SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Suci Bella Dwi Kurnia
109013000111
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
NAVIS DENGAN BURUNG KECIL BERSARANG DI POHON KARYA
KUNTOWIJOYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Suci Bella Dwi Kurnia
NIM: 109013000111
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 27 September 2013 di hadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta, 30 September 2013
NIM : 109013000111
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Alamat : Klapanunggal Rt 02/ RW 01 No. 123 Cileungsi-Bogor 16820
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA
Bahwa skripsi yang berjudul Intertekstual Cerpen “Robohnya Surau
Kami” Karya A.A. Navis dengan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” Karya
Kuntowijoyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:
Nama Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.
NIP : 197601182009121002
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
Jakarta, 19 September 2013
Suci Bella Dwi Kurnia
i
Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”karya AA. Navis dan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” karya Kuntowijoyo, 2) Mendeskripsikan implikasi bentuk intertekstualitas cerpen Robohnya Surau Kami karya AA. Navis dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” karya Kuntowijoyo terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Kedua cerpen tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut. 1) Peneliti menemukan persamaan dan perbedaan antara kedua cerpen tersebut sehingga tertarik untuk mengkajinya secara intertekstual, dan 2) Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam penelitian menimbulkan banyak pertanyaan sehingga menarik untuk dikaji. Metode yang digunakan dalam penelitian karya ilmiah ini adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui intertekstualitas yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” selain itu penulisan karya ilmiah ini juga menggunakan pendekatan intertekstual.
Berdasarkan temuan dan hasil analisis terhadap kedua cerpen ini, diketahui bahwa kedua cerpen ini mempunyai hubungan intertekstualitas berupa: 1) Kedua cerpen bertemakan mengenai konflik jiwa keagamaan yang dialami oleh tokoh utama yang sama yaitu kakek. 2) Persamaan tokoh utama yaitu seorang kakek dengan latar belakang berbeda namun memiliki sifat sama dalam masalah ibadah sosial. 3) Terdapat pesamaan latar tempat yaitu daerah Minang. 4) Cerpen “Robohnya Surau Kami” merupakan hipogram sedangkan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” merupakan transformasi.
Kata kunci: Intertekstualitas, cerpen “Robohnya Surau Kami”, cerpen “Burung
ii
Jakarta: Indonesia Language and Literature Education. 2013.
This research aimed to know, 1) To describe an intertextual in “The
Collapsed of Our Surau” Short Story A.A. Navis and “Small Birds Nesting in a Tree” of Kuntowijoyo, 2) To describe the implications “The Collapsed of Our Surau” Short Story A. A. Navis and “Small Birds Nesting in a Tree” of Kuntowijoyo to the Learning Literature at School. Both of short stories were selected by the following reasons. 1) The researcher found the similarities and differences between the two short stories, and so interested to review them in intertextual, and 2) The similarities and differences which found in this research make many questions and so interesting to review. The methods which used in the writing of scientific papers is a qualitative method which aims to find out the intertextualitas contained in a “The Collapsed of Our Surau” short story with “Small Birds Nesting in a Tree” short story, beside that, writing of this scientific papers is also using the intertextual approach.
Based on the findings an analysis of these two short stories, nothing these two stories had intertextual connection, which are, 1) Both short stories is had theme about religious life conflict that experienced by the same main character, the Grandfather. 2) The equation of the main character is an old man with different background but have the same problem. About social worship. 3) Had
the same setting, on Minang. 4) “The Collapsed of Our Surau” is the Hypogram
and “Small Birds Nesting in a Tree” is transformation short story.
Keywords: Intertextual, “The Collapsed of Our Surau” short story, “Small Birds
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan rohani dan jasmani kepada penulis
sehingga diberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Intertekstual Cerpen ‗Robohnya Surau Kami‘ Karya A.A. Navis dan ‗Burung
Kecil Bersarang di Pohon‘ Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Salawat dan salam semoga terdurahkan kepada utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan
dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, karya ilmiah ini
tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Nurlena Rifa‘i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah
mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, dosen yang telah memberikan ilmu dan
bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini.
3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang sangat
berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk semangat,
arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama membimbing penulis.
4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Hidayatullah Jakarta, yang selama ini telah membekali penulis untuk terus
maju.
5. Keluarga penulis tercinta terutama Papa, Mama, dan kedua adik. Viny
Marzella dan Rico Nurillahi yang selalu memberikan dukungan kepada
penulis unuk terus maju dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga
detik ini.
6. Arif Rachman yang setia menemani saat PPKT dan saat menyusun skripsi,
terima kasih untuk doa, motivasi, saran, dan bantuannya.
7. Agnis Afriani, Aeni Nur Syamsiyah, Reny Rachmawati, Adinda Putri,
sahabat-sahabatku sejak awal masuk perkuliahan hingga saat ini.
8. Teman-teman kosan Intan, Bundo Dian, Elsa, Anit, Yeyen, Wardah, Nisa,
Eka, Dewi, Nia, yang selalu menemani. Terima kasih atas doa dan
dukungan kalian.
9. Seluruh sahabat mahasiswa PBSI angkatan 2009 khususnya kelas C yang
tidak dapat disebutkan satu persatu;
10.Fotokopi Maju Jaya, Bang Tyo, Uda Is, Uda Ade, Rizky yang telah
membantu penulis dan untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada
penulis senantiasa mendapat pahala yang berliat ganda dari Allah Swt serta
diberikan balasan setimpal dari Allah Swt. Amin.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan
pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, 19 September 2013
v
KATA PENGANTAR ……… iii
DAFTAR ISI ……… v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1
B. Identifikasi Masalah …..….………. 3
C. Batasan Masalah ……….. 4
D. Rumusan Masalah ……… 4
E. Tujuan Penelitian ………. 5
F. Manfaat Penelitian ……… 5
G. Metode dan Teknik Penelitian ………. 6
H. Penelitian yang Relevan ……….. 10
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Cerpen ……… 12
1. Pengertian Cerpen ……….. 12
2. Ciri-ciri Cerpen ………... 14
3. Perbedaan Cerpen dengan Novel ……….. 16
4. Unsur Intrinsik Cerpen ……… 17
5. Unsur Ekstrinsik Cerpen ………. 22
B. Pendekatan Intertekstual ……….. 23
1. Teori Intertekstual …….………. 23
2. Hipogramatik ……….……….… 25
3. Transformasi Teks ……….. 28
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah ……….... 29
1. Pengertian Pembelajaran Sastra ………. 29
a. Ruang Lingkup Bahan Ajar Cerpen di SMA …. 33 b. Strategi dan Teknik Mengajar Cerpen di SMA… 34 c. Tujuan Pembelajaran Analisis Cerpen di SMA..… 34
BAB III PEMBAHASAN
A. Biografi A.A. Navis ………..…… 36
B. Biografi A.A. Kuntowijoyo ……….. 38
C. Sinopsis Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis .. 40 D. Sinopsis tentang Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”
karya Kuntowijoyo……… 41
E. Unsur Intrinsik Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A.
Navis ………. 43
F. Unsur Intrinsik Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”
Karya Kuntowijoyo……… 56
G. Analisis Intertekstual Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”
karya Kuntowijoyo……….…... 67
H. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah………. 80
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ………. 89
B. Saran ……… 90
DAFTAR PUSTAKA
1
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai karya seni, karya sastra memiliki orisinalitas. Salah satu
pembangun orisinalitas tersebut terbentuk dari pemahaman pengarang terhadap
kenyataan yang dihadapinya. Setiap kenyataan dunia akan berbeda makna bagi
setiap pengarang atau penyair. Akibatnya, sebuah kenyataan dunia akan tampil
berbeda pada karya sastra yang dihasilkan oleh penyair yang berbeda. Begitu pula
dengan bahasa sebagai media yang digunakannya pun akan berbeda pada setiap
pengarang. Oleh karena itu, terdapat pendekatan objektif dalam mendekati karya
sastra.
Selain pandangan yang lebih menitikberatkan pada karya sastra tersebut,
terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa karya sastra pun mendapatkan
juga maknanya dari pembacanya. Dalam hal ini, karya sastra tidak hanya mutlak
milik pengarang atau penyair, tetapi juga milik pembaca. Pengarang atau penyair
tentu menciptakan karya sastra untuk menyampaikan setiap gagasannya yang lahir
dari perekaman dan pemahaman kenyataan dunia yang dialaminya.
Dalam kaitan tersebut terdapat pandangan bahwa karya sastra tidak
diciptakan dari kekosongan budaya. Pengarang dalam menciptakan karangan tentu
dipengaruhi oleh alam sekitar (masyarakat, kebudayaan, dan bahasa). Pada
hakikatnya, sang pengarang dalam menciptakan karya sastra melalui daya
imajinasinya tentu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan. Namun,
pengaruh situasi dan kondisi lingkungan tidak mutlak tertuang dalam sastra
sehingga dalam karyanya pengarang juga memasukkan imajinasinya.
Pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra pasti berbeda-beda, hal
ini terlihat dari hasil karyanya bisa berupa cerpen, novel, atau puisi. Selain itu,
selain perbedaan antara pengarang satu dengan pengarang yang lain banyak juga
pengarang yang menciptakan karya sastra dilandasi atau didasari oleh karya sastra
pengarang lain. Hal ini dinamakan interteks yaitu menciptakan kemiripan cerita
yang terkandung antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain.
Tetapi kemiripan yang terdapat dalam karya sastra yang dihasilkan bukan
merupakan suatu penjiplakan.
Sebuah karya sastra yang mengandung intertekstualitas adalah bentuk
respons seorang pembaca terhadap karya yang telah dibacanya. Boleh dikatakan
sebuah karya sastra adalah kumpulan karya sebelumnya. Hal ini menunjukkan
bahwa interteks memiliki hubungan dengan resepsi dan respons. Kreativitas
pengarang sangat berperan dalam prinsip ini.
Selain itu, prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami
dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksi sebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah
intertekstualitas lebih dari pengaruh, pengambilan, atau jiplakan, melainkan
bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya
dengan karya lain yang menjadi hipogramnya.
Menurut Pradopo, karya sastra diciptakan mengikuti konvensi-konvensi
karya-karya sastra yang ditulis sebelumnya, di samping juga menyimpangi
konvensi sastra yang sudah ada, atau menentang karya sastra sebelumnya, baik
mengenai pikiran yang dikedepankan maupun konvensi estetikanya1.
Cerpen merupakan bentuk karya fiksi yang menceritakan sebuah dunia
yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun
dengan unsur intrinsik, seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut
pandang, dan gaya bahasa. Secara garis besar unsur inrinsik yang terdapat dalam
sebuah karya sastra hampir sama, yang pasti sebuah karya setidaknya harus
mengandung tiga aspek utama yaitu, decore (memberikan sesuatu kepada
pembaca), declarate (memberikan kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere
(mampu menggerakkan kreativitas pembaca).
1
Atas dasar inilah penulis akan mengkaji dua buah karya sastra tulis berupa
cerita pendek (cerpen). Cerpen yang akan dikaji yaitu cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” karya Kuntowijoyo. Cerpen tersebut dipilih dalam penelitian ini karena kedua
novel tersebut mengandung banyak kesamaan. Ide cerita atau tema yang terdapat
di dalam kedua cerpen tersebut sama, yaitu mengenai konflik jiwa keagamaan
yang dialami tokoh utama. Selain itu, juga terdapat tokoh utama yang sama.
Persamaan lain dari kedua cerpen ini terletak pada ceritanya yang
menggambarkan tokoh kakek yang cenderung melupakan kondisi lingkungan dan
lebih memilih terus beribadah, padahal ibadah sosial sama pentingnya dengan
ibadah ritual kepada Tuhan. Peristiwa yang dialami tokoh kakek pada kedua
cerpen tersebut membuka pandangan kita bahwa tidaklah baik pula bila kita selalu
beribadah kepada Tuhan tanpa mengingat kehidupan sosial yang ada di sekeliling
kita.
Kedua cerpen ini dinilai memiliki banyak kesamaan yang nantinya bisa
dijadikan sebagai materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah,
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang sastra
diajarkan berbagai hal yang membahas mengenai sastra. Dalam prosa rekaan,
seperti novel dan cerpen maka yang dipelajari adalah unsur instrinsik dari prosa
tersebut, selain itu dengan pendekatan intertekstualitas ini dalam pembelajaran
sastra indonesia di sekolah dapat diketahui mana teks awal atau teks pertama yang
dibuat dan menjadi latar belakang penulisan teks selanjutnya (hipogram) dengan
teks kedua yang lahir setelah teks pertama itu (transformasi).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis menyusun
judul dalam penelitian ini yaitu “Intertekstualitas Cerpen “Robohnya Surau Kami”
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasikan masalah
sebagai berikut:
1. Sastra tidak diciptakan dari kekosongan budaya.
2. Interteks akan menciptakan kemiripan cerita yang terkandung antara karya
sastra yang satu dengan karya sastra yang lain.
3. Bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen Robonhya Surau Kami
karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya
Kuntowijoyo
4. Implikasi bentuk intertekstualitas cerpen Robonhya Surau Kami karya AA.
Navis dengan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya
Kuntowijoyo dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
C.
Batasan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan pembatasan masalah agar pembahasan
dalam penelitian tersebut tidak meluas. Adapun pembatasan dalam penelitian ini
adalah penelitian membahas hubungan intertekstual antara dua cerpen yaitu “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” Karya Kuntowijoyo”. Hubungan intertekstual difokuskan pada pembahasan mengenai bentuk intertekstual dari segi struktur tema, tokoh,
latar tempat, dan hipogram.
D.
Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo?
Pohon” karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E.
Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1. Mendeskripsikan bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen
Robohnya Surau Kami karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil
Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo.
2. Mendeskripsikan implikasi bentuk intertekstualitas cerpen Robohnya
Surau Kami karya AA. Navis dengan cerpen Robohnya Surau Kami karya
AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya
Kuntowijoyo terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
F.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada
pembaca. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Membantu pembaca agar dapat memperluas pengetahuan terutama dalam
bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya bagi pecinta sastra.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Pembaca dan Pecinta Sastra
Dapat digunakan pembaca dan pecinta sastra sebagai bahan perbandingan
dengan penelitian lain dalam menganalisis studi interteks.
b) Bagi Mahasiswa
Membantu mahasiswa untuk menemukan gagasan atau ide yang kreatif di
masa mendatang.
c) Bagi Dunia Pendidikan
Dapat digunakan guru bahasa dan sastra di sekolah sebagai bahan ajar.
Membantu peneliti memperkaya pengetahuan dan wawasan mengenai
dunia bahasa dan sastra Indonesia.
G.
Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam mengkaji intertekstual cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo digunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif mempertahankan hakikat
nilai-nilai2. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data ilmiah.
Data berhubungan dengan konteks keberadaan melibatkan sejumlah besar
gejala sosial yang relevan.
Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang menyajikan
temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap dan mendalam
mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi. Pengkajian
deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya
berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada
penuturnya (sastrawan). Artinya yang dicatat dan dianalisis adalah
unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya.
Jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian dasar yang
memfokuskan pada deskripsi tentang hubungan interteks pada cerpen. Dengan
demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah unsur-unsur yang bersama-sama dengan sasaran
penelitian membentuk data dan konteks data. Objek penelitian itu penting
bahkan merupakan jiwa penelitian, apabila objek penelitian tidak ada, maka
tentu saja penelitan tidak akan pernah ada. Objek dalam penelitian ini adalah
hubungan intertekstual dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo.
2
3. Data dan Sumber Data a) Data
Data penelitian sastra adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Adapun
data penelitian ini adalah data yang berupa kata, kalimat, dan wacana yang
terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang diklasifikasikan sesuai dengan analisis yang dikaji yaitu hubungan intertekstual dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo.
b) Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer
dan data sekunder, adapun data yang diperoleh dari sumber data tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data utama, sumber asli.
Sumber data primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari
sumber data oleh penyelidik untuk tujuan khusus. Sumber primer dari
penelitian ini yaitu cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam kumpulan cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya AA. Navis terbitan
Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010, v+142 halaman dan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” dalam kumpulan cerpen berjudul Dilarang Mencintai Bunga-bunga karya Kuntowijoyo terbitan Pustaka
Firdaus, tahun 1996, xvii+202 halaman.
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data kedua. Selain itu data
sekunder merupakan data yang berhubungan dengan penelitian yang
telah dilakukan. Data sekunder membantu peneliti dalam menganalisis
data primer dalam sebuah penelitian berupa artikel-artikel di situs
dengan objek penelitian yang difokuskan pada A.A. Navis dan
Kuntowijoyo.
3) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik pustaka dan catat. Teknik pustaka yaitu studi tentang
sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian sejenis, dokumen
yang digunakan untuk mencari data-data mengenai hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, majalah, gambar, dan data-data
yang bukan angka. Teknik simak adalah suatu metode pemerolehan
data yang dilakukan dengan cara menyimak suatu penggunaan bahasa.
Pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan
cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut peneliti mencatat data-data yang berhubungan
dengan intertekstual yang ditemukan dalam kedua novel tersebut.
Setelah itu barulah peneliti mencocokan dengan materi
pembelajaran dan kurikulum di sekolah. Dalam pembelajaran di
sekolah baik SMP/SMA terdapat materi pelajaran mengenai
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.
4) Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara terus
menerus, sejak pengumpulan data di lapangan sampai waktu penulisan
laporan penelian. Hal ini dikarenakan pengumpulan data sebagai jalan
menuju terciptanya penulisan laporan penelitian yang dilakukan. Analisis
data merupakan kegiatan yang berjalan dari awal hingga akhir penulisan
penelitian yang berlangsung terus menerus.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan menginterpretasikan teks
sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik. Pembacaan heuristik
dapat juga dilakukan secara struktural. Pembacaan ini berasumsi bahwa
bahasa bersifat referensial artinya bahasa harus dihubungkan dengan
hal-hal nyata.
Pembacaan hermeneutik atau retroaktif merupakan kelanjutan dari
pembacaan heuristik untuk menyampaikan makna. Metode ini merupakan
cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja secara
terus-menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai
akhir. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri.
Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra itu terdiri
atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang
tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.3
Langkah awal analisis cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yaitu memaparkan strukturalnya dengan menggunakan metode pembacaan heuristik, pada tahap ini
pembaca dapat menemukan arti atau makna. Tahap ini juga
mengungkapkan satu persatu hasil analisis struktural masing-masing
cerpen, sehingga dapat diketahui struktur yang membangun cerpen “Robohnya Surau Kami”dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon”.
Selanjutnya dilakukan pembacaan hermeneutik, yaitu peneliti
bekerja secara terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara
bolak-balik dari awal sampai akhir. Cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah cerpen yang pertama dibaca secara terus menerus, bolak-balik dari awal
sampai akhir. Kemudian cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang dibaca secara terus menerus, bolak-balik dari awal sampai akhir, hal ini
bertujuan untuk mengungkapkan hubungan interteks pada cerpen
“Robohnya Surau Kami” dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang
3
lebih difokuskan pada transformasi dalam tema, tokoh, latar tempat, dan
masalah agama kedua cerpen.
H.
Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan memuat penelitian-penelitian terdahulu yang
relevan dengan topik penelitian. Penelitian-penelitian tersebut diuraikan
sebagai berikut: Analisis mengenai cerpen “Robohnya Surau Kami” sebelumnya telah dilakukan, antara lain oleh Siswo Harsono (2009) yang
berjudul “Kontestasi Kesalehan Ritual Versus Sosial (Kritik Sosial terhadap Praktik Keberagamaan”.4 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesalehan
ritual merupakan representasi dari masyarakat Minangkabau yang religius.
Sedangkan kesalehan sosial yang diwujudkan dalam bekerja merupakan
representasi dari masyarakat pedagang. Si kakek penjaga surau hidup dalam
habitus (meminjam istilah Bourdieu) religius yang selalu beribadah secara
ritual. Sedangkan Ajo Sidi yang selalu merantau hidup dalam habitus sosial
yang selalu bekerja. Bagi masyarakat religius, cerita keagamaan merupakan
tuntunan kehidupan. Bagi masyarakat perantau, cerita dari berbagai tempat
yang identik dengan bualan menjadi bahan hiburan. Dalam kontestasi kedua
habitus itulah masyarakat Minangkabau yang ritual dikalahkan oleh yang
sosial, beribadah dikalahkan oleh bekerja.
Anwar (2007) dalam analisisnya “Cerpen-cerpen Kuntowijoyo: Dialektika
Dua Dunia”,5 hasil penelitiannya menyatakan bahwa pola cerita dalam
“Burung Kecil Bersarang di Pohon” mengingatkan kita pada cerpen “Robohnya Surau Kami”. Baik Navis maupun Kuntowijoyo agaknya ingin menegaskan bahwa ibadah sosial (humanisasi dan liberasi) sama pentingnya
dengan ibadah ritual kepada Tuhan (trasendensi).
Bambali (2007) mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dalam
skripsinya yang berjudul Intertekstual Novel Geni Jora Karya Abidah El
4Siswo Harsono, “
Kontestasi Kesalehan Ritual Versus Sosial (Kritik Sosial Terhadap Praktik
Keberagamaan)”, dalam http://staff.undip.ac.id/ diunduh pada 2009 5
Khalieqy dengan Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana.6
Hasil penelitian skripsinya menunjukkan terdapat persamaan tema utama
dalam novel Layar Terkembang dan novel Geni Jora, yaitu perjuangan
perempuan untuk memperoleh kesamaan hak dengan laki-laki harus
mengubah pemikiran dan pandangannya tentang sikap perempuan. Watak
tokoh utama juga memiliki persamaan, antara lain suka membaca, pandai,
kejam, pemarah, tegas, semangat, dan pemberani. Begitu pula dengan tokoh
tambahan pada kedua novel yang mempunyai lebih banyak persamaan, antara
lain pada tokoh Yusuf dengan Zakky yang kekanak-kanakan, intelek,
petualang, dan romantis, tokoh Maria dengan Elya tegas, tokoh Lola dengan
Ratna yang cekatan dan pandai, dan ayah Tuti dengan ayah Kejora, seorang
yang bijaksana dan religious. Jadi, kesimpulannya novel Geni Jora menjadi
teks transformasi, mempunyai persamaan dengan novel Layar Terkembang
yang menjadi hipogramnya.
Persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya adalah pengkajian dilakukan pada karya sastra berupa cerpen,
yaitu Robohnya Surau Kami dan Burung Kecil Bersarang di Pohon, selain itu
persamaan juga tampak dalam pengkajian intertekstual. Adapun perbedaannya
adalah peneliti akan melakukan penelitian untuk mengungkapkan hubungan
intertekstual antara cerpen dengan cerpen, sedangkan cerpen yang akan dikaji
hubungan intertekstualnya adalah cerpen Robohnya Surau Kami dan Burung
Kecil Bersarang di Pohon.
6Bambali, “
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Hakikat Cerpen
Jika membicarakan karya sastra rekaan atau imajinasi (yang juga disebut
karya sastra kreatif untuk membedakan dengan karya sastra non-imajinasi
yang mendasarkan pada data) kita akan membaginya menjadi tiga bagian,
yakni fiksi, puisi, dan drama. Dahulu orang sering menggolongkan hasil-hasil
sastra menjadi prosa dan puisi. Termasuk prosa di dalamnya adalah novel,
cerita pendek, dan esai. Di dalam cara penyajiannya prosa selalu
menggunakan kalimat-kalimat atau susunan kata-kata yang mempunyai arti
tunggal (satu arti saja) meskipun keseluruhan pengungkapan pengalaman di
dalamnya (misalnya cerita pendek atau novel) dapat menimbulkan banyak arti
atau tafsiran.
1. Pengertian Cerpen
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pengertian cerita
pendek (cerpen) adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang
memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu
tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika).1
Abrams sendiri mengemukakan bahwa a short story is a brief work of prose
fiction, and most of the terms for analyzing the component elements, the types, and
the various narrative techniques of the novel are applicable to the short story as
well.2
Selanjutnya menurut H.B. Jassin dalam tulisannya “Cerpen Pendek,
Lukisan dan Roman” seperti yang dikutip Korrie Layun Rampan dalam
bukunya yang berjudul Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir3 mengatakan,
1
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 263
2
M.H.A. Abram, Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), hlm. 286 3
cerpen ialah cerita yang pendek. Tentang pendek ini orang boleh berdebat dan
bertengkar, tetapi cerita yang 100 halaman panjangnya sudah tentu tidak bisa
yang panjangnya 10 atau 20 halaman masih bisa disebut cerpen tetapi ada juga
cerpen yang panjangnya hanya satu halaman.
Dalam buku yang sama, pendapat lain yaitu Nyoman Tusthi Eddy dan
Bambang Sadono S.Y. dalam tulisan “Proses Penciptaan Cerita Pendek” mengatakan bahwa cerpen ialah 1) hanya melukiskan kejadian/peristiwa, 2)
waktu berlangsung kejadian tak begitu lama, 3) tempat kejadian berkisar
antara satu sampai tiga tempat, 4) jumlah pelaku paling banyak lima orang,
dan (5) watak pelaku tak dilukiskan secara mendalam.
Sedangkan menurut Mochtar Lubis yang disebut cerpen adalah cerita yang
bisa selesei sekali baca, dua kali baca, atau tiga kali baca dengan jumlah
perkataan berkisar 500-30.000 kata. Dengan penentuan jumlah perkataan ini
belumlah menjamin cerita yang pendek itu dapat dikatakan cerpen.4
Jakob Sumardjo berpendapat bahwa cerita pendek adalah cerita yang
membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang
terkecil. Jadi, kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang
jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat
dibatasi.5
Cerita pendek (cerpen) merupakan cerita yang menurut wujud fisiknya
berbentuk pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif.
Namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca
sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500 – 5.000 kata. Karena itu, cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat
dibaca dalam sekali duduk.6
4
Mochtar Lubis, Teknik Mengarang, (Jakarta: Kurnia Esa, 1981), hlm. 43 5
Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 69 6
Dari berbagai pendapat para ahli, rumusan-rumusan tersebut tidak sama
persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya
menyepakati pada satu simpulan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah
cerita rekaan yang pendek. Cerpen merupakan akronim dari cerita pendek.
Karya sastra merupakan wujud dan bentuk dari perilaku yang diciptakan,
contoh karya sastra yang sederhana adalah cerpen. Cerpen merupakan karya
sastra yang menarik dan sederhana. Menceritakan sebuah konflik secara
singkat dan lugas, namun memiliki unsur-unsur sastra yang menarik. Oleh
karena itu, cerita pendek pada umumnya bertema sederhana. Jumlah tokohnya
terbatas, jalan ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang
terbatas.
2. Ciri-ciri Cerpen
Pada dasarnya sebuah cerpen haruslah mengandung unsur-unsur: 1)
interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai penghidupan, baik
secara langsung maupun tidak langsung, 2) harus menimbulkan suatu empasan
dalam pikiran pembaca, 3) harus menimbulkan perasaan pada pembaca
sehingga pembaca merasa terbawa jalan cerita, cerpen pertama-tama menarik
perasaan dan baru kemudian menarik pikiran, 4) mengandung perincian dan
insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja serta bisa menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
Ukuran panjang pendeknya suatu karya sering dijadikan ciri pembeda
yang cukup mudah untuk dikenali, tetapi ia bukanlah satu-satunya aspek. Ini
seperti yang tampak pada cerita pendek, novella, novelet, dan novel. Selain
unsur ukuran panjang, mereka juga dibedakan dari unsur yang lain, khususnya
unsur penanganan plot dan perwataan tokoh-tokohnya. Ukuran panjang cerita
pendek biasanya berkisar anatra 1500 sampai 15.000 kata, novella antara
20.000 sampai 25.000 kata, novelet antara 30.000 sampai 50.000 kata, dan
Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek
daripada menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan watak pada diri
tokoh. Ia lebih tertarik penonjolan atau eksploitasi saat-saat kritis revelasi,
baik internal maupun eksternal. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks
karena sekali lagi, ia lebih terfokus pada satu episode atau situasi tertentu saja,
daripada pada rangkaian peristiwa.
Selain itu ada beberapa informasi terkait cerpen antara lain mengenai
materi cerita, plot dan penokohan. Materi cerita dalam cerpen disusun di atas
semua topik yang memungkinkan. Materinya mencakup humor, petualangan,
misteri, realism, drama, detektif, kajian psikologis tokoh, dan sebagainya.7
Beberapa cerpen modern sendiri tidak memliki plot, sebagian besar masih
dibangun secara konvensional. Ceritanya yang didasarkan pada gagasan
sentral atau tema, biasanya dialirkan tanpa menunda-nunda sehingga
pendahuluannya pendek dan to the point. Klimaks muncul di ujung,
kadang-kadang di baris-baris akhir sehingga minat pembaca tetap ditahan hingga akhir
cerita. Polanya adalah dengan menempatkan klimaks di awal-awal cerita lalu
menggunakan metode kilas balik (flashback) untuk menunjukkan apa yang
menyebabkan klimaks tersebut biasanya hanya ada satu aspek kehidupan yang
digarap, dan dalam hal ini cerpen dibedakan dari novel, yang memang memuat
banyak aspek. Bagaimanapun, sama dengan novel, cerpen yang baik
memanfaatkan plot bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk
mengembangkan penokohan. Sedangkan dalam penokohan, jumlah tokoh
biasanya tidak banyak, dan karena sempitnya ruang, mereka tidak
digambarkan secara penuh.
Simpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian-uraian di atas yaitu
ciri-ciri cerpen antara lain terdiri dari, alurnya lebih sederhana, tokoh yang
7
dimunculkan hanya beberapa orang, dan latar yang dilukiskan hanya sesaat
dan dalam lingkup yang relatif terbatas.
3. Perbedaan Cerpen dengan Novel
Pada dasarnya, cerpen memiliki ciri tersendiri, yang membedakannya dari
fiksi lain, seperti novelet, novel (roman), dan drama. Novel adalah karya
imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang
atau beberapa orang tokoh. Sementara itu, cerpen (cerita pendek) adalah
karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal
kehidupan tokoh yang penuh pertikaian peristiwa yang mengharukan atau
menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Menurut Tarigan8, perbedaan antara cerpen dan novel terletak pada:
a. Jumlah kata. Cerita pendek jumlah katanya hanya mencapai 10.000 buah saja; sedangkan novel lebih dari 35.0000 buah.
b. Jumlah halaman. Cerita pendek hanya mencapai maksimal 30 halaman kuarto; sedangkan novel minimal 100 halaman kuarto.
c. Jumlah waktu. Waktu rata-rata yang dipergunakan untuk membaca cerita pendek adalah 10-30 menit; sedangkan untuk novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit.
d. Cerita pendek bergantung pada situasi dan hanya satu situasi; sedangkan novel pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku.
e. Cerita pendek menyajikan satu impresi tunggal, sedangkan novel menyajikan lebih dari satu impresi.
f. Cerita pendek menyajikan satu kesatuan efek, sedangkan novel menyajikan lebih dari satu efek.
g. Cerita pendek menyajikan satu emosi saja, sedangkan novel menyajikan lebih dari satu emosi.
h. Skala lebih sempit dalam cerita pendek dibanding dalam novel.
8
i. Seleksi lebih ketat dalam cerita pendek dibanding dalam novel.
j. Kelajuan dalam cerita pendek lebih cepat dibanding dalam novel.
k. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas lebih diutamakan dalam cerita pendek dibanding dalam novel.
Kesimpulannya, secara umum perbedaan antara cerpen dan novel dapat
[image:27.595.107.519.276.568.2]diuraikan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Perbedaan Cerpen dan Novel
No Cerpen Novel
1 Alur lebih sederhana Alur lebih rumit dan lebih panjang.
Ditandai oleh perubahan nasib pada diri
sang tokoh.
2 Tokoh yang dimunculkan hanya
beberapa orang.
Tokohnya lebih banyak dalam berbagai
karakter.
3 Latar yang dilukiskan hanya
sebentar dan sangat terbatas.
Latar meliputi wilayah geografi yang
luas dan dalam waktu yang lebih lama.
4 Tema mengupas masalah yang
relative sederhana
Tema lebih kompleks, ditandai oleh
adanya tema-tema bawahan.
4. Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah secara faktual dijumpai oleh pembaca saat
membaca karya sastra. Kepaduan antar unsur intrinsik inilah yang membuat
sebuah cerpen terwujud. Unsur intrinsik dalam cerpen terdiri dari tema, alur,
a) Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang
melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Sastra sendiri merupakan pencerminan
kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu, dalam setiap cerita bisa terdapat
berabgai macam tema. Tema sendiri bisa berupa permasalahan moral, etika,
sosial, agama, budaya, teknologi, dan tradisi yang erat hubungannya dengan
masalah kehidupan. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya.
Untuk dapat merumuskan tema cerita fiksi, seorang pembaca harus terlebih
dahulu mnegenali unsur-unsur intrinsik yang dipakai oleh pengarang untuk
mengembangkan cerita fiksinya.9 Berbagai unsur fiksi seperti alur, penokohan,
sudut pandang, latar, dan lain-lain akan berkaitan dan bersinergi mendukung
eksistensi tema.
Dengan demikian, disimpulkan jika tema suatu cerita bisa beraneka ragam
dan tema biasanya ditulis secara tersurat oleh penulis. Suatu tema terbangun
berdasarkan unsur-unsur yang berkaitan dengan tema itu dan secara bersinergi
mendukung eksistensinya.
b) Alur atau Plot
Menurut Abrams the plot in a dramatic or narrative work is constituted by
its events and actions, as these are rendered and ordered toward achieving
particular artistic and emotional effects.10 Brooks dalam Tarigan menyatakan
bahwa yang dimaksudkan dengan alur atau plot adalah “struktur gerak yang
terdapat dalam fiksi atau drama”11
. Pada prinsipnya, suatu fiksi haruslah
bergerak dari suatu permula, melalui suatu pertengahan menuju akhir yang
dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi.
Penjelasan-penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa tiap peristiwa tidak
berdiri sendiri. Permulaan peristiwa mengakibatkan timbulnya peristiwa yang
9
E. Kosasih, Op. cit., hlm.61 10
Abrams, Op. cit, hlm. 224 11
lain, peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa
berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir.
Ada pula penjelasan mengenai eksposisi, komplikasi, resolusi, dan
klimaks yang dikutip dalam Tarigan sebagai berikut:
a) Eksposisi
Dalam suatu fiksi, eksposisi mendasari serta mengatur gerak yang
berkaitan dengan masalah-masalah waktu dan tempat. Dalam eksposisi
inilah diperkenalkan para tokoh pelaku kepada para pembaca,
mencerminkan situasi para tokoh, merencanakan konflik yang akan terjadi,
dan sementara itu memberikan suatu indikasi mengenai resolusi fiksi
tersebut.
b) Komplikasi
Bagian tengah atau komplikasi dalam suatu fiksi bertugas
mengembangkan konflik. Tokoh utama menemui gangguan-gangguan,
halangan-halangan yang memisahkan serta menjauhkan dia dari tujuannya.
Dia menemui masalah paham dalam perjuangannya menumpas
penghalang serta gangguan tersebut.
c) Resolusi
Resolusi atau bagian akhir adalah bagian akhir suatu fiksi. Di sinilah
sang pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa
yang terjadi.
d) Klimaks
Titik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi disebut turning
point atau klimaks. Justru pada klimaks inilah biasanya terdapat suatu
perubahan penting atau crucial shift dalam nasib, sukses atau tidaknya
tokoh utama fiksi tersebut. jadi, klimaks adalah puncak tertinggi dalam
serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam konflik mencapai
intensifikasi yang tertinggi.
Adapun jenis-jenis alur diantaranya berdasarkan kualitas kepaduannya dan
berdasarkan isi ceritanya. Pada kualitas kepaduannya dibagi menjadi dua alur,
yang satu dengan yang lainnya begitu padu sehingga tidak memungkinkan
apabila bagian-bagian pembentuk peristiwa itu dilesapkan. Alur longgar
adalah hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya terjalin
secara renggang. Pengarang menyelingi peristiwa-peristiwa yang ada itu
dengan peristiwa lainnya yang tidak begitu berhubungan dengan inti cerita
sehingga bila peristiwa-peristiwa ditanggalkan maka tidak mengganggu
struktur cerita secara keseluruhan. Dan berdasarkan isi ceritanya ada
bermacam-macam alur, yaitu alur gerak, alur pedih, alur tragis, alur
penghukuman, alur sinis, alur sentimental, alur kekaguman, alur kedewasaan,
alur perbaikan, dan lain-lain.12
Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa
yang membangun cerita, dengan adanya permulaan dan berlanjut pada sebuah
peristiwa sehingga datanglah sebuah konflik hingga mencapai klimaks dan
berakhir dengan penyelesaian.
c) Latar
Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan
dalam suatu cerita.13 Secara singkat, Brooks menyatakan bahwa latar adalah
“latar fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita”14
Unsur prosa cerita
yang disebut latar ini menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial,
dan bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang kisah itu
berlangsung. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan
pembaca terhadap jalannya cerita ataupun pada karekter tokoh.
Dari penjelasan tersebut maka latar merupakan penggambaran factual
yang meliputi tempat, waktu, dan budaya dalam suatu cerita. Ketiga hal
tersebut mampu memperkuat jalannya suatu cerita, sehingga pembaca
menerima gambaran pelaku dan peristiwa yang terjadi pada cerita.
12 Kosasih, Op. Cit, hlm. 65-67 13 Ibid, hlm.67
d) Tokoh dan Penokohan
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan ke dalam tokoh
antagonis dan tokoh protagonis. Protagonis adalah tokoh yang memegang
peranan pimpinan dalam cerita. Tokoh ini adalah tokoh yang menampilkan
sesuatu sesuai pandangan-pandangan kita, harapan-harapan kita, dan
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal. Tokoh
antagonis adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis. Untuk
menggambarkan karakter seorang tokoh, pengarang dapat menggunakan
teknik analitik dan teknik dramatik. “teknik analitik, karakter tokoh
diceritakan secara langsung oleh pengarang”15
sedangkan teknik dramatik
adalah karakter tokoh yang dilakukan melalui penggambaran fisik dan
perilaku tokoh, penggambaran lingkungan kehidupan tokoh, penggambaran
tata kebahasaan tokoh, dan penggambaran oleh tokoh lain.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan termasuk ke
dalam salah satu unsur intrinsik yang sangat penting dan tidak mungkin
dipisahkan karena penokohan adalah cara seorang pengarang dalam
mengembangkan karakter tokoh-tokoh.
e) Sudut Pandang atau Point of View
Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam
membawakan cerita.16 Secara garis besar, sudut pandang dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai
tokoh yang terlibat dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang
ketiga yang berperan sebagai pengamat.
Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, oengarang
memakai sitilah “aku” dalam ceritanya. Pengarang masuk ke dalam cerita
menjadi si “aku”, yaitu tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri serta segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami,
15 Kosasih, Op. Cit. hlm. 68 16
dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca
hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh “aku”. Sebagai konsekuensinya, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
Sudut pandang orang pertama dapat dibedakan lagi ke dalam dua golongan
berdasarkan peran dan kedudukan tokoh “aku” dalam cerita, yaitu “aku” sebagai tokoh utama jika ia menduduki peran utama atau menjadi tokoh utama
protagonis dan “aku” sebagai tokoh tambahan jika ia hanya menduduki peran tambahan, menjadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.
Jadi, dalam sudut pandang pengarang bisa menjadi tokoh utama atau bisa
menjadi tokoh tambahan/tokoh pembantu yang hanya berperan kecil.
Adapun pada sudut pandang orang ketiga, pengarang menjadi seseorang
yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
mneyebut nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh
cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus disebut, dan sebagai variasi
digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali
siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
5. Unsur Ekstrinsik Cerpen
Berbicara tentang unsur intrinsik maka tidak akan lepas dari pembahasan
unsur ekstrinsik suatu karya sastra. Salah satunya adalah unsur ekstrinsik dalam
fiksi. Karena pada dasarnya struktur luar dan struktur dalam merupakan unsur
yang secara fungsional berhubungan satu sma lainnya. Struktur luar atau ekstrinsik adalah “segala macam unsur yang beada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial
ekonomi, factor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang
dianut masyarakat. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya akan membantu
dalam pemahaman makna karya tersebut, karena karya sastra muncul dari suatu
budaya. Segi ekstrinsik hanya dapat dibicarakan bila dilihat dari segi-segi
falsafah hidup yang dianut pengarangnya.17 Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa, biografi pengarang, lingkungan sosial budaya, lingkungan pendidikan dan
pandangan hidup pengarang termasuk bagian dari pembahasan unsur ekstrinsik
yang memengaruhi isi karya sastra yang diciptakannya18.
B.
Pendekatan Intertekstual
1. Teori Intertekstual
Secara luas intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu
teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis
berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan19. Menurut
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa intertekstual adalah hubungan
antara teks yang satu dengan teks yang lain yang saling berhubungan. Teks itu
sendiri adalah susunan kata yang membentuk makna.
Sebuah karya sastra itu sendiri, baik puisi atau prosa, mempunyai
hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian20. Jadi, dalam menganalisis karya sastra tersebut sebaiknya kita juga
membandingkan dengan karya sezaman, sebelumnya, atau juga sesudahnya
karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Inilah yang menjadi acuan
dalam penelitian intertekstual.
Sebenarnya paham atau prinsip intertekstualitas ini pada mulanya berasal
dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Perancis.
Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini
menekankan bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang
teks-teks lain karena tidak ada sebuah teks yang benar-benar mandiri, dalam
17
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1998), hlm.35 18
Ibid, hlm. 36 19
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., hlm. 172
20
arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya
teks-teks lain.21
Keterangan Kristeva tentang intertekstualitas dapat dirumuskan sebagai
berikut22:
a. Kehadiran secara fisikal suatu teks dalam teks lainnya.
b. Pengertian teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tapi juga mungkin
berupa teks bahasa.
Selanjutnya Teeuw dalam Nurgiyantoro menguraikan bahwa kajian
intertekstual sendiri dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang
diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk
menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik, seperti ide, gagasan,
peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks
yang dikaji.23 Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha
menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya
pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan interteks adalah untuk
memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. selain itu,
menurut Teeuw konsep intertekstualitas sendiri memainkan peranan yang
sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekadar
memberikan interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkret saja.24
Julia Kristeva juga mengemukakan bahwa tiap teks merupakan mosaik,
kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan atau transformasi teks-teks lain.
Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali jika kita
membandingkan teks yang sebelumnya dan teks saat ini, dalam arti teks yang
sebelumnya disebut hipogram dan teks baru yang menyerap hipogram yang
disebut teks transformasi.
21
Rina Ratih, “Pendekatan Intertekstual dalam Pengkajian Sastra”. Dalam Jabrohim (ed.) Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2002), hlm. 125
22
Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 87-88 23
Burhanudin Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 50
24
2. Hipogramatik
Teks-teks yang dikerangkakan sebagai intertekstual tidak terbatas sebagai
persamaan genre, intertekstual memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya
bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Hipogram adalah karya sastra yang
menjadi latar kelahiran karya berikutnya, dan karya berikutnya dinamakan
transformasi. Intertekstual dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel
dengan puisi, novel dengan mitos25.
Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon (serapan, olahan,
mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra
lain.26 Respon tersebut dapat berupa kata, frase, kalimat, bentuk, gagasan, dan
sejenis di dalam teks transformatif sehingga kadang pembaca sering tidak
ingat lagi akan karya yang menjadi latarnya.
Hipogram merupakan karya, tradisi, dan konvensi sebelumnya yang
dipandang sebagai suatu tantangan yang perlu disikapi yang dijadikan dasar
bagi penulisan karya lain sesudahnya27. Seorang pengarang mungkin
menyadari atau tidak menyadari sama sekali bahwa terdapat hipogram dalam
suatu karya.
Hipogram dapat diibaratkan sebagai “induk” yang melahirkan karya-karya baru. Pengidentifikasian hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan
antara karya “induk” dan karya “baru”. Usaha tersebut dapat menggambarkan
bentuk-bentuk hipogram yang meliputi:
a. ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya sastra. Ekspansi tak
sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis
kata;
25
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 172-173
26
A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 65 27
b. konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan
memodifikasi kalimat ke dalam karya baru;
c. modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi, urutan kata
dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal
tema dan ceritanya sama;
d. ekserp, adalah semacam intisari dari unsur-unsur atau episode dalam
hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan
sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya.28
Riffaterre mendefinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator
teks puitika. Hipogram mungkin kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik,
kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Pengarang baik secara sadar atau
tidak menggunakan hipogram untuk melahirkan matriks atau kata-kata kunci
yang pada gilirannya melahirkan model dan serial varian.29
Menurut Riffaterre pula30, dalam penulisan teks kesusastraan hipogram
ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram
potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks.
Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks
sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu
pada teks yang sudah ada sebelumnya.
Hipogram aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat,
peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru
sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau
teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya
teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan
bahkan seluurh isi alam semesta (dunia) ini adalah teks.
28
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2011), hlm.132 29
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 217
30
Oleh sebab itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu,
bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat berupa adat-istiadat,
kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspons atau
ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan, atau
penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa
keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan
kepada pembaca.
Sedangkan sebagaimana telah diungkapkan oleh Kristeva teks yang
menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks
transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra yang
mengandung teks transformasi semacam itu, digunakan metode intertekstual,
yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks
transformasi dengan hipogramnya.
Ciri hiprogamatik sebuah cerpen dengan cerpen lain adalah pengungkapan
masalah yang mempunyai kesamaan latar sebuah cerpen dengan cerpen lain.
Sebuah cerpen mendapatkan kekuatannya sebagai cerpen, karena masalah
yang terungkap telah dijelaskan dalam cerpen sebelumnya.
Hipogram tersebut dalam penciptaan karya yang baru tidak selalu dipatuhi,
tetapi mungkin juga disimpangi oleh penyair karya sastra yang baru.31 Oleh
Nurgiantoro, penyimpangan terhadap hipogram diistilahkan dengan myth of
freedom (mitos pemberontakan, sedangkan hipogram yang dipatuhi atau
diteruskan diistilahkan dengan myth of concern (mitos pengukuhan). Kedua
hal tersebut menurutnya wajib hadir dalam penulisan teks kesusastraan karena
kesusastraan pada hakikatnya selalu berada dalam ketegangan antara
konvensi, invansi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.32 Ini berarti
pengkajian intertekstual teks sastra yang baru tidak dipahami secara
sederhana. Teks hipogram tersebut tidak selalu tampak eksplisit dalam karya
31
Ahmad Bahtiar. Op. Cit, hlm. 124 32
sastra yang baru. Hal ini karena pengaruh tersebut merupakan penyerapan,
pentransformasian kembali teks lama terjadi secara disadari maupun tidak
disadari. Oleh sebab itu, dalam pemaknaan kembali teks baru dengan metode
intertekstual sangat memungkinkan intersubjektivitas.
Hipogram tidak akan komplit, melainkan hanya bersifat parsial, yang
berwujud tanda-tanda teks atau pengaktualisasian unsur-unsur tertentu.
Pengambilan, derivasi, atau pentransformasian bentuk-bentuk itu dapat
mencakup berbagai unsur intrinsik fiksi seperti alur, penokohan, latar, tema,
dan lain-lain. Dengan demikian, pengkajian sebuah cerita dengan
intertekstualitas akan lebih sempurna jika memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Sebuah cerita yang tercipta tidak lepas dari cerita yang lebih lama tercipta
b. Cerita yang lebih dahulu, merupakan hipogram untuk membandingkan
dengan cerita baru
c. Hipogram tersebut tidak selalu dipatuhi, tetapi mungkin disimpangi. Istilah
tersebut adalah myth of concern dan myth of freedom.
Jadi, prinsip dasar intertekstualitas adalah karya hanya dapat dipahami
maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi
hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran
berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara.
3. Transformasi Teks
Makna kunci istilah “transformasi” adalah “perubahan”, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan.33 Di dalam intertekstual, hubungannya
seringkali terjadi kontras-kontras. Hal ini disebabkan cara mentransformasikan
tanda ke dalam cerita berbeda. Transformasi dapat terjadi dari tanda memetik
kata/frase, memetik dari teks ke teks. Khusus untuk analisis intertekstualitas
masalah yang akan di analisis adalah transformasi dari teks ke teks sebagai
faktor komunikatif cerita.
33
Proses transformasi dapat dikatakan sebagai proses derivasi teks.
Sumber-sumber yang diperoleh seorang pengarang dari teks lain menjadi bahan atau
pengetahuannya dan kemudian bahan itu ditransformasikan ke dalam
karyanya. Transformasi juga sebagai proses aktualisasi ide pengarang,
sehingga faktor individual (subjektivitas) pengarang menjadi penting.
C.
Pembelajaran Sastra di Sekolah
1. Pengertian Pembelajaran Sastra
Dalam melaksanakan pengajaran kita tidak boleh berhenti pada penguraian
keterampilan ataupun pengetahan. Setiap guru hendaknya selalu menyadari
bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan kepribadiannya yang khas,
kemampuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing yang
khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai
proses pengembangan individu secara keseluruhan.
Walaupun sebagai dalam hal ini menunjuk suatu kesatuan yang kompleks,
tetapi kita dapat melihat bahwa di dalam diri siswa terkandung berbagai ragam
kecakapan yang kadang-kadang menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan
atau bahkan kelebihan-kelebihan. Oleh karena itu, hendaknya
kecakapan-kecakapan itu dikembangkan secara harmonis jika individu yang bersangkutan
diharapkan untuk dapat menyadari potensinya dan dapat mengabdikan diri
bagi kepentingan-kepentingan generasinya. Jika pengajaran sastra dilakukan
dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan
sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang
cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. 34
Dalam kurikulum 2013 sendiri tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: 1) agar peserta didik mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadiannya, memperluas wawasan di dalam kehidupan, serta untuk
34
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 2) agar peserta didik
dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang materinya berhubungan
sastra. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai saastra bila di
dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya
baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan
haru dan kagum di hati pembacanya.
Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan
pengembangan pribadi dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam
ini akan mempertimbangkan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika,
logika, estetika, dan kinestetika.35 Pembelajaran sastra hendaknya digunakan
peserta didik sebagai salah satu kecakapan untuk hidup dan harus dicapai oleh
peserta didik melalui pengalaman belajar.
Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan
yang mendalam di hati para pembacanya sebagai prwujudan nilai-nilai karya
seni. Apabila isi tulisan cukup baik tetapi cara pengungkapan bahasanya
buruk, karya tersebut tidak dapat disebut sebagai cipta sastra, begitu juga
sebaliknya.
Pengajaran sastra tidak bisa dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun
pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa.
Perbedaan hakiki antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pada
pengajaran sastra yang dasarnya mengemban misi afektif (memperkaya
pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap
peristiwa-peristiwa di sekelilingnya) yang memiliki tujuan akhir menanam,
menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah
manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai baik dalam
35
konteks individual maupun sosial. Sastra memang tidak bisa dikelompokkan
ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang
sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan
pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca,
manyimak, maupun berbicara.
Selain itu terdapat pula beberapa fungsi sastra dalam kehidupan manusia.