• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

B. Pendekatan Intertekstual

2. Hipogramatik

Teks-teks yang dikerangkakan sebagai intertekstual tidak terbatas sebagai persamaan genre, intertekstual memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya, dan karya berikutnya dinamakan transformasi. Intertekstual dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos25.

Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain.26 Respon tersebut dapat berupa kata, frase, kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenis di dalam teks transformatif sehingga kadang pembaca sering tidak ingat lagi akan karya yang menjadi latarnya.

Hipogram merupakan karya, tradisi, dan konvensi sebelumnya yang dipandang sebagai suatu tantangan yang perlu disikapi yang dijadikan dasar bagi penulisan karya lain sesudahnya27. Seorang pengarang mungkin menyadari atau tidak menyadari sama sekali bahwa terdapat hipogram dalam suatu karya.

Hipogram dapat diibaratkan sebagai “induk” yang melahirkan karya-karya baru. Pengidentifikasian hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan

antara karya “induk” dan karya “baru”. Usaha tersebut dapat menggambarkan

bentuk-bentuk hipogram yang meliputi:

a. ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya sastra. Ekspansi tak sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata;

25

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 172-173

26

A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 65 27

b. konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan memodifikasi kalimat ke dalam karya baru;

c. modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi, urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan ceritanya sama;

d. ekserp, adalah semacam intisari dari unsur-unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya.28 Riffaterre mendefinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Hipogram mungkin kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Pengarang baik secara sadar atau tidak menggunakan hipogram untuk melahirkan matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model dan serial varian.29

Menurut Riffaterre pula30, dalam penulisan teks kesusastraan hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya.

Hipogram aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan bahkan seluurh isi alam semesta (dunia) ini adalah teks.

28

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2011), hlm.132 29

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 217

30

Oleh sebab itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat berupa adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspons atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan, atau penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan kepada pembaca.

Sedangkan sebagaimana telah diungkapkan oleh Kristeva teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra yang mengandung teks transformasi semacam itu, digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya.

Ciri hiprogamatik sebuah cerpen dengan cerpen lain adalah pengungkapan masalah yang mempunyai kesamaan latar sebuah cerpen dengan cerpen lain. Sebuah cerpen mendapatkan kekuatannya sebagai cerpen, karena masalah yang terungkap telah dijelaskan dalam cerpen sebelumnya.

Hipogram tersebut dalam penciptaan karya yang baru tidak selalu dipatuhi, tetapi mungkin juga disimpangi oleh penyair karya sastra yang baru.31 Oleh Nurgiantoro, penyimpangan terhadap hipogram diistilahkan dengan myth of freedom (mitos pemberontakan, sedangkan hipogram yang dipatuhi atau diteruskan diistilahkan dengan myth of concern (mitos pengukuhan). Kedua hal tersebut menurutnya wajib hadir dalam penulisan teks kesusastraan karena kesusastraan pada hakikatnya selalu berada dalam ketegangan antara konvensi, invansi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.32 Ini berarti pengkajian intertekstual teks sastra yang baru tidak dipahami secara sederhana. Teks hipogram tersebut tidak selalu tampak eksplisit dalam karya

31

Ahmad Bahtiar. Op. Cit, hlm. 124 32

Burhan Nurgiantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia , (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 15

sastra yang baru. Hal ini karena pengaruh tersebut merupakan penyerapan, pentransformasian kembali teks lama terjadi secara disadari maupun tidak disadari. Oleh sebab itu, dalam pemaknaan kembali teks baru dengan metode intertekstual sangat memungkinkan intersubjektivitas.

Hipogram tidak akan komplit, melainkan hanya bersifat parsial, yang berwujud tanda-tanda teks atau pengaktualisasian unsur-unsur tertentu. Pengambilan, derivasi, atau pentransformasian bentuk-bentuk itu dapat mencakup berbagai unsur intrinsik fiksi seperti alur, penokohan, latar, tema, dan lain-lain. Dengan demikian, pengkajian sebuah cerita dengan intertekstualitas akan lebih sempurna jika memperhatikan hal-hal berikut ini: a. Sebuah cerita yang tercipta tidak lepas dari cerita yang lebih lama tercipta b. Cerita yang lebih dahulu, merupakan hipogram untuk membandingkan

dengan cerita baru

c. Hipogram tersebut tidak selalu dipatuhi, tetapi mungkin disimpangi. Istilah tersebut adalah myth of concern dan myth of freedom.

Jadi, prinsip dasar intertekstualitas adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara.

Dokumen terkait