• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Proposisi merupakan ungkapan atau pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal atau diuji kebenarannya mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena (Erlina, 2008).

Penelitian ini merujuk kepada penelitian Kurniawati (2012) dengan mereplikasi pengaruh variabel pertumbuhan tinggi, kerugian perusahaan, arus kas negatif, kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya, dan transaksi pihak istimewa dari penelitian terdahulu dan menambahkan variabel efektivitas pengawasan dan pergantian auditor.

Tekanan merupakan kondisi yang dirasakan pada manajer atau karyawan untuk melakukan kecurangan salah satunya untuk memanipulasi laba, dimana salah satu dari dua kondisi berikut terjadi:

1. Stabilitas keuangan terancam oleh kondisi ekonomi dan industri.

2. Manajemen ditekan untuk memenuhi harapan pihak ketiga (investor dan kreditor)

Lou dan Wang (2009) berpendapat bahwa ketika perusahaan mengalami stabilitas keuangan dan tekanan eksternal perusahaan, keduanya dapat mengindentifikasi risiko lebih dari salah saji material akibat kecurangan.

Stabilitas keuangan merupakan keadaan yang menggambarkan kondisi keuangan perusahaan dari kondisi stabil. Ketika stabilitas keuangan perusahaan berada dalam kondisi yang terancam, maka manajemen akan melakukan berbagai cara agar stabilitas keuangan perusahaan terlihat baik. Loebbecke, Eining dan Willingham (1989) dan Bell, Szykowny, dan Willingham (1991) menunjukkan bahwa kasus dimana perusahaan mengalami pertumbuhan industri di bawah rata-rata, manajemen mungkin untuk melakukan manipulasi laporan keuangan untuk meningkatkan prospek perusahaan (Skousen et al., 2009). Sebuah perusahaan dalam fase pertumbuhan, ia memiliki pertumbuhan penjualan tertinggi, belanja modal tertinggi, pembayaran dividen paling rendah, dan kebutuhan dana lebih dari modal luar (Black, 1998). Selain itu, jika penyimpangan perusahaan dari tren yang sedang berkembang, harga saham bisa berfluktuasi kuat (Barth et al., 1999). Stice (1991) menemukan pertumbuhan klien secara positif berhubungan dengan litigasi dan dugaan bahwa pertumbuhan tinggi mungkin disertai dengan ketidakefektifan

sistem pengendalian internal dan adanya laporan keuangan yang menyesatkan. Selain itu, Bell dan Carcello (dalam Lou dan Wang, 2009) membuktikan bahwa pertumbuhan perusahaan secara cepat dan drastis merupakan faktor risiko yang signifikan atas kemungkinan kecurangan pelaporan. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan yang ekstrim, penelitian ini menggunakan pengukuran Krishnan (dalam Lou dan Wang, 2009) dimana stabilitas keuangan diukur dengan pertumbuhan tinggi (HIGHGR). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang pertama:

H1: Pertumbuhan tinggi berpengaruh positif terhadap kecurangan laporan keuangan

Hayn (1995), Lipe et al., (1998), dan Collins et al., (1999) (dalam Lou dan Wang, 2009) menunjukkan bahwa tingkat cross-sectional pengembalian laba (atau harga) perusahaan yang dilaporkan mengalami kerugian jauh lebih lemah dibandingkan dengan perusahaan yang melaporkan keuntungan. Adanya kerugian dari aktivitas utama perusahaan menandakan bahwa perusahaan tidak bisa memaksimalkan penjualannya sehingga para investor tidak akan menerima deviden pada tahun tersebut. Hayn (1995) (dalam Lou dan Wang, 2009) melaporkan koefisien negatif untuk regresi pengembalian pendapatan perusahaan posting kerugian selama dua tahun atau lebih berturut-turut. Dalam penelitian ini stabilitas keuangan juga diukur dengan kerugian perusahaan (LOSS). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang kedua:

H2: Kerugian perusahaan berpengaruh positif terhadap kecurangan laporan keuangan

Skousen et al. (2009) menyatakan bahwa ketidakmampuan untuk menghasilkan arus kas positif dalam pertumbuhan laba yang dilaporkan akan berkaitan dengan stabilitas keuangan. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Lou dan Wang (2009) bahwa ada hubungan positif yang terjadi antara arus kas operasi negatif dengan kecurangan laporan keuangan. Arus kas negatif akan berdampak pada penilaian investor karena arus kas dapat digunakan untuk meramalkan kinerja perusahaan di masa depan. Arus kas biasanya juga digunakan sebagai pembanding kinerja antar perusahaan. Jika perusahaan mengalami arus kas operasi negatif maka perusahaan tersebut sedang dalam kondisi tidak stabil dan menimbulkan suatu tekanan bagi manajemen. Mengikuti penelitian sebelumnya oleh Lou dan Wang (2009), peneliti juga mengukur stabilitas keuangan menggunakan proksi variabel arus kas negatif dari aktivitas operasi (NCFO). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang ketiga:

H3: Arus kas negatif berpengaruh positif terhadap kecurangan laporan keuangan

Tak dapat dipungkiri bahwa operasional suatu perusahaan tidak bisa terlepas dari hutang. Hutang ini digunakan oleh perusahaan untuk melakukan pengembangan bisnis sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan. Kadangkala manajemen menghadapi tekanan dari pihak eksternal untuk memenuhi kewajibannya. Skousen et al. (2009) menjelaskan bahwa manajer mungkin merasa bahwa tekanan sebagai salah satu cara untuk memperoleh tambahan hutang atau pembiayaan ekuitas agar tetap kompetitif.

Suatu perusahaan dikatakan mampu membayar hutang apabila kegiatan operasionalnya berlangsung terus menerus dan tidak mengalami rugi. Perusahaan dipastikan harus dapat mengembalikan pinjaman yang telah diperolehnya. Apabila perusahaan memiliki rasio leverage yang tinggi maka perusahaan itu memiliki hutang yang besar dan risiko kreditnya juga tinggi. Timbulnya hutang di dalam suatu perusahaan ini seringkali membawa manajemen untuk melaporkan profitabilitas yang tinggi pula. Sehingga tidak jarang perusahaan melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan cara menaikkan laba yang dihasilkan.

Oleh karena itu dalam penelitian ini tekanan eksternal diukur dengan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya (LEV) yaitu rasio antara total hutang dan total aset. Penelitian Deachow et al. (1996) menyebutkan bahwa perusahaan dengan leverage yang tinggi memiliki kemungkinan untuk melakukan manipulasi laba yang tinggi pula. Lou dan Wang (2009) menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan mengalami tekanan eksternal, maka akan dapat diidentifikasi risiko salah saji material yang lebih besar akibat kecurangan. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang keempat:

H4: Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban berpengaruh positif terhadap kecurangan laporan keuangan

Agen dan principal memiliki perbedaan kepentingan. Agen sebagai pihak internal tentunya memiliki lebih banyak informasi jika dibandingkan dengan principal. Adanya informasi ini seringkali dimanipulasi oleh manajemen untuk melakukan fraud. Untuk menghindari adanya praktik fraud yang terjadi dalam

sebuah perusahaan maka perlu dibentuk suatu pihak yang dapat mengatur jalannya pengawasan dalam perusahaan sehingga celah fraud tidak terjadi.

Rahmanti (2013) menyebutkan bahwa tingginya tingkat kecurangan yang terjadi di Indonesia salah satunya diakibatkan karena rendahnya pengawasan sehingga menciptakan suatu celah bagi seseorang untuk melakukan fraud. Dengan pengawasan yang tidak efektif tersebut, manajemen merasa bahwa kinerjanya tidak diawasi sehingga mencari cara untuk dapat memaksimalkan keuntungan pribadinya.

Untuk mencegah semakin meluasnya kecurangan yang terjadi dibutuhkan dewan komisaris independen untuk memonitoring jalannya perusahaan. Dewan komisaris ini bertindak sebagai seseorang yang independen yang tidak memiliki hubungan dengan direktur, manajer, pemegang saham, maupun pihak lainnya. Sehingga diharapkan peranannya di dalam perusahaan akan meminimalkan tindakan kecurangan yang terjadi dengan menjalankan tugas pengawasannya secara efektif (Rahmanti, 2013).

Dalam penelitian ini efektivitas pengawasan diproksikan dengan rasio dewan komisaris independen (IND). Beasley et al. dalam Skousen et al. (2009) mengamati bahwa kejadian kecurangan di perusahaan akan menurun selama anggota komite audit bekerja secara efektif. Komite audit yang besar berhubungan dengan rendahnya kejadian kecurangan. Deachow et al. (1996) dan Dunn (2004) yang meneliti hubungan antara komposisi dewan komisaris dengan kecurangan laporan keuangan. Hasil penelitian membuktikan bahwa kecurangan lebih sering terjadi pada perusahaan yang lebih sedikit memiliki anggota dewan komisaris

eksternal (Skousen et al., 2009). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang kelima:

H5: Efektivitas pengawasan berpengaruh negatif terhadap kecurangan laporan keuangan

Young (2005) menyebutkan bahwa adanya kesempatan yang muncul memberikan peluang bagi perusahaan untuk melakukan fraud. Transaksi pihak istimewa yang rumit disertai dengan tingginya risiko inheren karena adanya keterlibatan yang tinggi oleh manajemen dalam pengambilan keputusan. Semakin kompleksnya transaksi dengan pihak istimewa maka akan menimbulkan risiko salah saji material karena rentan terhadap manipulasi manajemen (dikutip oleh Lou dan Wang, 2009). Selanjutnya ia menyatakan bahwa apabila persentase yang lebih tinggi dari transaksi kompleks muncul, maka perusahaan menemukan probabilitas yang lebih besar dari suatu kecurangan.

Bratton (2002); Swartz dan Watkins (2003); Dealkin dan Konzelmann (2004) (dikutip oleh Lou dan Wang, 2009) menyatakan bahwa eksekutif Enron merancang pengaturan keuangan yang kompleks untuk menipu Enron dan pemegang sahamnya untuk membuat perusahaan jauh lebih menguntungkan. Dalam studi kasus lain yang masih berhubungan dengan transaksi pihak istimewa, Young dalam Lou dan Wang (2009) menemukan bahwa transaksi pihak istimewa tersebut digunakan untuk memanipulasi laba, menjarah perusahaan, dan melakukan kecurangan.

Sejak perusahaan terutama beroperasi dengan pengakuan pendapatan sebagai

et al., (2004). Dalam penelitian ini kesempatan diukur dengan transaksi pihak istimewa (RPT%). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang keenam:

H6: Transaksi pihak istimewa berpengaruh positif terhadap kecurangan laporan keuangan

Auditor adalah pengawas penting dalam laporan keuangan. Dari tangan merekalah kita dapat mengetahui bahwa ada perusahaan yang melakukan kecurangan. Perusahaan yang melakukan fraud lebih sering melakukan pergantian auditor. Hal ini dikarenakan untuk mengurangi kemungkinan pendeteksian tindak kecurangan laporan keuangan oleh perusahaan. Sorenson et al., (1983) menyatakan bahawa sebuah perusahaan bisa mengubah auditor untuk mengurangi kemungkinan pendeteksian kecurangan laporan keuangan oleh pihak auditor (dikutip oleh Lou dan Wang, 2009). Loebbecke et al., (1989) dalam Lou dan Wang (2009) menunjukkan bahwa 36 persen dari kecurangan dalam sampel mereka dituduhkan dalam dua tahun awal masa jabatan auditor. Lebih lanjut Krishnan dan Krishnan (1997) dan Shu (2000) menemukan bukti bahwa pengunduran diri auditor adalah berhubungan positif dengan kemungkinan litigasi (dikutip oleh Lou dan Wang, 2009). Dengan demikian, dalam penelitian ini rasionalisasi diukur dengan menggunakan pergantian auditor oleh perusahaan (ΔCPA). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukkan hipotesis yang ketujuh:

H7: Pergantian auditor berpengaruh positif terhadap kecurangan laporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Laporan keuangan merupakan sarana yang disediakan oleh perusahaan kepada para pemakai baik internal maupun eksternal untuk memperoleh informasi tentang aktivitas perusahaan selama periode waktu tertentu. Pemakai internal merupakan pihak manajemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan aktivitas harian perusahaan jangka pendek maupun jangka panjang, mereka juga yang bertanggung jawab langsung atas penyusunan laporan keuangan perusahaan. Sedangkan pemakai eksternal terdiri dari investor, kreditor, supplier, pemerintah, dan pemakai-pamakai lainnya.

Laporan keuangan disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesai (IAI). Tujuan dibuatnya laporan keuangan yaitu untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas sebuah perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009).

Oleh karena itu, penyusunan laporan keuangan ini harus disusun sebaik mungkin sesuai dengan data yang akurat berdasarakan aturan akuntansi yang berlaku. Menurut PSAK No. 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan revisi tahun 2009 menyebutkan bahwa karakteristik kualitatif laporan keuangan yang dapat

membuat informasi dalam laporan keuangan berguna bagi pemakai yaitu: dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat diperbandingkan.

Pada saat perusahaan menerbitkan laporan keuangannya, maka setiap perusahaan selalu menginginkan untuk menggambarkan kondisi perusaahan dalam keadaan yang terbaik. Hal ini yang dapat menimbulkan potensi kecurangan pada laporan keuangan. Ketika terdapat salah saji material dalam laporan keuangan, maka informasi tersebut menjadi tidak relevan untuk dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan karena analisis yang dilakukan tidak berdasarkan informasi yang sebenarnya. Berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan yang melakukan kecurangan akan banyak dirugikan karena informasi yang dipublikasikan bersifat semu dan menyesatkan. Manajemen perusahaan menjadi pihak yang akan disalahkan dan bertanggung jawab dalam penanganan kasus. Proses audit yang berlangsung pada tahun tersebut tentunya juga akan dipertanyakan. Auditor yang seharusnya memberikan keyakinan atas materialitas informasi mengapa bisa sampai gagal dalam mendeteksi adanya kecurangan.

Kecurangan pelaporan keuangan yang telah dijelaskan dalam SPAP pada PSA No. 70 yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan dalam efek yang timbul adalah efek ketidaksesuaian laporan keuangan, dalam semua hal yang material dengan prinsip akuntansi berterima umum. Kecurangan pelaporan keuangan meliputi, pertama manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan. Kedua representasi yang salah atau

penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan. Ketiga salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi berkaitan dengan jumlah klasifikasi atau cara pengungkapan.

Praktik kecurangan yang sudah terkenal adalah skandal perusahaan Enron yang bergerak di bidang industri energi berserta KAP Arthur Andersen. Praktik kecurangan yang dilakukan terjadi di Divisi Pelayanan Energi. Strategi yang salah, investasi yang buruk, dan pengendalian keuangan yang lemah menimbulkan ketimpangan neraca yang sangat besar dan harga saham yang dilebih-lebihkan. Akibatnya ribuan orang kehilangan pekerjaan dan terjadi kerugian pasar hingga milyaran dollar. Kasus ini diperparah dengan praktik akuntansi yang meragukan dan tidak ada independensi audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen terhadap Enron. Peristiwa ini membuat KAP Arthur Anderson dikeluarkan dari kelompok Big Five dan kedua perusahaan mengalami

collapse.

Di Indonesia sendiri juga banyak kita temui kasus kecurangan pelaporan keuangan yang dilakukan perusahaan untuk menutupi kekurangan yang terjadi sehingga laporan keuangan menjadi menarik dilihat bagi pembaca dan pengguna laporan keuangan lainnya. Salah satunya yaitu kasus yang terjadi pada PT Kimia Farma Tbk. PT Kimia Farma adalah sebuah BUMN yang sahamnya telah diperdagangkan di bursa sehingga menjadi perusahaan publik. Berdasarkan indikasi oleh Kementerian BUMN dan pemeriksaan Bapepam ditemukan adanya salah saji dalam laporan keuangan yang mengakibatkan lebih saji (overstatement) laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar

yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji ini terjadi dengan cara melebihsajikan penjualan dan persediaan pada 3 unit usaha, dan dilakukan dengan menggelembungkan harga persediaan yang telah diotorisasi oleh direktur produksi untuk menentukan nilai persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember 2001 (Bapepam, 2002). Selain itu, manajemen PT Kimia Farma juga melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada 2 unit usaha yang dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh auditor eksternal (Koroy, 2008).

Tahun 2004, Bapepam menemukan PT Pakuwon Jati Tbk telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 68 dan 69 Undang-Undang Pasar Modal serta Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan juga dilakukan oleh PT Pakuwon Jati Tbk. Bapepam memutuskan untuk mengenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis pada PT Pakuwon Jati Tbk serta akuntannya yaitu saudara Zulfikar Ismail (Badan Pengawas Pasar Modal, 2005).

Pada tahun 2005 terjadi praktik kecurangan oleh PT Great River International Tbk berdasarkan pemeriksaan kasus yang dilakukan oleh Bapepam. Pada pemeriksaan tersebut terdapat temuan terjadinya perlakuan overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam laporan keuangan PT Great River International Tbk per 31 Desember 2003. Adanya penambahan aktiva perseroan, khusunya terkait dengan penggunaan dana hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Bapepam menyatakan bahwa berdasarkan dua temuan tersebut maka PT Great River International Tbk telah melakukan pelanggaran

terhadap pasal 107 Undang-Undang Pasar Modal (Badan Pengawas Pasar Modal, 2006).

Meningkatnya kasus skandal akuntansi dekade terakhir menyebabkan berbagai pihak berspekulasi bahwa manajemen puncak telah melakukan kecurangan pada laporan keuangan (Skousen et al., 2009). Kecurangan laporan keuangan merupakan suatu masalah yang membawa dampak besar, maka sudah seharusnya bagi para profesional audit untuk bisa secara efektif mendeteksi adanya aktivitas kecurangan sebelum hal ini menjadi skandal yang terungkap ke publik. Pada kenyataannya beberapa skandal kecurangan dapat luput dari pemeriksaan auditor. Hal ini bisa terjadi karena adanya kesenjangan harapan atau

expectation gap yaitu standar yang diharapkan pengguna jasa auditor eksternal

lebih besar dari kemampuan yang dimiliki auditor itu sendiri. Karena auditor tidak mampu untuk memberikan kepastian absolut atas hasil auditnya maka auditor hanya sebatas memberi kewajaran atas materialitas (Diany, 2014).

Sebagai tanggapan atas adanya expectation gap, The American Institute of

Certified Public Accountants (AICPA) pada tahun 1988 telah mengeluarkan

standar pengauditan yaitu Statement of Auditing Standard (SAS) No. 53. Standar ini belum tegas atau eksplisit menggunakan istilah kecurangan tetapi

irregularities atau ketidakberesan. Pada tahun 1997 Auditing Standar Board

(ASB) mengeluarkan SAS No.82, Consideration of Fraud in Financial Statement

Audit, untuk menggantikan SAS No. 53 yang dirasa kurang efektif. Sesuai dengan

judulnya, standar secara eksplisit menunjukkan pada kecurangan. SAS No. 82 diadopsi oleh Ikatan Akuntan Indonesia sebagai Pernyataan Standar Auditing

(PSA) No. 70 yang masih diterapkan hingga kini. Pada tahun 2002 AICPA merasa perlu untuk mengubah kembali SAS No. 82 menjadi SAS No. 99 merupakan upaya terobosan baru untuk mengatasi kelemahan SAS No. 82 namun di Indonesia sendiri masih belum mengadopsi SAS No. 99 (Koroy, 2008).

Faktor risiko kecurangan yang diadopsi dalam SAS No. 99 didasarkan pada teori faktor risiko kecurangan Cressey (1953) (Skousen et al., 2009). Menurut teori Cressey, terdapat tiga kondisi yang selalu hadir dalam tindakan fraud yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization) yang disebut sebagai fraud triangle. Teori Cressey tentang risiko kecurangan didasarkan pada serangkaian wawancara dengan orang-orang yang dihukum akibat melakukan penggelapan (Lou dan Wang, 2009). Tujuan dikeluarkannya SAS No. 99 adalah untuk meningkatkan efektivitas auditor dalam mendeteksi kecurangan dengan menilai pada faktor risiko kecurangan perusahaan (Skousen et

al., 2009).

Penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan pernah dilakukan oleh Persons (1995) dan Kaminski et al (2004). Mereka mengembangkan model prediksi kecurangan menggunakan rasio keuangan. Akan tetapi, model tersebut mengalami tingkat kesalahan klasifikasi yang tinggi (Skousen et al., 2009).

Pengembangan model penelitian untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan dengan analisis fraud triangle sebelumnya telah dilakukan oleh Cressey (1953), Turner et al. (2003), Lou dan Wang (2009), dan Skousen et al. (2009). Penelitian Lou and Wang (2009) menguji faktor risiko dari fraud triangle yang

menjadi inti dari semua standar auditing kecurangan. Dengan menggunakan model regresi logistik untuk memperkirakan kecurangan pelaporan keuangan yang diproksikan ke dalam berbagai kondisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa proksi signifikan dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan, dimana proksi-proksi tersebut adalah bagian dari tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Skousen et al. (2009) juga membuat model pendeteksian kecurangan laporan keuangan yang berbeda dari penelitian Lou dan Wang (2009). Setelah diuji ternyata hanya proksi dari variable tekanan dan kesempatan saja yang signifikan dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Namun model yang dicetuskan Skousen et al. (2009) memiliki tingkat ketepatan prediksi kecurangan laporan keuangan sebesar 73%. Hasil ini menunjukkan peningkatan yang substansial dibandingkan dengan model prediksi kecurangan lainnya. Atas dasar temuan inilah, peneliti tertarik untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan dengan analisis fraud triangle.

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2012), namun penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki perbedaan dari penelitian oleh Kurniawati (2012). Dimana letak perbedaan pada penelitian ini hanya mereplikasi dalam menganalisis pengaruh variabel pertumbuhan tinggi, kerugian perusahaan, arus kas negatif, kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban, transaksi pihak istimewa dan pergantian auditor terhadap kecurangan laporan keuangan, akan tetapi dalam hal ini penulis akan memperluas penelitian dengan turut juga menganalisis pengaruh efektivitas pengawasan terhadap kecurangan laporan keuangan. Selain itu penelitian

Kurniawati (2012) menggunakan sampel perusahaan-perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2007-2010, sementara penelitian ini mempergunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2011-2014.

Dengan menganalisis faktor-faktor yang terdapat dalam fraud triangle yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization) ini akan digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel yang berkaitan langsung dengan kejadian fraud. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini berjudul “Analisis Pengaruh Fakor-faktor Risiko dalam

Perspektif Fraud Triangle Terhadap Kecenderungan Kecurangan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014”.

Dokumen terkait