• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Lama Waktu dan Level Tepung Daun Beluntas dalam Mengurang

4.4.7 Histopatologi Organ Dalam Itik

Oleh karena daun beluntas mengandung zat-zat yang bersifat antinutrien seperti tanin, maka perlu dilakukan uji pengaruhnya pada organ- organ dalam yaitu hati, ginjal, pankreas, dan usus halus.

4.4.7.1 Hati

Hasil pemeriksaan histopatologi itik percobaan ditemukan adanya kerusakan jaringan pada hati yang meliputi degenerasi lemak dan sirosis hati dengan tingkat kerusakan dari ringan sampai parah tercantum pada Tabel 25 dan Tabel 26.

Tabel 25 Persentase itik yang mengalami degenerasi lemak pada jaringan hati itik penelitian

Level pemberian

beluntas

Persentase itik yang mengalami degenerasi lemak pada lama pemberian pakan

3 minggu 7 minggu (-) sd (+) (++) sd (+++) (-) sd (+) (++) sd (+++) (%) (%) 0% 83,33 16,67 83,33 16,67 1% 100 0 83,33 16,67 2% 100 0 83,33 16,67

Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah

Tingkat degenerasi lemak hati (sel hati dalam sitoplasma berisi vakuola lemak) pada penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) normal sampai kerusakan ringan (Gambar 17); dan (2) kerusakan sedang sampai berat (Gambar 18). Kerusakan ringan dimasukkan ke dalam kelompok normal karena hal tersebut merupakan hal yang biasa

terjadi pada ternak itik, terlebih dengan pemeliharaan

digembala/diangon.

Dari Tabel 25 terlihat bahwa itik yang mengalami degenerasi lemak, pada perlakuan 3 dan 7 minggu, tidak hanya terjadi pada yang mendapat perlakuan pemberian tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% dan 2%, tetapi juga terjadi pada itik kontrol yang tidak mendapat tepung daun beluntas.

85

Gambar 17 Degenerasi lemak ringan hepatosit organ hati. Perbesaran objektif 40x HE

Gambar 18 Degenerasi lemak hati parah dengan vakuola lemak yang besar-besar di dalam hepatosit (panah).

Itik sampel yang mendapat perlakuan level pemberian tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan selama 3 minggu tidak mengalami degenerasi lemak di hati tingkat sedang sampai parah, sedangkan perlakuan dengan level yang sama selama 7 minggu tingkat degenerasi lemak di hati tidak berbeda dengan kontrol yaitu yang tidak mendapat tepung daun beluntas. Hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa tepung daun beluntas tidak menyebabkan terjadinya degenerasi lemak di hati. Tidak adanya itik yang mengalami degenerasi lemak pada pemberian tepung daun beluntas selama 3 minggu dapat dijadikan indikasi bahwa tepung daun beluntas dapat memperbaiki degenerasi hati. Hal ini perlu pembuktian lebih

86

lanjut melalui penelitian karena pada perlakuan pemberian tepung daun beluntas selama 7 minggu, persentase itik yang mengalami degenerasi hati tidak berbeda dengan yang tidak mendapat tepung daun beluntas.

Degenerasi lemak merupakan kerusakan sementara yang dapat diperbaiki dengan pemberian pakan berkualitas baik. Dengan demikian sangat memungkinkan antioksidan dalam beluntas berikatan dengan lemak, sehingga jumlah vakuola lemak dalam hati menurun dan jaringan hati normal kembali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sinaga (2006) yang menggunakan sumber antioksidan dalam daun kaliandra. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah vakuola lemak hati itik yang mendapat kaliandra lebih rendah daripada perlakuan yang tanpa mendapat kaliandra. Sel hati dalam sitoplasma berisi vakuola lemak pada penelitian ini kemungkinan akibat aflatoxin. Aflatoksin adalah jenis racun yang dapat memicu sel-sel epitel buluh empedu di hati untuk proliferatif sehingga daerah porta dari lobulus hati akan membengkak dan menggertak peradangan. Kontaminasi aflatoksin pada pakan yang didapat berulang-ulang, menyebabkan peradangan menjadi kronis. Keracunan aflatoksin berlangsung kronis, umumnya berlanjut dengan aktivasi sel jaringan ikat dengan mitosis dan membentuk akumulasi kolagen dan dapat menimbulkan sirosis hati (pengerasan hati oleh meningkatnya jaringan ikat). Saat menderita sirosis (Gambar 19), jumlah hepatosit aktif amat berkurang dari normal, sehingga fungsi hati menjadi berkurang.

Dari Tabel 26 terlihat bahwa itik yang mengalami sirosis hati perlakuan 3 dan 7 minggu, tidak hanya terjadi pada yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2%, tetapi juga terjadi pada itik kontrol (tanpa mendapat tepung daun beluntas).

87

Gambar 19 Sirosis hati dengan pembentukan jaringan ikat diantara hepatosit. Perbesaran objective 40x HE. Tabel 26 Persentase itik yang mengalami sirosis pada jaringan

hati itik penelitian Level pemberian

tepung daun beluntas

Persentase itik yang mengalami sirosis jaringan hati pada lama pemberian pakan

3 minggu 7 minggu (-) sd (+) (++) sd (+++) (-) sd (+) (++) sd (+++) (%) (%) 0% 50 50 66,66 33,34 1% 66,66 33,33 100 0 2% 33,34 66,66 83,33 16,67

Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah.

Pada perlakuan pemberian tepung daun beluntas selama 3 minggu, sirosis hati itik yang mengalami tingkat kerusakan sedang sampai parah pada itik yang mendapat tepung daun beluntas 2% lebih banyak dari kontrol, tetapi pada itik yang mendapat tepung daun beluntas selama 7 minggu terlihat ada perbaikan. Pada kontrol jumlah hati itik yang mengalami kerusakan hati sedang-parah menurun sebesar 33,32% (dari 50% menjadi 33,34%), sedangkan yang mendapat tepung daun beluntas 1% menurun sebesar 100% (dari 33,33% menjadi 0%) dan yang mendapat tepung daun beluntas 2% menurun sebesar 75% (dari 66,66% menjadi 16,66%). Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dalam pakan dapat mempercepat perbaikan jaringan hati yang rusak. Beluntas mengandung fenol dan flavonoid yang telah diketahui mempunyai

88

kapasitas sebagai antioksidan (Andarwulan et al. 2008) karena kemampuannya menurunkan pembentukan radikal bebas dan menangkap radikal bebas (Burda dan Oleszek 2001). Kemampuan sebagai antioksidan memberi efek terapi terhadap penyakit kanker (patologi hati) (González-Gallego et al. 2007). Asupan flavonoid dilaporkan dapat mengurangi resiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim prostaglandin sintase, lipoksigenase dan siklooksigenase yang terkait dengan pembentukan tumor (Zang dan Hamauzu 2003). Hasil penelitian Dragland et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan salah satu tanaman herba Jepang (Sho-Danau Sai) dapat

digunakan untuk mengobati hepatitis kronis, menghambat

perkembangan karsinoma hepatoseluler, mengurangi peroksidasi lipid dan fibrosis hati pada hewan percobaan.

4.4.7.2 Ginjal dan Pankreas

Kerusakan jaringan pada pankreas (amiloidosis pankreas) dan ginjal (fibrosis dan gangguan fungsi ginjal) disajikan pada Tabel 27. Amiloid terbentuk dari amiloid serum hasil peradangan kronis di hati. Amiloid sering terakumulasi di tepi pembuluh darah di interstitium pankreas. Akumulasi amiloid yang terbentuk akan menekan kelenjar pankreas dan menimbulkan atrophy (pengecilan) kelenjar pankreas.

Tabel 27 menunjukkan bahwa pankreas dan ginjal itik ditemukan normal sampai kerusakan ringan. Kerusakan tersebut terjadi di semua perlakuan, termasuk pada kontrol.

Demikian juga pada ginjal. Ginjal itik yang diberi tepung daun beluntas sebanyak 1% dan 2%, selama 3 dan 7 minggu tidak mengalami fibrosis (terbentuknya akumulasi jaringan ikat di daerah interstitium/antara tubuli ginjal) dan gangguan fungsi ginjal (terjadi mineralisasi dalam tubuli ginjal yang menghambat sekresi asam urat). Hal ini berarti tepung daun beluntas tidak berpengaruh negatif pada ginjal itik.

89

Tabel 27 Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan pankreas dan ginjal

Kerusakan jaringan

Level pemberian

beluntas

Persentase itik yang mengalami kerusakan ginjal pada lama pemberian pakan

3 minggu 7 minggu (-) sd (+) (++) sd (+++) (-) sd (+) (++) sd (+++) (%) (%) Amiloidosis pancreas 0% 100 0 100 0 1% 100 0 100 0 2% 100 0 100 0 Ginjal 1. Fibrosis 0% 100 0 100 0 1% 100 0 100 0 2% 100 0 100 0 2.Gangguan fungsi 0% 100 0 100 0 1% 100 0 100 0 2% 100 0 100 0

Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah.

4.4.7.3 Usus Halus

Kerusakan jaringan pada usus halus yang teramati adalah enteritis (radang usus halus). Hasil yang terdeteksi ialah terjadinya penebalan lokal dinding usus dengan adanya akumulasi sel-sel limfoid di propria mukosa usus dan adanya potongan cacing pita di antara vili usus (Gambar 20). Persentase itik dengan tingkat kerusakan usus yang dialami pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 28.

Gambar 20 Enteritis parasit cacing pita (panah hitam). Sel-sel radang meningkat di dalam lapisan propria usus sebagai indikator radang usus (panah biru). Pembesaran objektif 20x HE.

90

Tabel 28 Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan usus halus itik penelitian

Kerusakan Jaringan

Level Pemberian

Beluntas

Persentase itik yang mengalami kerusakan usus halus pada lama pemberian pakan

3 minggu 7 minggu (-)sd(+) (++) sd(+++) (-)sd(+) (++)sd(+++) (%) (%) Duodenum 0% 100 0 100 0 1% 100 0 100 0 2% 100 0 100 0 Jejunum 0% 100 0 100 0 1% 100 0 100 0 2% 100 0 100 0 Ileum 0% 100 0 100 0 1% 100 0 100 0 2% 100 0 100 0

Keterangan: (-) : normal; (+) : tingkat kerusakan ringan; (++) : tingkat kerusakan sedang; (+++) : tingkat kerusakan parah.

Tabel 28 memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum) yang terjadi dari semua itik yang diamati, berkisar dari normal sampai ringan. Pada tingkat kerusakan tersebut, ditemukan tidak hanya terjadi pada perlakuan, tetapi terjadi juga pada kontrol. Kerusakan yang terjadi, enteritis pada usus halus, kemungkinan besar disebabkan oleh cacing pita.

4.5 Uji Masking Daun Beluntas

Uji masking tepung daun beluntas, tepung daun kenikir dan tepung daun kemangi terhadap bau amis daging itik mentah dengan kulit dilihat berturut-turut pada Tabel 29, 30 dan 31.

Tabel 29 Intensitas bau amis dan bau beluntas pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun beluntas konsentrasi yang berbeda

Konsentrasi ekstrak daun beluntas

Nilai skalar Bau amis daging

(n=73) Bau beluntas (n=73) 0% 10,01±2,77 C 2,59± 1,96 A 1% (10g/liter air) 6,23±2,57 B 5,56±2,32 B 2% (20g/liter air) 4,78±2,79 A 8,04±2,99 C 3% (30g/liter air) 4,29±3,25 A 9,71±2,92 D

Keterangan: Superskrip yang berbeda A,B,C,D pada kolom yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)

91

Tabel 29 menunjukkan bahwa bau amis daging itik makin berkurang dengan makin tingginya konsentrasi tepung daun beluntas dan makin tercium aroma daun beluntas. Bau amis daging itik sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dengan perendaman dalam ekstrak beluntas 1% dan aroma daun beluntasnya sangat nyata tercium. Makin tinggi konsentrasi ekstrak tepung daun beluntas yang digunakan, bau amis daging itik makin tidak terdeteksi dan aroma daun beluntas makin dominan. Hal ini membuktikan bahwa aroma beluntas mampu menutupi bau amis daging itik.

Tabel 30 Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kenikir konsentrasi yang berbeda

Konsentrasi ekstrak daun kenikir

Nilai skalar Bau amis daging

(n=67) Bau kenikir (n=66) 0% 10,27±2,53 C 3,88±2,58 A 1% (10g/liter air) 7,19±3,02 B 5,90±3.00 A 2% (20g/liter air) 5,19±2,86 A 8,30±3,25 B 3% (30g/liter air) 4,98±2,63 A 8,17±3,11 B

Keterangan: Superskrip yang berbeda A,B,C pada kolom yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)

Tabel 30 memperlihatkan bahwa bau amis daging itik makin menurun dengan makin tingginya konsentrasi kenikir yang digunakan dan pada level 1% sudah nyata menurun, tetapi aroma kenikir baru tercium pada level penggunaan 2% dan 3%. Hal ini menunjukkan bahwa aroma kenikir mampu menutupi bau amis daging itik, meskipun tidak setajam tepung daun beluntas.

Tabel 31 Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging dengan kulit itik betina tua yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kemangi konsentrasi yang berbeda

Konsentrasi ekstrak daun kemangi

Nilai skalar Bau amis daging

(n=70) Bau kemangi (n=70) 0% 10,51±2,67 C 3,01±1,91 A 1% (10g/liter air) 6,86±2,90 B 5,89±2,62 B 2% (20g/liter air) 4,38±2,42 A 8,46±2,90 C 3% (30g/liter air) 4,47±2,14 A 9,31±2,77 C

Keterangan: Superskrip yang berbeda A,B,C pada kolom yang sama berbeda sangat nyata (P<0,01)

92

Tabel 31 memperlihatkan bahwa bau amis daging itik dengan perendaman dalam ekstrak daun kemangi 1%-3% sangat nyata lebih rendah dari kontrol, sedang antara 2% dan 3% tidak berbeda. Hal ini sejalan dengan makin meningkatnya aroma kemangi pada daging itik yang bersangkutan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa daun kemangi juga mampu menutupi bau amis daging itik dengan kulit.

Penelitian Andarwulan dkk (2008) menunjukkan bahwa daun kemangi mengandung fenol (784,32 mg/100g) lebih rendah daripada daun beluntas (1030,03 mg/100gBK) dan kenikir (1225,88 mg/100gBK). Kandungan flavonoid daun kemangi (69,78 mg/100gBK) dan daun beluntas (79,19 mg/100 gBK) lebih rendah daripada daun kenikir (420,85 mg/100gBK).

Berdasarkan hasil uji di atas, meskipun daun beluntas mengandung fenol dan flavonoid lebih rendah dari daun kenikir tetapi mempunyai kemampuan menutupi bau amis daging itik yang sama dengan daun kenikir. Demikian juga yang terjadi dengan penggunaan daun kemangi. Daun kemangi yang mengandung fenol dan flavonoid yang lebih rendah dari beluntas dan kenikir, mampu menutupi bau amis daging itik yang sama seperti yang terjadi pada penggunaan daun beluntas dan kenikir. Hal ini berarti, ketiga jenis sayuran indigenous tersebut mempunyai efek masking. Namun demikian, daging itik dengan kulit yang direndam dengan ekstrak daun beluntas terlihat kurang menarik yaitu berwarna kehijauan sehingga pemanfaatannya terbatas untuk jenis-jenis olahan tertentu (seperti untuk olahan gulai cabe hijau). Ditinjau dari segi ketersediaan dan persaingan dengan kebutuhan manusia, dari ketiga jenis sayuran indigenous tersebut, penggunaan tepung daun beluntas yang paling ekonomis untuk dimanfaatkan.

93

Dokumen terkait