• Tidak ada hasil yang ditemukan

Historiografi Indonesia-sentris dan Jebakan Nasionalisme Sempit

MEMBACA ULANG PEMIKIRAN

B. Anatomi Pemikiran

1. Historiografi Indonesia-sentris dan Jebakan Nasionalisme Sempit

Guna melacak apa yang dimaksud dengan Indonesiasentris, alangkah baiknya merujuk langsung beberapa tulisan Sartono Kartodirdjo dalam beberapa terbitan. Di antaranya adalah,

“Setelah dirasakan bahwa historiografi kolonial tidak relevan lagi dengan ceritera tentang masa lampau bangsa Indonesia, maka pemikiran baik sebelum maupun sesudah Seminar Sejarah Nasional Pertama di

4 Beberapa di antaranya adalah, Nina H. Lubis, (ed), 80 tahun Prof. Dr.

Sartono Kartodirdjo, Pelopor Sejarah Indonesia, (Bandung, Satya Historika, 2001); M. Nursam, Membuka Pintu bagi Masa Depan, Biografi Sartono Kartodirdjo,

(Jakarta: Kompas, 2008); M. Nursam, dkk. (eds), Sejarah yang Memihak, Mengenang Sartono Kartodirdjo, (Yogyakarta: Ombak dan Rumah Budaya Tembi, 2008)

Yogyakarta pada akhir tahun 1957 telah berhasil menerobos kerangka kolonial dari Sejarah Indonesia serta mengganti pemandangan Eropasen- tris dengan yang Indonesiasentris. Pemikiran yang pada umumnya bersifat lebih filosofis atau teoritis itu memang berhasil memberikan saran-sa- ran, pengertian-pengertian serta pandangan-pandangan sekitar approach

baru dari sejarah Indonesia, kadang-kadang malahan bersifat sangat provokatif, akan tetapi kemudian terbukti bahwa pemikiran itu ‘more successful in conception than in execution’, konsepsi-konsepsinya lebih bersifat filosofis tanpa landasan pada studi yang mendetail dari sumber- sumber sejarah.”5

Sartono menyadari benar bahwa sudut pandang itu more

successful in conception than in execution. Sudut pandang moral semacam itu dapat menjebak penulis sejarah pada simplifikasi, misalkan hanya mengganti orang Belanda menjadi orang Indo- nesia sebagai titik-sentralnya, mengganti pengkhianat dengan pahlawan, serta melekatkan berbagi identitas heroistik ke dalam aktifitas yang dilakukan oleh orang pribumi tatkala berhadapan dengan kekuatan lain di masa lalu, padahal ia berada dalam konteks yang berlainan. Kecenderungan yang paling berbahaya adalah mengabaikan norma obyektifitas dalam penulisan sejarah. Maka di sinilah dibutuhkan penguatan dari segi metodologi: skope temporal maupun spasial dan analisa atau eksplanasi. Terhadap dua hal ini, Sartono menawarkan penulisan sejarah dalam lingkup yang lebih mikro, yakni sejarah lokal dan pende- katan ilmu sosial dalam menjelaskan suatu fenomena sejarah. Ia menyatakan,

5 Sartono Kartodirdjo, “Lembaran Sejarah”, no. 6 Desember 1970, sie.

Penelitian Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada., hlm. 24-25, dimuat kembali dalam buku Sartono Kartodirdjo,

Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 30

“Apabila historiografi kolonial mencantumkan sejarah Indonesia hanya sebagai ‘perpanjangan’ dari sejarah bangsa Belanda di seberang dan tokoh- tokoh Belanda yang memegang peranan, maka dalam merekonstruksi sejarah Indonesia sebagi sejarah nasional sudut pandang yang Eropasentris ataupun Neerlandosentris itu diganti dengan pandangan yang menem- patkan Indonesia sebagai tempat kejadian serta di mana bangsa Indone- sia sendiri yang memegang peranan. Pandangan ini telah lazim kita sebut Indonesiasentrisme. Implikasi metodologis dari Indonesiasentrisme ini ialah bahwa untuk periode penjajah kita perlu memusatkan perhatian pada sejarah regional/lokal dengan maksud untuk menonjolkan peranan bangsa Indonesia sendiri, oleh karena pada masa itu peristiwa-peristiwa pada tingkat ‘nasional’ sudah barang tentu terutama berkisar seputar tokoh-tokoh kolonial.”6

Sejarah lokal selama ini didefinisikan sebagai suatu locality

atau “tempat, ruang”. “Jadi, ‘sejarah lokal’ hanyalah berarti sejarah dari suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’, yang batasannya ditentukan

oleh ‘perjanjian’ yang diajukan penulis sejarah.”7 Sejarah lokal

hanya dilihat sebagai ruang spasial, padahal semestinya ia juga dilihat sebagai dimensi dan perjumpaan. Lokalitas itu biasanya dihadapkan pada konteks nasionalitas, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kritik, “…Sementara itu sejarah nasional tidak lain hanya merupakan representasi politis dari sejarah lokal dalam bingkai dimensi keruangan baru……(padahal) Sejarah ekonomi

lokal bukan sejarah ekonomi nasional di tingkat lokal”.8 Jika

kalimat pertama diikuti, ini mengingatkan pada pandangan Ki

6Ibid., hlm 39

7 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press,1996 ), hlm. 15.

8 Bambang Purwanto, “Dimensi Ekonomi Lokal dalam Sejarah Indone-

sia”, dalam Sri Margana dan Widya Fitrianingsih (ed.), Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global (Persembahan 70 tahun Prof. Djoko Suryo), (Yogya- karta: Jurusan Sejarah UGM dan Penerbit Ombak, 2009), hlm. 496 dan 497

Hadjar Dewantara tentang kebudayaan nasional yang diartikan sebagai “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kedaerahan adalah unsur pembangun kebudayaan nasional sekaligus dalam konteks tertentu, beroposisi biner terhadapnya. Padahal realitas sejarah di masa lalu (lebih-lebih kini) menunjukkan bahwa kaitan antara lokal bisa jadi bukan dengan nasional namun dengan keku- atan global melalui berbagai saluran ekonomi, politik, dan kebudayaan. Selain itu, lokalitas dapat membangun kesejarahan- nya sendiri tanpa menunjukkan signifikansinya baik dalam konteks nasional maupun global. Hal ini bukan berarti menafikan analisa terhadap konteks yang lebih luas seperti kolonialisme dan neoliberalisme (jika memang dimungkinkan). Pertanyaan utama- nya adalah, dalam konteks interaksi dan perjumpaan itu apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat lokal?

Cara melihat lokal senantiasa secara subordinatif terhadap nasional bisa jadi juga keliru. Interaksi lokalitas dengan lokalitas yang lain atau bahkan dimensi yang lebih luas, seringkali berpro- ses secara osmosis (saling melakukan penyerapan), responsif, akomodatif, dan bukan domintif-eksploitatif sebagaimana selama ini dibayangkan. Cara melihat secara demikian terjadi juga dalam proses difusi kebudayaan yang selama ini dipahami menyebar dari pusat ke pinggiran, dari elit ke massa, dan dari kolonial ke masyarakat pribumi. Pandangan ini mengabaikan adanya

perjumpaan-perjumpaan (encounter) yang memungkinkan saling

pengaruh itu terjadi. Tawaran untuk melihat proses melokal—

menasional—mengglobal itu terjadi sebagai sebuah encounter dan

bukan hirarki, justru adalah untuk mengemansipasi dan menga- kui rasionalitas yang ada di level yang selama ini dianggap ping- giran. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa berbagai problem yang sering disebut, seperti dominasi, eksploitasi, dan “penja-

jahan”, itu justru dikembangkan secara internal kepada sesama- nya maupun terhadap kelompok di luarnya. Kolonialisme misal- nya, bukanlah produk yang telah jadi di “negeri induk” yang kemudian disebar ke negeri koloni, namun ia bisa dibentuk saat perjumpaan di negeri koloni itu. Bahkan dalam kasus sebaliknya, apa yang disebut “Jawa”, misalnya, sebagaimana dijelaskan oleh John Pamberton, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, namun ia adalah bentukan sejarah hasil persinggungan berbagai

kekuatan, melalui penaklukan, penyesuaian, dll.9 Demikian pula

dengan “adat” (hukum adat, kearifan lokal, dan berbagai istilah turunan lainnya).

Cara melihat semacam ini mengajak kita bersetia pada kritik ilmiah ketimbang bersetia pada ideologi nasionalitas. Dengan cara membaca demikian, kehawatiran yang jauh hari telah disinyalir oleh Sartono Kartodirdjo semoga dapat dihindari,

“Persoalannya sekarang ialah, apakah pendekatan ‘dari dalam’ dan pan- dangan Indonesiasentris akan cukup menjamin terungkapnya kompleks faktor-faktor yang mempengaruhi situasi-situasi historis dalam sejarah Indonesia? Pandangan Indonesiasentris yang masih terpaut pada pende- katan dari sejarah konvensional belum mampu menguraikan segala kom- pleksitas historis dari kehidupan bangsa Indonesia.”10

Sinyalemen ini juga merupakan inti dari kritik yang dilaku- kan oleh sejarawan lain, Bambang Purwanto. Ia menyatakan

9 Periksa, John Pemberton, On the Subject of Java, (Ithaca: Cornell Uni-

versity Press, 1994)

10 Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Masalah Teori dan Metodologi Sejarah

Indonesia”, dalam Lembaran Sejarah, no. 6 Desember 1970, sie. Penelitian Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, dimuat kembali dalam buku Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 70

bahwa dua hal yang menjadi kunci mengapa sejarah Indonesia- sentris gagal adalah ketidakmampuannya dalam menghadirkan

sejarah secara lebih manusiawi dan beragam, baik dari sisi keber-

agaman tema maupun epistemologinya. Tidak manusiawi sebab narasi sejarah di masa lalu senantiasa dikaitkan pada struktur yang lebih luas yakni negara-bangsa, tidak beragam karena hanya berkisar pada sejarah politik dan ideologi nasionalisme mengen- dalai pembacaan terhadap keragaman realitas. Kemudian ia merekomendasikan bagaimana seharusnya sejarah memberi

ruang pada keseharian, kemanusiaan, dan sesuatu yang terpinggirkan.11

Dalam kalimat lain barangkali dapat dikatakan bahwa seja- rah, yang semestinya merupakan kajian atas humaniora terinkorporasi ke dalam studi sosiologi yang lebih menekankan pada struktur dan sistem yang lebih luas. Dan ini merupakan ciri yang tampak menonjol dalam kajian Sartono. Historiografi Indonesiasentris itu meski bisa difahami untuk konteks pasca- kolonial kala itu dan demi tujuan paedagogi atau ideologi di tahun 1950-an, dalam perkembangannya ia tidaklah tepat untuk kepentingan sejarah akademis dan kritis. Historiografi Indonesia- sentris telah menunaikan tugas untuk dekade awal pasca-kolonial, dan dengan itulah ia telah menjawab tantangan zamannya.

Kekhawatiran ideologisasi historiografi Indonesiasentris sebenarnya telah ditangkap oleh Soedjatmoko jauh-jauh hari dalam Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta, tahun 1957. Sebagai seseorang dengan pandangan internasionalis dan humanis, ia mengatakan bahwa,

“Sejarah Indonesia sekarang tentu akan ditilik dan ditulis dari sudut

11 Lihat, Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris,

‘berpangkal pada masyarakat Indonesia’. Dari sudut itu ia dapat diangap sebagai sejarah nasional Indonesia. Penghadapan semacam itu memung- kinkan berbagai konsepsi penulisan sejarah Indonesia. Tidak dapat dikatakan bahwa hanya sesuatu konsepsi bercorak nasional, dan yang lainnya tidak. Bila ia diterima dan diresmikan sebagai satu-satunya cara penghadapan sejarah Indonesia yang nasional, maka akan terbuka pintu untuk uniformiteit dan conformiteit dalam penyelidikan sejarah yang dipaksakan dari atas, oleh pemegang kekuasaan politik.12

Historiografi Indonesiasentris sebenarnya telah disadari kelemahannya sejak ia “dirumuskan” pada tahun 1957. Arah yang diinginkan saat itu adalah lahirnya karya-karya sejarah yang menempatkan masyarakat Indonesia sebagai pelaku sejarah dan bukan hanya kelompok responsif atas kekuasaan kolonial belaka. Semangat ini merupakan suatu “jiwa zaman” yang menghinggapi banyak orang dan di segala bidang, termasuk Yamin, Sartono dan lain-lain, terkecuali Soedjatmoko yang telah berpikir ke arah terwujudnya historiografi dengan standar-standar penyelidikan obyektif dan ilmiah. Dalam sajiannya ia mengatakan bahwa jika spirit nasionalisme (yang ditunjukkan dalam perspektif Indone- siasentris) itu ditempatkan sebagai falsafah sejarah nasional, maka hal itu tidak tepat. Menyebut filsafat sejarah nasional itu sendiri sebagai sebuah kesalahan,

“Tidak ada suatu falsafah tertentu tentang sejarah nasional, maupun tiada suatu filsafah nasional tentang sejarah. Mengenai sejarah nasional ada dua pengertian: filsafah sejarah ada, tetapi filsafah sejarah nasional ‘meru- pakan suatu contradictio in terminis’. Pengertian itu bukan pada tempat- nya di lapangan filsafah, dan bukan tempatnya di lapangan sejarah”. 13 12 Laporan Seminar Sedjarah, Atjara I dan II, Konsepsi Filsafat Sedjarah Nasional

dan Periodisasi Sedjarah Indonesia, Universitas Gadjah Mada, 1958, hlm 90.

13 Laporan Seminar Sedjarah, Ringkasan, Universitas Gadjah Mada, 1958,

Hal kedua adalah masalah eksplanasi. Guna menghindari monokausalitas, determinasi, dan kesepihakan, maka pendekatan ilmu-ilmu sosial diperlukan dalam turut menjelaskan realitas sejarah yang kompleks. Penjelasan mengenai ini khusus disajikan dalam sub-bab di bawah nanti.

2. Konsep Integrasi dalam Sejarah Nasional Indonesia