• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBACA ULANG PEMIKIRAN

B. Anatomi Pemikiran

5. Mendiskusikan Isu-isu Agraria

“...Sartono, dalam perjalananya itu, terkadang ia melihat bagaimana petani di kampungnya menjual gapleknya kepada tengkulak dengan harga yang sangat rendah. Melihat itu, Sartono ketika itu belum bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa sedih melihat para petani itu diperlakukan sewenang-wenang oleh tengkulak. Kesedihan hati Sartono bisa menunjukkan simpati dan kepekaan sosial atas lingkungan sekitarnya”. (M. Nursam, 2008: 37)

Demikianlah Sartono Kartodirdjo menyaksikan penderitaan rakyat kecil di hadapan bangsanya sendiri, orang-orang Indone- sia, yang dalam struktur dan sistem tertentu melakukan tindakan yang merugikan bagi kaum lemah. Di bawah ini akan disajikan hasil identifikasi isu-isu agraria yang dibahas oleh Sartono Karto- dirdjo.

a) Tentang Sistem Tanam Paksa

Sartono menggunakan istilah tanam paksa untuk menyebut

cultuurstelsel. Ia berpendapat bahwa tanam paksa terjadi melalui persetujuan-persetujuan dengan rakyat. Pelaksa- naan sistem ini melalui penyerahan seperlima dari tanah rakyat. Rakyat masih diperbolehkan mengerjakan tanahnya untuk tanaman pangan bahkan ada aturan penanaman paksa tidak boleh melebihi pekerjaan menanam. Areal yang terkena kebijakan ini mendapat pembebasan dari pajak tanah. Dalam penyerahan hasilnya, terdapat selisih positif

(eds.), Adat dalam Politik Indonesia, (Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indo- nesia, 2010); Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, (eds.), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Huma, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta, 2010). Kajian mereka terhadap masyarakat adat sedikit banyak berangkat dari pemikiran-pemikiran Van Vollenhoven.

antara nilai tanaman-tanaman ekspor dan pajak tanah kepa- da rakyat. Kerugian-kerugian yang diderita akibat kega-

galan panen ditanggung pemerintah.37

Berbeda dengan sejarawan yang lain, Sartono tidak demi- kian saja menampilkan gambaran negatif terhadap sistem tersebut, sebab pada hakekatnya apa yang disebut sistem ini memperoleh variasi lokal pada ruang agraria di daerah-

daerah serta tergantung dengan pelaksananya.38 Sartono

yang menjadi perintis dari historiografi Indonesiasentris namun dia pulalah yang cukup kritis terhadapnya. b) Nasib Petani pada Zaman Liberal dan Malaise

Penduduk Jawa lebih banyak lagi didorong ke dalam eko- nomi uang karena hilangnya matapencaharian mereka yang tradisional. Hal ini memaksa mereka untuk mencari peker- jaan pada perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki oleh Belanda dan lain-lain orang Eropa. Meskipun demikian, pada umumnya respons penduduk di Jawa terhadap melu- asnya ekonomi-uang adalah pasif, artinya mereka untuk sebagian besar tetap tergantung dari mata pencaharian di bidang pertanian, dan hanya berusaha untuk melengkapi pendapatannya yang diperoleh dari hasil-hasi pertanian jika pendapatan ini tidak mencukupi. Para petani di Jawa juga

37 Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho

Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV: Indonesia Dalam Abad 18 dan 19, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975).

38 Lihat, Robert van Niel, “Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkem-

bangan Ekonomi Selanjutnya”, Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa,

mulai mencari pekerjaan di luar bidang pertanian, akan tetapi ini hanya mereka lakukan jika diperlukan, misalnya untuk membayar pajak tanah atau untuk membeli barang-

barang konsumsi impor.39

Beberapa penyebab menurunnya kemakmuran penduduk Jawa pada awal abad 20 adalah pertama-tama, jumlah penduduk Jawa telah meningkat dengan sangat pesat dalam abad kesembilanbelas. Penggunaan peralatan pertanian yang lebih efisien sementara para petani rata-rata sangat kekurangan modal sebagai akibat kemiskinan mereka. Mereka menjadi tersingkir akibat kehadiran alat pertanian modern itu. Selain tu adalah akibat politik pemerintah kolo- nial terhadap pulau Jawa pada masa Liberal. Penduduk Jawa pada akhir abad 19 menderita perpajakan yang sangat regresif, artinya sangat memberatkan golongan yang ber- pendapatan rendah, yang untuk bagian yang terbesar terdiri dari orang-orang Indonesia pribumi. Di lain pihak sistem ini sangat meringankan golongan yang berpendapatan tinggi, yang untuk sebagian besar terdiri atas orang-orang Eropa. Maka yang terjadi adalah bukan pemerintah kolonial yang berbuat sesuatu untuk kesejahteraan rakyat Indone- sia, akan tetapi justru sebaliknya rakyat Indonesia dipaksa- kan untuk membantu pemerintah kolonial.

39 Sartono Kartodirdjo, dkk., op.cit, hlm 91-92. Mengenai kajian jenis

pekerjaan di luar pertanian pada awal abad 20 dilanjutkan oleh koleganya di Jurusan Sejarah UGM, Machmoed Effendhie dkk., “Aktifitas Non-farm di Pantai Utara Jawa pada Awal Abad xx”, dalam Tim SP4, Jawa Abad XX, Perkebunan dan Dinamika Pedesaan, (Yogyakarta: Unit Penerbitan Jurusan Sejarah UGM, 2005), hlm. 31-129

c) Perkebunan di Negara-negara Berkembang

Buku berjudul Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian Sosial-

Ekonomi karya duet Sartono Kartodirdjo dengan Djoko Sur- yo merupakan karya yang paling sering dirujuk para aktivis

gerakan agraria.40 Buku ini memberi pemahaman sistem

perkebunan yang terbentuk sejak abad 19 hingga nasib perkebunan pada tahun 1960-an. Menurut mereka berdua, pada mulanya kebun sering merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan kehidupan pertanian pokok, terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Sistem ke- bun biasanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada pasar, dan lebih berorientasi pada kebutuhan sub- sisten.

Ciri pokok “sistem kebun” semacam itu sekaligus menjelas- kan ciri umum dari usaha pertanian masyarakat agraris yang masih subsisten. Sebaliknya, “sistem perkebunan” diujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan

kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggu-

naan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga kerja upahan (wage labour), struktur hubungan yang rapi, dan penggu- naan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan

birokrasi, serta penanaman tanaman komersial (commercial

crops) untuk komoditi ekspor di pasaran dunia. Sistem per-

40 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia:

kebunan dengan demikian merupakan bagian dari kegiatan perekonomia modern, yang berasal dari dunia barat. Keha- dirannya di negara-negara berkembang pada umumnya berhubungan erat dengan proses kaptalisme, kolonialisme,

dan modernisme.41

Secara cermat dan tajam keduanya mengatakan bahwa sis- tem perkebunan memiliki peranan penting dalam proses eksploitasi dan ekstraksi kolonial. Pendirian perkebunan di negara-negara jajahan berkembang sering diikuti dengan kecenderungan pengambil-alihan tanah-tanah milik pen- duduk pribumi, dan perubahan basis ekologi pertanian sub- sisten yang ada sebelumnya. Penggambaran semacam ini masih cukup valid untuk melihat keberadaan perkebunan di masa kini. Sistem perkebunan yang menggunakan tanah

melalui sewa (erfpacht) atau HGU pada tahun 1960-an mela-

lui UUPA akan diakhiri secara perlahan-lahan atau dikuasai oleh pemerintah (nasionalisasi) dengan kepemilikan aset di tangan rakyat. UUPA sendiri berupaya membatasi kebe- radaan perkebunan melalui pemberian ijin HGU selama 25-

30 tahun untuk selanjutnya dinasionalisasi.42

d) Sistem Ekonomi Dualistis

Menurut Sartono, ekonomi dualistis bukanlah kondisi linearitas sejarah bahwa di satu sisi terdapat ekonomi tradisional, subsisten, yang belum menapaki ke arah mod- ern, sehingga diorientasikan ke arah itu. Atau juga bukan ketika masih saling bertahannya kedua jenis ekonomi ter-

41Ibid., hlm. 3

sebut sebagai bukti tidak saling mengganggu dan meru- saknya masing-masing sistem sebagaimana dikemukakan Boeke, akan tetapi justru, menurut Sartono, ekonomi dualistis adalah bukti keterlemparan satu pihak terhadap

pihak yang lain.43 Analisa historis semacam ini berkese-

suaian dengan pandangan mutakhir yang disampaiakan

oleh Borras melalui Pandangan Relational-nya, bahwa kemis-

kinan diterangkan justru sebagai akibat integrasi masya-

rakat tani lebih jauh ke dalam perekonomian dominan.44

Apa yang disebut dengan ekonomi dominan dalam sejarah Indonesia adalah ekonomi dalam sistem perkebunan. Sistem ini memiliki peranan penting dalam proses eksploi- tasi dan ekstrasi kolonial. Dikotomi sektor modern-tradi- sional membenarkan hubungan eksploitatif antara penguasa kolonial dan tanah jajahan. Eksploitasi sumber- daya tanah dan tenaga kerja yang melimpah di sektor tradisional untuk penyelenggaraan produksi pasaran Eropa menjadi kebijaksanaan politik perekonomian kolonial. Komoditas tertentu yang dihasilkan dalam produksi

perkebunan serta dilakukan dalam sistem tertentu (non-

enclave, misalnya) justru mempertahankan ekonomi tradi- sional dan ekonomi persawahan sebagai katup penyelamat bagi tenaga kerja perkebunan. Bagi perkebunan, hal itu tentu menguntungkan karena dapat menekan biaya tenaga kerja mereka.

43op.cit., hlm 8

44 Saturnino Jr. Borras, Agrarian Change and Peasant Studies: Changes

Continuities and Challenges An introduction. Journal of Peasant Studies, Juni 2009.

Sartono memberi ilustrasi bagaimana antara sistem mod- ern perkebunan memanfaatkan sistem kekuasaaan tra- disional. “Di daerah Priyangan ini, kopi ditanam di kebun- kebun yang dibuat di tanah-tanah hutan yang belum dibuka, yang dikerjakan dengan menggunakan pekerja wajib. Organisasi pelaksanaannya diserahkan kepada para bupati, dan dilakukan menurut sistem feudal. Sekalipun demikian VOC juga mengangkat beberapa orang pengawas Belanda untuk mengawasi jalannya produksi dan penye- rahannya kepada VOC termasuk mengawasi penguasa- penguasa pribumi. Melalui sistem paksa penduduk diwa- jibkan untuk mengerjakan pekerjaan rodi untuk pembukaan lahan, penggarapan lahan, penanaman biji kopi, peme- liharaan, dan pemanenan, serta pengangkutan produksi dari kebun ke tempat penimbunan yang telah ditetapkan. Dari kopi yang diserahkan penduduk setempat, bupati kemudian meneruskannya untuk diserahkan kepada pihak VOC, sebagai produksi penyerahan wajib. VOC memberi- kan perhitungan pembayaran biaya penanaman, pengang- kutan, dan kelebihan jumlah dari yang ditetapkan, serta premi bagi bupati sendiri. Menurut ketentuan bupati mene- ruskan pembayaran kembali itu kepada penduduk yang bersangkutan melalui pegawai yang ada di bawahnya. Sis- tem penanaman wajib atau paksa yang dilakukan VOC di daerah Priyangan mendatangkan keberhasilan besar dalam mendatangkan produksi kopi yang berlaku di pasaran Ero- pa, sehingga mampu mengungguli kopi dari Yaman, yang semula menjadi daerah ekspor kopi untuk pasaran Eropa. Pelaksanaan penanaman kopi paksa yang dilakukan di Priyangan itu kemudian dikenal menjadi Sistem Pri-

yangan(Prijanganstelsel)”.45

e) Tentang Tanah Partikelir

Menarik mengikuti analisanya tentang tanah partikelir. Sartono dan Djoko Suryo menunjukkan bahwa VOC sebagai “armada dagang” melakukan penyelenggaraan persewaan

desa dan tanah partikulir (Particuliere Landerijen).46 Praktek

persewaan desa dilakukan dengan cara menyerahkan sejumlah desa kepada orang-orang Cina dengan pemba- yaran uang sewa. Desa-desa itu disewakan dalam jangka waktu tertentu, misalnya, 3, 5, 8, atau 10 tahun. Selama jang- ka waktu persewaan itu, pihak penyewa memiliki keku- asaan untuk menarik penghasilan dari desa itu, yang semula diserahkan kepada pemerintah. Hak atau kekuasaan itu diartikan secara luas, sehingga penyewa dapat menuntut penyerahan hasil bumi, misalnya beras dan hasil tanaman lain, dan jasa dari penduduk desa setempat. Bentuk perse- waan semacam itu juga dikenal di daerah kerajaan, yang

biasanya dilakukan oleh pemegang tanah apanage (lung-

guh/tanah jabatan).

Disebutkan pula bahwa pada akhir abad ke 18 terjadi prak- tek persewaan desa secara besar-besaran. Pada sekitar tahun 1800, VOC menyewakan sejumlah desa-desa di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah sekitar Batavia (Jakarta), kepada orang-orang partikelir (swasta). Dilaporkan pada

45Ibid. hlm 34

46 Bandingkan keberadaan armada dagang VOC dengan berbagai peru-

sahaan Transnational Corporation atau Multinational Corporation saat ini ,atau perusahaan parastatal seperti perhutani dan PTPN.

tahun 1776, di daerah pantai utara Jawa bagian timur ter- dapat 1134 desa yang disewakan VOC kepada orang asing (Cina). Di daerah yang sama, pada tahun 1803, disebutkan bahwa dari 16.083 desa terdapat 1146 (96%) yang disewakan kepada orang-orang partikelir, terutama kepada orang Cina. Selain beras, daerah pedesaan yang disewakan itu meng- hasilkan produksi gula, garam, nila, lada dan lainnya. Desa persewaan juga banyak yang digunakan untuk kepentingan usaha penanaman dan penggilingan tebu. Penanaman dan usaha penggilingan tebu itu banyak dijumpai di daerah desa persewaan, misalnya, di daerah Jepara, Juana, Cirebon, dan sekitar Batavia. Usaha ini banyak dilakukan oleh orang

Cina.47

Tanah partikelir nyaris menjadi negara dalam negara. Di dalam sistem itu ada penduduk, aturan-aturan, penguasa, bahkan kelembagaan desa di dalamnya. Ironis sekali, mes- kipun sistem tanah partikelir telah dihapuskan pada awal kemerdekaan, namun eksistensinya bermetamorfosa menjadi sistem baru bernama “Kawasan Hutan” yang rezim penguasaannya di bawah departemen kehutanan atau Perhutani. Sistem ini memandang hutan sebagai ruang yang mencakup di dalamnya masyarakat adat, bukan sebaliknya, masyarakat adatlah yang sejak zaman dahulu memandang hutan sebagai ruang hidup sekaligus sumber penghidupan dalam mereka mencari pangan. Akibatnya, pengusiran terhadap masyarakat terjadi. Tatkala kawasan itu dilakukan

eksploitasi (logging atau penambangan) maka bisa dilaku-

kan tukar guling dengan masyarakat adat atau sekaligus 47Ibid., hlm 38-39

mengusirnya. Hal demikian menyerupai jual beli tenaga kerja di dalam tanah partikelir.

Dari beberapa contoh isu agraria yang disajikan di atas ter- lihat bahwa nasib kehidupan agraria Indonesia belum berubah dari gambarannya di era kolonial bahkan lebih bu- ruk darinya. Modus perusakan yang dilakukan oleh sistem ekonomi kapital asing maupun domestik terjadi dengan cara-cara yang semakin canggih dalam bentuk sistem eko- nomi, peralatan, dan sistem pengetahuannya. Negara seba- gai pengurus negeri seakan-akan absen menghadang modus perusakan itu terjadi. Bahkan seringkali negara turut memfasilitasinya. Entah bagaimana dengan kalangan akademisnya.

C. Penulisan Sejarah Indonesia: Mmenuju “The New History”