• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 1.Kerangka Konseptual 1.Kerangka Konseptual

2.2.2. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah pernyataan sementara yang diperkirakan akan

didukung oleh data empiris dalam penelitian. Hipotesis diperoleh dari

teori yang menjadi dasar pembentukan konseptual penelitian (Indrawati,

2015:94). Berdasarkan Gambar 2.1 penelitian ini mengajukan tujuh

hipotesis alternatif berikut:

1. Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan

Daerah

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

untuk mendanai kebutuhan daerah. Hal ini disebabkan karena setiap

daerah memiliki kemampuan keuangan yang berbeda-beda. Sehingga

dapat dikatakan bahwa semakin besar DAU dari pemerintah pusat

maka semakin tinggi juga tingkat kemandirian keuangan daerah

tersebut. Hasil penelitian Marizka (2013) menunjukkan bahwa DAU

tidak memilikipengaruh yang siginifikan terhadap kemandirian

keuangan daerah di Sumatera Barat. Apabila DAU yang diterima oleh

suatu daerah lebih besar dibandingkan dengan PAD yang dihasilkan

daerah tersebut maka hal tersebut berarti tingkat kemandirian

keuangan daerah tersebut masih belum dapat dikatakan mandiri sebab

dalam membiayai kegiatan fiskalnya, daerah tersebut masih

digunakan untuk kegiatan yang bersifat konsumtif dan spekulatif

tidak untuk sektor-sektor produktif. Dengan demikian dapat diajukan

hipotesis penelitian pertama berikut ini.

H1 : Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Kemandirian

Keuangan Daerah pada pemerintahan Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Utara periode 2010-2014.

2. Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan

Daerah

DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah-daerah tertentu dalam

rangka mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan

termasuk dalam program prioritas nasional. DAK diberikan dengan

tujuan untuk membiayai kegiatan-kegiatan khusus pada daerah

tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas

nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan

prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar

tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah,

maka semakin tinggi DAK maka akan semakin tinggi kemandirian

daerah tersebut karena dengan bertambahnya kucuran DAK ke daerah

setiap tahun semestinya disertai rancangan lebih terarah dan

pemanfaatannya benar-benar untuk kepentingan rakyat yaitu untuk

suatu daerah lebih besar dibandingkan dengan PAD yang dihasilkan

daerah tersebut maka tingkat kemandirian keuangan daerah tersebut

masih belum dapat dikatakan mandiri sebab dalam membiayai

kegiatan fiskalnya, daerah tersebut masih bergantung pada DAK dari

pemerintah pusat. Hasil penelitian Ikasari (2013) menunjukkan bahwa

DAK memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemandirian

keuangan daerah di Provinsi D.I. Yogyakarta. Dari penjelasan

tersebut diajukan hipotesis kedua berikut ini.

H2 : Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Kemandirian

Keuangan Daerah pada pemerintahan Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Utara periode 2010-2014.

3. Dana bagi hasil memiliki pengaruh terhadap tingkat kemandirian

keuangan daerah

Dana bagi hasil merupakan komponen dana perimbangan yang

memiliki peranan penting dalam menyelenggarakan otonomi daerah .

Pemerintah daerah yang menginginkan dana bagi hasil yang tinggi

maka harus mengoptimalkan potensi pajak dan sumber daya alam

yang dimiliki oleh masing-masing daerah, sehingga kontribusi yang

diberikan dana bagi hasil terhadap pendapatan daerah meningkat.

Penerimaan DBH yang relatif besar akan mengurangi ketergantungan

mandiri. Marizka (2013) pada penelitiannya menunjukkan bahwa

DBH tidak berpengaruh signifikan terhadap Kemandirian Keuangan

Daerah. Berdasarkan uraian diatas maka diajukan hipotesis ketiga

berikut.

H3 : Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan

Daerah pada pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi

Sumatera Utara periode 2010-2014.

4. Wealth berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

Wealth dapat diukur dengan menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan alat ukur pertumbuhan ekonomi

yang menggambarkan jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang

dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah atau

region pada suatu jangka waktu tertentu. Semakin tinggi PDRB yang

dihasilkan masing-masing sektor maka semakin besar pula kontribusi

sektor tersebut terhadap perekonomian daerah. Meningkatnya Produk

Domestik Regional Bruto akan menambah penerimaan pemerintah

yakni Pendapatan Asli daerah yang bersumber dari pajak daerah.

Tingginya PAD menunjukkan bahwa daerah tersebut dapat dikatakan

mandiri. Berdasarkan penjelasan tersebut maka diajukan hipotesis

H4 : Wealth berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

pada pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Utara periode 2010-2014.

5. Belanja Modal berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

Belanja modal pada umumnya dialokasikan untuk perolehan aset

tetap yang dapat digunakan sebagai sarana pembangunan daerah.

Pemerintah dengan aset yang besar diasumsikan memiliki potensi

untuk memberikan pelayanan yang lebih kepada masyarakat seperti

pembangunan infrastruktur dan sarana serta prasarana yang ada di

daerah yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika

sarana dan prasarana memadai maka akan berpengaruh pada tingkat

produktivitas ekonomi yang semakin meningkat, dan dengan adanya

dukungan infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk

menempatkan dana investasinya di daerah tersebut. Hal tersebut

mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang merupakan faktor utama dari kemandirian

keuangan daerah. Berdasarkan uraian tersebut maka diajukan

hipotesis kelima berikut ini.

H5 : Belanja Modal berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan

Daerah pada pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi

6. Leverage berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

Leverage adalah perbandingan antara utang dan modal. Semakin besar Leverage yang dimiliki menunjukkan bahwa daerah tersebut tidak mampu membiayai operasionalnya sendiri sehingga membutuhkan

dana dari pihak eksternal. Menurut Hadi (2010) jika suatu daerah

mampu menutup hutang dengan ekuitas dana yang dimiliki maka

semakin kecil unsur hutang sehingga semakin menaikkan kemandirian

daerah tersebut dengan tidak terbeban dengan sumber dana eksternal

berupa pinjaman atau hutang. Dari uraian tersebut diajukan hipotesis

keenam penelitian berikut ini.

H6 : Leverage berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

pada pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

periode 2010-2014.

7. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi

Hasil, Produk Domestik Regional Bruto, Belanja Modal, Leverage

terhadap Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan kemampuan

Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah

membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang

besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari sumber lain,

misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.

Berdasarkan uraian tersebut diajukan hipotesis ketujuh berikut ini.

H7 : Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil,

Wealth, Belanja Modal, Leverage berpengaruh secara simultan terhadap Kemandirian Keuangan Daerah pada pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Reformasi pada tahun 1998 telah membawa perubahan terhadap sistem

politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi sehingga menimbulkan tuntutan

yang beragam terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik. Salah satu hasil

reformasi tersebut adalah lahirnya kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah

memberikan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah untuk mengatur urusan pelayanan, keuangan daerah dan pelaksanaan

pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Guna mengakomodasi perubahan dampak otonomi daerah tersebut negara

menerbitkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan

didukung perangkat hukum fiskal yakni UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang ini dalam

perkembangannya diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

berintikan pembagian kewenangan dan fungsi (power sharing) antara pemerintah

pusat dan daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah yang memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi

lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan

kemandirian daerah. Sebagai konsekuensinya maka setiap pemerintah daerah

berkewajiban meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara

dengan mengelola semua potensi daerah, yaitu sumber daya alam, sumber daya

manusia dan sumber daya keuangan secara optimal

Pengelolaan potensi daerah tersebut harus selalu dalam koridor semangat

mewujudkan good governance, yakni suatu penyelenggaraan manajemen

pembangunan negara yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan

prinsip demokrasi dan pasar efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi

dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif dengan

menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan kerangka hukum dan politik bagi

tumbuhnya aktivitas usaha secara luas. Upaya perwujudan good governance itulah

sehingga muncul pula paket undang-undang keuangan negara guna mengatur

pengelolaan keuangan negara baik pada tingkat pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah, yang terdiri UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara. Implementasi lebih lanjut maka terbitlah Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)

yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam

menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Hal tersebut tentunya

mewajibkan setiap pemerintah daerah menyelenggarakan pengelolaan keuangan

daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemberlakuan paket undang-undang

otonomi daerah dan keuangan negara tersebut tentunya dimaksudkan agar

mendanai segala aktivitasnya (Hadi, 2010). Kemandirian daerah dapat

direalisasikan jika pembiayaan daerah dimanifestasikan lewat struktur Pendapatan

Asli Daerah (PAD) yang kuat. PAD inilah sumber pembiayaan yang memang

benar-benar digali dari daerah itu sendiri sehingga mencerminkan kondisi riil

daerah, apabila struktur PAD kuat maka dapat dikatakan daerah tersebut

mempunyai kemampuan pembiayaan yang juga kuat sehingga dapat mewujudkan

kemandirian keuangan daerah (Ariani, 2010). Undang- undang Nomor 25 tahun

1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang

kemudian diganti dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Kebijakan tersebut mengatur kewenangan daerah dalam

menggali pendapatan asli daerah dan dana transfer dari pemerintah pusat.

Pemerintah pusat memberikan dukungan dengan menyerahkan sumber- sumber

penerimaan kepada daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai

daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Disamping pemerintah pusat

juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola daerah dalam pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk mengatasi

ketimpangan fiskal dengan pemerintah pusat dan antar pemerintah daerah lainnya.

Untuk meminimilaisir ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah

Pusat melalui dana transfer tersebut, daerah dituntut dapat mengoptimalkan

kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya. Sumber- sumber

pendapatan asli daerah tersebut berupa: pajak daerah, retribusi daerah, laba usaha

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Daerah

mengamanatkan bahwa daerah boleh meningkatkan pendapatan asli daerahnya

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pada prinsipnya

ketergantungan daerah terhadap pusat berkurang, sehingga mampu mencapai

kemandirian daerah sebagaimana tercapainya tujuan otonomi itu sendiri. Idealnya

semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi oleh Pendapatan Asli Daerah sehingga

daerah dapat benar-benar otonom dan tidak lagi tergantung kepada pemerintah

pusat.

Menurut data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara (2015) pada dasarnya

Pendapatan Asli Daerah seluruh kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun

anggaran 2010 sampai dengan 2014 hanya mampu berkontribusi rata-rata sebesar

7.76% dari Total Pendapatan Daerah dalam membiayai rumah tangga seluruh

kabupaten dan kota di Indonesia. Kecilnya kontribusi yang diberikan oleh

Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai rumah tangga seluruh kabupaten dan

kota di Indonesia, menunjukkan bahwa pada dasarnya sebagian besar kabupaten

dan kota di Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada

pemerintah pusat. Tingginya tingkat ketergantungan keuangan daerah pada

pemerintah pusat dan rendahnya kemampuan keuangan yang dialami oleh

sebagian besar daerah di Indonesia, juga ditunjukkan oleh kabupaten dan kota di

Tabel 1.1

Distribusi realisasi penerimaan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2014

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2010 sampai dengan

2014, dana perimbangan yang berkontribusi besar terhadap Total Pendapatan Daerah

seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Rendahnya

kontribusi dari Pendapatan Asli Daerah pada tahun anggaran 2010 sampai dengan

2014 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut seluruh pemerintah kabupaten dan

kota di Provinsi Sumatera Utara memiliki ketergantungan yang sangat besar pada

pemerintah pusat dan memiliki kemampuan yang rendah dalam membiayai

daerahnya. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa seluruh pemerintah kabupaten

dan kota Provinsi Sumatera Utara memiliki kemampuan yang rendah dalam menggali

sumber penerimaan daerahnya untuk membangun perekonomian di sektor

pembangunan. Ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah yang ditunjukkan

kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara dalam membiayai daerahnya sendiri

dapat menunjukkan bahwa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara belum berhasil

dalam menjawab berbagai tantangan otonomi yaitu desentralisasi, khususnya

desentralisasi fiskal. Di mana, desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dalam

implementasi otonomi yakni upaya pemerintah daerah untuk memusatkan

perhatiannya untuk memperbesar peranan Pendapatan Asli Daerah dalam struktur

penerimaan daerah guna meningkatkan kemandirian keuangannya (Zaenuddin, 2012).

Untuk keberhasilan pembangunan daerah perlu didukung kekuatan dana yang

yang dibutuhkan dengan berbagai upaya. Salah satunya adalah mendorong

perekonomian. Kemajuan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari

perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang

memperlihatkan besarnya produksi yang telah diciptakan oleh masing-masing sektor

ekonomi pada tahun tertentu. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara

ditunjukkan dengan perkembangan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010-2014

yang dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2

Laju Pertumbuhan Riil PDRB Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2014

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2015

Pada tahun 2014 perekonomian Sumatera Utara mengalami perlambatan

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan PDRB Sumatera Utara

tahun 2014 mencapai 5,23 persen, sedangkan tahun 2013 mencapai 6,08 persen. Hal

kecuali lapangan usaha Pengadaan Listrik dan Gas, lapangan usaha Pengadaan Air,

lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor,

lapangan usaha Jasa Perusahaan dan lapangan Usaha Administrasi Pemerintahan,

Pertanahan dan Jaminan Sosial Wajib.

Perkembangan ekonomi melalui sektor dominan PDRB pernah diteliti oleh

Fatmala (2015) yang menyimpulkan bahwa perkembangan Derajat Kemandirian

Fiskal secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh variabel sektor

konstruksi/bangunan, secara positif namun tidak signifikan dipengaruhi oleh variabel

sektor pertanian dan sektor jasa-jasa, sementara variabel sektor perdagangan, hotel

dan restoran justru memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan. Semakin tinggi

perkembangan perekonomian suatu daerah semakin tinggi pula derajat kemandirian

fiskal daerah. Nur’ainy (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa

kemakmuran (pertumbuhan ekonomi) berpengaruh positif terhadap kemandirian

keuangan daerah.

Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pengalokasian belanja

modal kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara rata-rata dari tahun ke tahun

meningkat. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pemerintahan daerah dalam

meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui investasi modal diantaranya

pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi. Dengan

terpenuhinya fasilitas pelayanan publik maka masyarakat akan merasa nyaman dan

meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak yang akan berpengaruh besar

terhadap peningkatan PAD daerah tersebut. Semakin besar PAD semakin baik pula

kemandirian keuangan daerah sehingga akan mengurangi ketergantungan terhadap

transfer dari pemerintah pusat. Sari (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa

belanja modal berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap kemandirian

keuangan daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sedangkan penelitian yang dilakukan (Ariani, 2010) menunjukkan bahwa belanja

modal berpengaruh signifikan positif terhadap kemandirian keuangan daerah pada

kabupaten/kota di wilayah Surakarta.

Selain hal diatas kemandirian keuangan daerah juga dapat dilihat dari leverage

atau perbandingan antara hutang dengan modal pada neraca daerah. Susanto (2015)

dalam penelitiannya menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan

terhadap terhadap kemandirian keuangan daerah pada kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah. Bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto,

Imawan (2014) yang menyebutkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap

kemandirian keuangan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pengaruh

Dana Perimbangan, Produk Domestik Regional Bruto, Belanja Modal dan Leverage

Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di

Dokumen terkait