• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Produktif

6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang

6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan

Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41 tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh, dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan

mendistribusikan manfaat yang optimal secara berkeadilan. Yang dimaksudkan dengan hutan yang berkualitas tinggi adalah apabila fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dapat berjalan, sehingga hutan bukan hanya memproduksi kayu saja tetapi hutan juga menghasilkan produk-produk lain seperti hasil hutan bukan kayu, plasma nuftah, dan jasa-jasa lingkungan (paragraf 7 dan 8 penjelasan umum UU. 41.1999) . Dengan kata lain bahwa pengelolaan hutan dimaknai sebagai kegiatan untuk memproduksi multiproduk (dan jasa) hasil hutan yang optimal.

Produksi multiproduk di hutan alam dicirikan oleh hubungan ketergantungan antara produk yang satu dengan lainnya, seperti keberadaan beberapa spesies tumbuhan maupun satwa tertentu bergantung dari keberadaan spesies lainnya, sebagaimana dikemukakan oleh Hamilton (1993). Hubungan interdependensi memungkinkan adanya faktor produksi yang non-allocable (Beattie dan Taylor, 1985), sebagai contoh produksi jasa lingkungan yang berupa tata air tidak dapat dipisahkan dari proses produksi kayu. Jasa lingkungan bergantung pada kualitas tegakan hutan yang dibangun melalui pengelolaan hutan untuk produksi kayu, faktor- faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan jasa lingkungan sama dengan faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan tegakan yang baik.

Sebagaimana dikemukakan oleh Beattie dan Taylor (1985) bahwa untuk menghasilkan manfaat optimal melibatkan proses pengambilan keputusan untuk menentukan tingkat produksi multiproduk yang menghasilkan keuntungan (manfaat) maksimal. Keputusan tersebut melibatkan perhitungan dalam rangka minimisasi biaya produksi dan maksimasi keuntungan. Proses ini memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi. Pertama optimasi dapat dilakukan

apabila terdapat unit analisis atau unit produksi yang jelas, kedua terdapat berbagai pilihan kombinasi produk yang dikehendaki, ketiga diketahui nilai keuntungan setiap produk yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Undang- undang no. 41 /1999 mengenal tiga tingkatan unit pengelolaan hutan, yaitu pengelolaan hutan wilayah provinsi, pengelolaan hutan wilayah kabupaten dan pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Pembagian wilayah administrasi pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota sudah jelas batas-batasnya, dengan demikian kepastian tentang batas-batas wilayah pengelolaan hutan tingkat unit manajemen menjadi suatu hal yang harus dipastikan keberadaannya. Wilayah pengelolaan tingkat unit ini dalam undang-undang dikenal sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), jika KPH tidak tersedia maka optimasi tidak dapat dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 belum tersedia satupun KPH yang telah dilengkapi dengan organisasi dan sarananya.

Optimasi manfaat dapat dilakukan apabila di dalam setiap unit tersebut memiliki potensi lebih dari satu produk atau manfaat yang dapat diproduksi. Dalam konsep optimasi yang terjadi adalah mengkombinasikan upaya-upaya pengelolaan hutan untuk menghasilkan berbagai macam produk atau manfaat sehingga diperoleh total nilai produk akhir secara maksimal. Hutan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan berbagai manfaat, oleh sebab itu untuk melakukan optimasi, pada setiap unit pengelolaan hutan harus ditetapkan terlebih dahulu jenis-jenis produk atau manfaat yang akan diproduksi sebagai tujuan pengelolaan hutan.

Optimasi pada tingkat unit pengelolaan (KPH) berbeda dengan optimasi pengelolaan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi. Pengelolaan hutan

tingkat kabupaten dan provinsi, merupakan agregasi dari berbagai KPH (produksi, lindung, konservasi), jenis-jenis status hutan (hutan negara, adat, dan hutan hak). Optimasi pada tingkat ini dimaksudkan untuk mendukung misi pengurusan hutan tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi (pasal 10 dan pasal 18). Pengelolaan pada tingkat wilayah ini dilakukan oleh pemerintah, sehingga permerintah perlu membuat perhitungan optimasi manfaat hutan tingkat wilayah, menetapkan tujuan pengelolaan hutan secara spesifik dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik untuk memfasilitasi upaya para pihak dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat optimal di wilayahnya. Optimasi tingkat wilayah ini berkaitan dengan indikator kinerja utama organisasi makro dan meso yang berupa kecukupan hutan, penutupan hutan dan peran sektor kehutanan yang dikehendaki (lihat lampiran 6).

Optimasi memerlukan nilai sebagai dasar untuk mengukur manfaat yang diproduksi dan mengukur biaya untuk memproduksinya. Sebagaimana telah diketahui bahwa hutan mempunyai karakteristik disamping menghasilkan produk-produk privat yang dapat diperdagangkan, hutan juga menghasilkan barang-barang publik dan eksternalitas. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), pengertian eksternalitas dinyatakan sebagai pengaruh aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak dicerminkan di dalam pasar. Eksternalitas dapat berupa eksternalitas negatif manakala tindakan salah satu pihak menimbulkan beban kepada pihak lain, atau berupa eksternalitas positif manakala tindakan salah satu pihak memberikan manfaat kepada pihak lain. Aktifitas pengelolaan hutan dapat mengandung kedua jenis eksternalitas ini, sebagai contoh eksternalitas positif dapat terjadi ketika pengelola hutan melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan hutan yang sehat sehingga

dapat berfungsi secara maksimal, ketika hutan berfungsi dengan baik, maka hutan memberikan pengaruh terhadap stabilitas iklim, fungsi tata air, habitat bagi berbagai macam kehidupan, keindahan alam dan fungsi-fungsi lain yang dinikmati oleh pihak- pihak lain yang tidak turut membiayai pengelolaan hutan tersebut. Sementara eksternalitas negatif terjadi terutama pada saat dilakukan penebangan pohon dalam rangka produksi kayu, dampak dari penebangan tersebut dapat berupa erosi yang menimbulkan sedimentasi sungai, gangguan tata air, hilangnya habitat satwa dan lain- lain akibat yang ditanggung oleh pihak lain, sementara pihak lain itu tidak turut menikmati manfaat dari penebangan pohon tersebut.

Sedangkan barang publik oleh Pindyck dan Rubinfeld (2001) dinyatakan bahwa barang publik mempunyai dua karakter yaitu non-rival dan non-exclusive. Barang publik yang dihasilkan hutan bersifat non-rival yaitu ketika hutan telah berfungsi maka penambahan jumlah pengguna manfaat hutan tidak akan menambah biaya produksi barang tersebut. Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat non- ekslusif sebagai contoh adalah oxigen, tidak ada yang bisa mencegah orang untuk mengkonsumsi oksigen yang diproduksi dari hutan yang dikelolanya dan pengguna produk tersebut tidak dapat dikenai biaya. Manfaat hutan lebih banyak dinikmati oleh pengguna tidak langsung, dalam pengertian Dye (1995) merupakan hal yang tergolong kedalam urusan publik.

Dengan memperhatikan karakteristik hutan sebagaimana tersebut di atas, untuk melakukan optimasi pengelolaan hutan diperlukan adanya ukuran yang mencerminkan nilai kemanfaatan dari produk yang dihasilkannya, dan ukuran yang dapat mencerminkan biaya produksi, serta tersedia mekanisme yang menghubungkan

antara perolehan pendapatan dengan pembiayaan oleh pengelola hutan. Terhadap produk yang dapat diperdagangkan, pasar telah menyediakan mekanisme hubungan tersebut, sedangkan terhadap eksternalitas dan barang-barang publik diperlukan kebijakan publik yang dapat menghubungkan antara biaya dan pendapatan.

Untuk melakukan koreksi pasar atas keberadaan eksternalitas (Pindyck dan Rubinfeld, 2001), terdapat beberapa pilihan kebijakan yaitu standardisasi emisi, pajak emisi, perdagangan ijin emisi atau daur ulang. Standar emisi adalah aturan yang menetapkan tingkat emisi yang masih diperbolehkan terjadi, pelanggaran atas batas ini dapat dikenakan denda atau hukuman kriminal. Sedangkan pajak emisi adalah biaya yang dikenakan atas setiap satuan emisi yang dihasilkan oleh seseorang atau perusahaan. Pada perdagangan ijin emisi, setiap pelaku diharuskan mempunyai ijin emisi yang menunjukkan jumlah emisi yang diperbolehkan, mereka yang memproduksi emisi lebih besar dari ijinnya dapat membeli ijin emisi dari pihak yang memproduksi emisi lebih kecil dari ijinnya. Sedangkan koreksi pasar atas keberadaan barang publik dilakukan dengan kebijakan subsidi oleh pemerintah.

Pemerintah di beberapa negara mempunyai kebijakan pemberian subsidi sebagai insentif kepada untuk membangun hutan, pemerintah Findlandia menanggung biaya pembangunan hutan hingga mencapai 25% dari total biaya dengan nilai rata-rata setara dengan Rp. 550 Milyard pertahun (APHI, 2004). Sementara itu di tingkat dunia sedang berkembang mekanisme perdagangan karbon yang merupakan bentuk upaya koreksi terhadap keberadaan eksternalitas pada pengelolaan hutan. Berbagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment on Environmental Services / PES)

Dalam perkembangannya, kehendak undang-undang belum dapat diterjemahkan dengan baik oleh aturan-aturan pelaksanaannya. Peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi yaitu Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 serta peraturan-peraturan menteri tidak mengarahkan perubahan tujuan pengelolaan hutan dari orientasi kayu menjadi orientasi produksi multiproduk, peraturan-peraturan tersebut mengatur pemanfaatan multiproduk dengan tidak memberi perhatian yang cukup pada manajemen produksi multiproduk. Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2004 maupun Peraturan Menteri Kehutanan no. P.28/Menhut-II/2006 tidak menjelaskan dan tidak mengatur tentang proses-proses optimasi fungsi maupun produksi/manfaat. Mandat undang-undang untuk mewujudkan manfaat optimal masih diterima sebatas retorika, belum ditejemahkan ke dalam kebijakan dan peraturan.

Berdasarkan peraturan yang telah diterbitkan pemerintah, disimpulkan bahwa belum ada kebijakan publik yang secara eksplisit dimaksudkan untuk melakukan koreksi atas masalah eksternalitas dan barang publik yang terjadi pada pengelolaan hutan produksi alam. Selain itu KPH sebagai unit analisa belum disiapkan, oleh sebab itu perubahan orientasi belum dapat dilaksanakan.