• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah pokok, maka hipotesis yang diajukan dalam penulisan ini yaitu “Diduga bahwa deposito mudharabah berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan PT. Bank Sulselbar Cabang Syariah Makassar”.

9

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bank Syariah

Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank dan syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/ atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam.

Penggambungan antara dua kata tersebut dimaksud menjadi “Bank Syariah”. Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Selain itu bank syariah biasa disebut Islamic banking atau interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidak pastian atau ketidak jelasan (gharar).

Bank syariah yaitu bank yang dalam aktifitasnya, baik menghimpun dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dana dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil,

adapun dasar hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 3 huruf menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha bank adalah menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

Menurut Yumanita (2005: 4), mengemukakan bahwa:

“Bank Syariah adalah merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai islam, khususnya yang bebas dari bunga (Riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang non produktif seperti perjudian (Maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (Gharar), prinsip keadilan, dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal”.

Menurut Yusak laksmana (2009: 5), menjelaskan bahwa:

“Kemunculan bank syariah didasari oleh adanya keinginan untuk mempraktekkan konsep transaksi di dalam syariat Islam yang tidak memperbolehkan pengambilan bunga seperti yang dipraktekkan oleh bank konvensional”.

Merujuk dari penjelasan tersebut tentunya bank syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Dalam sistem operasional bank syariah, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi, baik bunga yang diperoleh dari nasabah yang meminjam uang atau bunga yang dibayar kepada penyimpan dana pada bank syariah.

Bank syariah sebagai lembaga intermediasi antara pihak investor yang menginvestasikan dananya di bank kemudian selanjutnya bank syariah menyalurkan dananya kepada pihak lain yang lebih membutuhkan dana.

Investor yang menempatkan dananya akan mendapatkan imbalan dari bank

dalam bentuk bagi hasil atau bentuk lainnya yang disahkan dalam syariat islam. Bank syariah menyalurkan dananya kepada pihak yang membutuhkan pada umumnya dalam akad jual beli dan kerja sama usaha. Imbalan yang diterima oleh bank syariah maupun yang dibayarkan oleh nasabah tergantung dari akad dan perjanjian antara nasabah dan pihak bank.

Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana yang diatur dalam syariat islam.

Dalam dunia ini, khususnya di Indonesia, regulasi mengenai bank syariah tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang menjelaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Transaksi yang ditawarkan masing-masing bank tersebut, tentunya berbeda antara bank yang satu dan bank lainnya. Beberapa bank syariah menawarkan semua produk perbankan, sebagian bank syariah hanya menawarkan produk-produk tertentu. Produk dan jasa bank syariah yang dapat diberikan kepada masyarakat tergantung jenis banknya. Jenis bank syariah, yaitu sebagai berikut:

1. Bank Umum Syariah (BUS)

Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank yang dalam aktivitasnya melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan melaksanakan lalu lintas pembayaran. Bank umum syariah dapat

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam usaha memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Bank umum syariah disebut juga dengan full branch, karena tidak dibawah koordinasi bank konvensional, sehingga aktivitasnya terpisah dengan bank konvensional, akan tetapi aktivitas serta pelaporannya terpisah dengan induk banknya.

Bank umum syariah menghimpun dana dari masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis produk pendanaan antara lain giro wadi’ah, tabungan mudharabah, deposito mudharabah, dan produk pendanaan lainnya yang diperbolehkan sesuai dengan syariat islam. Penghimpunan dana dari masyarakat dapat dilakukan dengan akad wadiah dan mudharabah, dengan menghimpun dana dari masyarakat, maka bank syariah akan membayar biaya dalam bentuk bonus untuk akad wadiah dan bagi hasil untuk akad mudharabah.

Bank umum syariah dapat berusaha sebagai bank devisa dan bank nondevisa. Bank devisa adalah bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan seperti transfer ke luar negeri, inkaso keluar negeri, pembukaan Letter Of Credit (L/C), dan sebagainya. Sedangkan bank nondevisa adalah bank yang belum menpunyai izin untuk melaksanakan

kegiatan seperti bank devisa. Transaksi yang dilakukan bank nondevisa masih terbatas pada transaksi dalam negeri atau hanya melakukan transaksi dalam mata uang rupiah saja. Bank nondevisa dapat mengubah statusnya menjadi bank devisa apabila telah memenuhi persyaratan menjadi bank devisa. Salah satu persyaratan menjadi bank devisa yaitu telah memperoleh keuntungan dua tahun terakhir secara berturut-turut.

2. Unit Usaha Syariah (UUS)

Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja dari kantor cabang suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/ atau unit syariah. Unit usaha syariah berada satu tingkat di bawah direksi bank umum konvensional yang bersangkutan. Unit usaha syariah dapat berusaha sebagai bank devisa dan bank nondevisa.

3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Bentuk hukum BPRS perseroan terbatas. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat atau boleh dimiliki oleh WNI dan/ atau badan hukum

Indonesia, pemerintah daerah, atau kemitraan antara WNI atau badan hukum Indonesia dengan pemerintahan daerah.

B. Produk Penghimpunan Dana

Sama seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan beragam produk perbankan. Hanya saja bedanya dengan bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat islami, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Produk penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk gito, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah Wadi’ah dan Mudharabah.

1. Wadi’ah (Simpanan)

Al-wadi’ah merupakan titipan atau simpanan pada bank syariah.

Prinsip al-wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendaki. Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

Akan tetapi, dalam hal ini agar uang yang dititipkan tidak menganggur begitu saja, oleh si penyimpan uang titipan tersebut (Bank Syariah) digunakan untuk kegiatan perekonomian. Tentu saja penggunaan uang titipan harus terlebih dahulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut secara utuh.

Adiwarman (2009: 107), menyatakan beberapa hal bahwa prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sementara itu, dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi atau bank bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Ketentuan umum dari produk ini adalah:

a. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan di muka.

b. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.

c. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.

d. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

2. Prinsip Mudharabah

Al-mudharabah merupakan akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, maka akan ditanggung pemilik modal, selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.

Dalam praktiknya mudharabah terbagi dalam dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Pengertian mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah

muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.

Dalam dunia perbankan,al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.

C. Mudharabah Dalam Sistem Perbankan Islam

Kontrak mudharabah umumnya telah di operasionalkan dalam sistem perbankan islam di Timur Tengah dewasa ini. Kontrak ini dalam bank islam kebanyakan digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek dan jenis usaha tertentu. Kontrak tersebut memberikan wewenang terhadap segala macam yang menyangkut pembelian dan penjualan barang, yang indikasinya untuk merealisasikan tujuan utama dari perdagangan yang didasarkan pada kontrak. Dalam hal ini, posisi mudharib bertindak sebagai nasabah bank islam untuk meminta pembiayaan usaha berdasarkan kontrak mudharabah.

Mudharib menerima dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat memulai usahanya dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar memperoleh keuntungan. Sebelum pembiayaan tersebut disetujui, mudharib

memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada bank mengenasi seluk beluk usaha yang berkaitan dengan barang, sumber pembelanjaan, maupun biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Mudharib mengajukan sejumlah persyaratan financial yang memuat beberapa hal yang menyangkut ketentuan harga penjualan, arus pembayaran, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Persyaratan tersebut akan di pelajari oleh pihak bank sebelum memutuskan menyetujui pembiayaan usaha tersebut. Bank menyetujui pembiayaan usaha tersebut jika tingkat keuntungan yang diharapkan cukup menjanjikan.

Antonio (2008: 97) menjelaskan bahwa al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana al-mudharabah di terapkan pada:

1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksud dengan tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.

2. Deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun jenis-jenis al-mudharabah, yakni:

a. Mudharabah Muthlaqah

Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak di mana shahib al-maal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si mudharib. Bentuk mudharabah ini disebut mudharabah muthlaqah atau

dalam bahasa inggrisnya disebut sebagai Unrestricted Investment Account (URIA).

Ismail (2011: 86-87) menjelaskan bahwa mudharabah muthlaqah merupakan akad perjanjian antara dua pihak yaitu shahibul maal dan mudharib, yang mana shahibul maal menyerahkan seluruhnya atas dana yang diinvestasikan kepada mudharib untuk mengelola usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Shahibul maal tidak memberikan batasan jenis usaha, waktu yang diperlukan, strategi pemasarannya, serta wilayah bisnis yang dilakukan. Shahibul maal memberikan kewenangan yang sangat besar kepada muharib untuk menjalankan aktivitas usahanya, asalkan sesuai dengan prinsip syariat islam.

Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salaf ash shalil seringkali di contohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.

b. Mudharabah Muqayyadah

Ismail (2011:87-88) menjelaskan bahwa mudharabah muqayyadah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak yang mana pihak pertama sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib). Shahibul maal menginvestasikan dananya

kepada mudharib, dan memberi batasan atas penggunaan dana yang diinvestasikannya, seperti dengan membatasi tempat dan cara berinvetasi, jenis investasi, objek investasi, dan jangka waktu.

Mudharabah muqayyadah ini juga dikatakan mudharabah terbatas atau dalam bahasa inggrisnya disebut Resticted Investment Account (RIA).

Mudharabah muqayyadah terbagi dalam dua jenis, yaitu mudharabah muqayyadah on balance sheet dan mudharabah muqayyadah of balance sheet.

1) Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet

Mudharabah muqayyadah on balance sheet merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mana mudharib ikut menanggung resiko atas kerugian dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal.

Dalam akad ini, shahibul maal memberikan batasan secara umum, misalnya batasan tentang usaha, jangka waktu pembiayaannya, dan sektor usahanya. Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya di syarat-syaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau di syaratkan dengan akad tertentu atau nisbah tertentu.

2) Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet

Mudharabah muqayyadah off balance sheet merupakan akad mudharabah muqayyadah yang mana pihak shahibul maal memberikan

batasan yang jelas, baik batasan tentang proyek yang diperbolehkan, jangka waktu serta pihak pelaksana kerja, mudharibnya telah ditetapkan oleh shahibul maal. Bank syariah bertindak sebagai pihak yang mempertemukan shahibul maal dan mudharib. Bagi hasil yang akan dibagi antara shahibul maal dan mudharib berasal dari proyek khusus.

Bank syariah bertindak sebagai agen yang mempertemukan kedua pihak, dan akan memperoeh fee. Dalam laporan keuangan, mudharabah muqayyadah off balance sheet akan dicatat dalam catatan atas laporan keuangan.

D. Deposito Mudharabah

Selain giro dan tabungan, produk perbankan syariah lainnya yang termasuk produk penghimpunan dana (funding) adalah deposito. Deposito merupakan salah satu tempat bagi nasabah untuk melakukan investasi dalam bentuk surat-surat berharga. Pemilik deposito disebut deposan (Kasmir, 2005: Hal. 93). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah menjelaskan bahwa deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/

atau Unit Usaha Syariah.

Deposito merupakan salah satu dari produk perbankan yang dikeluarkan untuk menarik dana pihak ketiga dari masyarakat. Tujuan dari produk deposito itu sendiri adalah untuk mendapatkan modal dari pihak yang melaksanakan akad.

Seperti halnya pada tabungan, dalam deposito khususnya deposito syariah, nasabah deposanbertindak sebagai shahibul maal dan bank bertindak sebagai mudharib. Penerapan mudharabah dalam deposito dikarenakan kesesuaian yang telah ditetapkan diantara keduanya. Misalnya yang dikemukakan dalam akad mudharabah mensyaratkan adanya tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana itu bisa diputarkan.

Tenggang waktu itu merupakan sifat deposito, bahkan dalam deposito terdapat pengaturan waktu, seperti 30 hari, 90 hari, dan seterusnya.

Deposito biasanya terkait dengan pembungaan uang pada bank-bank konvensional. Namun, di dalam bank syariah, yang di sebut dengan deposito itu tentu berbeda dengan yang di bank konvensional. Karena itu deposito tersebut disebut dengan deposito syariah. Artinya, deposito dilakukan berdasarkan konsep bagi hasil, bukan berdasarkan pembungaan yang mengandung riba. Bank syariah pun mempunyai produk yang dijamin 100%

aman dari riba. Sebab uang itu memang tidak ditanamkan dengan sistem bunga, melainkan sistem bagi hasil. Juga ada aturan bahwa bank syariah tidak dibenarkan menanamkan uang deposito pada institusi yang punya

produk haram, seperti pabrik minuman keras, narkoba, pabrik rokok atau produk-produk haram lainnya.

Dengan demikian, pemutaran uang deposito tersebut tidak sampai melewati wilayah yang diharamkan, tetapi hanya terbatas pada wilayah dunia usaha yang bersih dan halal. Apalagi disetiap bank syariah sudah bisa dipastikan ada dewan pengawas syariahnya, di mana dewan itu sendiri terdiri dari pakar yang paham dengan hukum perbankan syariah.

Dalam hal melakukan pengelolaan dana milik nasabah deposito, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.

Dengan demikian, bank syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Di samping itu, bank syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang

diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syariah.

Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, bank syariah akan membagi hasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mis management (salah urus), bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.

Andri soemitra (2010; 77), menjelaskan bahwa:

“Deposito yang dilakukan pada perbankan syariah adalah deposito yang investasi dananya berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/ atau unit usaha syariah”.

Prinsip syariah deposito ini diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang deposito. Deposito ada dua jenis yaitu deposito yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. Dan deposito yang dibenarkan syariah, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.

Ismail (2011) menjelaskan bahwa al-mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama usaha.

Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha disebut dengan

mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai dengan nisbah yang telah disepakati antara pihak-pihak yang telah bekerja sama.

Secara muamalah, pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada pedagang/ pengusaha (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan atau usaha. Keuntungan atas usaha perdagangan yang dilakukan oleh mudharib itu akan dibagi hasilkan dengan shahibul maal.

Pembagian hasil usaha ini berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam akad.

Mudharib adalah entrepreneur, yang melakukan usaha untuk mendapatkan keuntungan atau hasil atas usaha yang dilakukan. Shahibul maal sebagai pemilik modal atau investor, perlu mendapat imbalan atas dana yang diinvestasikan. Sebaliknya, bila usaha yang dilakukan mudharib mendapat kerugian, maka kerugian ditanggung oleh shahibul maal, selama kerugian bukan karena penyimpangan atau kesalahan yang dilakukan oleh mudharib. Bila mudharib melakukan kesalahan dalam melaksanakan usaha, maka mudharib diwajibkan untuk mengganti dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal.

Mudharib adalah entrepreneur, yang melakukan usaha untuk mendapatkan keuntungan atau hasil atas usaha yang dilakukan. Shahibul maal sebagai pemilik modal atau investor, perlu mendapat imbalan atas dana yang diinvestasikan. Sebaliknya, bila usaha yang dilakukan mudharib mendapat kerugian, maka kerugian ditanggung oleh shahibul maal, selama kerugian bukan karena penyimpangan atau kesalahan yang dilakukan oleh mudharib. Bila mudharib melakukan kesalahan dalam melaksanakan usaha, maka mudharib diwajibkan untuk mengganti dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal.

Dokumen terkait