• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampai saat ini, konsumsi daging masyarakat didominasi dari unggas ras, sementara yang berasal dari unggas lokal masih relatif rendah. Hal ini akan membuat Indonesia selalu bergantung pada luar negeri untuk suplai bibit (jenjang GPS dan PS) penghasil daging dan telur. Untuk menunjang program ketahanan pangan, secara bertahap ketergantungan pada luar negeri harus dikurangi. Di antara unggas lokal yang sudah lazim dimanfaatkan sebagai sumber pangan adalah ayam buras dan itik lokal.

Dibandingkan dengan daging ayam, pangsa pasar daging itik lebih sempit. Warna yang lebih gelap dari ayam, tekstur yang alot dan terutama bau amis (off- odor) daging itik lokal merupakan penyebab penolakan konsumen, terutama konsumen yang belum terbiasa mengkonsumsi daging itik lokal. Untuk mengurangi ketajaman bau amis daging itik lokal, cara-cara yang lazim dilakukan adalah dengan cara mencekok itik lokal dengan cuka sebelum dipotong (dari segi kesejahteraan ternak, tidak dianjurkan) atau membuat olahan yang sarat dengan bumbu. Umpama, di Sumatera Barat dikenal gulai itik hijau, di Aceh dikenal gulai itik, di Bali dikenal itik betutu. Olahan-olahan tersebut sarat dengan bumbu untuk menutupi bau khas dari daging itik tersebut.

Untuk memperkaya jenis olahan daging itik lokal perlu diupayakan cara- cara menghasilkan daging itik segar yang tidak terlalu berbau amis. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan yang diketahui mempunyai kemampuan mengurangi bau, diantaranya beluntas. Berdasarkan para pakar obat tradisional, beluntas terbukti dapat mengurangi bau badan pada manusia.

Bau amis daging itik menurut Apriyantono (1992) sudah ada sejak hewan hidup. Bau tersebut dapat berasal dari protein, karbohidrat, dan lemak (Heath dan Reineccius 1986), tetapi lemak merupakan penentu/yang paling utama (Wu dan Liou 1992) dan menurut Hustiany et al. (2001) bau amis daging itik sebagian besar merupakan hasil proses oksidasi lemak.

Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Tebalnya kulit itik disebabkan oleh penyebaran lemak di bawah kulit dan lemak unggas sebagian besar terdiri atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005). Oksidasi lemak

94 meningkat secara linier dengan makin tingginya asam lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005).

Pada saat ini, sumber daging itik dapat berasal dari itik jantan muda (jumlah relatif banyak), itik jantan dewasa (tetapi jumlahnya sedikit), dan itik betina afkir yang sudah tidak bertelur lagi (jumlah relatif banyak). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan itik jantan muda dan betina afkir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan sebanyak 1% dan 2% pada itik jantan muda (umur 4 minggu sampai umur 10 minggu) dan itik betina tua tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot badan akhir, persentase karkas, dada dan paha serta daging dada dan paha. Akan tetapi konversi pakan itik jantan muda yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% masing-masing 3,4% dan 8,6% lebih tinggi dari kontrol. Hal ini berarti, pada itik yang mendapat tepung daun beluntas, nutrien pakan yang masuk tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Diduga, antinutrien tanin yang terdapat dalam tepung daun beluntas menghambat aktivitas enzim pencernaan (tripsin, amylase, dan lipase), sebagaimana dikemukakan Johri (2005), sehingga pertumbuhannya tertekan.

Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan 1% dan 2% pada itik betina tua, dapat mengurangi bau (off-odor) daging itik dengan kulit. Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif dalam beluntas (fenol, flavonoid) mampu melindungi asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh ganda (C18:2+C18:3) dari oksidasi sehingga kandungan asam lemak tersebut lebih tinggi dari kontrol. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa antioksidan efektif mencegah reaksi oksidasi lemak yang berlebihan pada daging (Surai dan Sparks 2000; Grau et al. 2001; Zieli ska et al. 2001; Bou et al. 2004; Hernandez et al. 2004; Apak et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2007; Ribeiro et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2009; Ahmed dan Beigh 2009). Terlindunginya asam lemak dari oksidasi menyebabkan senyawa volatil penyebab bau (off-odor) (Pazos et al. 2005; Juntachote et al. 2007) yang tidak disukai dari daging itik dengan kulit seperti pentanol, heksanol, 1-heksanol, (E)-Okten-3-ol, nonanal dan 1-heksadekanol dan 2 komponen off-odor yang paling mendekati off-odor daging

95 itik (Hustiany 2001), yang terbentuk lebih rendah dan nilai TBARS yang menunjukkan banyaknya produk peroksidasi lemak yang dihasilkan juga lebih rendah. Selain itu, nilai intensitas bau amis yang terdeteksi oleh panelis juga nyata lebih rendah. Hal ini menyebabkan tingkat penerimaan konsumen terhadap daging itik meningkat, terbukti dari hasil uji hedonik daging itik dengan kulit yang mendapat beluntas dalam pakannya lebih disukai daripada kontrol/tanpa mendapat beluntas.

Bila konsumsi daging itik dapat ditingkatkan yang berarti ada peningkatan permintaan, diharapkan dapat memacu minat peternak itik untuk meningkatkan usahanya sebagai penghasil daging itik lokal. Saat ini ternak itik tersebar di pedesaan dan mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang tinggi bagi masyarakat pedesaan. Berkembangnya usaha ternak itik diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup peternak. Penyediaan ternak itik yang bau amisnya rendah diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk (daging itik) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk olahan /diversifikasi olahan pangan asal daging itik yang praktis dan dapat membantu mengatasi penyediaan daging asal dalam negeri.

Mekanisme berkurangnya bau amis daging itik, diduga selain karena pada beluntas terdapat antioksidan yang mampu melindungi asam lemak dari oksidasi berlebihan, dapat juga disebabkan karena beluntas mengandung aroma yang mampu menutupi bau amis (masking) daging itik. Penelitian Andarwulan dkk (2008) menunjukkan bahwa daun kemangi mengandung fenol (784,32 mg/100g) lebih rendah daripada daun beluntas (1030,03 mg/100gBK) dan kenikir (1225,88 mg/100gBK). Kandungan flavonoid daun kemangi (69,78 mg/100g BK) dan daun beluntas (79,19 mg/100g BK) lebih rendah daripada daun kenikir (420,85 mg/100gBK). Dari data tersebut terlihat bahwa beluntas dan kemangi mengandung antioksidan yang lebih rendah dari kenikir. Namun demikian, perendaman daging itik dengan kulit pada ekstrak tepung daun beluntas dan kemangi menghasilkan respons yang sama dengan kenikir, yaitu bau amisnya berkurang dengan makin tingginya konsentrasi ekstrak ketiga jenis sayuran indigenous tersebut dan aroma masing-masing sayuran indigenous tersebut makin tercium. Hal ini berarti aroma daun beluntas dapat menutupi (masking) bau amis

96 daging itik. Namun demikian, penurunan bau amis dengan metode ini, menghasilkan daging itik yang warnanya kurang menarik (kehijauan) sehingga pemanfaatannya terbatas untuk olahan-olahan tertentu yang tidak memerlukan penampilan warna daging seperti daging segar, seperti untuk olahan gulai cabe hijau. Beluntas merupakan tanaman pagar yang dapat tumbuh subur di seluruh wilayah Indonesia dan perbanyakannya mudah, dengan stek dari batang yang cukup tua dapat tumbuh dengan baik sehingga peternak dapat memanfaatkannya sebagai pagar halaman rumah. Mudahnya pengadaan dan penyediaan tepung daun beluntas dapat membantu peternak menghasilkan daging itik yang bau amisnya rendah. Pakan yang mengandung tepung daun beluntas 1% selama 3 minggu dapat diaplikasikan oleh peternak sehingga daging itik yang dihasilkan siap untuk digunakan berbagai jenis olahan.

Hasil penelitian ini ada indikasi bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan dapat memperbaiki jaringan hati itik betina tua yang mengalami kerusakan (degenerasi lemak dan serosis hati). Adanya indikasi perbaikan pada jaringan hati dapat disebabkan karena flavonoid dan fenol yang terdapat dalam tepung daun beluntas bekerja sebagai antioksidan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa antioksidan dalam tepung daun beluntas dapat memperbaiki kerusakan hati. Kemampuan sebagai antioksidan memberi efek terapi terhadap penyakit kanker (patologi hati) (González-Gallego et al. 2007). Asupan flavonoid dilaporkan dapat mengurangi risiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim yang terkait dengan pembentukan tumor (Zang dan Hamauzu 2003). Hasil penelitian Dragland et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan salah satu tanaman herba Jepang (Sho-Danau Sai) dapat digunakan untuk mengobati

hepatitis kronis, menghambat perkembangan karsinoma hepatoseluler,

Dokumen terkait