• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

C. Pembelajaran Sastra di Sekolah

2. Pembelajaran Cerpen di Sekolah

a. Ruang Lingkup Bahan Ajar Cerpen di SMA/MA

Dalam kurikulum 2013 untuk Sekolah Menengah Atas (SMA), ruang lingkup bahan ajarnya sebagai berikut36:

Tabel 2

Ruang Lingkup Bahan Ajar Cerpen

Kelas Semester Bahan Ajar Ket.

X I -

II -

XI I  Mensyukuri anugerah Tuhan akan

keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,

menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi

kompleks, dan film/drama.

 Memahami struktur dan kaidah teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan

36

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kompetensi Dasar untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, 2013, hlm. 38

 Membandingkan teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi

kompleks, dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan.

 Menganalisis teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan.

 Mengevaluasi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan maupun tulisan. II  Menginterpretasi makna teks cerita

pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik secara lisan maupun tulisan.

 Memproduksi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama yang koheren sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan.

 Menyunting teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan.

 Mengabstraksi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik secara lisan maupun tulisan.

 Mengonversi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks

baik secara lisan maupun tulisan.

XII I -

II -

b. Strategi dan Teknik Mengajar Mengajar Cerpen di SMA/MA

Selain bahan ajar, waktu, dan metode, serta teknik pembelajaran memegang peranan penting dalam mengajar. Bagaimanapun baiknya bahan ajar dan cukup alokasi waktu yang telah disediakan jika tidak didukung dengan strategi yang baik, maka tujuan atau proses pengajaran tidak terkoordinir dengan baik, sudah tentu hasil yang diharapkan pun relatif kurang. Oleh karena itu, kedudukan bahan, waktu, metode serta teknik tujuan pengajaran yang baik dan relevan merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisahkan di dalam proses belajar mengajar.

Selanjutnya teknik mengajar apresiasi cerpen dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas kepada siswa adalah kegiatan analisis secara operasional dilakukan oleh penganalisis (siswa). Secara operasional teknik atau langkah-langkah kerja analisis sebagai berikut:

1) Membaca kedua cerpen secara keseluruhan

2) Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik kedua cerpen tersebut yang meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan

3) Menghubungkan dua buah cerpen dari segi tema, tokoh dan penokohan, serta latar untuk mengetahui hubungan intertekstualitasnya

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar, strategi dan teknik mengajar cerpen berperan untuk pencapaian sasaran pengajaran.

c. Tujuan Pembelajaran Intertekstual Cerpen di SMA/MA

Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran intertekstual adalah sebagai berikut:

1) Peserta didik memperoleh pengetahuan tentang unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah cerpen;

2) Peserta didik memperoleh gambaran tentang hubungan suatu karya sastra khususnya cerpen yang mempunyai hubungan atau pertentangan dengan karya lain.

3) Peserta didik memperoleh kesenangan mempelajari cerpen dengan pendekatan intertekstual.

Apabila seseorang sudah semakin tinggi tingkat pemahamannya mengeani cerpen maka ia akan selalu mengikuti perkembangan cerpen sepanjang zaman yang selalu mengalami perubahan, yaitu perubahan yang sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya.

36

Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan namanya yang lebih sederhana A.A. Navis. Putera dari St. Marajo Sawiyah ini lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 November 1924. Ia merupakan anak sulung dari 11 saudara kandung atau 16 saudara seayah.

Berbeda dengan kebanyakan putera Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis memilih untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya. Ia berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, namun yang menentukan keberhasilan pada akhirnya tetaplah kreativitas itu sendiri.

Kesenangan A.A. Navis terhadap sastra dimulai dari kampung halamannya di Minang. Orang tuanya pada saat itu, berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Kedua majalah itu sama-sama memuat cerita pendek dan cerita bersambung di setiap edisinya. Navis selalu membaca cerita-cerita itu dan lama-kelamaan ia pun mulai menggemarinya. Ayahnya pun lalu memberikan uang agar ia bisa membeli buku-buku bacaan kegemarannya. Itulah modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.

Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesich Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutanam selama sebelas tahun. Meskipun sekolah itu begitu berjasa dan menjadi perhatian Navis tetapi hampir tidak ada karya sastranya yang berkaitan dengan atau mengambil latar INS. Hanya saja Navis memperkirakan bahwa watak dan kebiasaan mencemooh yang amat kental dalam cerpen-cerpen terasah di INS ini.1

1

Kemampuannya mencemooh dalam karya sastra maupun pergaulan sehari-hari merupakan hal yang khas dari Navis.

Seusai masa Jepang dan memasuki masa kemerdekaan, Navis pindah dan melaksanakan aktivitas di Bukittinggi dan ikut dalam perjuangan perebutan kemerdekaan melalui bidang yang dikuasainya. Untuk biaya hidup, ia membuka toko buku yang juga berfungsi sebagai taman bacaan, serta mengisi acara radio di RRI Bukittinggi. Navis menulis skrip, memainkan. dan menyutradai sandiwara. Ia juga mengasuh sebuah acara sastra dan budaya yang diminati oleh banyak orang muda pecinta sastra.2

A.A. Navis baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama sekaligus menjadikannya terkenal yaitu “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini merupakan sindiran terhadap orang-orang yang kelihatannya patuh melakukan syariat agama tetapi sebenarnya rapuh di dalam, sehingga mudah terhasut untuk bunuh diri. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surau Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada beberapa cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.3 Selain itu, ia juga menulis kumpulan cerpen lainnya seperti Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964).

Selain menulis cerpen, Navis juga menulis novel Kemarau (1967) dan Saraswti Si Gadis dalam Sunyi (1970). Tema-tema yang muncul dalam karya- karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau. Ia pernah berkeinginan menulis tentang peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi peristiwa tersebut.

2

Ivan Adilla, Op. Cit, hlm. 15 3

Di luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi harian Semangat (harian angkatan bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya sebagai pemakalah atau peserta.

Semasa hidupnya Navis juga pernah memperoleh beberapa penghargaan antara lain hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”. Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk novel Saraswati dalam Sunyi, hadiah seni dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau, dan SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand).

B.

Biografi Kuntowijoyo

Prof. Dr. Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Ayahnya seorang dalang dan pembaca macapat, sedangkan eyang buyut-nya seorang khathath (penulis mushaf Al-Qur‘an dengan tangan).

Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar M.A American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980.

Karya-karya monumental yang lahir dari tangan dinginnya antara lain; Suluk Awung-awung (Kumpulan Sajak, 1975), Isyarat (Kumpulan Sajak, 1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (Kumpulan Sajak, 1995); Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kumpulan Cerpen, 1992) dan Hampir Sebuah Subversi (Kumpulan Cerpen, 1999); Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1966), Pasar (novel, mendapatkan hadiah Hari Buku, 1972), Khutbah

di Atas Bukit (Novel, 1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003); Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda dan Carta (drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya yang lain tersebar pula dalam berbagai antologi.4

Karya sastra yang diciptakan, menurut Kuntowijoyo bukan hanya memberi kesan melalui fungsinya, tetapi terutama melalui kualitas pesan moral dan kemanusiaannya yang disugestikan melalui ungkapan-ungkapan estetisnya yang memiliki daya pembayang (imaginasi) yang kuat. Untuk itu, Kuntwowijoyo menggunakan sarana-sarana estetik sastra klasik seperti penciptaan tokoh, kejadian dan latar cerita yang aneh, ganjil, ajaib, serba unik, mengagumkan, mengerikan dan kadang-kadang dahsyat. Caranya membangun alur cerita, menampilkan tokoh dan kerjadian, serta latar cerita, dapat dibandingkan penulis-penulis lain yang sezaman seperti Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Arifin C. Noer dan lain-lain. Sekali pun tokoh cerpen- cerpen dan novel Kuntowijoyo terkesan ganjil, namun tetap berpijak pada realitas.5

Bagi Kuntowijoyo (menulis) sastra adalah proses pengendapan

pengalaman. Sudah sejak kecil ia terbiasa menuliskan “catatan-catatan

pengalaman” dalam bentuk sinopsis. Dari catatan-catatan itulah kemudian

bermunculan karya sastra. Hal yang memberikan pengaruh dalam proses kreatif Kuntowijoyo ketika menulis sastra, selain faktor budaya Jawa, pengalaman hidupnya, pergulatan dengan budaya Barat dan pemikiran Islam, adalah juga posisinya sebagai sejarawan.

Kuntowijoyo telah meraih beberapa penghargaan, antara lain; penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga- Bunga (1994), ASEAN Award on Culture (1997), Satya Lencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

4

Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hal.2 5

Abdul Hadi W.M., “Wawasan Sastra Kuntowijoyo dan Kepengarangannya”, dalam http://horisononline.or.id/ diunduh pada 13 November 2012

Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001), dan SEA Write Award dari Pemerintahan Thailand (2001).

Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis. Sebelum meninggal dunia, ia adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada dan juga pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak.

Gagasannya yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas, ia juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.

C.

Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA. Navis

Cerpen “Robohnya Surau Kami” ini bercerita mengenai di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk, datanglah seseorang yang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat untuk menjadi garin atau penjaga surau tersebut, dan hingga kini surau tersebut masih tegak berdiri. Meskipun kakek atau garin dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada hal pokok yang membuatnya dapat bertahan, yaitu dia mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue, atau rokok.

Kehidupan kakek ini sangat monoton. Ia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau, dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Hasil pekerjaannya itu tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat dalam sebuah perbincangan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.

Dia memang tidak pernah mengingat anak dan istrinya, tetapi dia pun tidak pernah memikirkan hidupnya sendiri sebab memang tak ingin kaya atau membuat rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhan. Ia tak berusaha menyusahkan orang lain atau membunuh seekor lalatpun ia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhan. Kakek atau garin penjaga surau begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, ia tidak kuat memikirkan hal itu. Kemudian ia lebih memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur. Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat sekitar. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematian sang kakek. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau, dia tetap pergi bekerja.

D.

Sinopsis Cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya

Kuntowijoyo

Cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon berkisah tentang seorang lelaki tua yang merupakan guru besar ilmu Tauhid sebuah universitas. Cerita berawal dari perjalanan sang tokoh menuju masjid untuk menunaikan salat Jumat. Kebetulan pula ia yang menjadi khatib sekaligus imam pada

kesempatan Jumat itu. Di perjalannannya menuju masjid ia melewati sebuah pasar yang (selalu) hiruk-pikuk, seolah tak peduli bahwa hari itu hari Jumat. Di jalan pasar itulah pikiran sang guru besar ilmu Tauhid tersebut berkecamuk. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk kepada para pedagang. Bagaimana mungkin bisa disebut beragama mereka (para pedagang) jika pada hari Jumat saja tidak bisa memenuhi panggilan Tuhan. Untuk beberapa saat pikirannya terbenam kelakuan para pedagang yang tak mengindahkan hari mulia tersebut. Kutukan menyumbat pikirannya. Sang guru bukannya tidak berusaha mencari alasan logis untuk setidaknya agak memihak kondisi pedagang yang tak bisa meninggalkan dagangannya untuk salat Jumat. Namun, seiring itu pula sikap negatif muncul lebih kuat.

Kesimpulannya, orang pasar tersebut tak tahu agama, dan mereka harus diberi peringatan. Namun, tak lama kemudian di sisi lain, perhatiannya teralih kepada seorang bocah yang sedang menangis karena tidak bisa mengambil sarang burung di pohon, hatinya tertarik mendekati bocah malang itu. Tanpa ia sadari ia telah berlama-lama dengan sang bocah—hanya untuk menolong bocah tersebut mengambil sarang burung sekaligus menangkap (menjerat) induk burung.

Pertemuan sang guru besar dengan bocah tersebut melemparkannya ke ingatan masa lalu. Sejenak ia merasa seperti kanak-kanak lagi. Bersama sang bocah itu pula ia seperti menemukan lorong waktu. Ia kembali merasakan masa kanaknya yang bahagia. Hanya satu yang tak ia ingat. Hari itu hari Jumat. Dan ia telah telat total. Sesampai di mesjid para jemaah sudah berhamburan keluar. Mata tajam para jemaah menusuk tepat di matanya.

Sang guru besar itu seperti menelan sendiri pikirannya terhadap orang pasar tadi. Bagaimanapun, tadi, ia telah menghakimi orang pasar yang tidak tahu agama karena tidak bersegera menjalankan ibadah shalat jumat. Dan kini, para jamaahnya, lewat mata mereka, menghukum keterlambatannya. Ia malu pada orang-orang yang mungkin akan mencemoohnya. Ia ingin masuk ke

dalam masjid sendirian dan salat sendirian. Tiba-tiba pikiran aneh muncul di kepalanya, jangan-jangan anak itu penjelmaan setan yang tugasnya menggoda manusia di jalan Tuhan. Ia merasa takut dimurkai oleh Tuhan, padahal baru saja ia merasakan suatu perasaan berbeda bersama anak kecil itu, perasaan bahwa ia bekerja keras, bahwa ia baru saja merasa menjadi manusia dalam arti sebenarnya bersama anak kecil itu.

E.

Unsur Intrinsik Cerpen

Robohnya Surau Kami karya

AA. Navis

1. Tema

Tema yang disampaikan pengarang melalui cerpen ini adalah mengenai konflik jiwa keagamaan dalam menghadapi soal-soal duniawi. Tema ini disajikan dalam bentuk sindiran-sindiran yang tajam terhadap orang-orang beragama, terutama yang menjalankan perintah Tuhan tanpa mampu penafsiran yang mendalam secara kritis sehingga melupakan amal perbuatan dan tanggung jawab duniawi. Dalam hal ini perbuatan baik untuk amal di akhirat tidak kalah pentingnya dengan tanggung jawab hidup selama di dunia.

2. Tokoh dan Penokohan a. Aku

Tokoh Aku di sini yang membawakan jalannya cerita, dalam arti cerita ini merupakan cerita berbingkai dimana di dalam cerita terdapat sebuah cerita. Ada pengarang asli yang membuat cerita dalam arti di sini adalah A.A. Navis namun dalam kisahnya sendiri terdapat narrator lain sebagai pembawa jalannya cerita yaitu tokoh aku.

Pengarang menggambarkan tokoh aku secara dramatik. Teknik penggambaran tokoh secara dramatik artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.6 Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan

6

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 198

kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Aku orang yang cukup peduli dan perhatian kepada kakek karena sering memberi kakek uang.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di depan pasar.7

“Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang.”8 Tokoh ini juga begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Narator menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”9

.

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat

meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.10

b. Kakek

Kakek adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Kisah kakek diceritakan oleh tokoh Aku. Kakek yang dipanggil sebagai garin atau marbot, karena bertugas sebagai penjaga surau dan sangat taat

7

AA. Navis, Robohnya Surau Kami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 1 8 Ibid, hlm. 2-3 9 Ibid, hlm.9 10 Ibid, hlm.16

beribadah. Sudah bertahun-tahun kakek mengabdikan dirinya sebagai penjaga surau walaupun dari hasil pengabdiannya itu kakek tidak mendapat upah.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.11

Untuk biaya hidup kakek mendapat sedekah dari orang-orang setiap kali hari Jumat. Setiap enam bulan sekali ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas di kolam, dan setiap Idul Fitri, kakek mendapat zakat. Selain menjaga surau, Kakek mahir mengasah pisau sehingga banyak yang meminta tolong kepadanya untuk mengasah pisau walaupun terkadang hanya imbalan berupa terima kasih dan sedikit senyuman yang didapatnya.

Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka meminta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa.12

Di usianya yang senja Kakek hidup sendiri karena memang diceritakan ia tidak menikah dan berkeluarga. Kakek menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Tuhan tanpa memikirkan kehidupan di dunia.

Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak

kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah

Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.13

Sifat Kakek yang hanya memikirkan dunia inilah yang pada

akhirnya menjadi “korban” bualan dari Ajo Sidi. Pada akhir cerita,

Kakek ditemukan bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri

11 Ibid, hlm. 1 12 Ibid, hlm. 2 13 Ibid, hlm. 5

setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi. Di sini terlihat jika ternyata Kakek mudah percaya dengan seseorang walaupun pada awalnya sempat kesal dan mencoba untuk menahan amarahnya, ia berpikir akan sia-sia saja semua ibadah yang dilakukan, tetapi pada akhirnya Kakek memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ini merupakan

Dokumen terkait