• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran-saran

Dalam dokumen Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde B (Halaman 143-163)

BAB V PENUTUP

B. Saran-saran

Ada tiga saran yang diajukan berkenaan dengan kajian terhadap ekspresi sikap dan pemikiran Kuntowijoyo ini. Pertama, sebagaimana cendekiawan Muslim Indonesia lainnya yang tidak memiliki karya utuh mengenai tafsiran pemahamannya terhadap Islam, begitu pun Kuntowijoyo. Akibatnya, para akademisi dan intelektual yang lain hanya bisa mengutip potongan-potongan gagasan Kuntowijoyo, tanpa bisa menerapkannya ke dalam suatu praktik intelektual. Akan lebih efektif dan pengaruhnya akan berbeda, jika Kuntowijoyo berhasil mengelaborasi gagasannya secara mendalam dalam sebuah karya yang utuh dan komprehensif.

Kedua, meski menawarkan gagasan alternatif Ilmu Sosial Profetik, Kunto sendiri belum menerapkannya untuk merumuskan teori-teori sosial berdasarkan ayat-ayat Alquran (paradigma Islam). Yang dilakukannya barulah sebatas membuat peta dan memberikan gambaran arah. Jika Kunto berhasil mengaktualisasikan gagasannya itu, masyarakat tentu akan lebih paham mengenai gagasannya tersebut dan tentunya akan bisa menerapkannya.

Ketiga, Kuntowijoyo belum sempat menyebarkan gagasannya secara luas

dan tunt as karena tidak memiliki wadah aktivisme intelektual yang personal sifatnya, sebagaimana Nurcholish Madjid memiliki Yayasan Paramadina atau M. Dawam Rahardjo yang memiliki LP3ES dengan Jurnal Prisma dan kemudian LSAF dan Ulumul Qur’an-nya. Komunitas intelektual sangat diperlukan bagi Kunto untuk tidak hanya menyebarkan ide-ide barunya, tetapi bahkan menggodok ide tersebut agar matang dan teruji secara ilmiah: filosofis, epistemologis, dan metodologis.

134

BUKU

Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.

Achmad, Amrullah, ed. Dakwah Islam Dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M,1983.

Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi

Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.

Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik

Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1982.

Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Effendi, Djohan dan Natsir, Ismed. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES, 2003.

Emmerson, Donald K, ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia, 2001.

al-Faruqi, Isma’il Raji. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1984.

Frans Husken, dkk, ed. Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial: Indonesia Di Bawah Orde Baru. Jakarta: Grasindo, 1997.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Penerjemah. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.

Giddens, Anthony. Sociology: A brief but critical introduction. United States of America: Harcourt Brace Jovanovich, 1982.

Giddens, Anthony dan Held, David, ed. Perdebatan Klasik dan Kontemporer

Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik. Penerjemah. Vedi R. Hadiz.

Jakarta: CV. Rajawali, 1987.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Penerjemah. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI-Press, 1986.

Hadijaya, ed. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Harun, Lukman. Muhammadiyah Dan Asas Pancasila. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.

Harun, HM. Shaleh dan Mulkhan, Abdul Munir. Latar Belakang Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal: Sebuah Kajian Informatif

Pandangan NU-Muhammadiyah. Yogyakarta: Aquarius, 1986.

Ibrahim, Ahmad, dkk, ed. Reading on Islam in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southest Asian Studies, 1985.

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994.

---. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1996. ---. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, Edisi

Paripurna.

---. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

---. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993. ---. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995. ---. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1993. ---. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak, 2004.

---. Demokrasi dan Budaya Demokrasi. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994.

---. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan, 2002.

---. Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa. Yogyakarta: Mizan, 2005.

---. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.

---. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan, 2001.

---. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: Matabangsa, 2002.

Liddle, R. William. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Sinar Harapan, 1997. Lubis, T. Mulya, dkk. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesi 1981.

Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1987.

Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.

Mallarangeng, Rizal. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: Freedom Institute, 2004.

Marx, Karl dan Engels, Friedrich. The Communist Manifesto. England: Penguin Books, 1985.

Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, 1989.

Moore, Jr, Barrington. Social Origins of Dictatorship and Democracy. USA: Penguin University Books, 1974.

Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan Dalam Islam. Yogyakarta: Sipress, 1994.

Mulder, Niels. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1985. Nakamura, Mitsuo. Bulan Sabit Muncul dari Pohon Beringin. Penerjemah.

Yusron Asrofie. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983. Nasution, Harun, Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.

Niel, Robert van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Penerjemah. Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.

---. Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Pengkhidmatan, 1984. Rais, M. Amien, ed. Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta:

Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1993.

---. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Penerjemah. Satrio Wahono, dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad 20. Jakarta: Serambi, 2004.

Schumann, Olaf. Keluar Dari Benteng Pertahanan. Jakarta: Grasindo, 1996. Sugito, Zen Rachmat, ed. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta:

Ekspresi Buku, 2005.

Tanter, Richard dan Young, Kenneth, ed. Politik Kelas Menengah Indonesia. Penerjemah. Nur Iman Subono, dkk., Jakarta: LP3ES, 1996.

Weber, Max. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press, 1958.

SKRIPSI DAN TESIS

Hakim, Sudarnoto Abdul. “The Partai Persatuan Pembangunan: the Political Journey of Islam under Indonesia’s New Order (1973-1987).” Tesis Master, McGill University, 1993.

Herudin, "Pemikiran Keagamaan dan Politik Kuntowijoyo." Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005.

Nurizun, Abdul Aziz. "Pandangan Kuntowijoyo tentang Transformasi Sosial Politik Umat Islam Indonesia." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006.

Pramono, Wahyudi. "Paradigma Alquran untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Analisis Kuntowijoyo." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1998.

JURNAL, MAJALAH, KORAN, DAN INTERNET

Ali-Fauzi, Ihsan. “Pemikiran Islam Indonesia Dekade 1980-an,” Prisma, no. 3 (Maret 1991).

Anwar, M. Syafi’i. “Islam, Negara, dan Formasi Sosial dalam Orde Baru: Menguak Dimensi Sosio-Historis Kelahiran dan Perkembangan ICMI,” Suplemen dalam Ulumul Quran III, no. 3 (1992).

Bulkin, Farchan. "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian," Prisma, no. 2 (Februari 1984).

Burhanudin, Jajat. “Pasang Surut Industri Batik Kaum Santri Pekajangan,” Ulumul Qur’an III, no. 3 (1992).

Effendy, Bahtiar. “Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,” dalam Prisma, no. 5 (1995).

Hadi W.M., Abdul. “Kembali Ke Akar Tradisi: Sastra Transendental Dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Ulumul Qur’an, no. 3 (1992).

Hadimulyo, “Kelas Menengah, Kelas Apa?”, Sebuah tinjauan atas buku Classes

in Contemporary Capitalism (Nicos Poulantzas) dalam Prisma, no. 2

(Februari 1984).

Ma’arif, Ahmad Syafii. “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin,” Prisma, no. 5 (1988).

Muhaimin, Yahya. “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” Prisma, no. 3 (Maret 1984).

Mujani, Saiful. “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi: Sebuah Telaah Awal,” Prisma, no. 1 (Januari 1993).

Mujani, Saiful. “Kultur Kelas Menengah dan Kelahiran ICMI,” Studia Islamika, no. 1 (April-Juni 1994).

Noer, Deliar. “Islam dan Politik: Mayoritas atau Minoritas,” Prisma, no. 5 (1988). Rekaman Peristiwa ’84, Penerbit Sinar Harapan, 1985.

Rekaman Peristiwa ’87, Penerbit Sinar Harapan, 1988. Rekaman Peristiwa ’88, Penerbit Sinar Harapan, 1989.

"Sejarawan dan Budayawan Meninggal Dunia," Artikel diakses pada 7 Desember 2006 dari http:/ Subhan, Arief. “Dr Kuntowijoyo: Alquran Sebagai Paradigma,” Ulumul Qur’an,

Sutrisno, Loekman. “Pergeseran dalam Golongan Menengah di Indonesia,” Prisma, no. 2 (Februari 1984).

Tamara, Nasir. “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” Prisma, no. 5 (1988). Ulumul Qur’an, no. 3 (1994).

Wawancara Prisma dengan Abdurrahman Wahid, “Politik Sebagai Moral, Bukan Institusi,” dalam Prisma, no. 5 (Mei 1995).

Wawancara Prisma dengan Masdar F. Mas’udi, “Islam Butuh Penyadaran Kultural Secara Kritis,” dalam Prisma, no. 5 (Mei 1995).

Wawancara Prisma dengan M. Amien Rais, “Pemikiran Islam Tidak Pernah Mandeg,” dalam Prisma, no. 5 (Mei 1995).

WAWANCARA

Wawancara Pribadi dengan Susilaningsih, Yogyakarta, 13 Juli 2007. Wawancara Pribadi dengan Djoko Suryo, Yogyakarta, 13 Juli 2007. Wawancara Pribadi dengan A. Adaby Darban, Yogyakarta, 13 Juli 2007. Wawancara Pribadi dengan AE. Priyono, Depok, 7 Juli 2007.

140

WAWANCARA DENGAN AE. PRIYONO

(Editor Buku Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia dan

Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi)

Tes : Bagaimana Anda memandang Pak Kuntowijoyo (PK)?

AE : Yang jelas pikiran-pikirannya tentang Islam sangat dipengaruhi oleh latar belakang penggelapan sejarah, dan dia cukup memahami itu. Jadi kira-kira yang menjadi karakter umum pikiran-pikiran beliau adalah mengenai sejarah sosial Muslim. Dan dalam konteks itu, gerakan-gerakan Muslim itu dipetakan.

Tes : Karakter utama pemikiran PK?

AE : Sejauh yang saya tahu, beliau sebetulnya Parsonian. Beliau misalnya melihat tahap-tahap perkembangan pemikiran Muslim dari mitos menjadi ideologi lalu ke ilmu. Itu sebetulnya pendekatan Parsonian tentang tahap-tahap pengetahuan masyarakat.

Tes : Bukannya dia Weberian juga?

AE : Ya, baliau Weberian sekaligus. Pokoknya mazhab Weberian. Di sana ada Parson, ada sedikit Berkeley. Dan juga yang terutama, kalau yang tiga tahap perkembangan pemikiran itu kan dari Parson. Dan beliau menggunakan pendekatan itu untuk melihat penciptaan sejarah sosial Muslim tertutama pada aspek pengetahuannya. Nah, dalam imajinasi beliau itu, umat Islam itu sebetulnya secara bersamaan masih terbagi atau masih terkotak-kotak ke dalam tiga jenis kelompok pengetahuan itu. Ada yang masih kita temukan sangat mistis yang ditemukan di berbagai tempat. Ada yang masih sangat ideologis. Ada yang, meskipun lebih sedikit, berbasis pada ilmu pengetahuan. Tiga jenis klasifikasi Parsoniannya itu, itu mempengaruhi perilaku. Nah, yang menurut dia tahap tertinggi itu, Islam dilihat sebagai ide dalam ilmu pengetahuan.

Tes : Dalam sejarah, apa sebenarnya kecenderungan utama pemikiran PK? AE : Kita tidak bisa mengeneralisasi begitu ya. Tapi yang jelas, itu juga ada kaitannya dengan klasifikasi sosial, kelas, juga budaya. Jadi, untuk melihat secara general bagaiman karakter kaum Muslim di Indonesia, kita tidak bisa membikin generalisasi. Yang jelas, ketiga jenis pengetahuan itu punya korelasi dengan basis sosialnya, basis ekonominya, dan basis kebudayaannya. Jadi kalau dibikin matriks, ya bisa saja. Misalnya, kolom pertama yang mitos, kolom kedua ideologi, dan kolom yang ketiga ide. Itu di-cross dengan yang basis sosial, basis ekonomi, kemudian basis budaya. Nah, yang sangat besar, menurut saya adalah kalau dilihat pakai matrik itu, adalah antara mereka yang masih berpikir mitis dan berada pada kelas bawah dengan kebudayaan yang masih tradisional.

Tes : Kalau dibandingkan dengan mazhab sosialnya Sartono?

AE : Itu satu mazhab. Sartono Kartodirdjo itu kan dipandang sebagai pelopor sejarah sosial di Indonesia. Nah, PK itu salah satu muridnya. Dan rekomendasi dia ke Columbia untuk mengambil sejarah, saya kira datang dari latar belakang gurunya itu.

Tes : Kalau tranformasi Islam menurut PK?

AE : Begini, kalau dikaitkan dengan gagasan intinya PK, untuk perkembangan gerakan Muslim yang berbasis pada ide, pada ilmu pengetahuan, dia sebetulnya membagi tiga tahap evolusi, tiga tahap transformasi. Pertama, dari berpikir subjektif ke objektif. Kedua, dari ideologi ke ilmu. Yang ketiga partikularisme ke universalisme. Pokoknya, dia meletakkan kerangka ideal ideologi gerakan Muslim, itu dengan tiga pendekatan itu, yang disebut sebagai jurus baru gerakan Islam. Jadi, bagaimana misalnya berpikir subjektif ke objektif. Jadi, Islam itu jangan dianggap berlakunya hanya di kalangan Muslim saja, tapi gagasan-gagasan intinya, sebetulnya berlaku universal, meskipun dalam bahasa-bahasa yang spesifik. Ya, tugas Muslim itu seharusnya, menjadikan yang partikular itu menjadi yang universal, dengan melakukan yang disebut decoding. Jadi, melakukan objektivikasi itu istilahnya, dari gagasan-gagasan yang subjektif, yang partikular, yang hanya bersifat khusus di kalangan Muslim, menjadi berlaku umum, general, dan universal.

Tes : Yang membedakan dengan pemikir pembaharu Islam lainnya, seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam dan lainnya?

AE : Masing-masing punya tekanan.

Tes : PK kita masukkan ke universalisme, sosial-demokrat, atau ke modernis? AE : Menurut saya, beliau lebih transformis. Jadi, kalau dibandingkan dengan Cak Nur, beliau kan pada wilayah pembaharuan ide, pembaharuan pemikiran, dan pada doktrin. Itu wilayah epistemoligi. Kemudian Dawam pada strukutur. Nah, kalau PK saya kira mengawinkan antara bagaimana gagasan-gagasan politik Muslim dikaitkan dengan gerakan sosialnya. Memang, beliau bukan aktivis. Beliau hanya memikirkan yang ide, dan tidak mempraktikkannya. Ya, sebagai eksperimen.

Tes : Beliau ini sebagai intelektual yang sejarawan, sosiolog, atau budayawan? Bisa dipetakan seperti itu?

AE : Ya, beliau ini punya kategori semua. Beliau sejarawan yang dikenal bukan hanya di tingkat nasional, tapi beberapa komunitas ahli sejarah dunia, terutama sejarah Asia. Beliau termasuk salah satu yang terkemuka. Terus, dia juga sebagai budayawan. Tapi saya tidak cukup mengamati sisinya sebagai budayawan. Sebagai sastrawan puisinya juga bagus-bagus, novelnya, cerpen-cerpennya juga eksperimental. Dan dia punya karakter tersendiri.

Tes : Posisi PK dalam arus kelas menengah santri pada masa Orde Baru? AE : Yang jelas, beliau bisa kita sebut sebagai akademisi. Beliau intelektual berbasis akademis, bukan intelektual organis. Tapi punya konsen yang tinggi pada perubahan sosial dan eksperimen-eksperimen. Meskipun beliau tidak punya cukup waktu saya kira untuk bereksperimen langsung. Beliau berprofesi di kampus dan memiliki pengetahuan akademis yang luas. Dan hasil-hasilnya, sebetulnya relevan untuk dikerjakan oleh kelompok-kelompok gerakan selanjutnya.

Tes : Lalu, sebagai orang Muhammadiyah?

AE : Saya kira, dia itu hanya menjadi rumah saja. Tapi, apakah rumah itu betul-betul dikembangkan, saya tidak cukup tahu.

Tes : Tapi bahwa beliau aktif?

AE : Yang jelas, sejak PK itu, ideologi sekterarian Muhammadiyah tidak terlalu menonjol. Misalnya, dalam hubungan dengan kelompok NU, misalnya, karena beliau juga mengapresiasi tradisi-tradisi Muslim sebelumnya. Beliau salah satu penganjur agar Muhammadiyah tidak terlalu berideologi anti tahayul, bid'ah, khurafat. Karena di dalam praktik-praktik yang di sebut itu, sebenarnya terkandung revolusi kebudayaan. Misalnya, tahlilan. Itu punya fungsi sosial, fungsi kultural, dan itu penting. Kalau pahamnya yang ortodoks Muhammadiyah, ortodoks pembaharu, kan melihat sisi ritualnya saja. Nah, PK memperkenalkan dan mencoba mengapresiasi pada sisi yang lainnya. Bahwa, tahlilan dan yang lainnya itu masih punya fungsi untuk mempererat solidaritas sosial. PK juga meneliti warisan-warisan kesenian, yang sebenarnya tradisi non-Muhammadiyah. Beliau mengapresiasi. Misalnya, ada salah satu bentuk-bentuk ekspresi kesenian Muslim di Yogyakarta yang sebenarnya ditentang oleh gerakan-gerakan militan Muhammadiyah, tapi dihargai PK dan ada diskusi internal. Pendekatannya jangan terlalu tradisi. Tetap ada sumbangan Islam, meskipun melalui jalan yang berbeda. Tes : PK dipengaruhi atau mempengaruhi Muhammadiyah?

AE : Sebenarnya, saya tidak terlalu sreg untuk melihat PK sabagai seorang Muhammadiyah. Meskipun dia di situ, tapi saya kira, fungsinya atau peranannya terbatas pada elite-elite tertentu saja, bukan gerakan Islam. Karena misalnya, Muhammadiyah juga tidak bisa menghindar dari arus kapitalisme internalnya, dijadikan usaha-usaha bisnis.

Tes : Itu dikritik juga oleh Kuntowijoyo?

AE : Meskipun saya tidak pernah mendengarnya secara eksplisit, tapi dia punya catatan tentang itu. Tapi karena dia juga di situ, saya kira tidak begitu cukup intensif. Profesi yang dia tekuni itu kan di dunia kampus, dan bukan di gerakan sosial.

AE : Oh, beliau keras. Saya mencatat misalnya, minimal ada tiga yang dianggap sebagai kritisisme PK yang sangat canggih. Pertama, ketika Orde Baru memperlakukan kelompok Muslim sebagai kelompok ideologis. Dan itu dilakukan oleh tentara, dengan berbagai pendekatan represifnya: kritik itu mulai dari kasus Tanjung Priok sampai kasus Lampung. Dia tidak bisa mentolerir kebijakan Orde Baru yang melihat kelompok Islam sebagai kelompok ideologis yang dihadap-hadapkan dengan Pancasila. Sehingga, pernah dari kritik itu dia memperkenalkan apa yang disebut Pancasila sebagai ideologi terbuka. Akhirnya juga oleh Cak Nur. Dan itu pernah ramai diperdebatkan sebagai wacana publik. Yang kedua, soal modal. Jadi, ini soal kebijakan ekonomi Orde Baru. Tidak bisa kapitalisme diterapkan oleh negara. Tapi harus secara egaliter disebarkan sebagai modal bagi kekuatan-kekuatan ekonomi yang berbasis sosial. Kalau gejala konsentrasi ekonomi itu hanya terkonsentrasi di kelas-kelas tertentu, kelas-kelas elite, birokrat istilahnya, itu pasti akan membawa dampak pada mengerasnya pasar. Dan beliau mengingatkan ketika itu pasti akan terjadi konflik elite-massa.

Kemudian yang ketiga, ketakutan militer abangan, ketakutan kapitalis sekuler atau kelas menengah non-santri yang membuat mereka kemudian hanya memberi tekanan memicu di sektor-sektor kelas yang non-Muslim. Kalau pendekatannya seperti ini terus, nanti konflik kelas itu akan terjadi.

Untuk kritik internalnya terhadap kaum Muslim adalah agar gerakan Islam mentransformasi dari ideologi ke ilmu pengetahuan. Melakukan objektivikasi, dan itu universalisasi.

Tes : Kalau dalam konteks Islam, PK itu moderat, liberal, atau fundamentalis? AE : Kalau fundamentalis jelas bukan. Mengatakan dia seperti Cak Nur yang lebih pro-sekularisasi, juga bukan. Saya kira, dia berada di tengah-tengah. Meskipun dia belum cukup tuntas juga mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Yang jelas, gagasannya mengenai partikularisme Islam itu harus diobjektivikasi menjadi nila-nilai universal yang dilakukan oleh semua orang. Itu yang akhirnya mengkritik sekularisme sekaligus juga mengkritik liberalisme Islam.

Tes : Kenapa Paradigma Islam?

AE : Dulu kami pernah mendiskusikan itu. Kemudian titik temunya dari interpretasi menuju aksi. Jadi, kalau melihat karakter pemikiran beliau yang Weberian, sangat percaya pada ide, meskipun berbeda dengan Cak Nur, baginya, ide itu yang menjadi primakausa dari berbagai macam perubahan yang terjadi. Tes : Berarti kalau dia melihat perubahan sejarah Indonesia, sebenarnya yang menjadi motor penggerak sejarahnya itu adalah orang atau ide?

AE : Tidak bisa didikotomikan seperti itu. Anda membaca Bordieu? Meskipun saya kira PK tidak pernah mengutip itu, tapi ada kemiripan. Jadi, bagi Bordieu kan yang penting ada empat jenis modal. Modal sosial, modal budaya, modal ekonomi, dan modal simbolik. Saya kira, PK sangat berkonsentrasi pada apa yang disebut modal simbolik. Dari wawasan ilmu pengetahuan yang kemudian harus dikonkretkan menjadi modal sosial, modal budaya.

Tes : Sebenarnya, pemikirannya selesai belum dengan buku Paradigma Islam? AE : Yang jelas sampai akhir hayatnya dia masih mempunyai konsen yang besar, terutama kritik-kritik terhadap euforia reformasi. Dan pada ekspresi politik partai-partai yang mewakili kepentingan Islam yang menurut dia kepentingan kaum Muslim itu tidak bisa dilihat sebagai kepentingan partikular. Karena, kaum Muslim sebagai mayoritas mewakili bangsa. Kalau ekspresi politik Muslim hanya dibatasi pada partai-partai, itu sebetulnya harus dicurigai. Apakah mereka juga memikirkan tentang kebangsaan? Padahal menurut PK, antara umat dan kebangsaan itu sebetulnya satu unit yang tidak bisa didikotomikan. Apalagi dalam posisi sebagai mayoritas. Kalau berpikirnya hanya umat saja, wacana kebangsaan akan dicaplok oleh kelompok sekular. Oleh karena itu, perlu dirumuskan ekspresi politik Muslim yang lebih objektif, yang lebih universalis. Dan dia tidak setuju dengan partai-partai Islam.

Tes : Sebagai orang Jawa, berpengaruh terhadap pemikiran PK?

AE : Saya kira itu pertanyaan yang spekulatif juga. Karena, Jawa seperti dalam trikotominya Geertz itu, dia sebetulnya punya elemen ketiga-tiganya. Elemen santri beliau ada, elemen abangannya beliau juga ada, priyayi juga ada. Jadi sebagai orang Jawa, dia mewakili ketiganya sekaligus. Beliau mewakili salah satu kaum literati Muslim yang progresif. Kelas menengah dalam pengertian itu tidak bisa di-attach ke dalam posisi sosial-ekonomi. Tapi lebih pada pengetahuan. Tes : Kalau di bidang historiografi, kenapa beliau tidak mengisi itu, seperti Sartono yang menulis Historiografi Indonesia?

AE : Saya juga tidak tahu. Dia sibuk penelitian waktu di kampus, sehingga untuk menulis buku sendiri yang cukup fenomental, tidak cukup punya waktu. Meskipun dia punya keinginan untuk menulis beberapa topik, misalnya tentang sejarah sosial Islam. Saya sempat mendengar, tapi belum sempat ditulis yaitu ada dua hal: sejarah sosial umat dan filsafat sejarah Islam.

WAWANCARA DENGAN DJOKO SURYO (Sejarawan UGM, rekan dan teman kuliah Kuntowijoyo)

Tes : Secara pribadi, bagaimana hubungan Anda dengan Pak Kunto (PK)?

Dalam dokumen Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde B (Halaman 143-163)

Dokumen terkait