• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan

Oleh

Muhammad Zainal Abidin

NIM 1110013000024

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Pembelajaran Sastra di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016.

Penelitian ini bertujuan menganalisis kehidupan masyarakat pesantren lewat tiga

cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri lewat tinjauan kritik sosial.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren.

Pada akhirnya, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kritik sosial yang terdapat dalam tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri anggapan masyarakat tentang adanya elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi kalangan masyarakat, keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan tersebut, secara garis besar memang benar adanya. namun di sisi lain pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal mistis, hal ini juga terjadi di kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren).

Maka, dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan yaitu mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Baik dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara umum.

Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen. hingga mampu menggugah minat baca siswa terutama yang berkaitan dengan pesantren serta mengembangkan daya kritis siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah cerpen.

(6)

ii

Language and Literature Learning in Senior High School. Education of Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah Jakarta.

This research aimed to analyze the life of people in pesantren by using three short stories “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, and “Lukisan Kaligrafi” that included in short story of LukisanKaligrafis’ collection by A. MustofaBisri in considering of social critic.

Finally, this research can be concluded that social critic including in three short stories by A. Mustofa Bisri is people perspective about some shaper elements in pesantren environment, such as heir daily activities covering in education institution that move just in the religious side. The last, that perspective composesthe opinion that pesantren as monotonous education institution. In literary teaching or learning, the things who need to be developed is that the thing who concerned sense; reasoning; affective, social, and religious.

This Lukisan Kaligrafi short story collection by A. Mustofa Bisri can be learned as literary education in the shool. At the time that discuss about understanding literary discourse through reading short story activity, until the student can understand about how to reading literature, especially literature that relating to the pesantren.

(7)

iii

Salawat dan salam semoga selalu tercurak kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kritik Sosial dalam Kumpulan cerpe Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Penulis banyak memerlukan bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya, penulis menyampaikan terima kasih pada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, Sulaiman dan Siti Fatimah yang senantiasa mengalirkan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Makyun Subuki, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan

(8)

iv

dan Yanti Nuryana), teman-teman Majelis Kantiniyah (Bang Ipang, Levi arnaldo, Irsyad Zulfahmi Bohari Muslim, Fajar, Muhammad Ikbal, Bang Zek serta Teman-teman Uye (Daniel Adepi, Miftah Falakhi, Sigit Purnomo, Zakky Ramdhani Muslim, Dede Sunarya, Lintang Akhlakulkharomah, Muhammad Alfinur, Fahrudin Mualim, anak-anak kosan Gang Jati, yang selalu sabar dan rela membantu juga memberikan semangat kepada penulis.

7. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, doa, semangat yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Jakarta, 14 September 2016

Penulis

(9)

v

Surat Pernyataan Keaslian Skripsi

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Batasan Masalah... 3

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metode Penelitian... 5

1. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 5

2. Jenis Penelitian ... 6

3. Prosedur Penelitian ... 6

4. Teknik Penulisan ... 7

5. Teknik Pengumpulan Data ... 7

6. Sumber Data ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Kritik Sosial ... 9

B. Pesantren ... 10

1. Pengertian Pesantren 2. Ciri-Ciri Pesantren C. Pengertian Kiai ... 12

(10)

vi

F. Pembelajaran Sastra ... 25 G. Penelitian yang Relevan ... 26 BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG A. MUSTOFA BISRI

A. Biografi A. Mustofa Bisri ... 28 B. Karya-Karya A. Mustofa Bisri ... 30 C. Pandangan A. Mustofa Bisri Sebagai Sastrawan ... 31 BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik ... 35 B. Analisis Kritik Sosial ... 53 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 62 BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 64 B. Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang digunakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Setiap karya sastra selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya. Oleh karena itu cerpen sebagai karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan sumber pengetahuan dan belajar.

Oleh karena itu pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan agar siswa dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya sastra tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Sebab pada umumnya masyarakat saat ini cenderung menilai bahwa cerpen sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal cerpen merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat menemukan nilai-nilai dalam cerpen tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa bahan pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya.

Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah kehidupan. Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia.

(12)

cerpen-cerpen beliau sebagai bahan penelitian. Karakteristik „tema pesantren Jawa’ cerpen -cerpen A. Mustofa Bisri menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi di implikasikan dalam sistem pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

Beberapa masalah soal umat Islam yang dihadirkan A. Mustofa Bisri melalui cerpen-cerpennya ternyata menjadi kritik kehidupan di pesantren terhadap masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku kumpulan cerpennya, terdapat lima belas cerpen yang A. Mustofa Bisri tulis, beberapa cerpennya memiliki tema yang sama antara cerpen yang satu dengan cerpen yang lain, oleh karena itu penulis hanya akan meneliti tiga dari lima belas cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpennya.

Melalui pendekatan mimetik penulis akan membandingkan peristiwa atau fenomena yang ditemui di dalam cerita serta menghubungkannya dengan kenyataan

di luar karya. Cerpen “Gus jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi” dirasa

mampu untuk mewakili keseluruhan tema yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut, karena menceritakan tentang kehidupan di dalam pesantren dan persoalan-persoalan yang kerap hadir dalam kehidupan pesantren. Seperti kritik yang ditujukan untuk masyarakat pada umumnya, yaitu mengenai kebiasaan masyarakat yang tidak mau menerima hal-hal baru dalam ritual keagamaan.

(13)

Dengan penelitian ini penulis berharap siswa dapat memahami dan mengerti unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah prosa khususnya cerpen. Selain itu diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas pengetahuan agama siswa melalui pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul skripsi Kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kurangnya pembahasan mengenai kritik sosial yang membahas tentang kehidupan masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia.

2. Kurangnya implikasi mengenai kritik sosial yang membahas tentang kehidupan di dalam pesantren dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran di SMA.

3. Kurangnya pemahaman siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah karya sastra.

4. Kurangnya pembelajaran agama di sekolah. C. Batasan Masalah

(14)

bahan penelitian yang hendak di teliti oleh penulis yaitu kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

1. Kritik sosial dalam cerpen kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisriterhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di Indonesia

2. Implikasi kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kritik sosial kehidupan pesantren dalam tiga cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri?

2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kritik sosial di pesantren dalam dalam tiga cerpen “Gus

Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam

kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri.

(15)

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran siswa di lingkungan sosial menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilai-nilai keduniawian.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kritik kehidupan di pesantren dalam sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik

c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang cerpen secara terstruktur dan mendalam

G. Metode Penelitian

1. Bentuk dan Strategi Penelitian

(16)

tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren.

“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta -fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.1

Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan realita yang ada.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

3. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membaca buku kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri yaitu Lukisan Kaligrafi.

b. Menetapkan tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri yang terdapat pada kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi sebagai objek penelitian dengan

1

(17)

fokus menemukan kritik sosial dalam dunia Pesantren yang tergambar dalam tiga cerpen tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan. c. Membaca ulang dengan cermat tiga cerpen A. Mustofa Bisri, Lukisan

Kaligrafi untuk menentukan hal yang dipahami sebagai kritik sosial dalam dunia Pesantren yang terdapat dalam Tiga cerpen tersebut dan implikasinya dalam dunia pendidikan.

d. Menandai setiap kata, kalimat dan paragraf yang mengandung kritik sosial dalam kehidupan Pesantren.

e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan analisis kritik sosial dalam kehidupan Pesantren.

f. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.

g. Menyimpulkan hasil penelitian

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. 5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar, dan majalah.

6. Sumber Data a. Data Primer

(18)

b. Data Sekunder

(19)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kritik Sosial

Kata kritik berasal dari kata krites yang dalam bahasa Yunani berarti

“hakim”. Krinein adalah kata kerja dari krites yang berarti “menghakimi”. Kata tersebut adalah pangkal dari kata benda criterion yang artinya “dasar penghakiman”. Istilah itu lalu berkembang hingga memunculkan istilah kritikos atau “hakim karya sastra”.1

Sedangkan kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) ialah, “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan

sebagainya.”2 Sedangkan kata sosial bermakna, “berkenaan dengan masyarakat,

suka memerhatikan kepentingan umum."3

Kritik sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun berbagai bentuk keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan. Menurut Akhnad Zaini Akbar, kritik sosial adalah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Zaini juga mengatakan bahwa pelbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain kritik sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.4

Sementara itu Moh. Mahfud MD mengartikan kritik sosial sebagai sesuatu yang mendasar di dalam kehidupan masyarakat, sebab masyarakat terus berubah atau berkembang sehingga diperlukan semacam situasi dan perilaku ideal (ideal conduct) yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu.

1

Suminto A. Sayuti, Wiyatmi, Kritik Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.3 — 1.4.

2

http://bahasa.kemdiknas.go.id//kbbi/index.php, diakses tanggal 20 Agustus 2015.

3 Ibid.

4

(20)

Dalam kalimat Mahfud yang lain, “kritik sosial adalah sesuatu yang positif sebab ia mendorong sesuatu terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria (di sini kata kritik terkait kriteria) yang dianggap wajar dan telah disepakati

bersama.”5

Jadi, dapat disimpulkan sebagai seuah upaya pngembalian terhadap persoalan yang dikembalikan terhadap beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.6

Johns yang dikutip Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil artinya guru mengaji. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri tersebut berasal dari kata shastra yang berarti buku suci, buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.7

Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kata santri berasa dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana pergi.8

Kata pondok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan untuk tempat sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak yang berdinding bilik dan beratap rumbia, madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).9

5

Ibid., h. 71.

6

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 878.

7

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 41.

8

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 19-20.

9

(21)

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia; sebab lembaga yang serupa, sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.10

Pesantren secara terminologi didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.11

2. Ciri Pesantren

Dhofier menjelaskan bahwa ada lima elemen sehingga dapat disebut sebagai pesantren yaitu adanya pondok, masjid, kiyai, santri, dan pengkajian kitab Islam klasik (kitab kuning).12

Sedangkan Kafwari sebagaimana dikutip oleh Tafsir telah mengidentifikasikan pesantren dan membagi pesantren menjadi empat pola yaitu:

a. Pola satu, yaitu pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen yang berupa masjid dan rumah kiyai.pesantren ini masih sederhana. Kiyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat mengaji. Biasanya santri berasal dari daerah sekitarnya namun pengajaran telah diselenggarakan secara kontiniu dan sistematik.

b. Pola dua, yaitu sama dengan pola satu ditambah dengan pondok bagi santri.

c. Pola tiga, yaitu sama dengan pola dua ditambah dengan adanya madrasah dan ditambah dengan pengajaran kitab kuning klasik. d. Pola empat, yaitu pesantren pola tiga ditambah dengan adanya

keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, lading, dan sebagainya.13

10

M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1987), h. 5.

11

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55.

12

Dhofier, Op.Cit., h. 44.

13

(22)

C. Pengertian Kiai

Kiai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kiai sangat berpengaruh, kharismatik, dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh masyarakat di lingkungan pondok pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya satu pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.

Menurut asal-usulnya, perkataan kiai digunakan untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu:

1. Sebagai gelar kehormatan pada barang yang dianggap keramat, misalnya “Kiai Garuda Kencana” yang digunakan untuk sebutan Kereta Emas yang berada di Keraton Yogyakarta.

2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).14

Para Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam, seringkali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.15

Sedangkan anak seorang kiai laki-laki disebut dengan panggilan “Gus” yang berasal dari kata bagus yang bertujuan untuk mendoakan seorang anak agar menjadi orang yang baik, istilah Gus juga menjadi panggilan kehormatan untuk seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gus diartikan sebagai nama julukan atau nama panggilan kepada anak laki-laki.16

Semua warga pesantren tunduk pada kiai. Mereka berusaha keras melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta menjaga agar jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya tidak direstui kiai,

14

Dhofier, Op. Cit., h. 93.

15

Dhofier, Op. Cit., h. 94.

16

(23)

sebaiknya mereka sesalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui kiai.17

Kiai sebagai pengasuh pondok pesantren diposisikan sebagai top leader yang menjadi panutan bagi santrinya. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan pesantren berada di tangan kiai, terkhusus yang berkaitan dengan pembentukan suasana kepesantrenan.

D. Cerita Pendek

1. Pengertian Cerita Pendek (Cerpen)

Pengertian cerpen telah dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra, sastrawan. Di bawah ini ada beberapa pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh pakar sastra.

H.B. Jassin mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang pendek. Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerpen ini orang boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu tidak bisa disebut cerpen dan memang tidak ada cerpen yang sedemikian panjangnya. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih bisa disebut cerpen tetapi ada juga cerpen yang panjangnya hanya satu halaman.18

Pengertian cerpen selanjutnya dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini di dalam buku mereka Apresiasi Kesustraan. Mereka berpendapat bahwa cerpen adalah cerita pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen.19

Sumardjo juga mengemukakan pengertian cerpen di dalam bukunya Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa cerpen adalah

17

Ahmad Musthofa Haroen dkk, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta: 2009), h. 436.

18

Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Graha Imu, 2012), Cet. 2, h. 50.

(24)

diksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerpen hanya memiliki satu arti satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik.

Pengertian cerpen yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, Sumardjo, dan Saini di atas tidak berbeda jauh dengan pengertian cerita pendek Edgar Allan Poe (penyair, pengarang cerpen, novelet, dan esai Amerika abad ke-19). Dia terkenal bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak panjang cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada satu masalah dan memberi kesan tunggal.

Sumardjo dalam Antilan Purba berpengertian bahwa cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerpen harus tajam dan dalam sehingga sekali membacanya kita tak akan mudah lupa.20

Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Cerpen, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, peristiwa dan isinya sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang pendek dan isi ceritanyapun singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Oleh karena peristiwa dan isinya singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif sedikit jika dibandingkan roman atau novel.21 Satu yang terpenting, cerita

20

Ibid., h. 51.

21

(25)

pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.22

Berdasarkan pendapat H.B. Jassin, Sumardjo, Saini, dan Edgar Allan Poe sastrawan asal Amerika ini, penulis lebih mengikuti pendapat dari Sumardjo. Maka dari itu, disimpulkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang tidak panjang dan cukup dibaca sekali duduk dengan aspek masalah yang sangat dibatasi sehingga tergambar lebih jelas dan lebih mengesankan dan pembaca pun tidak mudah lupa isi ceritanya

2. Ciri Cerita Pendek (Cerpen)

Cerpen memiliki ciri utama yaitu singkat, padu, intensif. Di samping ciri tersebut, ciri lainnya adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun cerpen adalah rekaan, namun ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan di dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat terjadi semacam itu. Pembaca cerita rekaan bukan sekadar membacar kisah lamunan. Membaca karena cerpen menunjukkan suatu sisi kenyataan. Pembacanya menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasi diri dengan tokoh cerita rekaan sehingga ikut mengalami peristiwa yang dihadapinya. Perbuatan-perbuatannya, pikiran dan perasaannya, keputusannya, dilema-lemanya, dan sebagainya. 23

Ciri selanjutnya adalah sifat naratif atau penceritaan. Cerpen bukanlah pancandraan (deskripsi) argumentasi dan analisis tentang suatu hal, tetapi cerita. Tidak setiap cerita disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa (penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan juga berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan telah terjadi.24

22

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76

23

Purba, Op. Cit., h. 52.

24

(26)

3. Unsur Cerita Pendek

Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel, novelet, dan cerpen karena tidak ada penelitian yang mendukung pembedaan beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan bahasa dan lukisannya.25

Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi menjadi dua yaitu: (1) cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerita yang mengandung nilai sastra (moral, etika, dan estetika); (2) cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika.26

Karakter utama dalam fiksi (cerpen) adalah peristiwa, yaitu suatu kejadian yang di dalamnya ada hubungan antara tokoh, alur, dan setting. Peristiwa dalam cerpen menunjukkan dua pola, yaitu peristiwa monologis yang merupakan penggambaran keadaan dan kedirian yang bersifat tunggal, dimana tokoh sedang bermonolog atau penulis sedang menggambarkan keadaan; dan peristiwa dialogis yang merupakan penggambaran keadaan hubungan tokoh dengan tokoh dalam suatu keadaan tempat dan waktu tertentu. Baik peristiwa dialogis dan monologis selalu ada dalam sebuah cerpen.27

Sekalipun ada peristiwa monologis dan dialogis sebagai peristiwa pembangun cerita, tetapi hakikatnya peristiwa itu menunjukkan karakter yang sama, yaitu peristiwa sebagai pembangun cerpen selalu terbentuk atas: tokoh, setting, dan alur. Dengan demikian, ketiganya adalah pembangun cerita yang konkret (fact) yaitu suatu fakta-fakta konkret yang eksplisit membangun

25

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008)., h. 140.

26

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sastra Indonesia (Bandung: UPI PRESS, 2006), cet. 2, h. 37.

27

(27)

cerpen ataupun fiksi sehingga ketiga unsur ini (tokoh, latar, dan alur) disebut dengan fakta cerita. Melalui fakta cerita inilah maka tema, pesan, amanat, suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan.28

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.29 Unsur-unsurnya antara lain: biografi pengarang yang turut menentukan ciri karya yang dihasilkan, psikologi pengarang atau pun pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial yang dapat mempengaruhi karyanya.

b. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam sebuah karya sastra, yaitu unsur yang membangun karya itu sendiri. Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, alur, gaya bahasa, dan pesan atau amanat. Unsur ini dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.

1). Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.30 Stanton dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita.31 Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan.32 Dengan demikian, untuk menentukan

28 Ibid. 29

(28)

tema harus memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga dapat memperoleh inti dari sebuah cerita dan menentukan tema dengan tepat.

2). Tokoh dan Penokohan

Yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku atau subjek lirik dalam karya sastra.33 Aminuddin dalam Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.34 Burhan berpendapat bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerpen. Sedangkan penokohan artinya karakter dan perwatakan— menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.35

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).36 Hampir sependapat dengan Burhan menurut Sudjiman dalam Priyatni, berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh bawahan atau pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat tinggi, menjadi pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung tokoh utama, yang membuat

33

Priyatni, Op. Cit., h. 110.

34

Siswanto, Op. Cit., h. 142.

35

Burhan, Op. Cit., h. 165.

36

(29)

cerita lebih hidup.37 Dalam sebuah cerita tidak hanya memunculkan satu tokoh saja, pastinya ada tokoh tambahan di samping tokoh utama agar cerita lebih hidup dengan kehadiran tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak yang berbeda, sehingga cerita akan lebih menarik dengan perbedaan watak yang digambarkan di dalam cerita. Hubungan tokoh dengan dengan unsur cerita yang lain, seperti hubungan tokoh dan latar merupakan dua unsur rekaan yang erat berhubungan dan tunjang-menunjang.38

3). Alur (plot)

Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Menurut Aminuddin dalam Siswanto, membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.39

Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya, nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya.

Konflik atau tikaian, ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau

37

Priyatni, Op. Cit., 110

38

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988), h. 27.

39

(30)

lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir dan batin.

Komplikasi atau rumitan bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian.

Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan.

Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.

Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.40

Tahap-tahap alur dijelaskan sebagai urutan waktu kejadian di dalam cerita. Namun, tidak semua cerita dimulai dari tahap yang paling awal yaitu pengenalan. Ada pula cerita yang dimulai dari tahap penyelesaian, hal itu disebut alur mundur. Sedangkan tahap alur yang runtut dari pengenalan hingga selesaian disebut alur maju. Bagi pembaca, alur atau plot berguna untuk memahami keseluruhan isi cerita secara runtut dan jelas.

4. Latar (Setting)

Setting adalah latar atau tempat kejadian, watu sebuah cerita. Setting bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin, saat cerita itu terjadi.41 Latar, tidak hanya merujuk pada lokasi peristiwa, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun karakter tokoh, menentukan tema, serta membangun suasana

40

Ibid., h. 160.

41

(31)

tertentu. Latar, tidak hanya mampu memberikan pengetahuan tentang masyarakat tertentu, tapi juga mampu melukiskan secara lengkap berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi masyarakat tertentu.42

Menurut Abrams dalam Siswanto, latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.43

Jacob Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwa latar memuat: latar waktu, latar alam/geografi, dan latar sosial.44 Faktor dominan dalam latar antara lain: a) faktor tempat yaitu gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi itu terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) faktor waktu, merupakan gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungan dengan tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman, tahun, atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c) faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat.45 Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar

42

Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57.

43

Siswanto, Op. Cit., h. 149.

44

Priyatni, Op. Cit., h. 112.

45

(32)

sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh, misalnya rendah, menengah, atau atas.46

Namun, tidak semua latar bisa ditampilkan di dalam cerpen baik itu latar waktu, tempat, atau latar sosial. Bisa jadi dalam sebuah cerita hanya menonjolkan latar tempatnya saja, atau latar waktu, dan bahkan latar sosial saja yang ditampilkan pada sebuah cerita.

5). Sudut Pandang

Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar, pengarang dapat memilih pencerita akuan atau diaan.47

a. Sudut Pandang Orang Pertama “Aku”

Seseorang pencerita dapat dikatakan sebagai pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya. Sudut pandang orang pertama “aku” (tokoh utama) serba tahu yaitu seorang narator yang bisa mengetahui semua gerak fisik maupun psikisnya. Biasanya bertindak sebagai tokoh utama yang serba tahu.

Tidak semua cerita menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” serba tahu. Ada kemungkinan pencerita atau narator hanya mengetahui gerak-gerik fisik dari para tokoh, hal tersebut sebagai “aku” (tokoh tambahan).

46

Burhan, Op. Cit., h. 233-234.

47

(33)

b. Sudut Persona Orang Ketiga “Dia”

Sudut pandang orang ketiga ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, “Dia” serba tahu (menceritakan segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh berbagai tokoh dalam cerita) dan “Dia” terbatas atau objektif (hanya terbatas mengamati pada satu tokoh).

c. Sudut Pandang Campuran

Pengarang menggunakan lebih dari satu teknik dalam bercerita. Pengarang dapat mengubah teknik atau berganti-ganti teknik penceritaan dalam sebuah karyanya.

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk menemukan gagasan ceritanya.48 Pemahaman pembaca terhadap sebuah karya sastra dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya, sehingga sudut pandang dapat menentukan sejauh mana pemahaman pembaca terhadap sebuah karya dan mampu memberikan penilaian terhadap karya tersebut.

8). Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.49 Pengarang pastinya mempunyai tujuan ketika menciptakan karya. Tujuan tersebut tentunya diperuntukkan bagi pembacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh pembaca. Di dalam karya sastra modern amanat biasanya disampaikan secara tersirat dalam cerita.

48

Burhan, Op. Cit., h. 248.

49

(34)

E. Pendekatan Mimetik

Berbicara tentang teori mimetik, tidak dapat terlepas dari pengaruh filsuf besar Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut dikemukakan filsuf Plato, dan kemudian diungkapkan oleh Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan ide. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni merupakan aktivitas manusia.50

Mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti tiruan. Pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori seni dan sastra di Eropa.

Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, mengatakan pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Teori estetis ini tidak hanya ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Apabila kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, maka sosiologi sastra memandang kenyataan sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya seni.51

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia) dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial

50

Yudiono K.S, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31.

51

(35)

suatu zaman. Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tak langsung antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul pada unsur-unsur karya sastra.52

F. Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra di sekolah sangat penting keberadaannya. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Dalam pembelajaran sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Hal tersebut akan mengembangkan kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya.53

Pembelajaran sastra di sekolah akan membantu meningkatkan pengetahuan tentang sastra kepada peserta didik. Dari pembelajaran sastra, peserta didik bisa menafsirkan karya-karya terbaik dari banyak sastrawan dan memahami karya tersebut, bahkan tidak hanya karyanya tetapi mengetahui kehidupan sastrawannya. Kemudian, dapat memperoleh pesan-pesan sehingga memberikan pelajaran yang positif di kehidupan peserta didik. Dalam hal pengajaran sastra atau pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial; serta ditambah lagi yang bersifat religius.54

Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen (silabus dan RPP terlampir).

52

Siswanto., Op. Cit., h. 189.

53

Ibid., h. 168-169.

54

(36)

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan berarti mencari persamaan atau perbedaan antara penelitian yang sedang dibuat dengan penelitian-penelitian sebelumnya atau terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan penelitian satu dengan yang lainnya dan menghindari duplikasi dalam penelitian. Maka dari itu, perlu adanya beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui tinjauan hasil penelitian sebelumnya. di bawah ini ada tiga skripsi yang membahas karya-karya Gus Mus.

Pertama berjudul Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi Puisi Karya A. Mustofa Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut hanya dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam antologi puisi Tadarus. Dalam skripsinya penulis menjelaskan berbagai hal yang berkenaan dengan unsur profetik, baik berupa bentuk atau tipografi atau melalui bahasa yang digunakan dalam karya tersebut.

Kedua, skripsi yang berjudul Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat” dan “ Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014), program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut hanya dibatasi pada dua puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial dalam puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat dan Saling”, serta implikasi kedua puisi tersebut dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

(37)

yang mampu dijadikan teladan dalam proses pendidikan antara lain sikap rendah hati yang harus dimiliki oleh setiap orang, seperti yang ada dalam cerpen Gus Mus yang berjudul Gus Jakfar.

(38)

28

K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di Rembang Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kakeknya, Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Begitu pula dengan ayahnya, K.H Bisri Mustofa merupakan seorang ulama kharismatik tersohor yang juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.1

Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama menyangkut prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah (setingkat dengan jenjang SMP). Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren Lirboyo, Kediriselamaduatahun. Setelahduatahun diPesantren Lirboyo, iapindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H. Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian kembali ke Rembang untuk mengaji langsung di bawah asuhan ayahnya.2

K. H. Ali Maksum dan K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964, Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan K.H. Abdurrahman Wahid(Almarhum).

Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat. Kiai yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin (menggantikan ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama

1

A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009)

2

Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri

(39)

dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu. Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu, Mochamad Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana.3

Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya, Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar. Pada akhir tahun 1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim Supangkat, menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindah-indahkan, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan. Tahun 2003, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul Berdzikir Bersama Inul.4

A. Mustofa Bisri pernah terjun di gelanggang politik praktis, ia menjadi anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah itu, ia menolak dicalonkan lagi sebagai anggota DPRD dengan

argumennya “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering kali terjadi pertikaian

3

Ibid. 4

(40)

dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah.”5

A. Mustofa Bisri yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Perancis

kemudian lebih banyak berkiprah sebagai „kutu buku’ dan penulis. Tulisan A. Mustofa Bisri yang berupa esai, cerpen dan puisi banyak dimuat di berbagai media massa, seperti: Intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR Horison, Jawa Post, Tempo, Gatra, Forum,Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas dan Bernas. Adakalanya tulisan-tulisan A. Mustofa Bisri di surat kabar tersebut mengandung kritik. Namun demikian, A. Mustofa Bisri berharap tidak menyakitkan hati, melainkan kritiknya diharap mampu menembus relung-relung jiwa yang berbuah penyadaran.

A. Mustofa Bisri mengakui, perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi pandangan gurunya, KH Ali Maksum dan KH Bisri Mustofa, ayahnya. Keduanya memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk mengembangkan bakat seni. Ketika mondok di pesantren Krapyak, di masa itulah A. Mustofa Bisri mengaku sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Di antaranya bertandang ke rumah Affandi, untuk melihat bagaimana sang maestro lukis. Maka tak mengherankan jika

setiap kali ada waktu luang, sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil

spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tak pernah serius,” kata A. Mustofa Bisri, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.”6

B. Karya-karya A. Mustofa Bisri

A Mustofa Bisri telah menghasilkan sejumlah karya tulis, seperti Ensiklopedi Ijma (terjemahan bersma K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta); Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya); Awas Manusia dan Nyamuk yang

5

Priyo B. Sumbogo, Heddy Lugito dan Hidayat Tantan, Kiai Klelet dari Rembang, dalam

Gatra, IV Januari, 1998, h.104.

(41)

perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta); Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga studi Filsafat, Yogya); Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Al-Huda, Temanggung); Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung); Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Umat (Risalah Gusti, Surabaya); Al-Muna, Terjemahan Syair Asmahul Husna (Al-Miftah Surabaya); Fikih Keseharian, Bungga Rampai Masalah-masalah keberagamaan (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya); Canda Nabi & Tawa Sufi, (Hikmah, Jakarta); dan Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogya).

Selain karya-karya di atas, A. Mustofa Bisri juga telah menulis delapan kumpulan sajak dan sebuah kumpulan cerpen, yaitu Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta); Tadarus (Prima Pustaka, Yogyakarta); Pahlawan dan Tikus, (Pustaka Firdaus, Jakarta); Rubaiyat Angin dan Rumput (diterbitkan atas kerja sama majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakarta); Wekwekwek (risalah Gusti, Surabaya); Gelap berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta); Gandrung, Sajak-sajak Cinta (Al-Ibriz, rembang); Negeri Daging (Bentang, Yogya); dan Lukisan Kaligrafi (kumpulan cerita pendek, penerbit buku Kompas, Jakarta)

C. Pandangan Mustofa Bisri sebagai Sastrawan

(42)

sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.7

A. Mustofa Bisri muncul pertama kalinya untuk membacakan puisi pada

tahun 1987 pada acara “Mubalig Baca Puisi” di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki,

Jakarta. Ketika itu ia membacakan sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa

Saja” yang kemudian dihimpun dalam buku puisi pertamanya, Ohoi.8

Berikut kutipan dari dua bait pertama sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa Saja”

Merdeka!

Ohoi, Ucapkanlah lagi pelan-pelan Merdeka

Kau „kan tahu nikmatnya nyanyian kebebasan…

Nyanyian kebebasan Ohoi,

Lelaki boleh genit bermanja-manja

Wanita boleh sengit bermain bola…

Anak muda boleh berkhutbah di mana-mana Orang tua boleh berpacaran di mana saja

A. Mustofa Bisri lebih dikenal dengan “puisi balsemnya”. Menurut sastrawan yang gemar memakai kopiah ini, puisi balsemnya lahir sebagai bentuk ketidakpuasan karena ia merasa masih adanya jarak antara seniman dan masyarakat. Sajak-sajak A. Mustofa Bisri memang cukup ampuh “menyembuhkan” sebagaimana balsam yang

yang terasa panas sepintas, namun selebihnya mengobati „si sakit hati,’ bahkan „si sakit jiwa’.9 Sajak-sajak A. Mustofa Bisri yang terkumpul dalam buku Ohoi pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award. Namun, A. Mustofa Bisri malah

7

Ida Nur Chasnah, M. Hum, Ekspresi Sosial Sajak-sajak KH. A. Mustofa Bisri, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 4-5.

8

Abdul Wachid B.S, K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi, dalam Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2005.

(43)

bersyukur kalau akhirnya puisinya tidak mendapatkan penghargaan tersebut. A. Mustofa Bisri merasa masih banyak penyair yang lebih baik dibandingkan dirinya.

Selain menjadi penyair, A. Mustofa Bisri adalah seorang penulis cerpen yang handal, banyak cerita ditujukan untuk mengkritik lingkungan sekitar. Meski terbilang baru sebagai seorang penulis cerpen, A. Mustofa Bisri boleh dikatakan baru menerbitkan cerpennya di tahun 2002. Cerpen pertama A. Mustofa Bisri berjudul

“Gus Jakfar.” Menurut A. Mustofa Bisri cerpen tersebut lahir karena diprovokasi oleh Danarto.10 Pada tahun 2003, cerpen “Gus Jakfar” A. Mustofa Bisri terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Kemudian, pada tahun 2005, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi A. Mustofa Bisri menerima Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari pemerintahan Malaysia. Buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi memuat 15 cerpen karyanya.

Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri memang berhubungan dengan kehidupan masyarakat pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut dapat dilihat melalui tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Hal ini pun diakui A. Mustofa Bisri bahwa hampir semua cerpennya bertema pesantren. Dalam artikelnya, Achmad Muchlis Ar menyatakan kumpulan cerpen A. Mustofa Bisri mengangkat budaya kehidupan masyarakat pesantren di jawa.

Berdasarkan pengamatan Muchlis AR, Analogi cerpen A. Mustofa Bisri telah menghadirkan antologi cerpen yang cukup bernilai bagi sastra Indonesia, yakni Lukisan Kaligrafi. Cerpen-cerpen dalam buku ini umumnya mengambil latar pesantren dengan segala tradisi dan budayanya. Kecerdasan A. Mustofa Bisri mengolah cerpennya terletak pada penyusunan narasi untuk membangun plot dengan konflik yang halus namun memikat, sehingga pembaca takkan merasa tiba-tiba cerpen yang dibacanya selesai karena mereka larut dan masuk ke dalam teks tersebut.11.

10

Sohirin, Puisi Itu Tradisi Pesantren, dalam Tempo, 18 Desember 2005.

(44)

Idiom-idiom estetika A. Mustofa Bisri menjadi khas karena muncul dari intuisi dan obsesinya terhadap objek yang sangat dia kenal. Ia tak berpaling dari objek dunia pesantren, dunia kesufian dan pergulatan manusia yang mencari cahaya keilahian. Kancah perhatian cerpen-cerpennya yang berpusat pada dunia pesantren dan keulamaan telah mewarnai diksi-siksi yang terbingkai estetika lokal, yang membedakannya dengan cerpen-cerpen Ahmad Tohari, misalnya, dalam Senyum Karyamin yang berlatar sosial pedesaan meski keduanya sama-sama ulama pesantren. Rahmat H. Cahyono, cerpenis ini pun mengomentari cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri. Menurut Cahyono (2004), A. Mustofa Bisri memang belum banyak menulis cerpen. Namun, membaca kumpulan cerpen pertamanya, terasa ada

kesegaran. Lebih lanjut, Cahyono memaparkan istilah „pembocoran fakta’ yang

digunakan Seno Gumira Ajidarma untuk menyebut sastra yang „membocorkan fakta’ yang tidak muncul di media massa. Cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, Menurut

Cahyono telah „membocorkan fakta’ keseharian dalam komunitas pesantren atau

komunitas kiai ke dalam cerita rekaan. Cahyono juga menyebut cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri serumpun dengan fiksi-fiksi karya Danarto, Kuntowijoya, atau Ahmad Tohari yang dapat disebut sebagai sastra atau fiksi profetik.

Mengenai gaya penulisan A. Mustofa Bisri dalam cerpen-cerpennya, Cahyono

berpendapat, “A. Mustofa Bisri berada dalam tataran realisme yang lebih sederhana, cair dan liniear. Dalam cerpen-cerpennya, ia setia menjaga hubungan liniear antara fiksi dan fakta yang sangat dikenalnya, yakni komunalisme kaum santri. Model penulisan semacam ini memudahkan pembaca yang senang mencari pesan di balik

sebuah karya sastra.”12

12

(45)

35

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik Kumpulan Cerpen “Lukisan Kaligrafi”

1. Tema

Cerpen “GusJakfar” bertemakan ilmu mistik, hal ini dapat diketahui melalui keistimewaan berupa kemampuan yang dimiliki oleh beberapa tokoh diantaranya Gus Jakfar dan Kiai Tawakkal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Tapi Gus Jakfar memang luar biasa,” kata mas Bambang, pegawai pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang

tersembunyi.”1

Melalui kutipan diatas dengan adanya dialog antara “mas bambang dengan

pencerita” menunjukan bahwa cerpen tersebut erat kaitanya dengan kiai, dimana kemampuan kiai tersebut dianggap mistis oleh warga sekitar. Ditunjukkan denga adanya ungkapan bahwa gus Jakfar mampu melihat tanda yang terdapat pada kening orang yang dijumpainya. sehingga beliau mampu melihat peristiwa yang akan menimpa orang tersebut, antara lain, kematian, jodoh dan rezeki.

Sedangkan tema yang terdapat di dalam cerpen “Gus Muslih” menceritakan tentang kritik terhadap kebiasaan lama yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat.

“Gus Muslih dianggap pembaharu, banyak hal yang sudah berjalan lama di

daerah kami dihujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu yang bertakziah dan memberikan uang salawat kepada kiai atau modin

ditentangnya habis-habisan.”2

1

A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009), h. 2.

2

(46)

Kutipan di atas menjelaskan pemikiran baru masih sulit untuk diterima oleh orang-orang yang masih menganut dan meyakini bahwa semua kebiasaan lama bernilai positif.

Kemudian, cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah cerpen yang bertemakan tentang kaidah kesenian. Kaligrafi merupakan seni melukis yang mengkombinasikan antara tulisan arab dengan makna atau arti dari tulisan tersebut. Ini terlihat dari kutipan berikut:

“…, Hardi sama sekali tak mengenal khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts , Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan,

mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat-ayat yang bersangkutan.”3

Melalui ajakan seorang teman lamanya, Hardi. Ust Bachri bersedia mengikuti pameran kaligrafi. yang akhirnya membuat Ust Bachri terkenal karena lukisanya dianggap memiliki nilai seni yang tinggi, terlihat dari kutipan berikut. “begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik. …”…“apalagi setelah kawan Anda ini

menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”4

Terbukti dengan adanya kutipan diatas, maka kemauan Ust Bachri mengikuti pameran dikarenakan ajakan seorang temanya. Dapat dilihat dari tema yang terdapat dalam tiga cerpen tersebut menggambarkan masyarakat secara umum, pesantren dan kiai. semuanya berhubungan erat, bahwa kiai juga merupakan bagian dari masyarakat, begitu juga dengan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang berada dalam sebuah masyarakat. sehingga satu dengan yang lain erat kaitanya.

Dari ketiga cerpen di atas erat kaitanya dalam dunia pesantren, dengan adanya ajaran-ajaran yang dibawa oleh tokoh yang dibuat Gus Mus dalam ketiga cerpen

3

Ibid., h. 63.

4

(47)

tersebut dapat menggambarkan pola-pola kehidupan dalam pesantren. Seperti pada cerpen Lukisan Kaligrafi yang membahas seni melukis bahasa arab yang biasa di ajarkan dalam pesantren. Sosok kiai muncul dalam ketiga cerpen tersebut dimana kiai adalah orang tidak terlepas dari dunia pesantren karena dia adalah sosok sentral di lingkungan pondok pesantren.

2. Penokohan

Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam ketiga cerpen ini rata-rata merupakan tokoh yang biasa hadir dalam kehidupan sehari-hari dan identik dengan dunia pesantren. Sosok sentral yang menjadi sumber perbincangan adalah seorang kiai atau alim ulama.

Pada cerpen “Gus Jakfar” mempunyai tokoh utama seorang ulama yaitu Gus Jakfar. Terlihat dalam kutipan berikut. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh

pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfarlah yang paling menarik perhatian masyarakat.”5

Hal ini dikarenakan Gus Jakfar dianggap memiliki kelebihan dibanding saudaranya yang lain yaitu memiliki kemampuan melihat pertanda yang terdapat pada seseorang yang ia temui. Bahkan, Kiai Saleh menyatakan Gus Jakfar lebih tua dari beliau sendiri hal ini juga diketahui oleh tokoh Kang Solikin yang ketika itu bercerita kepada kawan kawannya terkait tentang Gus Jakfar.

Gus Jakfar mempunyai kemampuan yang suka membaca pertanda yang terdapat pada orang dan langsung mengatakannya kepada orang tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas

saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sebrang kan ketemu Gus

5

Referensi

Dokumen terkait

citra wanita, dan ketidakadilan gender Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan cerpen Jangan Main-. Main (dengan Kelaminmu) berdasarkan pendekatan kritik

ANALISIS CERPEN “SENYUM” DALAM KUMPULAN CERPEN HUJAN KEPAGIAN KARYA NUGROHO NOTOSUSANTO.. (Sebuah Alternatif Materi

KUMPULAN CERPEN LEONTIN DEWANGGA KARYA MARTIN ALEIDA (TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN NILAI

terdapat dalam kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu adalah.. menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi

Dari kutipan di atas, menggambarkan tokoh Hardi sebagai seniman yang mempunyai kelebihan dalam melukis khususnya melukis dan kertas atau kanvas. Tokoh Hardi dalam cerpen ini

Unsur-unsur yang menjadi fokus dalam pendekatan sosiologi sastra pada penelitian ini adalah unsur-unsur ekstrinsik terkhusus unsur sosiologi yang terdapat dalam

Berdasarkan teori sastra Profetik, khususnya pada etika humanisasi kumpulan puisi Aku Manusia karya A, Mustofa Bisri mengandung etika humanisasi yang memiliki keterkaitan erat dengan

Puji syukur kepada Allah SWT. kami ucapkan atas nimat, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa shalawat