• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Teori pasar modal efisien menyatakan bahwa harga sekuritas secara cepat mencerminkan semua informasi yang relevan, dengan kata lain keputusan investasi yang dilakukan investor merupakan reaksi atas informasi yang mereka terima (Ang, 1997 dalam Wibisono 2004). Teori ini memprediksi bahwa tidak ada reaksi pasar atas perubahan kebijakan akuntansi sepanjang tidak mempunyai pengaruh yang mendasari profitabilitas dan arus kas keuangan (Sutrisno, 2002 dalam Astuti 2003).

Teori asimetri informasi (asymmetric information theory) merupakan informasi privat yang hanya dimiliki oleh para investor yang mendapat informasi saja. Asimetri informasi ini akan kelihatan jika manajemen tidak menyampaikan semua informasi yang diperoleh tentang semua hal yang dapat mempengaruhi perusahaan ke pasar, maka umumnya pasar akan merespon informasi tersebut sebagai suatu sinyal terhadap adanya kejadian tertentu yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari perubahan harga saham (Jogiyanto, 2003), Maka pengumuman yang dilakukan perusahaan untuk melakukan IPO akan direspon suatu pasar sebagai sinyal yang menyampaikan adanya informasi baru dan hal ini akan berdampak pada nilai saham. Karena adanya asimetri informasi ini praktek earning management diindikasikan terjadi pada saat perusahaan melakukan penawaran saham khususnya IPO.

Kerangka konsep earning management dalam penelitian ini dibagi menjadi dua metode yaitu metode manipulasi laba akrual yang terdiri dari akrual jangka pendek dan jangka panjang dan metode aktivitas nyata yang terdiri dari arus kas operasi dan biaya diskresioner. Manipulasi laba akrual dan aktivitas nyata akan dihubungkan dengan IPO untuk mengetahui apakah perusahaan melakukan manajeman laba pada saat melakukan IPO. Hal ini dihubungkan dengan teori signaling yaitu mengasumsikan adanya informasi asimetri diantara berbagai partisipan di pasar modal, pasar akan bereaksi secara negatif dengan adanya pengumuman penambahan saham baru yang mengindentifikasikan adanya informasi yang tidak menguntungkan (bad news) tentang kondisi laba di masa mendatang. Hal ini juga sejalan dengan teori akuntansi positif (TAP) yang telah dijelaskan oleh Watt and Zimmerman (1990) tentang terjadinya earning management seputar IPO yang terangkum dalam hipotesis program bonus. Teori ini juga telah didukung oleh beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Healy (1985) dan Holthousen et al.

(1995). Dalam pelaksanaan program opsi saham, para eksekutif perusahaan yang memiliki program meningkatkan nilai kepemilikan lebih cenderung untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. Pemilihan tersebut dilakukan karena alasan peningkatan nilai kepemilikan. Earning management yang dilakukan oleh para eksekutif perusahaan dengan cara menaikkan jumlah laba akuntansi yang dilaporkan menjelang opsi jatuh tempo belum memberikan dampak finansial secara langsung yang dapat dinikmati oleh para eksekutif perusahaan. Namun, jika earning management tersebut direspon oleh pasar

modal yang ditandai dengan adanya peningkatan harga pasar saham perusahaan di atas harga kontrak yang tertera dalam opsi saham setelah informasi diumumkan, maka itu berarti bahwa para eksekutif perusahaan memiliki ekspektasi keuntungan sebesar perbedaan positif antara harga pasar saham setelah saham perusahaan dimiliki dengan harga yang disepakati dalam kontrak opsi. Peningkatan nilai kepemilikan inilah yang menjadi fokus earning management menjelang opsi saham jatuh tempo.

Earning management yang terdiri dari manipulasi laba akrual dan aktivitas nyata dihubungkan dengan kinerja perusahaan pada saat IPO untuk mengetahui apakah tindakan tersebut mempengaruhi kinerja saham jangka pendek dan panjang perusahaan ini sejalan dengan teori agensi (agency theory), manajemen memanfaatkan asimetri informasi karena kesuperiorannya dalam menguasai informasi dibandingkan pasar. Sehingga turunnya kinerja perusahaan tersebut berkaitan dengan sikap oportunistik manajemen untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, meski dalam jangka panjang manajemen akan kehilangan kendali atas keunggulannya, yang terefleksi dalam penurunan kinerja, hal ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu diantara dilakukan oleh Dechow et al. (1996), dan Beneish, 2001) mengatakan penurunan kinerja saham akan terjadi sebagai akibat dilakukannya manipulasi pada saat penawaran. Teoh et al. (1998) melaporkan bahwa

discreationary accruals digunakan oleh perusahaan yang melakukan IPO dan akan mengalami penurunan kinerja setelah 3 tahun. Selanjutnya penelitian tersebut membuktikan bahwa ada hubungan negatif antara discreationary current accruals

return saham ini terjadi setelah mengendalikan ukuran perusahaan, rasio book-to-market, capital expenditures pasca issue. Maka pada penelitian ini digunakan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol untuk menghindari bias. Berikut ini adalah kerangka konsep dari penelitian ini:

Gambar 3.1. Kerangka Model Penelitian

Model penelitian dari kerangka konsep di atas adalah: Y = a + b1 x1 Y = a + b + e 1 x2 Y = a + b + e 1 x3 Y = a + b + e 1 x4 Y = a + b + e 1 x1+ b2 x2 + b3 x3 + b4 x4 Dimana: + e

Y = Kinerja saham Perusahaan yang melakukan IPO a

b

= Konstanta

1 = Koefisien regresi

Manipulasi Laba Akrual (x1) Akrual jangka pendek (x1.1) Akrual jangka panjang (x1.2)

Manipulasi aktivitas nyata (x2) Abnormal arus kas (x2.1)

Abnormal biaya diskresioner (x2.2)

Kinerja saham perusahaan yang melakukan IPO (Y) H1 H2 H3 H4 H5

x1 x

= Akrual diskresioner jangka pendek

2

x

= Akrual diskresioner jangka panjang

3

x

= Abnormal arus kas

4

e = Error

= Abnormal biaya diskresioner

3.2. Hipotesis

Teoh et al. (1998) menunjukkan bahwa penurunan kinerja perusahaan IPO berhubungan positif dengan discretionary accruals pada tahun perusahaan tersebut go publik. Perusahaan dengan discretionary accruals tinggi, cenderung memiliki penurunan kinerja yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang discretionary accruals saat IPOnya rendah. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritter (1991) menyatakan bahwa kinerja saham menurun beberapa perioda setelah IPO. Sedangkan Aharony et. al (1999), membuktikan bahwa perusahaan IPO melakukan earning management dengan cara mengganti metode akuntansi sebelum IPO agar mendapatkan laba yang lebih tinggi.

Manajer melakukan manipulasi dengan menggunakan akrual diskresioner, yaitu kebijakan akuntansi yang memberikan keleluasaan pada manajemen untuk menentukan jumlah transaksi akrual secara fleksibel. Metode akrual diskresioner memberi peluang bagi manajer untuk memperbaiki profil laba sesuai dengan keinginannya (Friedlan, 1994). Bartov (1993) menemukan bahwa manajer menjual aset tetap untuk menghindari pertumbuhan laba yang negatif dan pelanggaran

perjanjian utang. Selain itu, Dechow dan Sloan (1991) melaporkan bahwa perusahaan yang di akhir periode mengurangi pengeluaran biaya riset dan pengembangan untuk menaikkan laba jangka pendek. Sesuai dengan penelitian oleh Teoh et al. (1998), penelitian ini menggunakan dua jenis akrual yaitu, akrual diskresioner jangka pendek

dan akrual diskresioner jangka panjang, sedangkan ukuran akrual yang dipakai adalah

modifikasi model Jones (1991).

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini yang

berkaitan dengan earning management akrual sebagai berikut:

H1 : Manipulasi laba akrual diskresioner jangka pendek mempengaruhi kinerja saham perusahaan yang melakukan IPO

H2 : Manipulasi laba akrual diskresioner jangka panjang mempengaruhi kinerja saham perusahaan yang melakukan IPO

Manajer juga memiliki insentif untuk memanipulasi aktivitas nyata sepanjang

tahun untuk memenuhi target laba tertentu. Manipulasi aktivitas nyatamempengaruhi

aliran kas dan dalam beberapa kasus akrual. Banyak dari riset terkini earning management yang fokus pada deteksi abnormal akrual. Penelitian (Roychowdhury, 2006) yang secara langsung menguji earning management melalui aktivitas nyata dikonsentrasikan pada aktivitas investasi. Jika manajer menyimpang dari tingkat aktivitas rata-rata pada industri dan tahun yang sama, maka hal ini menunjukkan bahwa: (1) manajer telah melakukan tindakan manipulasi aktivitas nyata, dan (2) manajer mendapatkan set kesempatan yang berbeda bagi perusahaan mereka.

Perusahaan yang diduga mempunyai kemampuan terbatas dalam mengatur laba melalui akrual akan melakukan manipulasi aktivitas nyata sebagai penggantinya.

Manipulasi aktivitas nyata merupakan manipulasi yang dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama periode akuntansi berjalan. Oleh karena itu, manipulasi ini dapat dilakukan kapan saja sepanjang periode akuntansi berjalan. Hal waktu inilah yang menjadi bagian penting bagi perusahaan dalam hal ini manajer memiliki insentif untuk melakukan manipulasi aktivitas nyata. Tujuan manipulasi aktivitas nyata adalah menghindari melaporkan kerugian yang dilakukan dengan menggunakan faktor-faktor yang berpengaruh pada laba yang dilaporkan yaitu rekening-rekening yang masuk dalam laporan laba rugi. Teknik yang dapat dilakukan dalam manipulasi aktivitas nyata adalah manajemen

penjualan, produksi besar-besaran, dan pengurangan biaya diskresioner

(Roychowdhury, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini yang berkaitan dengan manipulasi aktivitas nyata sebagai berikut:

H3 : Manipulasi aktivitas nyata arus kas kegiatan operasi mempengaruhi kinerja saham perusahaan yang melakukan IPO

H4 : Manipulasi aktivitas nyata biaya diskresioner mempengaruhi kinerja saham perusahaan yang melakukan IPO

Asimetri informasi pada saat penawaran saham perdana mendorong

penawaran Teoh et al. (1998) menemukan bahwa variabel akrual diskresioner berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kinerja return saham tiga tahun setelah penawaran. Sulistyanto dan Wibisono (2003) yang menggunakan akrual diskresioner

sebagai proksi sikap oportunis manajer dan kinerja perusahaan yang diproksikan

sebagai kinerja keuangan dan kinerja saham dapat membuktikan terdapat hubungan

yang negatif antara earning management dengan rendahnya kinerja return saham perusahaan setelah penawaran.

Rangan (1998) mencoba memprediksi return saham dengan komponen akrual diskresioner untuk mendapatkan koefisien negatif yang menunjukkan kinerja saham

yang rendah tersebut mampu dijelaskan dengan earning management. Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien regresi hubungan antara akrual diskresionerdan return

saham adalah negatif, sehingga ia menyimpulkan bahwa rendahnya kinerja saham

mampu dijelaskan komponen akrual. Ali et al. (2000) menguji apakah komponen akrual mampu menjelaskan return saham perusahaan setahun setelah penerbitan laporan keuangan. Komponen akrual penelitian tersebut dihitung dengan pendekatan Dechow et al. (1996). Hasilnya menunjukkan komponen akrual berhubungan negatif dengan return saham. Subramanyam (2010) juga menemukan akrual diskresioner berhubungan dengan harga saham.

Syaiful (2004) meneliti hubungan earning management dengan return saham perusahaan yang terdaftar di BEJ. Penelitian dilakukan terhadap 44 perusahaan yang melakukan IPO pada 1991-1994. Hasilnya menunjukkan bahwa return saham pada

perioda satu tahun setelah IPO rendah. Tetapi penelitian ini tidak berhasil menemukan hubungan antara earning management dan return saham.

Rangan dalam Wibisono (2004) menunjukkan terdapat koefisien regresi yang negatif antara discretionary accrual dan return saham. Sedangkan Healy dan Palepu (1990) melaporkan reaksi pasar yang negatif disebabkan adanya asimetri informasi antara manajer dan investor. Penelitian ini menjelaskan bahwa pengumuman IPO

memberikan informasi mengenai resiko perusahaan dimasa depan. Dari beberapa penelitian di atas dapat diketahui bahwa turunnya kinerja perusahaan setelah penawaran berkaitan dengan sikap oportunistik manajer yang memanfaatkan kesempatan yang ada. Meskipun dalam jangka pendek manajer mampu mempertahankan keunggulannya, namun dalam jangka panjang manajer akan kehilangan kendali atas keunggulan tersebut, yang terefleksikan dalam penurunan kinerja yang cukup signifikan.

Berdasarkan keberagaman hasil penelitian sebelumnya dan berbagai teknik

earning management yang dapat dilakukan oleh perusahaan, mendorong dikembangkannya hipotesis ketiga sebagai berikut:

H5: Earning management secara simultan mempengaruhi kinerja saham perusahaan yang melakukan IPO

BAB IV

Dokumen terkait