidak diinginkan. Berkurangnya perfussi intervilli yang khas pada hipertensi dalam kehamilan merupakan hasil dari ketidakmampuan utero plasenta, sehingga mengakibatkan kesehatan janin menjadi lebih buruk dibandingkan dengan kesehatan ibu (Ben-zion, 1994). Hal ini terjadi karena aliran darah plasenta sisi material pada hipertensi dalam kehamilan mengalami gangguan, sebagai akibat dari menurunnya pembentukan prostasiklin yang menyebabkan endotel pembuluh umbilical seringkali menjadi rusak dan suplai kebutuhan nutrisi dan oksigen ke janin terganggu (Prawiharjo, 2009).

Pada waktu tertentu jika tubuh tidak mampu berkompensasi dengan meningkatnya tekanan darah maka timbul koagulasi intravaskuler diseminata (KID), merupakan sebab yang menonjol dalam patofisiologi hipertensi dalam kehamilan sebagai akibat penting dari sindrom hipertensi dalam kehamilan tingkat lanjut (Wiknjosastro, 1994). Sebagai akibat KID faktor pembekuan mengalami perubahan pada jumlah trombosit, yang lebih rendah dari 150.000 (Bobak 2004).

Ciri utama kecenderungan hipertensi dalam kehamilan untuk timbul adalah kehamilan pertama, keadaan superimpos dengan hipertensi kronik sepuluh kali lebih sering dari pada kehamilan berikutnya (Prawiharjo, 2002).

Faktor genetik telah lama diketahui sebagai faktor keluarga yang menyokong terjadinya hipertensi dalam kehamilan, sehingga ginotip maternal lebih penting dari pada antigen janin dalam proses immunologic yang menimbulkan hipertensi dalam kehamilan yang berat (Ben-zion Taber, 1994).

Ketiga faktor ini saling berkaitan, sehingga komplikasi hipertensi sesungguhnya dapat diprediksi atau diketahui secara dini.

2.4.3. Penyebab Hipertensi dalam Kehamilan

Hipertensi yang timbul atau diperberat oleh kehamilan lebih mungkin terjadi pada wanita yang :

1. Terpapar vilikorialis untuk pertama kalinya

2. Terpaparnya vilikorialis yang terdapat dengan jumlah yang sangat berlimpah, seperti pada kehamilan kembar atau pada molahidatidosa

3. Mempunyai riwayat penyakit vaskuler

4. Mempunyai kecenderungan genetik untuk menderita hipertensi dalam kehamilan (Prawiharjo, 2009)

Ibu hamil yang memiliki resiko hipertensi dalam kehamilan diperberat oleh pembentukan antibodi penghambat, yang terdapat pada tempat-tempat yang bersifat antigen pada placenta. Pre-eklampsia mungkin lebih sering terjadi pada wanita dari keluarga yang tidak mampu, namun pada awal tahun 1990-an eklampsia diyakini

sering terdapat pada wanita kelas menengah ke atas, dan tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi wanita hamil (Prawihardjo, 2009).

Ditinjau dari segi usia, ibu hamil dengan usia dibawah 20 tahun lebih mudah mengalami hipertensi dalam kehamilan dibandingkan dengan ibu diatas 35 tahun (Prawiharjo, 2009), hasil penelitian MNH tahun 2000 (maternal and neonatal health)

di daerah Jawa Barat, memberikan informasi bahwa tingkat pendidikan ibu dan sosial ekonomi yang rendah, status gizi, serta pengaruh budaya memiliki kontribusi dalam angka kejadian pre-eklampsia sebagai komplikasi hipertensi dalam kehamilan.

Meningkatnya hormon progesteron selama kehamilan akan memberikan gambaran adanya peningkatan berat badan pada ibu hamil, bertambahnya berat badan normal perminggu untuk ibu hamil adalah 0,45 kg, sedangkan untuk berat badan dengan kenaikan 0,90 kg/minggu atau 2,75 kg perbulan semenjak trimester pertama akan mempengaruhi sirkulasi didalam tubuh sehingga mencetuskan kejadian hipertensi dalam kehamilan, dapat diketahui pada usia kehamilan 20 minggu terutama untuk kehamilan anak pertama atau kehamilan lebih dari tiga kali (Prawiharjo, 2009).

2.4.4. Pencegahan dan Penanggulangan Hipertensi 2.4.4.1. Pencegahan Hipertensi pada Ibu Hamil

Sebagaimana dijelaskan bahwa faktor penyebab utama terjadinya hipertensi adalah asteroklerosis yang didasari dengan konsumsi lemak berlebih, oleh karena untuk mencegah timbulnya hipertensi adalah mengurangi konsumsi lemak yang berlebih disamping pemberian obat-obatan bilamana diperlukan. Pembatasan konsumsi lemak sebaiknya dimulai sejak dini sebelum hipertensi muncul, terutama

pada orang-orang yang mempunyai riwayat keturunan hipertensi dan pada orang menjelang usia lanjut. Sebaiknya mulai umur 40 tahun pada wanita agar lebih berhati- hati dalam mengkonsumsi lemak pada usia mendekati menopause.

Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang berhubungan dengan diet seseorang. Konsumsi lemak yang berlebih, kekurangan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) sering dihubungkan pula dengan terjadinya ateroklerosis, antara vitamin C, vitamin E dan B6 yang meningkatkan kadar homosistein. Tingginya konsumsi vitamin D merupakan faktor terjadinya asteroklerosis dimana terjadi deposit kalsium yang menyebabkan rusaknya jaringan elastis sel dinding pembuluh darah (Kurniawan, 2002).

Prinsip utama dalam melakukan pola makan sehat adalah “gizi seimbang”, dimana mengkonsumsi beragam makanan yang seimbang dari “kuantitas” dan “kualitas” yang terdiri dari:

1) Sumber karbohidrat :

biji-bijian baik untuk dikonsumsi saat hamil. 2) Sumber protein hewani:

ikan, unggas, daging, putih telur, susu rendah atau bebas lemak. 3) Sumber protein nabati :

kacang-kacangan dan polong-polongan serta hasil olahannya. 4) Sumber vitamin dan mineral :

2.4.4.2. Penanggulangan Hipertensi

Pada penderita hipertensi dimana tekanan darah tinggi > 160 /gram mmHg, selain pemberian obat-obatan anti hipertensi perlu terapi dietetik dan merubah gaya hidup. Tujuan dari penatalaksanaan diet adalah untuk membantu menurunkan tekanan darah dan mempertahankan tekanan darah menuju normal. Disamping itu, diet juga ditujukan untuk menurunkan faktor risiko lain seperti berat badan yang berlebih, tingginya kadar lemak kolesterol dan asam urat dalam darah. Harus diperhatikan pula penyakit degeneratif lain yang menyertai darah tinggi seperti jantung, ginjal dan diabetes mellitus.

Prinsip diet pada penderita hipertensi adalah sebagai berikut : a. Makanan beraneka ragam dan gizi seimbang.

b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi penderita.

c. Jumlah garam dibatasi sesuai dengan kesehatan penderita dan jenis makanan dalam daftar diet.

Yang dimaksud dengan garam disini adalah garam natrium yang terdapat dalam hampir semua bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Salah satu sumber utama garam natrium adalah garam dapur. Oleh karena itu, dianjurkan konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼ - ½ sendok teh/hari atau dapat menggunakan garam lain diluar natrium.

Garam natrium terdapat secara alamiah dalam bahan makanan atau ditambahkan pada waktu memasak atau mengolah makanan. Makanan berasal dari

hewan biasanya lebih banyak mengandung garam natrium dari yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Garam Natrium yang ditambahkan ke dalam makanan biasanya berupa ikatan, yaitu :

1. Natrium Chlorida atau garam dapur 2. Mono-Natrium Glutamat atau vetsin 3. Natrium Bikarbonat atau soda kue

4. Natrium Benzoat untuk mengawetkan buah

5. Natrium Bisulfit atau sendawa yang digunakan untuk mengawetkan daging seperti Corned beef.

Cara memasak untuk mengeluarkan garam Natrium antara lain : 1. Pada ikan asin di rendam dan di cuci terlebih dahulu

2. Untuk mengeluarkan garam natrium dari margarine dengan mencampur margarine dengan air, lalu masak sampai mendidih, margarine akan mencair dan garam natrium akan larut dalam air. Dinginkan cairan kembali dengan memasukkan panci kedalam kulkas. Margarine akan keras kembali dan buang air yang mengandung garam natrium. Lakukan ini 2 kali (Kurniawan 2002).

Mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk menghindari dan membatasi makanan yang dpat meningkatkan kadar kolesterol darah serta meningkatkan tekanan darah, sehingga penderita tidak mengalami stroke atau infark jantung.

Makanan yang harus dihindari atau dibatasi adalah:

1. Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak kelapa).

2. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biskuit crakers, keripik dan makanan kering yang asin).

3. Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta buah-buahan dalam kaleng, soft drink).

4. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).

5. Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).

6. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam natrium. 7. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape

(Kurniawan 2002).

2.5. Landasan Teori

Berdasarkan konsep teori Green dan Blum dalam Notoatmojo (2005) hubungan antara status kesehatan, perilaku, dan promosi kesehatan (gambar 2.1), dapat disimpulkan bahwa perilaku ibu hamil dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi oleh factor predisposing, factor enabling dan factor reinforcing. Apabila

dihubungkan dengan status kesehatan ibu hamil, maka perilaku kesehatan ibu selama hamil dimana dalam penelitian ini adalah pola makan ibu yang didukung dengan pengukuran status gizi ibu hamil dapat memengaruhi status kesehatan ibu atau terkait dengan terjadinya hipertensi pada kehamilan.

Menurut Zweifel dalam Manuaba, dkk (2007) mengungkapkan bahwa cukup banyak teori tentang bagaimana hipertensi pada kehamilan dapat terjadi sehingga disebut sebagai “disease of theory”. Beberapa landasan teori yang dikemukakan yaitu: Teori genetik, Teori immunologis, Teori iskemia region uteroplasenter, Teori kerusakan endotel pembuluh darah, Teori radikal bebas, Teori trombosit dan Teori diet.

Gambar 2.1 Diseases Of Theory

Sumber; Zweifel dalam Manuaba, dkk (2007)

Genetik Diet Trombosit Radikal Bebas Kerusakan Endotel Pembuluh Darah Immunologis Hipertensi dalam Kehamilan Iskemia Region Uteroplasenter

Ditinjau dari teori yang telah disebutkan di atas, maka teori diet merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dikendalikan dengan melakukan upaya pencegahan oleh ibu hamil yaitu dengan memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil dengan pola makan yang sehat.

2.6. Kerangka konsep

Variabel independent Variabel dependent

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat diketahui bahwa pola makan ibu yang terdiri dari, jumlah zat gizi yang mencerminkan status gizi ibu hamil yang diasumsikan dapat mempengaruhi terjadinya hipertensi pada ibu hamil.

POLA MAKAN IBU HAMIL Jumlah Energi,

Lemak, Protein, Natrium

STATUS GIZI IBU HAMIL Penambahan berat

badan sesuai IMT LILA

HIPERTENSI PADA IBU HAMIL

Dokumen terkait