• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Produktif

6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang

6.1.2. Hirarkhi Organisasi Kehutanan

Undang-undang Kehutanan mengatur hirarkhi organisasi dan kebijakan ke dalam tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Pengaturan hirarkhi ini berkaitan dengan hirarkhi organisasi dan kebijakan yang terdiri dari makro, meso

dan mikro. Sedangkan dari konteks kebijakan pengaturan hirarkhi juga mempunyai kesesuaian dengan kuadran kebijakan yang memposisikan kebijakan publik, kebijakan privat dan quasi publik. Pengurusan hutan adalah hirarkhi tingkat makro yang berhubungan dengan pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan mencakup wilayah luas, pengurusan hutan juga merupakan domain kebijakan publik yang berupa tugas pemerintah yang menyangkut kepentingan bersama. Pengelolan hutan dibagi kedalam tiga tingkatan yaitu wilayah provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit manajemen atau disebut sebagai KPH, masing-masing berada pada tingkat makro, meso dan mikro. Sejalan dengan karakteristik hutan yang juga memproduksi ekternalitas dan barang publik maka pengelolaan hutan termasuk dalam ranah kebijakan publik dan quasi publik. Pada tingkat makro dan meso pengelolaan hutan termasuk dalam kebijakan publik karena mencakup wilayah luas dan mengatur kepentingan bersama masyarakat di dalam wilayahnya, sedangkan pengelolaan hutan pada tingkat KPH dapat dikategorikan sebagai quasi publik karena KPH sebagai unit managemen terkecil adalah sebuah entitas individual yang mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan manajemen atas kawasan hutan negara yang dikelolanya, tetapi KPH juga melaksanakan pekerjaan pemerintah dalam memproduksi barang publik dan mengelola eksternalitas hutan, dua hal terakhir ini yang dipercaya menyebabkan kegagalan pasar. Sepanjang tidak dilakukan koreksi atas keberadaan barang publik dan ekternalitas pada pengelolaan hutan, maka peran pemerintah masih diperlukan. Pemanfaatan hutan adalah hirarkhi tingkat mikro dan merupakan wilayah privat, dimana pemanfaatan hutan adalah aktifitas memanfaatkan hasil produksi multiproduk dari pengelola hutan (KPH). Hubungan-hubungan

transaksi antara pengelola hutan (KPH) dangan pengguna (pemanfaat) adalah hubungan transaksi individual. Hubungan struktur organisasi kehutanan yang diatur oleh Undang-Undang 41/1999 adalah seperti Tabel 45.

Tabel 45. Hubungan Hirarkhi Organisasi Kehutanan Menurut UU. 41/1999 Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan

Pengurusan Makro Publik

Pengelolaan

1. Wilayah Provinsi Makro Publik 2. Wilayah Kab/Kota Meso Publik 3. Unit Pengelolaan (KPH) Mikro Quasi Publik

Pemanfaatan Mikro Privat

Berdasarkan ketentuan undang-undang, transaksi antara pengelola dengan pengguna dilakukan melalui mekanisme ijin-ijin usaha. Berdasarkan hirarki yang ditentukan oleh undang-undang, apabila organisasi pengelola tingkat unit telah ada maka kedudukan ijin usaha berada pada lapisan yang paling rendah, seperti pada gambar 21. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa ijin usaha yang terjadi dalam konteks hubungan antara pengelola dengan pengguna adalah bentuk transaksi pemanfaatan hasil produksi yang merupakan wilayah privat, harus dibedakan dengan ijin usaha yang berupa ijin pendirian usaha yang merupakan kewenangan publik karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi demi melindungi kepentingan publik. Ijin usaha dalam konteks pemanfaatan hasil hutan adalah hubungan transaksi produk hasil hutan antara pengelola dengan pengguna, hubungan transaksi ini seperti yang terjadi antara Perum Perhutani dengan pembeli kayu, antara pengelola hotel dengan penyewa ruang pamer atau pengguna kamar, antara pengelola kebun binatang dengan penyewa toko cindera mata yang ada di dalamnya dan

transaksi pengelola stadion dengan pengunjung yang membeli karcis ijin masuk. Hubungan-hubungan transaksional individu ini memerlukan ijin dari pengelola untuk mengambil manfaat.

Aturan pelaksanaan yang berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak konsisten melaksanakan struktur organisasi kehutanan yang dikehendaki oleh undang-undang. Penyimpangan ini dapat dilacak dari pengaturan perencanaan pengelolaan hutan dan perijinan usaha pemanfaatan dalam Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002. Wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan hutan (RPH) yang merupakan rencana tingkat unit (KPHP) yang merupakan rencana individual dan mikro, didistribusikan kepada institusi tingkat meso dan makro dengan meniadakan peran institusi mikro. RPH jangka satu tahun disusun oleh instansi kehutanan (tanpa disebut identitasnya) dan disahkan oleh Gubernur, RPH jangka 5 tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri, RPH 20 tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri. Pengaturan ini menyebabkan Menteri, Gubernur dan Bupati melaksanakan urusan- urusan yang bersifat mikro

Di bidang perijinan juga berlaku hal yang serupa, bupati, gubernur dan menteri mempunyai peran dalam pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan, sedangkan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi wewenang menteri. Dalam terminologi Schlager dan Ostorm (1992) perijinan adalah exclusion right maka dengan diambilnya hak ekslusi oleh birokrasi maka definisi hak pengelolaan pada KPH menjadi tidak lengkap, dan KPH sebagai unit pengelolaan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengelola.

48 Pengurusan Hutan Pengelolaan Provinsi Pengelolaan Kabupaten Pengelolaan Unit Blok Pemanfaatan Petak

Ijin Usaha Pemanfaatan

Gambar 21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki Organisasi Kehutanan

Akibat dari pilihan organisasi yang tidak membedakan hirarki makro, meso mikro, dan tidak membedakan domain publik dan privat membawa pemerintah terlibat langsung dalam aktivitas operasional sehingga pemerintah menjalankan peran regulator, penegak aturan dan pemain. Kedudukan dan peran para pihak menjadi bercampur-baur tanpa hirarki yang jelas (Gambar 22). North (1990) telah mengingatkan bahwa agar institusi ekonomi berjalan secara efektif harus ada pemisahan antara pembuat aturan dan pemain, dan menurut Sewel (1992) peran pemerintah diposisikan pembuat aturan dan penegak peraturan. Mengapa pemisahan ini diperlukan, Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scoot (2008), memberikan alasan bahwa mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya memerlukan wewenang dan legitimasi. Namun demikian berdasarkan pemahaman Skocpol (1985) dan North (1990) di dalam Scott (2008), bahwa dalam prakteknya

negara membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor social lainnya.

Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan Pengurusan Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi 2. Wilayah Kab/Kota 4. Unit Pengelolaah (KPH Pemanfaatan

Gambar 22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan

Keterlibatan pemerintah secara langsung pada urusan mikro pada situasi hirarki yang tidak terstruktur dengan baik menimbulkan kesulitan untuk memposisikan perannya dalam fungsi publik dan privat. Perannya sebagai regulator, wasit dan sekaligus pemain, menghasilkan aturan-aturan yang mengandung konflik kepentingan seperti peraturan mengenai sanksi yang berimbas pada kepentingan langsung pemerintah, kebijakan SILIN dan penurunan batas diameter yang mengutamakan kepentingan jangka pendek daripada tujuan optimasi manfaat adalah contoh dari adanya konflik kepentingan tersebut. Sebagai pemegang kekuasaan, maka untuk mendapatkan kepentingannya, pemerintah melakukan perversi yaitu mengambil keuntungan atas beban pihak lain melalui peraturan yang dibuatnya, pemindahan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan, pembebanan biaya penilaian kinerja kepada perusahaan, pembebanan biaya informasi dan lain sebagainya adalah contoh aturan yang bersifat perversif.