• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penurunan bau amis (off odor) daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (pluchea indica l.) dalam pakan dan dampaknya terhadap performa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penurunan bau amis (off odor) daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (pluchea indica l.) dalam pakan dan dampaknya terhadap performa"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

PENURUNAN BAU AMIS (OFF-ODOR) DAGING ITIK LOKAL

DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (

Pluchea

indica

L.) DALAM PAKAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PERFORMA

RUKMIASIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

RUKMIASIH. Reducing Off-odor of Local Duck Meat by Giving Beluntas Leaves (Pluchea Indica L.) Meal in the Ration and its Impact on the Performances. Supervised by PENI S. HARDJOSWORO, WIRANDA G. PILIANG, JOKO HERMANIANTO, and ANTON APRIYANTONO

Local duck meat has been considered to have off-odor which is not preferable to be consumed by those who are not familiar with local duck meat. Previous studies showed that lipids especially unsaturated fatty acids are the main source of off-odor components liberated when the fatty acids are oxidized. A study with the aim to protect unsaturated fatty acids of local duck meat from excessive oxidation was conducted, using beluntas leaves (Pluchea indica L) meal (BLM) in feed as the source of flavonoid antioxidant. The effects of using BLM in the ration on feed consumption, on final body weight, and on feed conversion were studied on young male local ducks (4-10 weeks old). Three treatments applied were B0 (feed without BLM/control), B1 (control ration containing 1% BLM) and B2 (control ration containing 2% BLM). The data were analyzed using Completely Randomized Design. The study showed that no significant differences among treatments in the feed consumption and in the final body weight. The feed conversion of ducks given 1% of BLM in the ration (B1) and those given 2% of BLM in the ration (B2) were 3,4% and 8,6% respectively higher than those given the control ration. It was concluded that ducks fed the control ration was more efficient than those fed ration containing BLM. This could be due to the antinutrient tannin found in BLM. The effectiveness of flavonoid in BLM in reducing off-odor was also studied using old female ducks (12 months old). The data were analyzed using 3 x 3 factorial design. The first factor were the treatment ration i.e: B0, B1 and B2, the second factor were the duration of feeding trials i.e: 3, 5, and 7 weeks. The results showed that the meat with skin from ducks given BLM in the ration contained higher percentage of unsaturated fatty acids (C18:2; total C18:2 and C18:3) and lower in TBARS values than those given the countrol ration. These results proved that the flavonoid in BLM was able to protect the unsaturated fatty acid against lipid oxidation, therefore decreasing off-odor component liberation which was more preferable to be consumed. It was concluded that this type of ration could be applied to produce local duck meat.

(4)

RINGKASAN

RUKMIASIH. Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa. Dibimbing oleh PENI S. HARDJOSWORO, WIRANDA G. PILIANG, JOKO HERMANIANTO, and ANTON APRIYANTONO

(5)

mengandung total fenol dan flavonoid lebih rendah dari beluntas. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan, yaitu daging itik betina tua dengan kulit direndam dalam ekstrak tepung daun beluntas/kenikir /kemangi sebanyak 0 g (kontrol), 10g/liter; 20g/liter dan 30g/liter air. Hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Tepung daun beluntas mengandung protein 17,78-19,02%, serat kasar 14,77-15,80%, total tanin 1,88%, total fenol 9,85%, total flavonoid 4,47% dan kuersetin 1,45%.

2. Perlakuan B1 dan B2 tidak berpengaruh pada performa (konsumsi pakan, bobot badan, karkas, dada dan paha) itik jantan muda maupun itik betina tua, akan tetapi konversi pakan itik jantan muda yang mendapat perlakuan B1 dan B2 berturut-turut 3,4% dan 8,6% lebih tinggi dari Bo.

3. Daging paha, kulit paha dan kulit dada dari itik betina tua yang mendapat 1% tepung daun beluntas dalam pakan selama 7 hari nyata (P<0,05) kurang amis dibandingkan dengan kontrol (tanpa tepung daun beluntas), dan daging dada itik betina tua yang mendapat 2% tepung daun beluntas dalam pakan selama 7 hari nyata (P<0,05) kurang amis dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan ada indikasi bahwa zat fitokimia yang terdapat dalam tepung daun beluntas berperan aktif sebagai antioksidan.

4. Perlakuan B1 dan B2 tidak berpengaruh pada kandungan gizi (air, protein dan lemak) daging dengan kulit itik betina tua.

5. Kandungan asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh linoleat dan linolenat (C18:2+C18:3) daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas lebih tinggi dari kontrol (tanpa beluntas). Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dapat melindungi kedua jenis asam lemak tidak jenuh tersebut dari oksidasi.

6. Nilai TBARS daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat perlakuan B1 dan B2 nyata (P<0,05) lebih rendah dari Bo. Hal ini menunjukkan bahwa komponen senyawa volatil turunan asam lemak penyebab bau yang terbentuk pada daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat tepung daun beluntas lebih rendah dari kontrol.

7. Daging dengan kulit itik betina tua yang mendapat perlakuan B1 dan B2 sangat nyata (P<0,01) kurang amis dibandingkan dengan Bo, dan daging dengan kulit itik betina tua yang diberi B2 sangat nyata (P<0,01) kurang amis dibandingkan dengan yang diberi B1. Hal ini menunjukkan bahwa tepung daun beluntas dapat menurunkan bau amis daging dengan kulit itik betina tua.

(6)

karena makin tuanya umur itik. Makin tua umur itik, kandungan air dan protein daging dengan kulit menurun, sedangkan kandungan lemaknya meningkat.

10. Pengamatan perendaman daging dengan kulit itik betina tua, dengan ekstrak 3 jenis sayuran indigenous, menunjukkan bahwa ekstrak tepung daun beluntas mempunyai kemampuan menutupi (masking) bau amis daging dengan kulit itik. 11. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan pada itik betina tua ada indikasi

memperbaiki kerusakan jaringan (degenerasi lemak dan serosis) hati.

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pakan mengandung tepung daun beluntas dapat diaplikasikan untuk menghasilkan daging itik lokal.

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

PENURUNAN BAU AMIS (OFF-ODOR) DAGING ITIK LOKAL

DENGAN PEMBERIAN TEPUNG DAUN BELUNTAS (

Pluchea

indica

L.) DALAM PAKAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PERFORMA

RUKMIASIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Wasmen Manalu

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB

2. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.

Staf Pengajar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Agr. Sc.

Staf Peneliti Balai Penelitian Peternakan Ciawi Kementerian Pertanian Indonesia

2. Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.

(10)

Judul Disertasi : Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa

Nama : Rukmiasih

NIM : P04600010

Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Em. Dr. Peni Soeprapti Hardjosworo, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, M.Sc. Ketua Anggota

Dr. Ir. Joko Hermanianto Dr. Ir. Anton Apriyantono. MS. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ternak

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(11)

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas perkenankan-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Penurunan Bau Amis (Off-odor) Daging Itik Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dalam Pakan dan Dampaknya terhadap Performa, yang dilaksanakan sejak Mei 2004 sampai Oktober 2010 di Fakultas Peternakan IPB. Sebagian hasil penelitian ini telah diterbitkan pada Jurnal Media Peternakan Vol. 33 No. 2 Tahun 2010.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tak terhingga kepada ayahanda H. Surkad (Alm), ibunda Jasiti, suami Asep Tahyana, ananda Dewi Humaira dan Astridia Permatasari, kakak, adik dan semua keluarga atas pengorbanan, dorongan semangat dan do’a hingga terselesaikannya penelitian ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Prof. Em. Dr. dra. Peni Soeprapti Hardjosworo, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc., Dr. Ir. Joko Hermanianto, dan Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS atas bimbingan, motivasi, dan bantuan material kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya penulisan hasil penelitian ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Adi Sudono dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA atas arahannya selama penulis mengambil perkuliahan sampai penyelesaian studi penulis di PS PTK ini. Kepada Prof. Dr. Wasmen Manalu dan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing ujian tertutup, Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih atas masukan untuk perbaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberi bantuan beasiswa BPPS dan LPPM atas bantuan dana penelitian, penulis mengucapkan terima kasih.

Kepada Prof. Dr. Drh. Rachmat Herman, MVSc., Drh. Hernomoadi Huminto, MVS, Ir. Anita Sardiana, MRur.Sc., Ir. Rini H. Mulyono, M.Si, Cahyo Budiman, S.Pt., M.Eng., Muhammad Baihaqi S.Pt., M.Sc., Procula R. Matitaputty, M.Si., Paini Sri Widyawati, S.Si., M.Si., Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.Sc., Dr. Rudi Afnan, S.Pt,M.Agr.Sc., Maria Ulfah, S.Pt, M.Agr.Sc., teman-teman di Fakultas Peternakan dan di Fakultas Teknologi Pertanian yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya.

Kepada Eka Koswara, S.Pt., Anah Rohimah, S.Si., Rahmat Slamet, AMd (Alm), Laeli Komalasari, S.P., bapak Hamjah, staf laboran Lab. Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB, staf laboran Lab. Kimia Pangan dan LJA Fateta IPB, staf laboran Balai Pascapanen Litbang Deptan, staf laboran Lab. Kimia Makanan, Depkes, Badan Litbang Gizi, Bogor, Dina, Adi, Ifit, Rizal, Lidya, Danang, Suci, Fitri, Ika, Fetty, Benny, tim panelis yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, khususnya dalam meningkatkan manfaat unggas lokal. Amiin.

(12)

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 5 April 1957 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Surkad dan Jasiti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1984, penulis diterima di Program studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi PTK dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

(13)

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviiii

1. PENDAHULUAN ... 1

2.2.3 Mekanisme Terbentuknya Komponen Flavor... 12

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Komponen Flavor ... 16

2.2.5 Upaya Pencegahan Terjadinya Reaksi Oksidasi Lemak oleh Radikal Bebas... 20

2.3 Beluntas (Pluchea Indica L.Less.) ... 24

2.3.1 Ciri-ciri Umum ... 24

2.3.2 Fitokimia ... 26

2.3.3 Aktivitas Komponen Bioaktif Daun Beluntas ... 29

2.3.4 Metabolisme Lemak ... 34

2.3.5 Metabolisme Antioksidan ... 36

2.3.6 Antinutrisi ... 41

3. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Pengadaan Tepung Daun Beluntas, Analisis Gizi dan Fitokimia ... 43

(14)

(Off-odor) Daging Itik Betina Tua (Umur 12 bulan)... .. 46

3.3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ... 46

3.3.2 Metode Penelitian ... 46

3.5.1 Bahan dan Peralatan Penelitian ... 56

3.5.2 Metode Penelitian ... 56

3.5.3 Analisis Data ... 57

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

4.1 Komposisi Gizi dan Fitokimia Daun Beluntas ... 58

4.2 Respons Biologis Itik Jantan Muda (4-10 Minggu) terhadap Pemberian Tepung Daun Beluntas dalam Pakan ... 61

4.2.1 Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan... 61

4.2.2 Konsumsi Pakan ... 62

4.2.3 Rataan Bobot Badan ... 62

4.2.4 Konversi Pakan... 63

4.2.5 Persentase Karkas dan Bagian-bagian Karkas ... 64

4.3 Efektivitas Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua (Umur 12 bulan) ... 64

4.4 Lama Waktu dan Level Tepung Daun Beluntas dalam Mengurangi Bau (Off-odor) Daging Itik Betina Tua dan Dampaknya terhadap Performa ... 68

4.4.1 Performa Itik Betina Tua ... 68

4.4.2 Persentase Karkas, Dada dan Paha Itik Betina Tua ... 71

4.4.3 Komposisi Gizi Daging Itik ... 72

4.4.4 Komposisi Lemak Daging dan Kulit dan Pengaruhnya terhadap Intensitas Bau Daging ... 74

4.4.5 TBARS ... 79

4.4.6 Bau... 80

4.4.7 Histopatologi Organ Dalam Itik ... 84

4.5 Uji Masking Daun Beluntas ... 90

5. PEMBAHASAN UMUM ... 93

6. SIMPULAN DAN SARAN ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(15)

Halaman

1 Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin ... 5 2 Kandungan nutrien daun beluntas kering ... 58 3 Kandungan zat fitokimia daun beluntas kering (kadar air

14,17-14,70%) ... 59 4 Kandungan nutrien pakan itik jantan umur 4-10 minggu ... 61 5 Rataan konsumsi pakan itik jantan selama penelitian (umur 4-10

minggu) ... 62 6 Rataan bobot badan itik jantan umur 4-10 minggu ... 63 7 Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap performa itik

jantan muda ... 63 8 Pengaruh pemberian tepung daun beluntas terhadap persentase

karkas, dada dan paha itik jantan umur 10 minggu ... 64 9 Kandungan nutrien pakan penelitian itik betina tua (umur 12 bulan) ... 65 10 Hasil uji perbandingan pasangan bau amis daging dan kulit itik

betina tua ... 66 11 Hasil uji hedonik terhadap bau daging dan kulit mentah itik betina

tua ... 67 12 Konsumsi pakan itik betina tua pada lama dan level pemberian

tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ... 68 13 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam

pakan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir

itik betina tua ... 69 14 Persentase lemak abdomen itik betina tua pada lama dan level

pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ... 70 15 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam

pakan terhadap persentase karkas, dada dan paha itik betina tua ... 72 16 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam

pakan terhadap persentase daging dada dan paha itik betina tua ... 72 17 Pengaruh lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam

pakan terhadap nilai gizi daging dengan kulit segar itik betina tua

berdasarkan bahan kering ... 73 18 Perubahan intensitas bau amis dan tingkat kesukaan konsumen

terhadap daging dengan kulit itik betina tuaakibat perubahan pakan ... 74 19 Perubahan komposisi asam lemak akibat perubahan pakan ... 76 20 Rataan kandungan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua

(16)

pada lama pemberian pakan perlakuan yang berbeda ... 79 22 Nilai TBARS daging itik betina tuadengan kulit akibat perlakuan... 79 23 Hasil uji skalar tingkat bau amis (off-odor) daging dengan kulititik

betina tua ... 81 24 Hasil uji hedonik daging dengan kulit itik betina tua ... 83 25 Persentase itik yang mengalami degenerasi lemak pada jaringan

hati itik penelitian ... 84 26 Persentase itik yang mengalami sirosis pada jaringan hati itik

penelitian ... 87 27 Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan pankreas dan

ginjal ... 89 28 Persentase itik yang mengalami kerusakan jaringan usus halus itik

penelitian ... 90 29 Intensitas bau amis dan bau beluntas pada daging dengan kulit itik

betina tuayang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun

beluntas konsentrasi yang berbeda ... 90 30 Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging dengan kulit itik

betina tuayang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun

kenikir konsentrasi yang berbeda ... 91 31 Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging dengan kulit itik

betina tuayang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun

(17)

Halaman

1 Proses oksidasi lemak pada bahan pangan ... 14

2 Beluntas (Pluchea indica Less.) ... 25

3 Struktur dasar flavonoid ... 27

4 Struktur komponen fenol tumbuhan(Cadenas 2004) ... 28

5 Penghambatan peroksidasi lemak oleh flavonoid (Cadenas 2004) ... 31

6 Aktivitas beta-karoten sebagai antioksidan ... 32

7 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh kombinasi - karoten (B), vitamin C (C), dan vitamin E (E) ... 33

8 Metabolisme lemak asal pakan modifikasi dari Suttie (1972) ... 35

9 Metabolisme lemak (Bell dan Freeman 1971) ... 36

10 Pembentukan metabolit dan konjugasi flavonoid pada manusia ... 39

11 Hasil pemotongan bagian paha dan dada ... ….. 47

12 Contoh cara penyajian uji segi tiga ... 49

13 Konsumsi pakan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda selama penelitian. ... 69

14 Pertambahan bobot badan itik betina tua pada lama dan level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda selama penelitian... 71

15 Perubahan bau amis daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan ... 75

16 Tingkat kesukaan konsumen terhadap intensitas bau amis daging dengan kulit itik betina tua akibat perubahan pakan ... 75

17 Degenerasi lemak ringan hepatosit organ hati... ... 85

18 Degenerasi lemak hati parah dengan vakuola lemak yang besar-besar di dalam hepatosit (panah). ... 85

19 Sirosis hati dengan pembentukan jaringan ikat diantara hepatosit.. ... 87

(18)

Halaman

1 Prosedur pembuatan tepung daun beluntas ... 111

2 Contoh kuisioner seleksi panelis ... 112

3 Format uji segitiga ... 114

4 Contoh format uji perbandingan pasangan ... 115

5 Format uji hedonik ... 116

6 Contoh format uji skalar ... 117

7 Bahan kimia, alat, dan prosedur yang digunakan untuk analisis asam lemak ... 118

8 Prosedur analisis nilai TBARS ... 122

9 Sidik ragam konsumsi pakan itik jantan muda (4-10 minggu) ... 123

10 Sidik ragam PBB itik jantan muda akibat level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ... 124

11 Sidik ragam karkas, dada, paha itik jantan muda akibat level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda... 125

12 Analisis Kruskal Wallis dan uji banding rataan ranking tingkat kesukaan konsumen terhadap bau daging dan kulit paha mentah itik betina tua ... 127

13 Sidik ragam pertambahan bobot badan itik akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda... 129

14 Sidik ragam lemak abdomen itik betina tua akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda... 132

15 Sidik ragam karkas, dada dan paha itik betina tua akibat lama dan level pemberian beluntas dalam pakan yang berbeda ... 135

16 Sidik ragam nilai gizi daging itik dengan kulit segar berdasarkan bahan kering akibat lama dan level pemberian tepung daun beluntas dalam pakan yang berbeda ... 140

17 Sidik ragam intensitas bau amis dan tingkat kesukaan konsumen terhadap daging itik dengan kulit akibat perubahan pakan ... 144

18 Sidik ragam kandungan asam lemak daging itik dengan kulit pada level pemberian tepung daun beluntas yang berbeda ... 146

19 Nilai TBARS daging itik dengan kulit akibat perlakuan ... 158

20 Uji skalar tingkat bau amis (off-odor) daging itik dengan kulit ... 159

(19)

yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun beluntas

konsentrasi yang berbeda... 161 23 Intensitas bau amis dan bau kenikir pada daging itik dengan kulit

yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kenikir

konsentrasi yang berbeda... 163 24 Intensitas bau amis dan bau kemangi pada daging itik dengan kulit

yang direndam dalam larutan ekstrak tepung daun kemangi

(20)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kecukupan pangan di Indonesia, khususnya yang bersumber

dari hewani, bukan karena masalah ketersediaan tetapi masalah

ketergantungan pada negara di luar Indonesia. Sebagai contoh, suplai daging

dan telur unggas di Indonesia didominasi oleh ayam ras. Pada tahun 2008

suplai daging unggas asal ayam ras (pedaging dan petelur) mencapai 1 050,9

ribu ton, ayam buras 307,5 ribu ton, sedangkan itik lokal hanya 217,7 ribu

ton (Dirjenak 2009). Penyebab ketergantungan Indonesia pada luar negeri

untuk daging dan telur unggas adalah karena bibit ayam ras jenjang Grand Parent Stock atau Parent Stock harus didatangkan dari industri pembibitan di luar negeri. Jenjang bibit tersebut dibudidayakan di Indonesia untuk

menghasilkan final stock penghasil daging atau telur. Pada saat ini terdapat 9 galur ayam tipe pedaging (Ross 308, Cobb 500, Hubbard, Hubbard PG+,

Hubbard JA 57, AA Plus, Hubbard Flex, Hybro dan Lohman Meat), dan 4

galur ayam tipe petelur (Isa Brown, Hisex Brown, Hy-line dan Lohman

Brown). Galur-galur tersebut berasal dari Amerika dan Eropa.

Ketergantungan bibit ayam ras pada luar negeri membuat Indonesia akan

selalu bergantung pada luar negeri untuk suplai daging dan telur. Apalagi

70% dari bahan baku pakan dan obat-obatan juga masih harus diimpor.

Untuk menunjang program ketahanan pangan, secara bertahap

ketergantungan pada luar negeri harus dikurangi, bila belum memungkinkan

untuk dihilangkan karena produktivitas unggas lokal masih jauh di bawah

ayam ras. Pemuliaan ayam ras untuk produksi daging dan telur sudah

dimulai sekitar 60 tahun yang lalu, sedangkan pemuliaan unggas lokal

secara berkesinambungan belum dilakukan. Namun demikian, sudah

saatnya dirintis peningkatan pemanfaatan unggas lokal dan perannya

sebagai sumber daging dan telur. Di antara unggas lokal yang sudah lazim

dimanfaatkan sebagai sumber pangan adalah ayam buras dan itik lokal.

Ayam buras merupakan sumber daging dan telur, sedangkan itik lokal lebih

dimanfaatkan sebagai sumber telur. Namun, produksi daging itik lokal tahun

(21)

2

96,7% dibandingkan produksi tahun 2004-2006 (rata-rata sebesar 22,7 ribu

ton) (Dirjenak 2009). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan konsumsi

daging itik lokal.

Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan peranan

unggas lokal adalah dengan cara mencegah kematian karena penyakit,

peningkatan produktivitas, dan peningkatan produksi produknya. Untuk itu

diperlukan sinergisme dalam penelitian-penelitian yang dilakukan di bidang

kesehatan, pemuliaan, nutrisi, manajemen, dan upaya-upaya peningkatan

konsumsi produk.

Dibandingkan dengan daging ayam, pangsa pasar daging itik lebih

sempit. Warna, tekstur dan bau amis (off-odor) daging itik lokal dapat

menjadi penyebab penolakan konsumen terutama konsumen yang belum

terbiasa mengkonsumsi daging itik lokal. Untuk mengurangi ketajaman bau

amis daging itik lokal, cara-cara yang lazim dilakukan adalah mencekok itik

lokal dengan cuka sebelum dipotong atau membuat olahan yang sarat

dengan bumbu. Sebagai contoh, di Sumatera Barat dikenal dengan gulai itik

hijau, di Aceh dikenal gulai itik, dan di Bali dikenal itik betutu.

Untuk memperkaya jenis olahan daging itik lokal perlu diupayakan

cara-cara menghasilkan daging itik segar yang tidak terlalu berbau amis.

Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan yang

diketahui mempunyai kemampuan mengurangi bau di antaranya beluntas,

kenikir, dan kemangi. Penelitian ini merupakan rintisan. Pada penelitian ini

dicoba menggunakan tepung daun beluntas untuk mengurangi bau amis

daging itik. Beluntas merupakan tanaman pagar yang mudah diproduksi.

Berdasarkan para pakar obat tradisional, beluntas mengandung fitokimia

dan dapat mengurangi bau badan pada manusia. Bila konsumsi daging itik

dapat ditingkatkan yang berarti ada peningkatan permintaan, diharapkan

dapat memacu minat peternak itik untuk meningkatkan usahanya di bidang

ternak itik. Diharapkan, hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengusaha itik

(22)

3

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kandungan zat fitokimia daun beluntas yang dapat

mempengaruhi performa itik.

2. Mengetahui efek daun beluntas terhadap performa itik.

3. Mengetahui perubahan-perubahan kimiawi dalam daging itik akibat

pemberian tepung daun beluntas.

4. Mengetahui efektivitas daun beluntas sebagai antioksidan dalam

mengurangi bau amis daging itik lokal.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Menemukan cara yang praktis untuk mengurangi bau pada daging itik

sehingga dapat membantu peternak menghasilkan daging itik siap olah

yang bau amisnya lebih rendah.

2. Memacu usaha produksi itik potong.

3. Daging itik segar yang kurang amis dapat meningkatkan lebih banyak

variasi cara pengolahan.

1.4 Hipotesis

1. Zat fitokimia yang terdapat dalam beluntas tidak berpengaruh negatif

terhadap performa itik.

2. Pemberian daun beluntas dalam pakan dapat menyebabkan perubahan

kimia daging yang berkaitan dengan penurunan bau amis (off-odor)

daging itik lokal.

3. Pengurangan bau (off-odor) pada daging itik dengan penambahan

beluntas berkaitan dengan pengurangan oksidasi lemak pada daging

itik. Pengurangan oksidasi lemak terjadi karena peredaman radikal

bebas oleh antioksidan yang terdapat dalam daun beluntas.

1.5 Kerangka Pemikiran

Itik merupakan salah satu ternak lokal yang banyak dipelihara oleh

masyarakat di pedesaan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi

masyarakat. Saat ini, itik lokal yang ada di Indonesia dimanfaatkan sebagai

(23)

4

satu sebabnya adalah karena daging itik mempunyai bau (off-odor) khas

yang kurang disukai konsumen. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar

daging itik mempunyai bau yang dapat diterima konsumen. Sumber daging

itik dapat berasal dari itik jantan muda, itik dewasa jantan (tetapi jumlahnya

sedikit), dan itik betina afkir yang sudah tidak bertelur lagi yang jumlahnya

relatif banyak. Bau (off-odor) yang tidak menyenangkan, menurut Heath

dan Reineccius (1986) dapat berasal dari protein, karbohidrat dan lemak,

tetapi yang paling dominan adalah berasal dari lemak(Wu dan Liou 1992).

Hasil penelitian Hustiany dkk. (2001) menunjukkan bahwa bau (off-odor)

pada daging itik sebagian besar merupakan hasil proses oksidasi lipid, yaitu

senyawa-senyawa turunan asam lemak. Senyawa volatil daging itik betina

tua (dada dan paha) dengan perebusan selama 40 menit atau tanpa

perebusan, yang teridentifikasi ialah heksanal, nonanal dan 1-heksadekanol.

Selain itu, teridentifikasi pula senyawa volatil pentanal (pada daging dada

dan paha tanpa perebusan), 1-heksanol dan (E)-okten-3-ol (pada daging

dada tanpa perebusan), (E)-okten-3-ol dan (E-E)-2,4-dekadienal (pada

daging dada dan paha rebus), pentanal (daging dada rebus), 3-metil butanal,

(E-E)-2,4-heptadienal dan oktadekanal (daging paha rebus). Oksidasi lipid

dapat dicegah dengan antioksidan (Zieli ska et al. 2001; Hernandez et al. 2004). Beluntas merupakan salah satu tanaman herba yang mempunyai

kemampuan sebagai antioksidan (Widyawati 2004; Andarwulan et al. 2008). Oleh karena itu, pada penelitian ini dicoba apakah antioksidan yang

terdapat pada beluntas dapat mengurangi bau amis (off-odor) pada daging

itik. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menyediakan daging

itik sebagai bahan baku olahan tertentu tanpa terganggu oleh baunya.

Namun demikian, selain berfungsi sebagai antioksidan, beluntas juga

mengandung zat antinutrisi seperti tanin (Dalimartha 1999). Tanin akan

bereaksi dengan protein dalam pakan membentuk kompleks yang tidak

dapat dicerna, mengikat enzim pencernaan sehingga menurunkan daya

cerna semua nutrien pakan (Marzo et al. 2002). Oleh karena itu, pada penelitian ini diamati pula dampaknya terhadap performa ternak,

(24)

2.1 Itik Lokal

2.1.1 Produksi Daging

Para ahli sejarah perkembangan unggas telah sepakat bahwa tetua

yang menurunkan itik-itik yang dibudidayakan saat ini adalah itik mallard

berkepala hijau. Itik tersebut mulai didomestikasi di Cina dan sekitarnya

serta Eropa (Crawford 1993). Dari pernyataan tersebut terbukti bahwa

Indonesia tidak memiliki tetua itik, sehingga dapat dinyatakan bahwa itik

yang ada di Indonesia merupakan keturunan dari itik pendatang yang

mengalami domestikasi di Indonesia.

Berdasarkan klasifikasi zoologis, itik merupakan salah satu unggas air,

termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, dan genus Anas, spesies platyrhynchos (Crawford 1993). Itik terdiri atas itik tipe pedaging dan itik tipe petelur. Kedua tipe tersebut dapat dibedakan dari

postur tubuhnya. Dada itik tipe pedaging lebih mendekati sejajar dengan

lantai, sedangkan itik tipe petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Itik yang

ada di Indonesia, disebut itik lokal, mempunyai ciri-ciri fisik itik Indian

Runner yang manfaat utamanya adalah penghasil telur. Di luar Indonesia,

seperti di Cina, Amerika dan Eropa itik yang dikembangkan adalah itik tipe

pedaging. Produksi daging itik lokal jantan alabio umur 10 minggu dan

produksi daging itik Pekin jantan dan betina umur 8 minggu hasil penelitian

Retailleau (1999) dapat dilihat seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin

Bagian yang Diamati*

Itik Lokal Jantan

Itik Pekin Jantan**

Itik Pekin Betina** 10 Minggu 8 Minggu 8 Minggu

Karkas tanpa leher (%) 60,69 66,55 67,26

Daging dadadengan kulit (%) 16,73 14,76 15,12

Daging paha dan betis (%) 11,94 13,67 13,56

(25)

Karkas merupakan bagian tubuh unggas setelah dipotong, dihilangkan

bulunya, dipisahkan kepala, leher, kaki, dan jeroannya, maka karkas disebut

bagian yang edible atau dapat dimakan karena terdapat daging dan kulit yang menempel pada tulang-tulang karkas. Data pada Tabel 1 menunjukkan

bahwa produksi karkas itik lokal lebih rendah dari itik Pekin. Hal lain yang

menarik dari Tabel 1 adalah selisih antara bagian daging dada dan paha serta

betis pada itik lokal lebih besar, sedangkan pada itik Pekin hampir sama.

Hal tersebut karena pada itik Pekin sudah dilakukan pemuliaan khusus

untuk produksi daging.

2.1.2 Ciri-ciri Daging Itik

Dibandingkan dengan daging ayam, pada umur yang sama (49 hari),

daging itik memiliki warna lebih tua.Daging dada ayam 100% terdiri atas

serat berwarna putih dan daging pahanya berwarna merah, sedangkan

daging itik Pekin 16% seratnya berwarna putih dan 84% berwarna merah

tua. Warna merah pada daging disebabkan karena mioglobin (Fletcher 2003;

Akiba et al. 2001; Chaijan 2008). Pada unggas berumur delapan minggu, kandungan mioglobin daging unggas berwarna merah sebesar 0,4 mg/gram

daging, sedangkan pada daging unggas berwarna putih sebesar 0,01 mg/g

daging. Kandungan mioglobin tersebut makin tinggi dengan bertambahnya

umur. Sebagai akibat tingginya kandungan mioglobin, kandungan Fe daging

merah juga lebih tinggi daripada daging putih. Kandungan Fe daging merah

(itik) sebesar 2,40 mg/100 g daging mentah termasuk kulit, sedang

kandungan Fe daging putih (daging ayam broiler) sebesar 0,90 mg/100 g

daging mentah termasuk kulit yang dapat dimakan (Stadelman et al. 1988).

Ion Fe merupakan katalis yang dapat mempercepat laju oksidasi (Tang et al.

2000; Alvarado et al. 2007; Barciela et al. 2008;Min et al. 2010; Yoon et al.

2010). Menurut Lawrie (1991) kandungan Fe daging ternak bergantung

pada spesies, jenis kelamin, umur, jenis urat daging, dan aktivitas. Pada urat

daging yang aktivitasnya tinggi menyebabkan terbentuknya mioglobin lebih

(26)

Selain itu, daging dengan serabut merah mengandung kadar lemak dan

kolesterol lebih tinggi daripada serabut otot putih. Daging itik juga memiliki

komposisi kimia yang berbeda dari jenis unggas lain. Kandungan lemak

daging itik lebih tinggi dari ayam dan kalkun (Stadelman et al. 1988). Kandungan air, protein, lemak dan abu daging dada itik liar (Anas

platyrhynchos) berturut-turut 73,93%; 20,8%; 3,39%; dan 1,27% (Cobos et al. 2000). Komposisi kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, jenis kelamin dan lingkungan. Kandungan abu, protein dan

lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih rendah (P<0,01) daripada

umur 7, 8, dan 9 minggu (Erisir et al. 2009). Demikian pula pada itik pekin

A44, kandungan protein dan lemak pada umur 7 dan 8 minggu lebih rendah

daripada umur 9 minggu (Witak 2007).

Kelebihan daging unggas dibandingkan dengan daging asal ternak

ruminansia adalah kadar proteinnya lebih tinggi, sedangkan kadar lemaknya

lebih rendah (Mountney dan Parkhurst 1995). Lemak tersebut sebagian

besar merupakan lemak subkutan dan tidak banyak didistribusikan pada

jaringan daging seperti halnya pada ternak ruminansia.

Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Oleh karena

perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit, maka

tebalnya kulit itik antara lain disebabkan oleh penyebaran lemak yang ada di

bawah kulit (lemak subkutan). Kandungan lemak daging dada dan paha itik

lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3,84% dan 8,47%, sedangkan

kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59,32% dan 52,67%

(Damayanti 2003). Kandungan lemak daging dada itik betina lokal Jawa

afkir (umur 12 bulan, langsung dari pasar) dengan dan tanpa kulit

masing-masing 9,46% dan 1,53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya

dengan dan tanpa kulit masing-masing 12,21% dan 4,16% (Hustiany 2001).

Kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar

4,81% (Chartrin et al. 2006). Akibat pemberian pakan yang berlebih pada itik antara umur 12-14 minggu, menyebabkan terjadinya akumulasi lemak

yang tinggi pada jaringan adiposa daging dada dan paha serta peningkatan

(27)

2005). Menurut Baeza et al. (2006) kombinasi genotipe, umur dan nutrien

pakan memungkinkan untuk mencapai kandungan lemak daging dengan

kisaran yang diinginkan.

Berbeda dari ternak ruminansia, lemak unggas sebagian besar terdiri

atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005). Komposisi asam lemak

daging dada itik liar (Anas platyrhynchos) paling tinggi adalah ALTJG

(36,3-46,0%), diikuti ALJ (33,8-37,52%) dan ALTJT (16,5-28,9%). Dari

data tersebut terlihat bahwa daging dada itik sangat baik dimanfaatkan

sebagai sumber asam lemak esensial tidak jenuh ganda (Cobos et al. 2000).

Menurut Witak (2008) daging dan lemak itik mempunyai nilai nutrisi yang

baik karena kandungan asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi daripada

asam lemak jenuh (pada daging dada itik pekin A44 umur 8 minggu 40,15%

vs 24,13% dan pada daging paha 51,38% vs 23,54%) dan kandungan asam

lemak oleat (C18:1) dan linoleatnya (C18:2) tinggi. Komposisi asam lemak

jenuh dan tidak jenuh pada daging dada dengan kulit pada itik Jawa betina

afkir dengan kulit masing-masing sebesar 2695,8 vs 5058,8 mg/100 g

daging, sedangkan pada daging paha masing-masing sebesar 2491,3 vs

4830,9 mg/100 g daging (Hustiany 2001). Hustiany (2001) menunjukkan

bahwa asam lemak oleat (C18:1) dan asam lemak linoleat (C18:2) daging

dada itik Jawa betina afkir dengan kulit lebih tinggi dibandingkan daging

paha dengan kulit. Asam lemak oleat (C18:1) dan linoleat (C18:2) pada

daging dada itik betina afkir masing-masing sebesar 337,9 dan 159,6 mg/g

lemak, sedangkan pada daging pahanya kandungan kedua asam lemak

tersebut masing-masing sebesar 239,5 dan 133,1 mg/g lemak. Komposisi

asam lemak daging unggas, menurut Cortinas et al. (2004), Baeza et al. (2006) dan Ferrini et al. (2008) dapat dimodifikasi melalui komposisi asam

(28)

2.2 Flavor Daging

2.2.1 Terminologi

Flavor (cita rasa) adalah sejumlah karakteristik dari suatu bahan

pangan yang masuk ke mulut, dideteksi oleh indera perasa atau pengecap

dan indera pencium serta ditangkap oleh reseptor perasa dan taktil yang

terdapat di dalam mulut yang kemudian diterima dan diinterpretasi oleh otak

(Heath dan Reineccius 1986). Menurut Winarno (1997) cita rasa bahan

pangan pada prinsipnya terdiri atas tiga komponen penting, yaitu bau, rasa,

dan rangsangan mulut. Bau lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca

indera pencium. Senyawa yang menghasilkan bau harus dapat menguap

(volatil) dan molekul-molekul senyawa tersebut mengadakan kontak dengan

penerima pada sel olfaktori. Berdasarkan bau yang dikenali, seseorang akan

menentukan apakah jadi memakan makanan tersebut atau tidak.

Senyawa yang menghasilkan rasa adalah zat yang tidak volatil atau zat

yang larut dalam air yang dikenali oleh indera pengecap (taste buds) dan

taktil di lidah dan bagian dari mulut. Indera pengecap mengenali 4 rasa

utama, yaitu manis, asam, asin, pahit, dan sensasi lain, seperti

sepet/astringency, metalik, pedas, dan enak/umami (Meilgaard et al. 1999; Farmer 1999). Evaluasi flavor sangat bergantung pada panel cita rasa.

Adanya flavor yang tidak disukai konsumen pada bahan pangan tertentu,

termasuk pada daging, akan menentukan konsumen untuk menerima atau

menolak mengkonsumsi daging tersebut. Oleh karena itu, menjadi sangat

penting bagi produsen untuk menghasilkan daging yang mempunyai flavor

yang lebih diterima oleh konsumen. Menurut Kilcast (1996) bau yang

kurang menyenangkan dalam makanan yang berasal dari luar bahan pangan

disebut dengan istilah taint, sedangkan bau yang kurang menyenangkan dalam makanan akibat kerusakan dari dalam bahan pangan tersebut dikenal

dengan istilah off-flavor atau off-odor.

2.2.2 Senyawa Flavor Daging

Daging merupakan struktur matriks kompleks yang terdiri atas

(29)

dan senyawa organik lain serta anorganik. Senyawa volatil flavor terbentuk

karena adanya prekursor. Prekursor flavor yang utama, diduga gula bebas,

gula fosfat, nukleotid-gula, asam amino bebas, peptida, nukleotida, dan

komponen nitrogen lain seperti tiamin (Mottram 1998). Walaupun pada

awalnya mengandung prekursor penghasil flavor yang sama, komposisi

kimia flavor daging mentah, dan masak berbeda (Spanier dan Boylston.

1994). Pada saat pemanasan, prekursor tersebut bereaksi menghasilkan

senyawa volatil dan non-volatil yang menghasilkan aroma dan rasa daging

yang khas. Senyawa volatil yang terbentuk konsentrasinya bisa sangat kecil

tetapi mempengaruhi flavor secara keseluruhan (Farmer 1999). Selanjutnya

Farmer (1999) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, genotif, pakan

dan kepadatan kandang, metode pemotongan ternak, lama waktu setelah

pemotongan ke pengeluaran jeroan, waktu dan suhu chilling, penyimpanan

dan metode pemasakan juga mempengaruhi flavor dan terbentuknya flavor.

Sejauh ini hampir 1000 senyawa volatile flavor dari daging sapi, ayam, babi, dan domba telah berhasil diidentifikasi. Senyawa volatile

tersebut termasuk kelompok senyawa organik seperti hidrokarbon, alkohol,

aldehid, ketons, asam karboksilik, ester, lakton, eter, furans, piridines,

pirazines, pirols, oksazoles dan oksazolines, tiazoles dan tiazolines, tiofenes,

dan zat yang mengandung sulfur dan halogen. Selanjutnya dinyatakan

bahwa sumbangan utama terhadap aroma adalah sulfur dan komponen

volatile yang mengandung karbonil (Shahidi 1994).

Berdasarkan sumbernya, komponen flavor pada makanan dapat dibagi

menjadi 4 kelompok, yaitu (1) secara alami ada dalam makanan sebelum

ternak dipotong atau mati; (2) terbentuk setelah ternak dipotong atau mati

karena aktivitas enzim; (3) terbentuk selama pemrosesan dan penyimpanan;

(4) sengaja ditambahkan ke dalam makanan : berupa alami, identik dengan

alami atau flavor buatan (Apriyantono 1992). Heath dan Reineccius (1986)

menyatakan bahwa senyawa volatil flavor berasal dari protein, karbohidrat

dan lemak. Asam amino, peptida dan nukleotida dapat berinteraksi dengan

(30)

dan enak (umami) pada daging (Shahidi 1994). Menurut Wu dan Liou

(1992) dari komponen protein, karbohidrat dan lemak, komponen yang

paling penting dalam menentukan flavor daging adalah lemak. Menurut

Mottram (1998) jaringan tanpa lemak pada daging bertanggung jawab

terhadap pembentukan flavor daging dasar, sedangkan jaringan lemak

daging bertanggung jawab terhadap pembentukan flavor khas untuk setiap

spesies hewan.

Komponen penyebab bau amis pada daging itik betina Jawa afkir

tanpa perebusan awal maupun melalui perebusan awal selama 40 menit,

dengan kulit atau tanpa kulit yang diidentifikasi dengan menggunakan alat

GC-MS kebanyakan merupakan hasil proses oksidasi lipid, yaitu berupa

turunan lipid yang meliputi golongan aldehid, alkohol, keton, asam

karboksilat, dan hidrokarbon. Dari sekian banyak komponen volatil,

komponen off-odor yang diidentifikasi dengan metode GC-O (GC-Olfactometry) adalah E-4-penten-2-ol, 1-pentanol, heksanal, E-1-okten-3-ol,

nonanal, E-2-okten-1-ol, E-2-dekenal, E-2-nonen-1-ol, trans-2-undekenal,

serta dua komponen yang tidak terdeteksi pada GC-MS tetapi menghasilkan

off-odor yaitu komponen dengan LRI (Linear Retension Index) 1104 dan 1123. Off-odor yang tercium adalah green, grassy, apek, amis, langu, ubi jalar, pesing, unpleasant dan busuk. Komponen yang paling mendekati

off-odor daging itik adalah komponen yang tidak terdeteksi yang memiliki LRI

1104 dan 1123 (Hustiany 2001).

Beberapa volatile flavor daging dari spesies yang berbeda secara kualitatif serupa, tetapi secara kuantitatif berbeda (Macleod 1994).

Perbedaan bau (off-odor) daging sapi dengan ayam diduga disebabkan

karena asam linoleat (C18:2) pada ayam lebih tinggi (Farmer 1999).

Konsentrasi asam lemak linoleat (C18:2) daging dada itik Jawa betina afkir

dengan kulit lebih besar dibandingkan daging paha, berturut-turut sebesar

159,6g/g lemak dan 133,1 g/g lemak (Hustiany 2001).

Selanjutnya dinyatakan bahwa dari total senyawa volatil yang telah

teridentifikasi, hanya sedikit yang memberi aroma khas dari spesies yang

(31)

mengandung sulfur pada daging dalam jumlah tertentu menunjukkan aroma

yang menyenangkan, tetapi jika konsentrasinya tinggi, baunya menjadi tidak

disukai.

2.2.3 Mekanisme Terbentuknya Komponen Flavor

Secara umum, komponen flavor dapat terbentuk melalui oksidasi

lipid, reaksi Maillard dan degradasi tiamin (Farmer 1999). Penyebab utama

penurunan kualitas pangan khususnya daging adalah karena perubahan

komponen lemak melalui proses oksidasi lemak (Hoac et al. 2006) atau reaksi hidrolitik (Hamilton 1983) baik secara enzimatik dari

pangan/mikroorganisme atau melalui penyerapan/kontaminasi dengan bahan

lain (Shahidi 1998; Pegg dan Shahidi 2007) maupun non-enzimatik

browning (reaksi Maillard) dan fotokatalisis (Mariutti et al. 2009).

2.2.3.1 Oksidasi Lemak

Proses otooksidasi dalam pangan adalah fenomena kompleks

yang disebabkan oleh oksigen dengan pemicu seperti suhu, radikal

bebas, cahaya, pigmen dan ion logam, yang menghasilkan

hidroperoksida dan senyawa volatil (Georgieva dan Tsvetkov 2008;

Mariutti et al. 2009). Pada umumnya proses otooksidasi melalui suatu

proses yang terdiri atas tiga tahap yaitu inisiasi/tahap

awal/pembentukan radikal, propagasi/pengubahan suatu radikal

menjadi radikal lain dan terminasi/tahap akhir/kombinasi dua radikal

membentuk produk yang lebih stabil. Pada oksidasi lemak, perubahan

yang terjadi diawali dengan perubahan struktur asam lemak dan

terbentuknya radikal bebas antara. Tahap berikutnya adalah

terbentuknya lemak hidroperoksida yang merupakan produk primer

oksidasi lemak, yang kemudian akan terdegradasi membentuk produk

sekunder yang mempunyai bau khas (Shahidi 1998; Mariutti et al. 2009).

Pembentukan hidroperoksida pada jalur ini bergantung pada

produksi radikal bebas R* dari molekul lemak RH melalui interaksi

(32)

cahaya atau energi radiasi tinggi atau inisiasi kimia termasuk ion

metal atau metaloprotein seperti haem pada tahap inisiasi. Mekanisme

tahap inisiasi ini belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian,

radikal bebas R* yang diproduksi pada tahap inisiasi akan bereaksi

membentuk lemak peroksi radikal ROO* yang dapat bereaksi lebih

lanjut membentuk hidroperoksida ROOH. Hidroperoksida ROOH

adalah produk primer otoksidasi lemak. Setiap asam lemak pada

oksidasi ini dapat memproduksi beberapa hidroperoksida, tetapi tidak

menimbulkan flavor. Reaksi kedua tahap propagasi juga membentuk

radikal bebas R*berikutnya membentuk rangkaian propagasi sendiri.

Dalam hal ini sejumlah kecil katalis seperti ion Cu dapat memulai

reaksi, memproduksi beberapa molekul hidroperokside, yang akan

terdegradasi membentuk produk sekunder dan berpotensi terhadap

flavor (Gambar 1). Rangkaian propagasi dapat dihentikan/berhenti

dengan reaksi terminal/terakhir yaitu dua radikal berkombinasi

menghasilkan produk yang tidak memberi kesempatan reaksi

propagasi. Mekanismenya digambarkan sebagai berikut:

Inisiasi:

katalis

RH + O2  R* + *OOH

katalis

RH  R* + H*

Propagasi:

R* + O2 ROO*

ROO* + RH  ROOH + R*

Terminasi:

ROO* + R*  ROOR R* + R*  R-R

ROO* + ROO*  ROOR + O2

(33)

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat senyawa-senyawa flavor

yang mungkin terbentuk. Hidroperoksida lemak yang dihasilkan dari

ketiga jalur di atas sangat tidak stabil dan akan membentuk radikal

bebas alkoksi yang terurai menghasilkan senyawa flavor volatil rantai

pendek. Dengan kisaran hidroperoksida yang ada akan terbentuk

sejumlah aldehida. Aldehida meningkatkan flavor dari sweet, pungent

sampai milky.

(A)

(B)

Gambar 1 Proses oksidasi lemak pada bahan pangan (A) Sumber: Kochhar 1996

(34)

Hidrokarbon radikal bebas yang dapat menangkap OH* radikal

membentuk alkohol atau menangkap H* radikal membentuk

hidrokarbon. Alkohol pada kisaran tengah, dari C3 alkohol jenuh

dideskripsikan sebagai solventy, --- ke C6 dideskripsikan sebagai grassy, green, ke C9 dideskripsikan sebagai fatty, green.

Jika H* radikal diperoleh dari R’ H akan membentuk R’*

radikal baru. Jika metode penguraian terjadi pada metil linolenat

hidroperoksida akan diperoleh berbagai produk, di antaranya adalah

3,6-Nonadienal, 2,4,7-Decatrienal, 3-Hexenal, 2,4-Heptadienal,

2-pentene, 2-penten-1-ol, propional.

2.2.3.2 Reaksi Hidrolitik

Reaksi hidrolitik terutama akan menghasilkan metil keton,

lakton dan ester. Gliserida dengan adanya panas dan air, akan terurai

menjadi asam keto. Pembebasan hidroksi asam lemak dapat

melengkapi prekursor - dan - lakton. Reaksi hidrolitik termasuk

lipolisis, menyebabkan asam oleat, linoleat, dan linolenat bebas

mengalami otoksidasi lebih cepat. Metilketone berkontribusi terhadap

rasa sweet fruitiness, dengan kisaran dari C3 pungent, sweet sampai C7 blue cheesy, ke C11 fatty, sweet. Asam alifatik berkontribusi terhadap flavor dengan rasa asam (sour), buah (fruity), keju (cheesy)

atau animal-like. Kontribusinya berkisar dari C2 vinegary, C3 sour,

Swiss cheesy, C4 sweaty cheesy, C9 paraffinic, sampai C14-C18 dengan odor sangat kecil.

Metil alkohol, yang dapat diturunkan dari metil keton,

mempunyai kontribusi flavor sama dengan keton tetapi less fruity dan

more grassy green, dengan kisaran dari C5 grassy, solvent sampai C7 grassy, blue cheesy. Lakton berkontribusi a rich, creamy, fruity fullness. -lakton mempunyai kontribusi dari C4 oily, C5 creamy, tobacco, C6 creamy coconut, C8 coconut, sampai C10 peachy, sedangkan - lakton serupa tapi lebih lembut, less fruity (seperti

(35)

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Komponen Flavor

Fosfolipid intramuskuler dan asam lemak bebas merupakan 2 faktor

penting yang menentukan flavor daging. Fosfolipid pada daging (biceps

femoris) mentah itik Cina sebesar 46,69% dari total lipid. Fosfolipid

tersebut terdiri atas fosfatidiletanolamin (28,1%) dan fosfatidilkholin

(64,7%) yang mengandung asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG) dengan

persentase tinggi (Wang et al. 2009). Menurut Cobos et al. (2000) komposisi kimia utama daging mentah itik liar adalah protein dan lemak

dengan asam lemak arakhidonat (C20:4) paling tinggi, mencapai 25% dari

total asam lemak penyusun fosfolipid. Selain asam lemak arakhidonat, asam

lemak utama penyusun fosfolipid adalah asam stearat (C18:0), oleat

(C18:1), dan palmitat (C16:0) masing-masing sebesar 18,72%; 7,52%, dan

16,67%.

Oksidasi lemak merupakan penyebab kerusakan daging yang

dimanifestasikan dalam bentuk perubahan flavor (Wang et al. 2009). Penyebab utama penurunan flavor pada daging adalah oksidasi lemak. Laju

oksidasi lemak pada daging bergantung pada banyak faktor, di antaranya

spesies, banyaknya asam lemak tidak jenuh (Shahidi, 1998) terutama asam

lemak tidak jenuh ganda (Cortinas et al. 2005), adanya prooksidan (seperti

ion Fe haem dan non-haem), dan adanya antioksidan (Barciela et al. 2008).

Berdasarkan spesies ternak, oksidasi yang paling cepat adalah pada

ikan, diikuti dengan unggas (ayam dan kalkun), babi, sapi, dan domba. Laju

oksidasi asam lemak daging C18:3 lebih cepat dari C18:2 lebih cepat dari

C18:1 dan lebih cepat dari C18:0 (Shahidi 1998). Asam lemak C18:1,

C18:2 dan C18:3 menghasilkan profil odor yang berbeda, misalnya C18:1

menghasilkan skor oily lebih tinggi, C18:2 menghasilkan skor creosote lebih tinggi, C18:3 menghasilkan skor fishy, linseed (putty) dan creosote yang tinggi. Bila C18:3 ditambah sistein dan ribosa terutama ketika FeSO4

(36)

tidak jenuh -6 (linoleat C18:2) adalah heksanal, sedangkan pada produk

daging yang kaya asam lemak tidak jenuh -9 dan -3 masing-masing

nonanal dan propanal. Asam lemak yang berlimpah pada minyak kacang

kedelai sangat responsif terhadap pembentukan off-odor (Nawar 1996). Akan tetapi, tingginya asam lemak C18:2 pada lemak babi yang

mengkonsumsi lemak asal kacang tanah, bunga matahari dan kacang kedelai

dimasak, menurut panelis terlatih tidak menyebabkan off-odor, bahkan makin tingginya asam lemak C18:2 pada produk babi lebih diterima

konsumen (Melton 1990).

Daging itik mengandung lemak yang lebih tinggi daripada daging

ayam dan kalkun. Di antara daging spesies unggas, daging itik mengandung

asam lemak tidak jenuh yang tinggi (sekitar 60% dari total asam lemak) dan

pigmen haematik (hemoglobin dan mioglobin) yang tinggi. Hal ini yang

memungkinkan oksidasi pada daging itik lebih tinggi daripada daging ayam

dan kalkun (Baeza 2006). Laju dan intensitas oksidasi lemak dipengaruhi

banyak faktor, tetapi faktor yang paling penting adalah kandungan asam

lemak tidak jenuh ganda yang ada dalam jaringan urat daging tersebut.

Oksidasi lemak meningkat secara linear dengan makin tingginya asam

lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005).

Laju oksidasi antarspesies bervariasi bergantung pada kandungan

fosfolipid dan komposisi asam lemaknya. Fosfolipid mudah teroksidasi

karena tingginya asam lemak tidak jenuh ganda (terutama linoleat dan

arakhidonat) atau karena dekatnya kumpulan membran dengan jaringan

katalis oksidasi. Pemotongan dan penggilingan mengacaukan membran dan

membuka fosfolipid terhadap oksigen, enzim, pigmen heme, dan ion logam

yang dapat mempercepat laju oksidasi meskipun pada daging segar mentah.

Pada daging berwarna merah, oksidasi lemak merupakan masalah yang

penting. Hal ini karena katalis ion Fe dengan heme (hemoglobin, mioglobin

dan sitokrom) atau ion Fe tanpa heme dapat mempercepat laju oksidasi

(Tang et al. 2000; Barciela et al. 2008; Min et al. 2010, Yoon et al. 2010).

Sementara itu, laju peroksidasi lemak pada masa jaringan adiposa lebih

(37)

pada urat daging. Hal ini disebabkan karena lemak pada jaringan adiposa

dalam bentuk triasilgliserol (trigliserida) atau lemak netral, sedangan pada

urat daging terdiri atas fosfolipid (Caldironi dan Bazan 1982).

Menurut Hogan (2002) dalam keadaan mentah, daging mempunyai

flavor yang sangat lemah. Pemanasan, selama proses pemasakan, flavor

berkembang melalui pemecahan protein, lemak, gula, vitamin, dan

komponen lain yang satu sama lain karena adanya panas saling berinteraksi

melalui reaksi pencokelatan Maillard dan menghasilkan flavor daging yang

jelas. Proses memasak yang berbeda juga akan memberikan profil flavor

yang berbeda meskipun berasal dari tipe daging yang sama. Tipe dan jumlah

komponen flavor yang dihasilkan bergantung pada lama waktu dan metode

memasak. Daging sapi yang dipanggang mempunyai profil flavor yang

berbeda dari yang digiling atau direbus. Komponen volatil dan non volatil

yang dihasilkan dalam proses pemasakan menghasilkan flavor daging.

Ekstrak daging mengandung sejumlah besar asam amino, peptida,

nukleotida, asam dan gula. Hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasi

lebih dari 1.000 komponen flavor daging sapi panggang oven. Beberapa

komponen kimia volatil yang diidentifikasi pada daging yang dimasak,

aromanya adalah karbonil, seperti asetaldehida, proprionaldehida,

2-metilpropanal, 3-metilbutanal, aseton, 2-butanon, n-heksanal, dan

3-metil-2-butanon, tetapi beberapa dari komponen ini tidak menghasilkan flavor

daging sapi panggang. Sebagai contoh, walaupun 3-metilbutanal merupakan

komponen utama aroma daging sapi panggang, kontribusi flavornya secara

nyata tidak terjadi. Pirazin, furans, dan komponen yang mengadung sulfur

seperti sulfida, thiol, tiopen dan tiazol, juga berkaitan dengan aroma daging

yang dipanaskan dan makanan lain. Bentuk pirazin pada pemanasan dan ada

dalam flavor hampir semua makanan yang dipanggang. Flavor pirazin

digambarkan seperti nutty, atau seperti biskuit asin dengan aroma bell-pepper. Pirazin terbentuk di permukaan pangan yang dipanggang pada suhu di atas 70 oC, dan maksimum pada suhu 120oC.

Selain berupa produk hasil perombakan kimia, flavor yang diperoleh

(38)

pada bahan awal dan kondisi pengolahan. Soeparno (1994) mengemukakan

bahwa flavor daging masak dipengaruhi oleh umur ternak, pakan, spesies,

jenis kelamin, bangsa, lama waktu, dan kondisi penyimpanan setelah

pemotongan serta jenis, lama, dan temperatur pemasakan. Secara umum

disepakati bahwa daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang

lebih kuat daripada ternak yang lebih muda (Farmer 1999). Hal ini dapat

terjadi karena perubahan komposisi asam lemak (trigliserida dan fosfolipid)

pada jaringan adiposa baik di bawah kulit maupun pada urat daging sangat

mempengaruhi sensitivitas terjadinya oksidasi dan stabilitas membran.

Perbedaan umur pada sapi menyebabkan perbedaan yang sangat nyata

(P<0.01) pada C14:0, C16:1, C18:0 dan C18:2 (Clemens et al. 1973). Selanjutnya dikemukakan bahwa berdasarkan penelitian sebelumnya,

C18:1, C18:2 secara umum meningkat, sedangkan C16:0 dan C18:0

menurun sejalan dengan pertumbuhan ternak.

Menurut Baeza (2006) kadar lemak intramuskuler dapat diubah

dengan mengkombinasi genotif, umur, dan nutrisi. Peningkatan lemak pada

daging itik terutama disebabkan karena peningkatan trigliserida, asam lemak

jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal dan kandungan lemak intramuskuler

dapat dimodifikasi melalui komposisi asam lemak pakan.

Laju oksidasi daging itik berbeda dari daging ayam dan kalkun. Pada

ayam broiler dan kalkun, laju oksidasi daging paha lebih tinggi daripada

daging dada, sedangkan pada itik laju oksidasi daging dada lebih tinggi

daripada daging paha. Hal ini karena daging dada juga digunakan untuk

terbang (Russell et al. 2003).

Apriyantono dan Lingganingrum (2001) menyatakan bahwa secara

genetik, setiap jenis unggas mempunyai komposisi penyusun daging yang

berbeda. Pada ayam, daging bagian dada berwarna putih dan bagian paha

berwana merah, sedangkan pada itik, baik daging bagian dada maupun paha

berwarna merah. Perbedaan warna daging diikuti dengan perbedaan kadar

pigmen daging (mioglobin), pigmen darah (hemoglobin), dan komponen

minor lain yaitu protein, lemak, vitamin B12, dan flavin (Lawrie 1991).

(39)

daging dapat mempercepat laju oksidasi lemak. Selain itu, setiap spesies

unggas mempunyai kadar lemak yang akan menghasilkan flavor yang

berbeda. Ayam memiliki kadar lemak lebih rendah dari itik.

Menurut Shahidi dan Pegg (1994) oksidasi lemak akan menghasilkan

turunan lipid, di antaranya heksanal yang menghasilkan bau yang tidak enak

atau apek. Selain itu, pengaruh lainnya juga sangat merugikan. Hamilton

(1983) mengemukakan bahwa oksidasi lemak selain menyebabkan

kerusakan flavor, juga menyebabkan kerusakan membran, enzim, vitamin,

dan protein termasuk proses penuaan. Hal ini ditambahkan oleh Shahidi

(1998) bahwa oksidasi lemak menyebabkan kehilangan asam lemak

esensial, perubahan warna, tekstur, dan daya guna (nilai nutrisi) pangan

tersebut seperti menyebabkan kerusakan vitamin larut lemak dan

pembentukan kolesterol oksida. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya

mencegah terjadinya oksidasi tersebut.

2.2.5 Upaya Pencegahan Terjadinya Reaksi Oksidasi Lemak oleh Radikal Bebas

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi oksidasi lemak oleh

radikal bebas pada daging efektif dicegah dengan menggunakan antioksidan

(Surai dan Sparks 2000; Grau et al. 2001; Zieli ska et al. 2001; Bou et al. 2004; Hernandez et al. 2004).

Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat reaksi

oksidasi lemak oleh radikal bebas. Oksidasi lemak terdiri atas tiga tahap

utama yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi

pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak

yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom

hidrogen. Tahap selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan

bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi lebih

lanjut akan menyerang asam lemak lain menghasilkan hidroperoksida dan

radikal asam lemak baru. Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil

dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil

rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor

(40)

mengalami terminasi melalui reaksi antar radikal bebas membentuk

kompleks bukan radikal. Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan

radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk.

Efektivitas antioksidan dalam menghambat oksidasi lemak atau untuk

mengetahui kualitas daging, menurut Shahidi (1998) dapat diukur dengan

beberapa metode, di antaranya (1) mengukur produk primer hasil oksidasi

lemak, yaitu dengan cara mengukur PV (Peroxide Value); (2) mengukur

semua perubahan yang terjadi pada lemak, seperti nilai total oksidasi; (3)

metode tidak langsung, dengan cara mengukur tekstur, daya guna

(functional properties) dan warna; (4) mengetahui perubahan konsentrasi

salah satu atau lebih substrat. Pada metode ini termasuk analisis komposisi

asam lemak, konsumsi oksigen, pembentukan asam lemak radikal bebas,

atau turunannya; (5) mengukur produk sekunder hasil oksidasi lemak,

kandungan malondialdehid (MDA), zat reaktif asam tiobarbiturik (TBA)

atau thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), total karbonil atau zat

volatile terpilih; (6) analisis sensori. Analisis sensori sangat penting dan

umumnya metode kuantitatif dari oksidasi lemak berkorelasi dengan hasil

analisis ini. Teknik evaluasi sensori sederhana, tetapi membutuhkan waktu,

biaya mahal dan sering tidak dapat diulang. Untuk menghindari bias dan

eror panelis, beberapa alat ukur dibentuk dan digunakan analisis statistik.

Dari keenam metode pengukuran di atas, pada penelitian ini dilakukan

analisis sensori, komposisi asam lemak dan nilai TBARS. Analisis sensori

merupakan salah satu cara untuk menilai intensitas off-odor suatu bahan pangan. Metode ini melibatkan sejumlah panelis yang mampu mendeteksi

dan mendeskripsikan off-odor. Sistem analisis sensori pada prinsipnya mencakup faktor fisiologis dan psikologis. Pendekatan yang paling mudah

dalam analisis sensori baik dari segi praktis maupun teoretis dibedakan

dalam 4 bidang utama yaitu analisis deskriptif (bagaimana seseorang

menjelaskan persepsinya tentang makanan yang diujinya), pengukuran

intensitas (persepsi sensori yang dinyatakan dalam skala), pengukuran

hedonik (menguji suka atau tidak suka) dan analisis GC-Sniffing (tehnik

(41)

meningkatnya penelitian-penelitian flavor, metode pengujian sensori juga

makin berkembang. Metode pengujian sensori yang banyak mendapat

perhatian di antaranya uji pembedaan, ranking dan rating serta profil.

Metode uji pembedaan yang paling banyak dipakai adalah uji segitiga, uji

berpasangan, dan uji duo-trio. Uji ini biasanya melibatkan jumlah panelis

yang lebih sedikit bahkan sering kali tidak harus yang berpengalaman.

Sampel yang diuji harus diberi kode sedemikian rupa sehingga tidak

menimbulkan bias. Metode ranking dan rating umumnya menggunakan

panelis terlatih dan berpengalaman. Panelis berperan mengevaluasi dan

menempatkan secara berurut (berjenjang, ranking) intensitas dari sifat-sifat

spesifik, mengkuantifikasi dan memberi skor (rating) serta mengklasifikasi

(grading). Hasil penilaian panelis biasanya dalam bentuk skala atau grafik.

Pada metode profil digunakan analisis deskriptif suatu produk dengan

mengidentifikasi dan menguraikan secara kuantitatif berdasarkan kualitas

visual, tekstur, karakteristik aroma, flavor, oral, dan skinfeel (Meilgaard et al. 1999). Penentuan produk peroksidasi lipid dengan TBARS yaitu dengan mengukur kandungan malondialdehid dalam daging yang dinyatakan dalam

mg malondialdehid per kg jaringan. Hasil penelitian Marusich et al. (1975)

menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan malonaldehid (MDA) atau

TBARS sejalan dengan meningkatnya oksidasi lipid jaringan. Selain itu

malondialdehid juga digunakan untuk memonitoring oksidasi lemak produk

reaksi sekunder, yang diperoleh dari hasil dekomposisi karbonil dari asam

lemak tak jenuh ganda (Tokur et al. 2006). Oksidasi lemak pada umumnya

dipengaruhi oleh kadar lemak, asam lemak tak jenuh ganda, antioksidan,

prooksidan, proses pengolahan daging dan penyimpanan (Kim et al. 2003;

Juntachote et al. 2007). Oksidasi lipid dalam jaringan ternak yang dinyatakan dalam nilai MDA atau TBARS bergantung pada banyak faktor,

di antaranya kondisi lingkungan ternak dan strain, jenis ternak, asal daging,

penyimpanan, pemanasan, ada tidaknya antioksidan pada bahan pangan

tersebut.

Cekaman panas (heat stress) menyebabkan meningkatnya laju

Gambar

Gambar 1   Proses oksidasi lemak pada bahan pangan
Gambar 2  Beluntas (Pluchea indica Less.)
Gambar 3  Struktur dasar flavonoid
Gambar 4  Struktur komponen  fenol tumbuhan  (Cadenas 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan pada itik dengan penambahan suplemen limbah tauge yang kaya akan vitamin E, diduga dapat berpengaruh terhadap kadar kolesterol pada daging

Secara hedonik, perlakuan pnambahan tepung d a m beluntas memberikan pengaruh yang sangat nyata (P&lt;O,Ol) pads sosis daging itik dan pengaruh yang nyata

Hasil penelitian, pemberian beluntas dalam pakan tidak berpengaruh terhadap bau amis daging itik, sedangkan bau amis telur itik mentah dan asin nyata (P&lt;0,05) menurun dengan

Penambahan tepung daun beluntas sampai dengan taraf 2% dalam pakan menghasilkan nilai rataan kadar air, kadar abu dan kadar protein dari sosis daging itik itik yang relatif

Penurunan intensitas off-odor pada daging itik dengan kulit yang diberi perlakuan KB sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Febriana (2006) yaitu

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah perlakuan KBE merupakan kombinasi yang paling baik dalam menurunkan intensitas off-odor daging itik, dan secara

Penggunaan tepung daun beluntas hingga level 3% dalam ransum memberikan hasil yang terbaik terhadap performan pertumbuhan, konversi ransum dan income over feed cost

Penambahan tepung daun beluntas sampai dengan taraf 2% dalam pakan sebagai upaya mengurangi bau amis pada daging itik lokal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap