• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dan Negara

Dalam dokumen Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde B (Halaman 122-133)

BAB IV PANDANGAN KUNTOWIJOYO TENTANG ISLAM

B. Islam dan Negara

tidak dijumpai dalam pemikiran Kuntowijoyo.

64 Ibid., hal. 14-16. Untuk melampaui jarak sosio-historis dari teks yang merujuk ke gejala-gejala sosial lima belas abad yang lalu di Arab dan menerapkannya pada konteks sosial masa kini dan di sini, Kunto mengusulkan digunakannya metode Strukturalisme Transendental. Kunto memahami strukturalisme sebagai jaringan unsur-unsur yang dimengerti melalui keterkaitan (inter-connectedness) antarunsur, adanya kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity), serta keterkaitan antarunsur yang berupa pertentangan antara dua hal (binnary opposition). Sementara transendental dipahami dalam pengertian melampaui: bahwa ajaran-ajaran sosial Islam dapat diterapkan dalam kondisi umat masa kini, meski berjarak secara sosio-historis dan geografis dengan konteks Alquran dan Sunnah. Untuk penjelasan yang komprehensif mengenai metode ini, lihat Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 9-29.

65

Ciri-ciri ideologi dan karakter pemikiran kelas menengah santri masa Orde Baru ini dapat dilihat dalam bab 2 skripsi ini, hal. 55-65.

66 Penggolongan ini utamanya dilakukan oleh Saiful Mujani. Lihat bab 2 skripsi ini, hal. 64, juga pada bab 3, hal. 95-97.

Pada bagian ini akan dilihat bagaimana pandangan Kuntowijoyo tentang hubungan Islam dan negara yang meliputi pandangannya tentang ideologi Pancasila dan akhirnya juga pandangannya terhadap demokrasi.

Secara historis, kesadaran umat sebagai warga negara muncul sesudah 1942, terutama setelah 1945, yang diaktualisasikan oleh Masyumi ketika memainkan peranannya sebagai wakil terbesar umat Islam dalam masa-masa awal berdirinya negara Indonesia, di mana ketika itu umat masih dalam tahap ideologi. Apa yang dilakukan oleh Mohamad Natsir dan Mohammad Roem dalam mengusung negara berdasarkan Islam, bagi Kunto, adalah tuntutan zamannya yang tidak bisa dipersalahkan.68 Cita-cita politik Islam sebelum Orde Baru memang bisa dilihat dari perjuangan para pemimpinnya yang menyatakan bahwa negara (kekuasaan politik) amat diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan kolektif.69 Inilah idealisme dan aktivisme Islam politik yang bercorak legalistik dan formalistik, sehingga artikulasi yang muncul adalah antagonisme politik antara Islam dan negara.70

Effendy melihat bahwa strategi pol itik Islam di masa lalu ditandai oleh dua karakter utama: (1) politik partisan, dan (2) parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan. Sementara strategi politik Islam di masa Orde Baru yang dikembangkan oleh generasi baru Muslim, lebih bersifat inklusif, integratif, dan diversifikatif. Agenda mereka meliputi soal-soal besar, termasuk demokratisasi,

68 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 37.

69 Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin,”

Prisma, no. 5, 1988, hal. 25.

toleransi politik dan agama, egalitarianisme sosial-ekonomi, dan partisipasi politik.71

Strategi tersebut di ataslah yang kerap dikemukakan Kunto dalam tulisan-tulisannya sebagai salah seorang intelektual Muslim generasi baru. Kunto melihat bahwa sekarang umat telah memasuki zaman ide, di mana Islam diharapkannya bukan lagi sebagai ideologi, melainkan sebagai konsep-konsep teori. Kunto melihat politik bukan sebagai determinan dalam proses sejarah; dia melihat idelah yang bisa memiliki jangkauan panjang, terbuka, dan kuat.72 Bila pada zaman ideologi yang menjadi kata kunci adalah negara, dan usaha yang terpenting adalah mobilisasi massa, maka pada zaman ide yang menjadi kata kunci adalah sistem, dan usaha yang terpenting adalah partisipasi (program).73

Sampai di sini jelas kiranya bahwa Kunto menerima kehadiran negara sebagai gejala objektif dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam Indonesia.

74

Sebagaimana pendahulunya, seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib, yang tidak mempermasalahkan corak dan bentuk politik serta pemerintahan yang berupa negara nasional, agaknya, begitu pun Kuntowijoyo. Harun misalnya, mengatakan bahwa Tuhan hanya menurunkan ayat-ayat yang mengandung prinsip-prinsip dan dasar-dasar, bukan peraturan-peraturan terperinci, sehingga pelaksanaannya senantiasa mengalami penyesuaian dengan kondisi zaman dan tempat, begitu juga pilihan bentuk pemerintahannya.75

71 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,” dalam Prisma, no. 5, 1995, hal. 23.

72Ibid., hal. 38.

73 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 30-35. 74 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 71. 75 Nasution, Islam Rasional, hal. 224-231.

Pandangan serupa dilontarkan oleh Ahmad Wahib. Dia bahkan sampai pada kesimpulan bahwa

negara teokratis seperti yang pernah dipraktikkan Nabi Muhammad dan Khalifah Rasyidin adalah sesuai dengan tuntutan zaman waktu itu, namun bukan merupakan bentuk yang efisien untuk kompleksitas masyarakat sekarang ini.76

Sejalan dengan itu, Kunto berpendapat bahwa dalam negara industrial, dikotomi bentuk negara tidak perlu, demikian juga dikotomi antara Negara Islam dan Negara Kebangsaan sebagaimana yang pernah dibuat oleh Abul A’la al-Maududi, hanyalah sebuah konstruksi tipe ideal. Karena sesudah Nabi dan Khalifah Rasyidin tidak ada lagi Negara Islam, yang ada adalah imperium, dinasti, dan kerajaan. Sementara negara nasional sendiri baru terbentuk di Eropa pada abad 19. “Bagaimana orang bisa membuat perbandingan tentang bentuk negara dari dua kurun sejarah dan latar belakang sosial yang berbeda jauh?” tanyanya.77

Abdurrahman Wahid bahkan sampai pada pandangan bahwa Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Menurutnya, kita tidak usah mencari-cari negara ideal menurut Islam karena memang Islam tidak menyebutkan soal negara ideal. Islam menjadi besar kalau ia tidak menampilkan wajah politik melainkan mengutamakan wajah moralnya. Dengan kata lain, Islam mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi.78

76

Djohan Effendi dan Ismed Natsir, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 116.

77 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 72.

78 Wawancara Prisma dengan Abdurrahman Wahid, “Politik Sebagai Moral, Bukan Institusi,” dalam Prisma, no. 5, Mei 1995, hal. 68-69.

Sejalan dengan pendapat Wahid, Masdar F. Mas’udi yang memahami Islam dalam tataran kenegaraan dan kemasyarakatan dengan makna adil, mengartikan negara Islam secara sosiologis sebagai negara yang adil. Terlepas siapa presidennya dan apa sistem

kelembagaannya.79 Sementara Amien Rais berusaha menghindari pembicaraan tentang negara karena akan berkaitan dengan kekuasaan dan atribut-atribut formal, seperti ideologi, konstitusi, dan lain-lain. Amien lebih mengajak untuk melihat dalam konteks masyarakat. Karena menurutnya masyarakat itu infrastruktur, yang akan merefleksikan bangunan atasnya, yakni kekuasaan politik; masyarakat yang kuat akan merefleksikan bangunan politik yang kuat.80

Dari analisa historisnya terhadap sejarah umat Islam, Kunto menemukan hubungan umat Islam yang teralienasi dan kemudian beroposisi terhadap negara. Pola hubungan yang seperti ini pula yang dilihatnya di masa Orde Baru, hingga akhirnya dipatahkan dengan kebijakan akomodatif Orde Baru, yang disimbolkan dengan berdirinya ICMI pada tahun 1990. Kunto berkesimpulan bahwa partisipasi umat Islam dalam pengalaman politik senantiasa mengalami pasang surut, bergantung pada hubungannya dengan kekuatan politik dominan.

81

Seraya mengkritik teori negara sebagai instrumen dan negara sebagai subjek,82 Kuntowijoyo menegaskan bahwa negara nasional adalah negara yang didasarkan pada nilai yang universal dan abstrak, dalam hal ini Pancasila. Negara nasional didirikan atas persaudaraan baru yang menghilangkan kelompok-kelompok vertikal dan horizontal, dan mengelola ketegangan dengan partisipasi politik semua warga negara.83

79 Wawancara Prisma dengan Masdar F. Mas’udi, “Islam Butuh Penyadaran Kultural Secara Kritis,” dalam Prisma, no. 5, Mei 1995, hal. 76.

80 Wawancara Prisma dengan M. Amien Rais, “Pemikiran Islam Tidak Pernah Mandeg,” dalam Prisma, no. 5, Mei 1995, hal. 85.

81

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 226.

82 Negara sebagai instrumen dikemukakan oleh kaum Marxis, yang melihat negara sebagai instrumen dari kelas yang berkuasa (dominan). Negara sebagai subjek dikemukakan oleh Hegel dan Weber, yang melihat negara berkuasa secara mutlak.

83 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 53-59.

Dalam perdebatan mengenai ideologi Pancasila, Kuntowijoyo menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular.84 Pancasila merupakan nilai bersama, konsensus nasional yang mengendalikan kepentingan horizontal dan vertikal.85 Pandangan tak jauh berbeda datang dari Nurcholish Madjid. Seraya mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka, Nurcholish menyatakan bahwa Pancasila merupakan bentuk konvergensi nasional dalam peringkat formal-konstitusional. Pancasila merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang dirumuskan dalam konstitusi. Karenanya, Pancasila menjadi sumber legitimasi kultural bagi kekuasaan yang ada.86 Nurcholish memandang sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), atau tauhid, merupakan intisari agama-agama yang dibawa oleh para Nabi.87 Dan, sebagian nilai Islam terdapat dalam Pancasila.88 Pandangan yang lebih tegas dikemukakan oleh Harun Nasution. Setelah membandingkan sila-sila Pancasila dengan ayat-ayat Alquran, Nasution sampai pada kesimpulan bahwa Pancasila merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia. Pancasila tidak bertentangan, melainkan sejalan, dengan Islam, karena sila-sila yang dikandung Pancasila adalah juga ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam.89

84Ibid., hal. 4. 85Ibid., hal. 55.

86 Madjid, Islam, Kemodernan, hal. 42-45. 87

Ibid., hal. 178. 88Ibid., hal. 89.

89 Nasution, Islam Rasional, hal. 218-223. Suatu analisa pembandingan sila-sila dalam Pancasila dengan paham-paham pemikiran Barat, seperti nasionalisme, humanisme, sosialisme, demokrasi, dan internasionalisme, dilakukan oleh M. Dawam Rahardjo. Dawam sampai pada kesimpulan bahwa sila pertama merupakan terjemahan dari prinsip tahuid, yang menjadi fondasi moral bagi sila-sila lainnya. Di sini, pemikiran Islam berpengaruh terhadap sila-sila dalam Pancasila. Lihat Rahardjo, Intelektual Inteligensia, hal. 222-224.

Pandangan berbeda datang dari Deliar Noer yang mengkritik gagasan bahwa Pancasila sejalan dengan Piagam Madinah,90 dan gagasan bahwa Islam tidak mempunyai konsep mengenai negara. Pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi politik, dipandangnya sebagai bukti kemunduran posisi politik umat Islam.91 Pendeknya, dalam pandangan Deliar Noer, tidak berlangsungnya praktik-praktik demokratis telah menyebabkan perlakuan yang sama sekali tidak adil terhadap Islam politik. Lebih jauh, Noer, juga tokoh-tokoh Muslim formalistik lainnya,92 membaca kebijakan asas tunggal sebagai suatu indikasi deislamisasi atau pemisahan agama dan negara.93

Bagi Kunto, Pancasila merupakan konsep teodemokrasi, di mana kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat, artinya, kekuasaan itu dibatasi dari atas oleh Tuhan dan dari bawah oleh rakyat. Pancasila tidak sekular dan bukan agama karena sebagai ideologi Pancasila adalah objektivikasi agama-agama: unsur-unsur objektif agama-agama ada dalam Pancasila. Maka, Pancasila juga merupakan objektivikasi Islam. Esensi Islam dan Pancasila tidak bertentangan, tetapi memang dalam kenyataannya bisa dipertentangkan. Kunto mengkritik pandangan bahwa penerapan asas tunggal Pancasila merupakan sebuah deislamisasi. Dia memandang larangan Islam menjadi ideologi sebagai deideologisasi, bukan deislamisasi. Karena itu Kunto lebih melihat Pancasila sebagai rujukan bersama semua golongan agama, ras, suku, dan kelompok

90

Salah seorang pengusung gagasan bahwa Pancasila sejiwa dengan Piagama Madinah adalah almarhum KH. Ahmad Siddiq, mantan Rais ‘Am Nahdlatul Ulama. Lihat ibid., hal. 193.

91 Penjelasan lebih lengkap, lihat Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: Pengkhidmatan, 1984).

92 Salah satu tokoh yang bisa disebutkan di sini adalah Endang Saifuddin Anshari, yang memandang pelaksanaan Pancasila sebagai asas tunggal bertentangan dengan fungsi semula Pancasila sebagai ideologi negara. Lihat Effendy, Islam dan Negara, 257.

kepentingan.94 Dalam konteks ini, ia setuju dengan pernyataan Nurcholish tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka, serba inklusif, yang sanggup menyerap unsur-unsur dari luar. Dan, menentang dengan tegas dikotomi antara pendukung Pancasila dan anti-Pancasila.95

Penilaian positif terhadap arti penting Pancasila juga datang dari Taufik Abdullah. Baginya, Pancasila bukan saja memancarkan integrasi kebangsaan dan lapisan-lapisan sosial, tetapi juga ikatan integratif kesejarahan antara lampau, kini, dan akan datang; antarsesama umat manusia serta antara makhluk dengan khalik.

96

“Ketika Pancasila telah ditetapkan menjadi ideologi Negara, maka para pemikir Islam, terutama yang berpandangan maju, justru memperoleh kesempatan yang lebih bebas untuk berpikir dalam mengembangkan pemikiran keislaman. Kalau dalam mengembangkan pemikiran Islam, para pemikir itu mendapat hambatan dari golongan konservatif, maka mereka bisa berlindung kepada Pancasila.

Sementara Dawam memandang dengan lebih pragmatis, dengan menulis,

97

Dawam melihat segi positif pemberlakuan Pancasila sebagai ideologi negara bagi umat Islam, yang akan memberikan suasana dinamis bagi umat Islam untuk mengembangkan pemikiran Islam, bahkan lebih jauh, dalam lindungan Pancasila, terbuka kesempatan bagi pemikiran-pemikiran Islam untuk bisa diterima oleh golongan-golongan lain.98

Terhadap usaha-usaha yang ingin mempertentangkan Islam dengan Pancasila, Amien Rais mengecamnya dan menyebut pikiran-pikiran tersebut

sebagai cetek dan dangkal dan tidak bertanggung jawab, karena

94 Gagasan ini dikemukakan juga oleh Ahmad Wahib, yang berpandangan bahwa Pancasila merupakan pedoman bersama yang tegak di atas pedoman-pedoman pribadi yang ada. Menurutnya, “Pancasila ada karena ada agama atau ajaran yang hidup pada pribadi-pribadi manusia Indonesia. Dan bukan sebaliknya…” Lihat Effendi dan Natsir, Pergolakan Pemikiran Islam, hal. 196-197.

95 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 85-90. 96 Abdullah, Islam dan Masyarakat, hal. 43. 97 Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, hal.223. 98Ibid., hal. 223.

mempertentangkan dua hal yang sama sekali tidak bertentangan, meskipun peringkatnya memang berbeda: Islam adalah agama wahyu, sementara Pancasila adalah ideologi buatan manusia. Dalam kaitan ini, dia mengingatkan bahwa umat Islam sesungguhnya telah mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan kesehariannya. Bahkan dia mencatat, “Pancasila itu sendiri adalah hadiah terbesar umat bagi bangsa Indonesia.99

Namun, Kunto mengakui bahwa Pancasila selama ini memang efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia secara politik, tetapi belum efektif sebagai ideologi ekonomi, sosial, dan budaya. Sebabnya, selama ini Pancasila dipahami dan disosialisasikan lebih sebagai mitos, daripada ideologi. Karena itu, Kunto mendorong untuk mengembalikan Pancasila sebagai ideologi, yang berarti menjadikan Pancasila rasional: ke dalam, Pancasila harus konsisten, koheren, dan koresponden; ke luar, harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horizontal dan vertikal.

100

Wacana serius yang juga mengemuka di antara kalangan intelektual Muslim-santri adalah masalah hubungan Islam dan demokrasi. Namun, gagasan Kunto mengenai demokrasi tidak banyak muncul di karya-karya awalnya, seperti Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), dan Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), kecuali disinggung sepintas dan sambil lalu saja. Baru dalam karyanya yang kemudian, Identitas Politik Umat Islam (1997), demokrasi mendapat tempat dan porsi yang besar. Ini, agaknya, disebabkan oleh dua hal: (1) sejalan dengan kecenderungan aliran pemikirannya

99 M. Amien Rais, “Kata Pengantar,” dalam M. Amien Rais, ed, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: RajaGrfindo Persada, 1986), hal. xiv.

yang berorientasi transformasi sosial;101 dan (2) Kunto tidak melihat adanya pertentangan antara Islam dan demokrasi, karena Islam sesungguhnya membawa cita-cita demokrasi dan bentuk kenegaraan republik.102

Berbeda dengan aliran pemikiran pembaruan teologis yang karena memang orientasinya adalah untuk mengakhiri antagonisme politik Islam dan negara, sehingga penerimaan terhadap konstruk negara bangsa menjadi yang utama, maka pembicaraan mengenai hubungan Islam dan demokrasi mendapat ruang yang memadai.

103

Bagi Nurcholish, misalnya, pilihan umat kepada demokrasi adalah suatu keharusan. Bukan hanya karena pertimbangan yang prinsipal—yaitu bahwa nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tapi juga karena fungsinya sebagai aturan politik yang terbuka.104 Mencoba merujuk kepada doktrin Islam, Syafii Maarif mengemukakan bahwa pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Alquran. Jika konsep syura tersebut ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka menurutnya, sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qurani.105

Kunto mengakui bahwa Islam memiliki kepentingan dengan demokrasi, sebab hanya dengan demokrasi ada political will untuk mengatasi kesenjangan struktural, kekuasaan menjadi transparan, dan tercipta manajemen yang

101 Perhatian utama aliran pemikiran ini adalah (1) berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan emansipatoris dengan pendekatan yang lebih integratif dan diversifikatif; (2) karena kuatnya negara sebagai aktor dominan dalam pembangunan sosial dan politik, kerja sama dengan berbagai pihak, baik negara maupun organisasi sosial-politik yang ada, untuk dapat merealisasikan program-program transformatif menjadi perlu. Lihat Effendy, “Islam dan Negara,” hal. 17-18.

102 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 22. 103 Effendy, “Islam dan Negara,” hal. 12. 104 Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 226. 105Ibid., hal. 223.

rasional.106 Karena tuntutan yang tak jauh berbeda itu pula, tak heran bila Dawam yang juga cendekiawan berhaluan transformatif, perlu membicarakan gagasan demokrasi ekonomi yang pernah mengemuka pada awal tahun 1980-an, karena melihat gejala konglomerasi, monopoli dan oligopoli, akibat kebijakan ekonomi Orde Baru.107 Tuntutan yang tegas datang dari Wahib. Menurutnya, untuk mewujudkan sistem yang demokr atis, harus ada jaminan bahwa tidak ada satu kekuatan pun mempunyai peluang untuk bertindak sewenang-wenang. Jaminan itu bisa ada bila dalam percaturan politik negara ada kekuatan kontrol yang cukup berwibawa.108

Berdasarkan pandangan bahwa demokrasi merupakan teori tentang hak, Kunto mengelompokkan hak-hak asasi dalam masyarakat demokratis ke dalam tiga cakupan: (1) hak politik (demokrasi politik: hubungan negara dengan masyarakat), (2) hak sipil (demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi: hubungan elite dengan massa), hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasi agama: hubungan negara dengan warga negara, serta hubungan antarwarga negara).109 Dalam demokrasi politik, Kunto menganjurkan supaya partisipasi disertai

kontrol.110 Dalam demokrasi sosial dia mengusulkan legislasi dan

institusionalisasi agar ada kepastian hukum dan tersedia institusi khusus yang menangani pemberantasan kemiskinan.111

106 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 10. 107

Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, hal.423-429.

108 Effendi dan Natsir, Pergolakan Pemikiran Islam, hal. 232. 109 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 91.

110Ibid., hal. 115. 111Ibid., hal. 126-127.

menawakan solidaritas dan pluralisme positif untuk menghindari kesalahpahaman dan menciptakan kerukunan.112

Dalam dokumen Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde B (Halaman 122-133)

Dokumen terkait